Chapter 17 - Pulang

"Kami akan kembali," seru Platina. Akhirnya, suaranya bisa ke luar. Ia ingin mengatakan itu pada Ruby tetapi tidak yakin pesannya terdengar. Rasa dingin yang menusuknya mendadak menghilang. Ia membuka mata perlahan dan pandangannya jatuh pada rak buku dengan beberapa figurin superhero di atasnya. Platina terkesiap lalu menoleh pada Aren—yang tampak terkejut—di sampingnya.

"Kita pulang, Pat," ujar Aren lirih. "Ini kamarku."

Keadaan kamar Aren sama persis dengan keadaan ketika mereka meninggalkannya menuju Algaria. Tatanan kamarnya tidak berubah, bahkan kerutan bed cover di kasur Aren tetap sama seperti saat mereka pergi.

Perasaan bingung menguasai Platina. Mereka dibawa ke Algaria dengan mendadak lalu dengan mendadak pula mereka bisa pulang. Platina baru menyadari bahwa ia membawa ransel dan pedangnya ke dunia nyata.

Aren membungkuk dan mengambil figurin serigala yang terletak di lantai. "Apakah kita bisa kembali ke Algaria? Bagaimana nasib Ruby? Hanya ia satu-satunya pendatang di sana sekarang, tidak mungkin kita membiarkannya melawan Raja Nero sendirian," ujar Aren hampir berteriak frustasi. "Semua ini terjadi terlalu tiba-tiba. Baru saja kita tahu pasti peran kita di Algaria dan sekarang kita sudah ada di rumah. Sial. Apa sih maumu Lupus?" Aren menggertakkan gigi sambil mengguncang figurin serigala di tangannya.

"Aren, tenangkan dirimu. Nanti kita pikirkan cara kembali ke Algaria," ujar Platina menenangkan walaupun perasaannya sama berkecamuknya dengan Aren. "Sekarang, kita perlu memikirkan cara menjelaskan kepada ibuku dan ayahmu tentang kita yang sudah berhari-hari menghilang. Kau ada ide?"

Aren menggelengkan kepala kesal dan meletakkan—dengan kasar—figurin serigala di atas rak bukunya. Ia mati-matian menahan keinginannya untuk melempar figurin itu ke lantai tetapi khawatir hal itu akan membuat figurinnya rusak sehingga mereka tidak dapat kembali ke Algaria. Aren memandang jam digitalnya yang terletak di sebelah kumpulan figurin miliknya. Ia menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas tulisan di jam itu. Sinar matahari ingin masuk ke kamar Aren tetapi terhalang oleh korden di jendela sehingga hanya terlihat seperti cahaya kuning yang buram.

"Pat, coba kau lihat ini," kata Aren dengan nada mendesak.

Platina mendekat dan memandang jam digital yang ditunjuk temannya itu. Ia mengernyit bingung. "Aren, aku tidak mungkin salah ingat. Tanggal di sini menunjukkan tanggal tepat keesokkan harinya setelah kita dibawa ke Algaria. Padahal kita sudah berapa lama di sana? Sekitar sembilan atau sepuluh hari, kan?"

Aren mulai merasa bersemangat dan tersenyum pada Platina. "Kita dibawa ke sana pada jam 20.37," ujarnya sambil memandang jam tangan yang sudah dikeluarkannya dari ransel. Jam tangan itu sekarang kembali bergerak. "Sekarang waktu menunjukkan pukul 06.37. Tepat sepuluh jam. Ini sesuai dengan hari kita berada di Algaria." Aren berseru dengan penuh semangat.

"Maksudmu, satu hari di Algaria sama dengan satu jam di dunia kita?" tanya Platina ingin meyakinkan teori Aren.

