Keping 5. Forget Me Not

"The blue and bright-eyed floweret of the brook, Hope's gentle gem, the sweet Forget-me-not."

- Samuel Taylor Coleridge

"Hari-harimu membosankan?"

"Say no more! Karena LTV akan menemanimu setiap saat."

"Dengan tayangan-tayangan yang beda, segar, memikat!"

"Untuk mengawali harimu, di pagi hari, akan ada Mari Berkicau, sebuah tayangan yang memadukan berita, gosip, dan info-info menarik...."

Jagad berdiri di sana, menonton dengan segelas kopi di tangan dan mac di tangan yang lain. Seseorang menawarkan diri untuk memegangi kopi yang baru seteguk ia minum itu dan Jagad dengan senang hati memberikannya. Ekspresinya masih skeptis.

LTV adalah stasiun TV yang ia bangun dengan tangan sendiri lima tahun lalu, setelah perusahaan penyiaran ayahnya yang sebelumnya berpindah hak milik pada orang lain. L untuk Liana, almarhumah ibunya. Jagad mendesah, apa yang ibunya pikirkan jika melihatnya sekarang? Senangkah? Sedihkah? Apakah ibunya akan setuju pada keputusannya menikahi seorang wanita demi perusahaan ini?

"Untukmu saja, kalau mau," katanya setelah beberapa waktu. Kopinya agak... kurang pas. Jagad bisa mendapat yang lebih baik di rumah.

"Oh, terimakasih... Pak."

"Segini saja?"

"Ya?" Pria itu mengurungkan diri meminum kopi di tangannya demi menatap sang bos. Perlu beberapa detik baginya untuk mencerna maksud pertanyaan itu, jelas dari ekspresinya.

Jagad menghela napas dan membuka mulut lagi. "Iklannya. Seperti ini saja?"

Mereka sedang syuting saat itu, membuat tayangan iklan untuk setiap program yang mereka miliki. Iklan ini, otomatis, akan sering ditayangkan. Dan dari wajahnya, Jagad tidak tampak terkesan sama sekali dengan dua orang di sana, bermain-main dengan berbagai properti dan mencoba membuatnya terlihat semenarik mungkin.

"Oh itu... E-enggak, Pak!" Anton, seperti yang tertera di name tag-nya, buru-buru menjelaskan. "Kita nanti akan menggunakan edit dan efek-efek 3D maupun 4dD yang canggih. Juga, kita sedang menunggu model utamanya, Pak. Penyanyi go internasional itu! Sangat sulit untuk mengontraknya."

"Penyanyi ... apa?"

Ia menoleh, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan. Serta penasaran.

"Yup," Anton mengacungkan dua jempol, lalu cepat-cepat menurunkannya begitu menyadari ia sudah bertindak sok akrab. "Sangat cantik."

"Sudah disetujui?"

Jagad tidak ingat pernah menandatangani izin kontrak sedemikian, tapi kadang, ia memang mempercayakan beberapa hal detail pada sejumlah kecil bawahan kepercayaannya.

"Ya . Pak Alex sudah setuju."

"Siapa─"

Pertanyaan itu menggantung di udara, terlupakan. Jerit getaran ponsel yang berasal dari saku celana Jagad memaksa pria itu untuk segera mengangkatnya bahkan tanpa melihat ID si pemanggil. Jagad sedikit menyesali keputusannya begitu suara oktaf penuh falseto di ujung sana berbicara (atau itu berteriak?) terlalu nyaring untuk kesehatan telinganya.

"Mbak, please. Aku sedang di kantor." Ia berdehem, mencoba tetap terlihat cool di hadapan seluruh karyawan yang ia tahu diam-diam sedang mengawasinya.

"Emang gue peduli," jawab suara di seberang sana, terdengar nyaris dan jelas meski tanpa menghidupkan speaker. "Toh, kalau lagi nggak di kantor, kamu juga nggak bakal mau ngangkat telpon Mbak."

Jagad menghela napas kalah. "Oke. Jadi Mbak maunya apa nelpon ke sini?"

"Jangan bilang kamu lupa! Besok, makan malam di rumah Bude Nani. Jangan sampai terlambat!"

