2 | Bisikan yang Hilang
Sebelum serius menjejak pergi, Evez masih menanti. Dia menunggu Hayla tiba-tiba muncul dan berbisik di belakang, menyebut ini hanya mimpi. Atau sekadar menyampaikan ungkapan maaf karena sudah menemukan dirinya. Maaf karena membawa nama itu, padahal sungguh tidak ada apa-apa. Hayla hanya menipu, dia hanya rindu.
Itu saja.
Tidak pernah terbayang dalam pikiran kalau akan tiba hari-hari seperti ini.
Di saat segalanya mulai terlupakan, tiba-tiba saja sang sahabat menyampaikan surat yang mengguncang panggung nostalgia yang telah dirantai rapat-rapat.
Semua orang butuh kebenaran, tapi untuk Evez, tidak sekarang. Tidak di saat jiwa dan hatinya mulai sembuh. Tidak di saat mimpi-mimpi buruk yang membuatnya terjaga dan berpikir keras selama berbulan-bulan itu berubah semanis dan selembut kembang gula.
Sayangnya, saat langit makin penuh, masih tak terjadi apa-apa. Sang pendongeng tidak tahu sudah berapa lama dia menunggu. Pukul berapa sekarang?
Bintang-bintang dan memori yang menghantui di sekeliling tetap tidak memberi bantuan. Perasaan ragu dan takut itu masih bergelantungan bebas di pohon hatinya, bagai monyet-monyet pendatang yang merebut takhta sang raja hutan.
Tak ada lagi kisikan-kisikan penyelamat yang menjadi penuntun di kala ragu, menerangi gelap yang mengungkungnya dalam jeruji masa lalu.
Evez membuang napas dalam. Mungkin dia dapat menemukan jawaban jika bicara dengan seseorang. Mungkin Gab dan Aiden? Mereka tahu, dan pria itu bisa memberinya harapan. Bukankah itu yang dapat dilakukan seorang malaikat dan pembawa api?
Ketika memutuskan untuk berbalik pergi, sesaat terdengar bisikan dari danau indahnya yang sepi.
"Firasat itu tamu,
penyampai pesan dari kumpulan kejerian semu.
"Tapi, seringkali rengsanya bagimu ...
kisikan-kisikannya bukan sekadar angin lalu.
"Dan justru, kita adalah sang pelaku.
dialai-belai waktu, untuk tenggelam dalam hakikat berdebu.
"Satu pesanku, anakku.
Berjalanlah ...
bersama sayap pada ruangan yang kau tuju.
"Betapa pun salahnya itu,
bimbingan jiwaku akan senantiasa menyertaimu."
Suara itu. Bisikan itu, yang tak pernah lagi didapatkannya setelah tiba di Sever. Suara lembut yang tak pernah lagi hadir bahkan sekadar memberi salam melalui bunga tidur.
Sebagai seseorang yang sempat ditinggal sendiri, dia merasa ingin menangis.
"Meski aku tahu kalau kau bukan dia, tapi ... terima kasih."
Evez benar-benar kembali setelah itu. Gab dan Aiden harus tahu, dia tak dapat lagi menjejakkan kaki di sini. Sever bukan tempat perhentian terakhirnya.
Ini sudah pukul satu dini hari. Gab dan Aiden masih terjaga. Pintu mereka yang diketuk pun langsung dibuka sesaat kemudian. Terlalu khawatir, rasanya.
Sebelum pembicaraan mereka dimulai, Aiden hampir marah begitu menyaksikan lantai marmernya kotor. Namun, begitu melihat wajah sang pendongeng, hati pria itu melunak. Biarlah dia mengepel besok pagi. Teman lebih berharga daripada sebuah lantai yang dingin.
"Aku ... akan meninggalkan Sever."
Gab dan Aiden serempak melotot, mengangkat kepala, seakan memastikan itu bukan candaan dan telinganya tidak salah menangkap suara. Iris semerah darah yang terlihat lelah dan wajah serius itu membuat para pria yakin mereka tidak salah dengar. Evez telah membuka tudungnya.
"... lalu, kapan kita akan berangkat?"
Sang moderator yang menjadi sasaran tanya hanya memberi tatapan sedih.
"Hanya aku yang akan pergi. Kalian tinggallah untuk menjaga Sever," ujarnya dengan nada suara tak ingin dibantah.
Melihat kedua rekannya hendak protes, gadis itu membuka jubah, lalu menunjukkan punggungnya yang tak tertutupi kain.
"Tandaku kembali."
Gab dan Aiden terdiam. Punggung Evez kini tidak lagi kosong. Tanda itu ...benar-benar kembali.
"Sepasang Kunci telah campur tangan. Hayla memintaku sesegera mungkin menuju Zijr, tetapi kita harus tetap bersiaga."