"Tentu saja, penjelasan apalagi yang kita punya," ujar Aren sambil terkekeh. "Kita tidak menjadi anak hilang di sini, Pat. Kita tidak perlu khawatir ayahku dan ibumu akan mencari kita. Teman-teman sekolah pun tidak akan sadar kalau kita pergi berhari-hari ke Algaria karena kenyataannya kita hanya pergi selama beberapa jam. Kita bisa menjalankan peran kita di Algaria dan di dunia nyata."

Platina mengerutkan kening. "Kita harus membuktikannya," kata Platina ragu. Ia membuka gesper pedangnya lalu duduk di kasur sambil merogoh bagian bawah ranselnya untuk mengambil handphone. Handphone-nya sudah menyala sekarang bahkan dengan sinyal penuh dan menunjukkan tanggal yang sama dengan jam digital Aren. Platina mencari kontak nomor telepon temannya—Adele. Ia mendengar nada sambung dari seberang dan menunggu temannya itu mengangkat telepon. Platina menekan tombol pengeras suara agar Aren bisa mendengar percakapan mereka.

"Halo, Pat. Ada apa? Tumben kau telepon pagi-pagi?" Suara Adele yang masih mengantuk terdengar dari seberang sambungan itu.

"Uh, aku hanya ingin memastikan, kapan kau terakhir kali bertemu denganku?" tanya Platina sambil memandang Aren yang menyilangkan jarinya.

"Apa kau sedang menguji ingatanku? Kemarin sore setelah kuliah, kita bertemu kan, Pat? Bahkan kita sempat makan dulu bersama Chloe dan Debra sebelum pulang," ujar Adele dari seberang telepon. "Memangnya ada apa?

"Oh, tentu saja, kau benar. Artinya ingatanmu masih bagus. Baiklah, sampai ketemu nanti di kampus," ujar Platina salah tingkah lalu mematikan teleponnya. "Sepertinya teorimu benar," lanjutnya sambil tersenyum pada Aren.

"Memang aku tidak pernah salah," kata Aren sambil nyengir.

Platina memutar bola matanya setelah melihat cengiran menyebalkan Aren muncul kembali. "Nah, aku akan pulang untuk bersiap. Nanti setelah kuliah, kita akan membicarakan cara kembali ke Algaria di kamarmu," kata Platina sambil berdiri dan menyandang ransel. "Kali ini, sepertinya aku yang memiliki teori. Aku titip pedangku di sini. Aku tidak mau tepergok tetangga sedang membawa pedang ke luar dan masuk rumahmu," lanjutnya.

Aren mengangguk dan mengucapkan sampai jumpa sambil menyimpan pedang mereka berdua di lemari bajunya. Platina ke luar dari kamar Aren kemudian turun dengan perlahan agar tidak membangunkan Ayah Aren yang kamarnya berada di samping tangga. Sebelum ke luar dari pintu depan, Platina memandangi foto Ibu Aren sejenak yang terletak di meja samping pintu. Bola matanya—yang cokelat—sangat mirip dengan Aren, tatapan wajahnya yang tersenyum dari balik foto seakan menyimpan sesuatu. Ia tampak bahagia, batin Platina.

Platina bergegas menuju rumahnya lalu mandi dan bersiap untuk kuliah. Saat sedang menyiapkan tas yang akan dibawanya, ia mendengar ibunya sedang menyiapkan makanan di dapur bawah. Platina segera turun ke bawah dan menemukan ibunya sedang menata piring di atas meja. Ia memeluk ibunya untuk melampiaskan rasa rindu. Ibunya memekik kaget dan menoleh pada anaknya.

"Ah, Pat. Ada apa? Tumben kau memeluk ibu," ujar Esmerada sambil meletakkan gelas di meja.

Platina memandang wajah ibunya untuk pertama kali setelah sepuluh hari tidak bertemu walaupun yang ibunya tahu mereka kemarin malam bertemu. Ia ingin menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya tetapi takut kalau ternyata ibunya tidak tahu hal yang sebenarnya. Ia tidak mau membuat ibunya cemas. Platina berusaha mencari pertanyaan yang memancing ibunya.

