Chapter 10 - Ruby

Platina duduk di atas kasur sambil berusaha merapikan rambutnya dengan tangan. Ia tadi masih tidur ketika Aren masuk ke kamarnya dan membuat keributan untuk membangunkannya. Platina kaget dan langsung terbangun sambil menggerutu. Ia mengerjapkan mata berulang kali untuk mengembalikan fokus matanya yang masih buram. Ia baru sadar kalau Ruby sudah duduk di kursi kayu di depannya.

"Bangun, tukang tidur," ujar Aren usil.

Platina tidak mengacuhkan perkataan Aren. Ia meregangkan badan sejenak kemudian berjalan pelan menuju tempat duduk di sebelah Ruby. Perempuan berambut merah itu tersenyum pada Platina—yang tampak kelelahan.

Mereka bertiga duduk sambil mengamati benda yang ada di hadapan mereka. Figurin serigala dan sebuah figurin berbentuk burung elang yang tersusun di atas meja. Figurin serigala itu diam tak bergerak. Lupus tidak lagi hidup seperti di kamar Aren, bahkan mengeluarkan suara geraman pun tidak dilakukannya.

"Jadi, kau dibawa ke sini oleh figurin berbentuk elang ini?" tanya Aren pada Ruby.

Ruby mengangguk pelan. Ia sudah mengganti baju kulitnya menjadi baju berbahan kaos biasa seperti milik Platina dan Aren. Rambut merahnya masih ia ikat kebelakang. "Ya, benar. Namanya Avis," jawab Ruby pendek.

"Kalau kami boleh tahu, di mana kau tinggal dulu?" tanya Platina ragu. Ia takut pertanyaannya tentang masa lalu menyinggung perasaan Ruby.

Ruby tersenyum mendengar nada suara Platina yang kentara sekali khawatir. "Tenang saja, aku tidak akan marah kau bertanya, Platina."

"Oh, panggil aku, Pat," sahut Platina lega.

Ruby mengangguk. "Baiklah, Pat. Aku berasal dari sebuah kota besar dengan hingar bingar kemewahannya. Namun, aku tidak pernah sekali pun dapat merasakan kemewahan itu. Mungkin, bisa dibilang, aku terbuang," cerita Ruby santai. "Aku tinggal di panti asuhan. Sejak bayi aku ditinggalkan di sana. Aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku. Saat aku bertanya pada ibu panti asuhan, ia berkata bahwa ada surat yang ditinggalkan tetapi hanya berisi tulisan agar bayi itu dinamakan Ruby. Sebenarnya masa kecilku cukup menyenangkan. Namun, saat usiaku sudah cukup untuk sekolah, semuanya berubah."

Platina dan Aren memandang penuh tanya.

"Aku tidak bisa membaca. Berkali-kali guru mengajariku pun aku tetap merasa kesulitan. Aku tidak bisa memahami huruf-huruf yang biasa kalian baca," lanjut Ruby. "Jadi, aku pun tidak bisa menulis. Tentu saja hal itu membuatku tidak diterima di sekolah mana pun. Teman-temanku yang dulu sering bermain bersama, akhirnya menjauhiku. Aku merasa tidak percaya diri sehingga lebih sering mengurung diri di kamar. Hanya ibu pengasuhku yang baik kepadaku. Ia mengajari bermacam-macam hal selain membaca dan menulis."

Platina dan Aren mendengarkan cerita Ruby dengan sedikit rasa bersalah. Keadaan mereka jauh lebih baik dari Ruby sejak kecil. Perasaan mereka tergambar jelas di wajah sehingga membuat Ruby menghentikan ceritanya. "Kalian kenapa? Sudahlah jangan khawatir, aku sudah biasa menceritakan ini," ujarnya menenangkan mereka.

Aren mengangguk kaku. "Maafkan kami jadi mengingatkanmu akan masa lalumu. Mungkin tidak perlu kau ceritakan lagi kalau itu menyakitkan," kata Aren serius sambil memandang Ruby. Ia menjadi semakin mengagumi perempuan ini setelah mendengar cerita masa lalunya.

"Tidak perlu meminta maaf. Lagipula aku akan tetap menceritakannya. Rasa sakit itu sudah aku pendam dalam-dalam," ujarnya. "Aku akan melanjutkan ceritaku. Suatu hari, aku sedang berjalan sendirian menuju sebuah lapangan kosong di ujung kota. Rasanya menyenangkan bisa ke luar menuju tempat lain di mana tak ada orang yang tahu tentang kekuranganmu. Aku melihat seseorang bertudung dan berjubah hitam sedang duduk di pinggir jalan. Aku melewatinya begitu saja. Lalu, aku merasa ada sesuatu yang jatuh di dekatku. Ternyata, itu adalah figurin elang ini. Aku menoleh untuk bertanya pada sosok bertudung hitam tadi apakah figurin ini miliknya. Namun, ia sudah menghilang. "

"Setelah itu, kau langsung dibawa ke sini?" tanya Aren.

"Aku membawanya ke balik lapangan kosong, saat itulah ia tiba-tiba hidup. Aku terkejut dan ingin berlari tetapi tidak bisa. Tubuhku membeku. Matanya yang kuning cemerlang seperti membekukan semua otot di tubuhku. Elang ini berukuran sangat besar, lebih tinggi dariku. Ia dilapisi es di seluruh tubuhnya. Avis berbicara padaku bahwa ia akan membawaku ke suatu tempat. Belum sempat aku bertanya, Avis sudah melebarkan sayapnya dan terbang ke arahku. Aku merasa seperti dilapisi sesuatu yang licin tetapi rasanya sangat panas. Aku hanya bisa menutup mata. Beberapa saat kemudian, aku mencoba membuka mata dan sampailah aku di hutan ini. Avis kembali menjadi figurin dan tidak pernah hidup lagi." Ruby mengakhiri ceritanya sambil memandang figurin berbentuk elang di depannya.