"Sepasang Kunci?! Mereka ...."
Evez mengangguk tanpa suara. "Tanpa perintahku, kalian dilarang meninggalkan Sever karena telah memilih mengambil nama dan mengemban status sebagai seorang pengembara. Gabrielion, kau bukan lagi Putra dari Maldini. Aiden, kau bukan lagi Tuan Muda bangsawan Ayyers.
"Aku ingin kalian dan anak-anak tetap aman. Jangan sampai penduduk Sever menjadi korban lain dari kisahku. Meski terluka, aku tetap entitas tertinggi dalam tim kita. Dan sebagai pemegang tanggung jawab, biarlah urusan terberat jatuh pada tangan orang yang tepat."
Gabriel dan Aiden melayangkan pandangan tak terbaca. Evez tahu isi pikiran mereka, sepasang orang itu hanya tak berani bertanya.
Karena tak ingin berbincang lebih jauh, Evez kembali ke ruangannya. Ia tidak ingin berdebat dan berubah pikiran. Semua harus pada tempat yang tepat. Kesalahan sedikit saja bisa menciptakan aral dan pertumpahan darah.
Walau hati gadis itu dipenuhi rasa bersalah, dia tidak mau menyesal. Menyerah dua kali bukan gayanya. Jika ingin segalanya tetap aman, mereka harus dapat bertindak hati-hati.
Biarlah Evez kembali terluka kali ini. Biar saja. Kalau ingin semua dalam kendali, kedua rekannya harus bisa mengerti.
Miris, memang.
Tetapi, sudah tugas orang terkuat untuk menjadi perisai.
Dia hanya tidak mau kehilangan orang lagi. Jatah Evez untuk dilindungi sudah habis.
Intensi si gadis berlabuh pada panggilan yang lain. Mereka harus selamat, bagaimana pun caranya. Meski tandanya, barrier Evez tidak akan pulang dengan utuh kali ini.
"Apa kau sungguh harus pergi, Evez?"
Hira berdiri di sana, di tengah-tengah koridor menuju kamar sang pendongeng yang sempat ia ditempati. Sinar sedih yang redup bertengger pada kedua indra penglihatannya, selaras dengan cahaya temaram dari lilin yang menerangi jarak diantara mereka berdua.
Evez terpaku. Hira tidak tidur, dan ia terlanjur membuka tudungnya. Entah bagaimana, gadis boncel itu berhasil mencuri dengar. Mungkin itu keahlian khusus seorang mantan pencuri. Bak maling yang tertangkap basah, ia menghela napas panjang, lalu menjawab pelan.
"... ya."
"Apa aku boleh ikut?" tanya anak itu. Dia tidak terganggu dengan penampilan Evez sekarang. Masa bodoh kalau dia bukan manusia, masa bodoh kalau dia dikutuk, masa bodoh tentang gunjingan orang-orang. Entah apa pun ras sang gadis pendongeng, Hira hanya ingin tetap di sisinya, menemani sosok mirip ibu itu ke mana pun dia pergi.
Hanya Evez yang bisa menerimanya di Sever. Hanya dia yang bisa memberi rasa nyaman dan cinta dari seluruh kepala yang hidup dan bernapas di kota itu. Hanya Evez.
Hira tidak mau kehilangan. Tidak sekarang. Tidak setelah sang pendongeng berhasil memperbaiki kepingan dunianya.
"Maaf."
Mata Hira berkaca-kaca, harapannya pupus. Melihat itu, setitik air mata luput dari pertahanan Evez.
"Aku akan menceritakan sebuah dongeng akhir untukmu, sebagai hadiah pertemuan terakhir kita."
Hanya sebuah cerita? Bukan itu yang Hira mau. Tentu saja si pengembara tahu, tetapi dia tidak mau sesama sebatang karanya terluka lebih jauh. Dongeng, hanya itu balasan penenang yang bisa dia beri.
Malam ini, Evez akan membuka suara. Dia akan menunjukkan semua rahasia, kebenaran yang seharusnya sudah diceritakan pada para penatua sejak tiba di Sever.
Malam ini akan jadi malam yang panjang. Ya, sangat panjang.
Evez menuntun si iris mantis dengan hati yang tengah serapuh sebuah porselen untuk kembali ke kamar. Ketika Hira telah berbaring dengan nyaman, kisah pun berlabuh pada perhentian bagian awal. Destinasi pertama mereka, di mana semuanya bermula.
"Ada seorang musafir, Exazeth marganya. Apa kau tahu berapa usia avonturir itu?"
Mendapatkan gelengan, si pendongeng melanjutkan, dan pendengarnya tetap siap menjaga keheningan dari kumpulan pertanyaan. Hira tidak sekecil itu, dia tahu kapan harus bicara.