"Bu, apakah ibu tahu apa itu Algaria?"

Sejenak Platina merasa tubuh ibunya menegang sesaat kemudian ibunya berkata, "Apa itu, Pat? Dunia fiksi yang sedang kau baca bukunya?"

Platina melepaskan pelukannya dan menatap ibunya yang sedang tersenyum. Algaria bukanlah nama yang umum disebutkan. Ia tidak yakin ibunya bisa menduga setepat itu bila ibunya tidak tahu apa-apa.

"Apakah ibu tahu tentang seorang penyihir pria dari Esmevere?" tanya Platina melanjutkan pancingannya.

Senyum di wajah Esmerada mendadak menghilang ketika mendengar pertanyaan dari Platina. Ia menarik salah satu kursi makan lalu duduk tanpa melepaskan pandangan dari putrinya yang ikut duduk di hadapannya.

"Apa maksudmu, Nak?"

Platina menghela napas. Ia melirik jam yang bersandar di dinding. Masih ada waktu lima belas menit sebelum bis universitasnya tiba. Platina menggenggam tangan ibunya. "Aku hanya ingin tahu, apakah ibu tahu semua hal tentang ayah? Termasuk tentang kematian ayah."

"Ayahmu meninggal dalam kecelakaan, Pat."

"Tidak bu," ujar Platina sambil menggeleng. "Aku sudah tahu kalau bukan itu yang terjadi. Ibu harus menceritakan kepadaku semuanya sekarang. Setelah selama ini kita hanya berdua saja, kupikir kita pernah berjanji untuk tidak merahasiakan apa pun satu sama lain."

Pandangan Esmerada menatap tajam ke bola mata hitam Platina. Rahangnya terkatup erat. Ia menarik napas sambil berkata dengan suara bergetar, "Saat cermin yang ia berikan padaku berubah menjadi hitam, saat itulah aku tahu ia telah tiada." Ia menggenggam lebih erat tangan Platina. "Terlalu banyak rahasia yang disimpan oleh ayahmu, Pat."

Hati Platina mencelos mendengar perkataan ibunya. Jadi, selama ini ibunya tahu tentang masa lalu ayahnya. "Ibu tahu semua rahasia ayah. Kenapa ibu tidak menceritakannya kepadaku?" desak Platina meminta penjelasan.

Esmerada melirik ke arah jam dinding dan berkata, "Sepuluh menit lagi kau harus berangkat, Nak."

Platina mendesah. "Biarkan saja, Bu. Aku ingin jawabannya sekarang. Kenapa ibu merahasiakan semua ini dariku?" tanyanya hampir berteriak.

"Karena ayahmu selalu saja memiliki rencana yang tidak masuk akal," seru Esmerada sambil berdiri dari kursinya. Ia melepaskan genggaman tangan Platina. "Ayahmu tidak bisa melepaskan masa lalunya. Kenapa ia tidak memilih keluarganya di sini dibandingkan dengan teman baiknya di sana?" ujar Esmerada dengan nada yang semakin lama semakin tinggi. "Ia selalu berpikir dirinya cerdas. Memangnya, secerdas apa seorang ayah yang tega membawa anaknya sendiri—darah dagingnya sendiri—ke permasalahan dunianya yang berbahaya?"

Platina terkejut melihat ibunya tampak begitu emosional. Ia belum pernah melihat ibunya seperti ini. Setetes air mata bergulir di pipi ibunya yang mati-matian menahan emosi agar tidak meledak berlebihan. Platina tidak pernah tahu, ternyata ibunya tidak hanya menahan kesedihan akibat kematian ayahnya, tetapi juga kemarahan.