"Mbak, besok aku-"

"Tidak ada tapi, Jagad. Kemarin waktu ulang tahun Rayyan kamu juga nggak bisa datang. Dan biar Mbak ingetin lagi, Bude Nani ini jauh lebih galak daripada Rayyan."

Di situ, Jagad menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Ia tidak perlu diingatkan. Rayyan baru berulang tahun yang ke-5 kemarin, sementara Bude Nani? Yang ke-55 beberapa bulan lalu. Rayyan baru lancar berbicara, sementara Bude Nani selalu mengkritik segala hal dengan pedasnya. Jagad tidak menyukainya, tidak pernah. Dan ia selalu membuat komentar buruk tentang ketidakmampuan istrinya berbicara di depan Ayla sendiri. Seolah-olah wanita itu tidak dapat memahami ucapannya.

"Oke, akan kuusahakan." Tidak ada yang lebih baik untuk menutup mulut cerewet kakaknya itu selain kalimat barusan, meskipun Jagad tidak berjanji ia akan menepatinya.

Ia menyimpan ponselnya kembali ke saku, berniat kembali ke kantornya saat keributan lain terjadi. Semua kru yang tadinya sibuk menata berbagai hal dan mondar-mandir ke sana kemari, sekarang bertambah sibuk. Seseorang berjalan melewati pintu dengan langkah anggun, dan Jagad tidak bisa lebih mengutuki peruntungannya daripada sekarang.

Kenapa harus dia?

"Oh dia datang!" Anton berseru, seraya dengan gesit menghampiri wanita itu dan menyalaminya, sebelum kembali ke Jagad. "Ini Vianca Ayu Schwarz, Pak Jagad. Model kita. Di Prancis dan berbagai negara Eropa sana, beliau ini sangat terkenal. Kami merasa beruntung sekali dapat bekerjasama dengannya." Kemudian, pada Vianca, ia tersenyum lebih lebar. "We are so glad to be able to work together with you."

"Nggak masalah," jawab wanita itu dalam bahasa Indonesia yang lancar, mengagetkan Anton yang menjelaskan pada Jagad barusan.

"Senang dapat bekerja sama dengan kalian," tambahnya, senyum lebar berbingkai bibir semerah cherry yang pas, yang memporak-porandakan hati banyak kaum Adam. Ia menunjukkan senyum itu hanya pada satu orang, pada pria yang sekarang ia ulurkan tangannya untuk dijabat. "Senang bekerja sama dengan Anda, Pak Jagad," ujarnya, dengan humor pada embel-embel 'pak'.

Jagad hanya tersenyum, nyaris masam, dan menjabat tangannya hanya karena formalitas. "Senang bekerjasama denganmu."

Yang ia sadari setelahnya, bahwa wanita itu menggenggam tangannya lebih lama dari seharusnya.

***

Pagi telah merangkak lebih tinggi dari biasanya ketika Ayla memarkirkan sepedanya di sudut toko, di bawah pohon mangga apel yang menaungi pelataran. Mungkin terik pagi itu. Mungkin kemacetan begitu ia keluar kompleks perumahan elit (dan sepi, kalau boleh ditambahkan) yang ia tempati menuju toko bunga ini. Atau mungkin jumlah bunga yang lebih banyak dari biasanya ketika ia memetiknya tadi. Entah, mungkin perpaduan semuanya yang menyebabkan Ayla harus menopangkan diri pada pokok mangga apel di sampingnya agar tidak jatuh.

Kepalanya berdenyut dan pandangannya buram.

Seandainya ia sedang di rumah, ada kotak obat berisi obat sakit kepala yang biasanya akan berguna meredakan pusing seperti ini. Tapi sekarang ia dua kilometer jauhnya dan sandarannya satu-satunya adalah pohon ini.

"Ayla?"

Ayla terhenti, ia baru saja mengeratkan genggaman pada rangkaian besar bunga mawar kuning dan merah muda di sela-sela taburan kecil forget-me-not di tangannya, nyaris melayangkan tangkai-tangkai berduri itu pada siapapun yang telah menyentuh kedua pundaknya dengan tiba-tiba. Jika saja pandangannya tidak menjernih dan wajah yang muncul di pandangan tidak terkesan familiar.