"Sejak saat itu, kau tinggal di Carmine?" tanya Platina penasaran.

"Aku ditemukan oleh Raja Devon ketika aku berkeliaran sendiri di tengah hutan mencari jalan ke luar. Aku dibawa ke Carmine dan tinggal di sini. Mungkin, inilah tempat yang Avis maksud. Di sini aku merasa diterima. Tidak ada yang mencemooh dan mencela. Aku belajar ilmu berpedang bersama penduduk di sini walaupun aku adalah orang asing. Mereka tetap ramah padaku dan aku punya beberapa teman," jawab Ruby ceria.

Platina dan Aren ikut tersenyum melihat Ruby yang tampak senang. Matahari sudah semakin tinggi dan sinarnya yang panas mulai memasuki jendela rumah. Platina berdiri untuk sedikit menutup jendela agar sinarnya tidak membakar kulit mereka. Dari jendela itu, Platina bisa melihat bukit-bukit di seberangnya. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah warna hijau dedaunan dan rumput serta warna cokelat batang pohon dan rumah-rumah kayu. Rasanya seperti menyatu dengan alam, batin Platina.

"Ruby, menurutmu, Apakah kita sebagai para pendatang memang harus mengalahkan Raja Nero?" tanya Aren.

Ruby menghela napas. "Aku tidak tahu."

"Apakah kau tidak pernah ingin pulang, Ruby? Kembali ke dunia kita?" tanya Platina yang masih berdiri di ambang jendela.

"Tidak," sahut Ruby sambil menggeleng. "Aku bahagia di sini. Ini adalah tempat tinggalku."

Aren mengangguk mengerti dan mulai memutar-mutar figurin serigala di tangannya. Platina menoleh ke jendela dan menyipitkan mata. Ia seperti melihat sesuatu di kejauhan. Rombongan manusia membawa tombak bergerak ke arah Carmine. Tubuh dan kepala mereka berkilau terkena sinar matahari. Apakah itu baju besi? Kenapa mereka memakainya? Platina bertanya dalam hati.

Tiba-tiba, terdengar suara terompet yang memekakkan telinga. Para penduduk berteriak dari rumah-rumah mereka. Jalanan ramai dipenuhi para pria yang saling berseru pada keluarga mereka untuk bersembunyi di rumah. Platina dan Aren menutup telinga sambil berpandangan bingung. Ruby sudah berdiri dan berlari menuju pintu.

"Tetap di sini dan jangan ke luar!" teriak Ruby. "Musuh datang."

Ruby turun dengan kecepatan luar biasa. Aren memandanginya berlari menuju rumah pohonnya. Sesaat kemudian, Ruby telah memakai baju kulitnya dan menyandang busur serta anak panah. Ia berlari menuju balik bukit. Aren ingin mencegahnya agar tidak ikut terlibat dalam pertempuran tetapi gerakan Ruby terlalu cepat untuk dicegah. Aren menoleh pada Platina yang masih berdiri dekat jendela.

Platina memandang para pria dari Carmine mulai mendekati rombongan manusia berbaju besi. Aren sudah di sebelahnya saat pertempuran dimulai. Bahkan dari rumah pohon Platina di ujung bukit ini, pertempuran itu terlihat mengerikan. Tombak dan pedang saling beradu. Anak-anak panah meluncur ke langit. Teriakan kesakitan mulai terdengar saat logam-logam besi mengenai mangsanya. Terik sinar matahari semakin memanaskan medan pertempuran.

"Sial. Seandainya saja aku bisa ikut bertempur. Aku benar-benar harus mempelajari ilmu berpedang," kata Aren kesal. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan diri agar tidak berlari menuju pertempuran tanpa keahlian apa pun dan mati konyol.

Platina tercengang melihat pertempuran di depannya. "Aku juga harus berlatih menggunakan senjata," kata Platina pelan. "Hei, bukankah Carmine terlindungi dari ilusi? Kenapa rombongan prajurit itu bisa masuk ke sini?"

Aren menggelengkan kepala. Mereka terdiam sambil memandangi para penduduk Carmine yang sedang memperjuangkan tempat tinggalnya dari musuh. Rasa ngeri merayapi punggung mereka berdua. Di dunia Algaria, peperangan adalah hal yang nyata. Mereka tidak punya pengetahuan dan keahlian apa pun dalam menghadapi pertempuran seperti ini. Tangan-tangan kematian terasa menghampiri mereka.

Para musuh terlihat jelas sedang terdesak ditandai dengan jumlah pasukan yang semakin sedikit tetapi mereka masih terus menyerang. Para pejuang Carmine tetap berusaha mempertahankan keunggulan mereka dengan semakin sering menyabetkan pedang atau gada, melontarkan anak panah, dan menusukkan tombak. Sorakan kemenangan terdengar keras dari pejuang Carmine setelah musuh terakhir mereka berhasil dibunuh. Langit berubah warna menjadi kemerahan bagai darah seperti ikut terluka akibat peperangan yang baru saja terjadi. Carmine berhasil mempertahankan diri.

Platina dan Aren masih berdiri memandang akhir dari pertempuran itu melalui jendela. Mereka berpandangan dan mendesah lega. "Semoga Ruby selamat tanpa luka yang serius," kata Aren.

Platina mengangguk setuju lalu duduk di kasur mengistirahatkan kakinya yang sudah berdiri lebih dari satu jam sejak awal pertempuran. Aren duduk di sebelahnya dengan tatapan menerawang. Untuk saat ini, mereka hanya bisa menunggu.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top