"Ayahmu," lanjut Esmerada sambil kembali duduk, "di hari terakhir kami bertemu, ia mengatakan bahwa suatu hari kau akan berjuang untuk Algaria. Ia berulang kali meminta maaf padaku padahal aku sudah memohon padanya agar tidak pergi. Namun, ia tetap pergi dan tak pernah kembali. Tambah lagi, ia sekarang melibatkanmu ke dalam masalahnya." Esmerada menatap nanar wajah putrinya. "Setelah ia pergi begitu saja, sekarang ia ingin kau pergi juga. Apakah ia tidak memikirkan bagaimana perasaanku?" lanjutnya dengan nada tinggi.

Sejenak ruangan itu hening. Platina tidak tahu harus berkata apa. Ia masih terkejut dengan luapan emosi yang diperlihatkan oleh ibunya.

Esmerada beberapa kali mengambil napas untuk menenangkan diri lalu memandang lembut Platina. "Coba kau bayangkan, bagaimana perasaanku jika kau pun tak kembali, Nak?"

Tangan halus wanita paruh baya itu menyentuh pipi Platina. Mengusap tetesan air yang membasahi kedua pipi anaknya.

"Ibu tidak memberitahumu sedari dulu karena ibu tidak mau kehilanganmu."

Platina mengangguk pelan dan mengelus tangan ibunya lalu menggenggamnya dengan kedua tangan. Ia menunduk. Ia mengerti perasaan ibunya yang takut kehilangan keluarga satu-satunya. Platina juga tidak ingin jika kehilangan ibunya dan menjalani hidup sendirian tanpa keluarga. Namun, beban berat di pundaknya terus membayangi dirinya.

"Aku tidak bisa lari dari takdirku," ucap Platina pelan.

Ibu Platina menghela napas panjang. "Tangan takdir telah menemukanmu. Terserah padamu sekarang untuk menghadapinya atau justru lari darinya."

Platina mendongakkan kepala dan menatap kedua bola mata ibunya. "Aku tidak akan pernah lari."

Ibunya tersenyum sedikit sambil mengelus kepala putri satu-satunya itu. "Berjanjilah kepadaku," ujarnya, "berjanjilah kau akan pulang."

Platina bergegas berdiri dan memeluk ibunya. Hatinya terasa lebih ringan sekarang. Satu ganjalan di hatinya telah pudar. Kerelaan ibunya akan mengantarkan Platina ke berbagai petualangan yang akan dilaluinya.

"Aku berjanji, Bu." Platina berbisik di telinga ibunya.

Ibu Platina menepuk punggung anaknya. "Nah, sekarang kau harus berangkat kuliah kalau tidak mau terlambat."

Platina tersentak kaget saat melihat jam dinding. Sudah waktunya bis universitas datang menjemput. Platina pamit pada ibunya kemudian ke luar rumah dan mendapati Aren sudah menunggu di depan rumahnya.

"Hei, kenapa matamu sembab? Kau habis menangis?" tanya Aren penasaran.

Platina buru-buru mengecek kedua matanya dengan cermin yang ia bawa. Matanya merah dan tampak sedikit bengkak. Ia meringis lalu mengusapkan air keran di halaman depan ke matanya. "Aku sudah menanyakan tentah ayah ke ibuku," ujar Platina sambil mengusap tisu untuk mengeringkan air di wajahnya. "Kau tidak ingin berbicara dengan ayahmu?"

Aren mengangkat bahu sambil nyengir. "Kita lihat saja nanti kalau ia pulang kantor lebih cepat. Kemungkinannya kecil."

Platina menatap temannya dengan pandangan sedih. Aren sangat jarang bertemu dan berbicara dengan ayahnya sejak Valora meninggal. Ayah Aren seperti memfokuskan diri hanya kepada pekerjaan untuk mengusir kesedihan akan kematian istrinya, yang tanpa ia sadari telah meninggalkan kesedihan yang lebih mendalam kepada anaknya di rumah.

Aren menyadari pandangan Platina lalu menjitak kepala temannya itu. "Sudah jangan melihatku begitu. Wajahmu jadi aneh."