"Usianya hampir seribu enam ratus tahun kala itu," ia berhenti untuk menampakkan seringai, "jauh lebih tua dari kakekmu, Hira."
Evez melanjutkan kisahnya.
"Ialah seorang gadis yang manis dan polos. Keturunan klan naga yang agung, yang memiliki corak naga es-lambang keluarga Exazeth-di punggungnya yang mulus. Pergi untuk melihat dunia, ke mana pun, mencari apa pun. Jiwa pengembara itu haus akan pengetahuan. Kota demi kota, hutan dan sungai, gurun dan lembah, seluruhnya menyimpan langkah kaki sang musafir.
"Setiap ekspedisi membawanya pada dunia baru. Bersama ras-ras yang tak pernah ditemui, sang pengembara mencari jati diri. Kisah demi kisah membentuk tangga masa depan dan kepribadiannya, menganugerahi pemikiran dan kosakata luar biasa dalam tubuhnya yang tak kenal masa. Bejana dalam hati sang pengembara dipenuhi oleh cinta dan aroma dari pengalaman-pengalaman yang manis dan segar.
"Selama lima tahun lamanya, dia menjejakkan kaki ke segala penjuru untuk memuaskan dahaga, mencari dewasa. Hingga, pada suatu masa, firasat sang pengembara menjerit. Ada sesuatu yang salah yang terjadi. Di ulang tahunnya yang ke seribu enam ratus, anting-anting dan liontin pemberian sang ibu yang menggantung di tubuh itu pun seakan membawa kemungkinan pada peristiwa-peristiwa buruk. Itu bukan penenang yang baik saat kau dalam masalah, tentunya.
"Tanda lahir yang terukir di punggungnya memberi rasa membakar yang hebat. Lalu, ukiran alam itu berangsur-angsur menghilang. Aku yakin, kalau kau dalam posisi itu, rasa khawatir luar biasa akan memenuhi dadamu, Hira.
"Dengan perasaan aneh yang membludak dalam dada, sang pengembara memutuskan untuk pulang, kembali ke tanah kelahirannya.
"Dan, yang didapati gadis itu hanyalah tanah lapang yang gersang. Tidak ada lagi aroma menenangkan dari rumput-rumput dan tumbuhan yang mengakar dan merangkul rumahnya. Tak ada lagi keluarga-keluarga yang dia sayangi. Tak ada lagi ibu, ayah, saudara, sahabat-sahabatnya, para tetua yang dia cintai. Dia sempat berpikir, semua ini hanya ilusi. Para naga yang mencintai sang pengembara hanya sedang bersandiwara, menipunya untuk merayakan perulangan tahun yang genap seribu enam ratus itu dengan meriah.
"Sang pengembara menungggu, mengunggu hingga berhari-hari lamanya. Sayang, tak ada yang terjadi.
"Semua itu lenyap secara nyata, tak bersisa. Tak ada lagi orang yang bisa memanggil namanya. Kau paham perasaan itu, Hira. Kau paham. Rasa ketika kehilangan segalanya, dan kau ditinggal sendirian. Bahkan sampai dunia seakan tak memihakmu.
"Begitulah perasaan sang pengembara. Sakit, sendirian, lelah, marah, sedih. Semuanya bercampur menjadi satu. Hanya penyesalan yang tersisa dalam rongga dada.
"'Kenapa aku harus pergi? Kenapa aku ditinggal sendiri? Harusnya aku juga ikut lenyap bersama semuanya.' Begitulah isi benaknya saat itu. Usia sang pengembara bahkan masih terbilang muda di kalangan kaumnya. Meski tubuhnya serupa dengan gadis yang hampir menginjak dewasa, usia yang disandang orang itu tetap hanya seujung jari. Anak sekecil itu, harus merelakan segala miliknya direnggut habis-habisan. Begitu miris.
"Klan naga bisa hidup hingga belasan ribu tahun. Menyaksikan semuanya mendadak raib dalam kurun waktu lima tahun yang pendek tentu sangat membingungkan. Sejarah panjang itu terputus. Siapa yang bisa melakukan ini? Tidak ada yang tahu.
"Ia sempat berpikir, apakah penjelajahannya selama ini adalah hasil hipnotis? Mungkin saja, seluruh keluarga pengembara itu telah mendapat firasat buruk, dan memberinya keinginan semu untuk menjelajahi daratan agar tetap aman.
"Yang tersisa padanya hanya memori, serta liontin pemberian sang ibu. Anugerah terakhirnya hanyalah bisikan dari seseorang yang menghadirkan eksistensi gadis itu ke dunia. Suara lembut yang akan menuntun sang pengembara dalam setiap langkah yang membuatnya ragu.