Ia mengerutkan alis. Orang ini... siapa, kira-kira?

Kemudian ia sadar bahwa ia membebankan separuh tubuhnya pada orang itu. Mungkin orang ini hanya ingin menolongnya. Mungkin jika tidak ada orang ini, ia sudah jatuh tadi.

"Ayla, kan?"

Pia itu bertanya lagi. Ayla membaca gerak bibirnya dan ya, ia cukup yakin pria ini tadi menyebut namanya. Ia tidak terlihat jahat sama sekali, justru, wajahnya ramah, dan senyumnya semakin menegaskan hal itu. Ayla serta merta menurunkan buket besar yang ia pegang erat-erat, meski tidak berusaha menutupi kebingungan di wajahnya.

Seperti dapat membaca kebingungan wanita itu, pria itu melanjutkannya. "Aku Rayhan," ia merogoh sakunya selama beberapa saat untuk sebuah dompet dan mengulurkan kartu nama. Ayla menelitinya. Seorang Advokat.

"Kita pernah ketemu beberapa kali, rasanya. Di acara ayah kamu, dan pesta pernikahan kamu sama Jagad."

Ayla hanya terdiam.

"Yang kesenggol kue waktu itu sampai jasnya belepotan, ingat?"

Ketika senyum mengembang di wajah wanita itu dengan sendirinya, mengingat kejadian konyol yang sempat menjadi highlight pernikahannya tiga waktu lalu, Rayhan diam-diam menghela napas lega. Ia baru saja lolos dari potensi mempermalukan diri sendiri.

Ayla tidak mengenalnya secara langsung, memang. Tapi ia melihat bagaimana pria ini dapat mengobrol akrab dengan Jagad waktu itu.

Kamu... kenal suami saya? Ia bertanya dengan gerakan tangan, merapatkan keempat jarinya dan mengetuk-ngetukkan di kening, lalu memetik jarinya di atas kepala dan menangkupkan kedua tangan. Gerakan-gerakan lugas yang disambut kerut di kening pria itu.

Oh, tentu saja! Ayla menepuk keningnya, terkekeh kecil sebelum mengeluarkan sebuah buku tulis kecil beserta pulpen.

Kamu kenal Jagad? Ia menulis.

"Ah ya, dia teman kuliah." Pria itu ikut terkekeh. Kemudian, sepertinya satu kesadaran menyentaknya sehingga ia membulatkan mata. Ia meraih catatan Ayla, kemudian menulis hal yang sama dengan yang ia katakan tadi. Tulisannya besar-besar memenuhi seluruh kertas, dan nyaris tidak bisa dibaca. Membuat Ayla mengernyit di balik senyumannya.

Kamu nggak perlu nulis, kok. Ayla menulis lagi, setengah karena tidak ingin pria di depannya ini kerepotan, setengahnya karena ia tidak tega dengan buku catatannya yang lecek seketika. Aku bisa baca gerak bibir.

"Oh." Selama beberapa saat, Rayhan membiarkan mulutnya terbuka demikian, sebelum akhirnya ia berhasil mengumpulkan kesadaran atas tindakan bodohnya. "Ah ya, jadi kami temenan sudah cukup lama. Dan secara darah, kami juga adalah sepupu, walaupun cuma sepupu dua kali."

Ayla tersenyum. Ia menghargai cara bagaimana pria itu tetap berusaha membuat percakapan berlangsung, meskipun ia sempat menggaruk punggung lehernya menunjukkan bahwa bukan hanya Ayla sendiri yang merasa canggung. Rayhan memperhatikan sekeliling. Pada dua orang karyawan yang tengah memindahkan pot-pot bunga ke teras, tulisan open yang tergantung di pintu kaca dan satu-dua pelanggan yang telah berada di dalam toko, melihat-lihat bunga. "Omong-omong kamu nggak papa?"

Nggak papa. Pusing aja tadi.

"Kamu mau kubelikan obat?"

Dengan cepat, Ayla menggeleng. Hal terakhir yang ia inginkan adalah merepotkan orang lain. Lagi pula, mungkin saja Rayhan sedang buru-buru. Ia tidak ingin mengganggunya.

Sudah nggak apa-apa, kok.

"Kamu yakin?"