Aren tertawa sambil berlari setelah berhasil membangkitkan kekesalan Platina. Mereka berjalan bersama menuju bis universitas di ujung perumahan. Satu per satu anak-anak sekolah dan remaja yang akan kuliah mulai ke luar dari rumah masing-masing. Mereka saling menyapa dan mengobrol dengan teman-temannya. Platina melihat Ethan dan Lylod di ujung jalan sedang menunggu dirinya dan Aren.

"Ethan, Lylod," seru Aren sambil berlari pada mereka. "Lama tidak bertemu kalian," ujarnya bersemangat.

"Lama? Kemarin kan kita baru bertemu," seru Ethan. "Temanmu ini lupa ingatan rupanya," katanya pada Lylod sambil terkekeh.

Lylod melirik Aren dari balik buku yang dibacanya kemudian memandang kembali bukunya. "Mungkin ia masih merasa ada di dunia fantasinya."

Ethan terkekeh mendengar perkataan Lylod. Aren mengerutkan kening dan menoleh pada Platina. "Menurutmu, ia tahu?"

Platina menggeleng. "Tidak, Lylod hanya bercanda. Kalau serius, ia akan mengangkat wajah dari bukunya," ujar Platina sambil tertawa. Aren mengangguk setuju.

Mereka berempat duduk di bagian paling belakang bis. Platina dan Aren menikmati suasana di bis ini. Sudah berhari-hari mereka tidak merasakan keadaan yang tenang dan bersahabat di sekitar teman-temannya. Platina bahkan rindu pada jalan menuju kampus yang biasa dilewatinya. Bis itu meluncur dengan mulus tanpa hambatan dan dengan segera sampai di depan gerbang putih besar Universitas Ethernal.

Platina berpisah dengan teman-teman lelakinya untuk menuju ruang kelasnya. Ia melihat tiga teman perempuannya sedang mengobrol seru dan menyapa mereka. Mereka berteriak heboh ketika Platina datang dan saling berebut untuk bercerita.

"Kau sudah tahu belum, Pat? Akan ada mahasiswa pindahan ke sini," seru Adele bersemangat. "Kira-kira, dia tampan atau tidak, ya," lanjutnya sambil menerawang.

"Dia akan terlihat tampan bila hatinya juga tampan," kata Debra dengan nada puitisnya yang biasa ia tunjukkan. Teman-temannya tersenyum mendengarnya.

"Memangnya bisa mahasiswa pindah ketika semester sudah dimulai? Ia seangkatan dengan kita?" tanya Platina.

"Aku dengar begitu," jawab Adele. "Entahlah, bagaimana ia bisa pindah. Mungkin karena kekuasaan? Materi? Atau justru kepintaran? Aku tidak tahu."

"Mungkin saja ia pintar. Aku dengar ia mendapatkan beasiswa," ujar Chloe santai. "Nanti aku bisa menanyakannya saat istirahat pada Ethan yang sekelas dengannya."

Teman-temannya berpandangan dan tersenyum penuh arti. Chloe pasti akan memanfaatkan ini untuk menjadi alasan bertemu Ethan. Teman-temannya sudah tahu bahwa mereka berdua saling menyukai tetapi saling tidak berani menyatakan perasaan masing-masing. Menyadari teman-temannya tersenyum diam-diam, Chloe memalingkan pandangan ke jendela dengan wajah bersemu malu.

Selama beberapa jam setelahnya, kuliah dilaksanakan dengan serius sehingga suasana kampus menjadi sepi dan hening. Matahari semakin meninggi dan menghangatkan rerumputan di taman. Jam istirahat membuat para mahasiswa berkerumun di kantin untuk mengisi perut yang kosong. Platina dan teman-temannya duduk di bangku panjang di bawah pohon taman kampus sambil memakan roti lapis yang dibeli dari kantin. Platina melihat Aren, Ethan, dan Lylod berjalan ke arah mereka. Aren dan Ethan terlihat kesal bahkan dari jarak jauh sedangkan Lylod tetap menundukkan kepalanya di buku yang ia pegang.