"Sayangnya, musafir itu bahkan sangsi, apakah itu sungguh suara sang ibu, atau hanya bayang-bayang kerinduan yang melekat padanya? Bisa jadi, semua itu hanya ilusi.
"Namun, sang pengembara memilih untuk percaya. Mengingat dalam percakapan terakhir mereka, sang ibu berpesan: 'Aku akan selalu bersamamu, dan kau akan tahu itu meski aku telah mati. Setiap kali kau mengijak papan yang salah, hatimu akan berbisik, "Berhentilah, berbaliklah. Jalanmu salah ... dan kau harus pulang." Aku akan menjadi suara itu, anakku. Sampai kau mendengar tuntunannya, aku tidak akan mati."'
"Itu manis sekaligus menyakitkan. Tidakkah begitu, Hira?"
Evez berhenti sejenak. Dia mengambil napas, untuk menahan kristalnya sendiri. Hanya untuk mendapati, Hira memandangnya dengan penuh air mata yang meleleh seperti anak sungai.
Dengan senyum menenangkan, sang pendongeng kembali melanjutkan kisah.
"Setelah hampir genap setengah tahun berkabung tanpa pegangan, sang pengembara mulai melarikan diri, dan bergantung sementara pada masyarakat dari kota ke kota, hingga akhirnya mau menetap. Di sebuah kota yang menjadi pusat negara kecil, dia bertemu dengan seorang sahabat. Seorang keturunan bangsawan yang menjadi pilar kekaisaran.
"Tahun lainnya berlalu. Sang musafir muda mendapat kabar menyedihkan. Empat kota singgahan lamanya lenyap menjadi debu dan rata dengan tanah. Dia kembali kehilangan.
"Beberapa pesan terakhir dari kenalannya yang kini lah lenyap menyuarakan akhir yang sama. Larilah.
"Dia tahu, dia dikejar. Dia diburu. Ada hal mengerikan yang mengancam dunianya, dan orang-orang sedang berusaha melindungi diri sang musafir. Karena itu, rasa bersalah makin melubangi hatinya, menciptakan sarang baru untuk ditinggali selama bertahun-tahun ke depan.
"Saat itu, sang pengembara berpikiran pendek. Haruskah ia menyerahkan diri? Atau mungkin, melenyapkan nyawanya sendiri?
"Tapi, bisikan lembut itu kembali menyelamatkan sang pengembara. Dia mengikuti nalurinya, memilih untuk lari. Menyembunyikan diri dalam identitas lain. Berlari dari kota ke kota, hutan ke hutan, lembah ke lembah untuk mencari keselamatan dengan rupa dan nama berbeda.
"Semua kenalan lama pengembara itu kehilangan jejak, dan mengiranya telah mati. Tidak ada yang tahu siapa pengejarnya, atau di mana gadis itu kini. Mereka hanya tahu, kalau dia masih hidup, usianya akan hampir mencapai tujuh belas tahun dalam kalender manusia.
"Tapi, sang pengembara memang masih hidup di luar sana. Bersembunyi, sambil menanti luka-luka dalam hatinya pulih. Bersembunyi, sembari menanti seseorang untuk datang menemukannya dan memberi jawaban.
"Hingga tiba waktunya tiba, dia harus siap untuk pergi."
Evez mengakhiri dongeng panjangnya, menghapus air mata Hira, kemudian mengelus surai anak itu.
"Pengembara itu ... kau, kan, Evez?" Hira berbisik pelan.
Yang ditanyai hanya tersenyum tipis.
"Kau anak yang pintar." Hanya itu jawabannya. Tidak panjang lebar, tapi Hira paham bahwa pendapatnya benar.
Air mata gadis kecil itu jatuh semakin deras. Dia sesenggukan.
"Kau bisa melihat tanda di punggungku. Ini konsekuensi dari lahir sebagai keturunan klan naga."
"Kenapa kau tidak pernah menceritakan itu sebelumnya? Tentang seberapa berat takdir yang kau pikul ... kisahmu bahkan lebih menyedihkan dari milikku, Evez. Itu sangat tragis. Kenapa kau tidak pernah bilang jika sebagian dongengmu itu nyata? Semua cerita itu adalah kepingan dari hidupmu ...."
"Karena aku orang dewasa. Orang dewasa harus bisa menanggung semuanya sendiri, Hira. Dunia ini bukan lagi tempat kami untuk menadah bantuan."
Hira terisak. Evez tersenyum semakin lebar. Malam ini, dia akan menjawab semua pertanyaan gadisnya, bahkan hingga pagi. Ini malam terakhir mereka, dan Hira pantas untuk mendapatkan itu. Hanya namanya, yang tidak akan pernah bergaung lagi di peta-peta dunia, bahkan untuk Hira.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top