Keras kepala, ia berkata dengan gerakan tangan, meletakkan ibu jarinya di ujung dahi sementara empat jari lainnya ia lekukkan ke bawah dua kali.

"Apa? Kamu tadi bilang apa?"

Ayla mengendik. Ia berusaha bersikap seolah yang ia ucapkan tadi bukan apa-apa, namun ekspresi mau tertawanya mengkhianati itu.

"Ngeledek, ya?" Nada yang digunakan Rayhan mengancam, namun senyum lebar terukir di bibirnya. "Terus, kamu ngapain di sini?"

Wanita itu mengangkat ikatan besar bunga-bunga di pelukannya lagi dan memberikan pria itu senyum terhibur. Ia berjalan mendekati salah seorang karyawan yang menerima bunga-bunganya.

Ayla menyapukan telapak tangannya di sisi rok panjangnya dan terburu menghampiri Rayhan lagi. Satu kalimat telah tertulis di catatan yang ia sodorkan pada pria itu.

Saya biasanya jual bunga-bunga saya ke sini, daripada layu sendiri. Dan begitu Rayhan membacanya sambil mengangguk-angguk, wanita itu membalik halaman pada lembaran kosong yang baru dan mulai menambahkan tulisan. Seharusnya saya yang tanya kamu lagi apa?

Rayhan tidak bersegera menjawab. Ia mengedikkan dagunya pada pelang kayu yang tertempel di atas kusen pintu. Moon Flowers. Sebuah toko bunga. Yang tertua di daerah itu.

"Toko ini punya temenku. Punya orangtuanya sih, tapi nanti juga jatuh ke tangannya, karena dia anak pertama dan satu-satunya cewek juga." Ia menatap Ayla, menyaksikan wanita itu menyimaknya dengan antusias. "Namanya Galuh, pengacara juga. Tapi ... tahu apa yang lucu?"

Ayla menggeleng. Dan Rayhan menggunakan waktunya untuk tertawa sebentar. Karena ... bagaimana bisa ekspresi penasaran wanita itu begitu lucu? Dengan mata yang membola.

Apa? Ayla mendesak, dua tangannya diangkat setinggi dada dengan bahu yang digendik.

Rayhan mengatupkan bibir menahan tawa, membuatnya tersenyum. Ia memberi jeda yang cukup, mendramatisir kalimat yang akan ia ucapkan berikutnya. "Dia alergi bunga," lepasnya, akhirnya.

Ia sedang menunggu reaksi Ayla ketika punggungnya dipukul dengan kasar, membuatnya nyaris oleng. Seorang wanita berdiri di sana, dengan masker begitu rapat menutupi sebagian wajahnya. Mau tidak mau, pemandangan itu membuat tawa Rayhan pecah lagi.

"Barusan gue bersin. Lo pasti ngomongin gue!" tuduh wanita itu. Ayla tersenyum, tahu bahwa wanita itu sedang bicara dari kedut-kedut gerakan dibalik masker. Ia tidak bisa menebak apa kalimatnya, tentu saja.

"Nggak, Nyonya! Lo sih lama."

"Yaudah buruan, jangan ketawa-tawa aja, keburu saksinya kabur."

Pada Ayla, Rayhan berbalik, menyempatkan lagi satu senyuman di bibirnya. "Duluan ya, Ay. Kamu ke sini tiap Sabtu?"

Ketika Ayla mengangguk, senyumnya melebar. "Bagus, deh. Sampai jumpa, kalau gitu."

Kemudian, masih dengan senyum yang ia pertahankan, jemarinya telah bergerak, mencuri setangkai bunga biru kecil dari buket Ayla, ia membawanya ke hidung, lalu mengerling. "Forget-me-not, right? Akan kusimpan satu sebagai kenangan pertemuan kita. My name is Rayhan. Forget me not, Ayla."

Ia tidak mengenal pria ini sebelumnya, tidak berteman. Ini adalah pertemuan pribadi pertama. Namun, ketika Rayhan melambai padanya, dengan senyumnya yang mudah dan pembawaannya yang menyenangkan, Ayla tidak bisa untuk tidak membalas lambaiannya.

Sepertinya ... ia bisa berteman baik dengan orang ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top