"Menyebalkan," gerutu Aren sambil duduk di sebelah Platina dan mencomot potongan roti lapis di depannya.

"Siapa yang menyebalkan?" tanya Adele penasaran.

"Hai, Chloe," sapa Ethan berusaha menyembunyikan kegugupannya di depan Chloe yang tampak bersinar di matanya. "Anak baru itu, ia menyebalkan," kata Ethan menjawab pertanyaan Adele. Ia duduk di samping Aren sembari mencari potongan makanan yang bisa diambil.

"Perasaan kalian saja yang menipu," ujar Lylod. Ia menutup bukunya dan duduk di samping Adele. "Sebenarnya, ia tidak melakukan apa-apa kok."

"Justru itu yang menjadikannya menyebalkan. Ia diam saja bahkan ketika kita menanyakan asalnya. Wajahnya terlihat sok pintar. Ia tidak pernah menjawab pertanyaan ramah dari kami," ujar Ethan. Lylod mengangguk setuju di sebelahnya.

"Anak itu tampan atau tidak?" tanya Adele dengan bersemangat.

Aren mendengus kesal lalu melirik Platina. "Kulitnya putih, lebih tinggi dari kami, dan rambutnya ...." Aren menelan kunyahan roti lapisnya. "Rambutnya kuning pirang."

Platina terkejut sedangkan teman-temannya berseru kagum dan mulai berbincang seru tentang warna rambut anak baru itu.

"Namanya?" tanya Platina perlahan.

"Flavian," jawab Ethan. "Nama yang asing." Ia melanjutkan makan potongan roti lapis yang tadinya milik Chloe.

Platina memandang Aren untuk meminta penjelasan. Nama mahasiswa baru itu sama dengan teman mereka berdua yang menyebalkan di Algaria. Bahkan deskripsi tubuh dan sifatnya mirip. Teman-temannya tidak menyadari perubahan ekspresi Platina karena masih seru membicarakan Flavian si mahasiswa baru.

Aren menggeleng. "Bukan Flavian yang itu," bisiknya pada Platina. "Mereka mirip tetapi terlihat perbedaannya kalau kau melihatnya. Mahasiswa baru ini lebih muda daripada Flavian yang di sana. Namun, sama menyebalkannya," tambahnya sambil mengunyah potongan roti lapis keduanya.

Platina menghembuskan napas lega. Ia benar-benar mengira kalau Flavian bisa datang ke dunia mereka. Ia ingin melanjutkan makan roti lapisnya sambil menatap ratusan mahasiswa berlalu-lalang melewati halaman tengah. Kesibukan yang tampak biasa ini sangat berbeda dengan keadaan di Algaria. Platina teringat ekspresi terakhir Ruby saat mereka dibawa pulang. Ruby pasti marah, batin Platina.

"Ayo, kita ke halaman belakang saja," ajak Adele, "di sana lebih teduh. Aku juga ingin memberi makan ikan." Ia mengangkat sebungkus plastik penuh makanan ikan. Teman-temannya tertawa melihat Adele yang bersemangat. Ia sangat suka dengan ikan. Seminggu sekali, Adele dengan rutin memberi makan ikan di kolam belakang universitas.

Mereka semua berdiri lalu berjalan menuju bagian timur universitas. Matahari yang bersinar terang membuat semua manusia di bawahnya mengeluh kepanasan. Untung saja banyak pohon tinggi dan rindang di universitas itu yang bisa melindungi mereka dari sengatan cahaya matahari. Mereka berkali-kali mengipaskan tangan untuk mengusir hawa panas dari tubuh, yang tentu saja sama sekali tidak berhasil.

Suara gemericik air terdengar diikuti dengan suara daun-daun yang saling bersentuhan. Adele berlari ke arah kolam dengan semangat. Platina tersenyum melihat tingkah laku temannya itu. Kerindangan sebuah pohon besar di sana cukup untuk memberikan mereka semua kesejukan di halaman belakang. Debra dan Chloe duduk di rumput. Lylod bersandar ke batang pohon sambil terus membaca bukunya.

"Aku belum pernah ke sana," ujar Ethan sambil menunjuk ke arah kiri Platina.

Aren dan Platina memandang arah yang ditunjuk Ethan. Jalinan tumbuhan rambat dan akar-akar pohon menyatu di atas kanopi yang terbentang di atas jalan setapak kecil, membuat suasananya tampak lebih gelap dari sekitar.

"Ayo, kita ke sana," ajak Aren dengan bersemangat.

"Pergilah kalian, kita tidak mau panas menemui mangsanya lagi siang ini," kata Debra. Chloe melambaikan tangan pada Ethan. Sedangkan, Lylod dan Adele sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Platina mengikuti Aren dan Ethan yang sudah berjalan lebih dulu. Sinar matahari masuk menerobos celah-celah akar dan daun yang gagal bertautan.

"Tempat apa ini? Rasanya sepi sekali." Ethan menendang daun-daun kering di bawah kakinya.

Mereka bertiga terus berjalan sampai melihat sebuah bangunan besar yang tampak sangat tua. Lumut-lumut tumbuh di sepanjang dindingnya. Bunga-bunga dan tumbuhan kecil memenuhi tiap retakan temboknya. Di depan bangunan itu, tertumpuk meja-meja dan kursi kayu yang sudah lapuk digerogoti usia. Rak-rak kayu tersusun rapi walaupun beberapa sudah kehilangan bentuknya.

"Seram juga bangunan ini," kata Aren sambil mengamati keadaan sekitar. "Sepertinya ini gudang tua."

Platina menyisir bagian kiri bangunan dan menemukan akar pohon tebal mencuat ke luar dari tanah. "Hei, ada pohon besar di sini."

Aren berlari ke arah Platina. Ia melihat sebuah pohon berbonggol kayu tebal dan besar. Kulit pohon itu saling berlapis dan beberapa tampak mengelupas. Puluhan akar-akar panjang menggantung sampai ke tanah. Daun-daun kering berserakan di sekelilingnya. Angin menggoyang daun-daun pohon itu, menimbulkan bunyi gerisik yang menenangkan. Satu per satu tampak daun cokelat berjatuhan diterpa angin.

"Entah kenapa perasaanku tidak enak," kata Platina. Suasana di tempat itu terasa suram walaupun di siang hari. "Ayo, kita kembali."

Platina dan Aren berjalan ke depan bangunan itu. Mereka melihat Ethan berusaha membuka pintu depan yang sangat besar.

"Pintunya tidak mau terbuka," ujar Ethan terengah sambil memandang kedua temannya.

"Pasti sengaja dikunci agar tidak ada yang menyalahgunakannya," ujar Aren. "Kau tahu maksudku, kan? Di tempat sepi seperti ini." Ia nyengir diikuti dengan tawa dari Ethan.

Platina hanya menggelengkan kepala menyadari betapa kotor pikiran kedua temannya. Ia mengikuti kedua lelaki itu—yang sudah berjalan menjauhi bangunan—di belakang. Rasanya ada yang menggelitik bagian terdalam di pikirannya. Ia menoleh ke balik bahunya dan melihat pohon tua itu masih terus bergoyang seakan melambai kepadanya untuk kembali menemuinya lagi. Platina sedikit bergidik dengan imajinasinya. Ia berlari kecil untuk mendekati kedua teman lelakinya.

"Kau kenapa, Pat?" tanya Aren heran melihat Platina yang harus berlari untuk segera menyamai langkahnya.

"Tidak apa-apa," jawab Platina tanpa menatap Aren dan Ethan untuk menyembunyikan perasaan anehnya. "Firasatku bilang, kita harus kembali ke sini suatu saat nanti."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top