Keping 2: Sugar
"I could not tell you if I loved you the first moment I saw you, or if it was the second or third or fourth. But I remember the first moment I looked at you walking toward me and realized that somehow the rest of the world seemed to vanish when I was with you."
― Cassandra Clare, Clockwork Prince
Suara TV yang menayangkan film tengah malam terdengar nyaring begitu Jagad menyelipkan diri masuk di balik pintu pada jam satu dini hari. Ia melepas kedua sepatunya dan menaruhnya di rak, lalu berjalan ke ruang tengah sambil melonggarkan dasi. Penat, sahabatnya sehari-hari setiap pulang. Biasanya, ia akan ada di sana setiap Jagad pulang, menawarkan kopi dan makan malam. Tapi malam ini, sudah terlalu larut untuk mengharapkan beberapa suap makanan tambahan.
Sigh, siapa suruh ia harus sibuk mengobrol kesana-kemari dan lupa mengisi perut sendiri. Dan sedikit lobster yang ia cicipi beberapa jam lalu sebagai makan malam singkat benar-benar tidak membantu sekarang.
Seiring Jagad yang membawa kakinya berderap pelan melewati ruang tamu, dugaannya terbukti nyaris benar. Wanita itu telah tertidur, namun bukan di kamar yang mereka tempati melainkan di sofa, bergelung dengan selimut tipis dan TV yang masih menyala. Wanita itu pasti tidak menyadari seberapa keras volumenya saat ini. Ia mengambil remote untuk mematikan TV kemudian menatap wanita itu. Apakah ia harus membangunkannya ataukah ia gendong saja?
Jawaban itu datang lebih cepat dari yang Jagad kira. Ketika Jagad hanya berdiri di sana, termangu, wanita itu merasakan kehadirannya dan menggeliat pelan. Beberapa detik, dan ia kemudian cepat-cepat bangkit duduk.
Selamat datang, sapanya dengan jari-jari yang bergerak asal, mengantuk. Matanya bahkan hampir tidak terbuka sama sekali. Jagad tertawa dalam hati.
Apa kamu mau kopi─
"Nggak," ia akhirnya terkekeh, menurunkan jemari kurus kecil itu lagi. "Nggak perlu. Ini sudah malam banget. Saya langsung mandi aja bentar. Kamu tidur di atas, ya."
Ayla mengangguk dan membiarkan suaminya itu menaiki tangga lebih dulu. Ia hanya duduk di sana, mengerjap-ngerjap demi mengumpulkan nyawa dengan tangan memegang perut. Astaga, ia melewatkan makan malam lagi karena ketiduran menunggu Jagad, dan sekarang perutnya bergolak lapar. Beranjak ke dapur, ia membuat setumpuk roti isi dengan selai cokelat seadanya dan memutuskan membuat setangkup lagi untuk Jagad. Dan tidak lupa secangkir... teh. Suaminya perlu tidur.
Ia meletakkan baki berisi makanan tersebut di meja nakas sementara Jagad masih di kamar mandi. Kemeja berbau keringat dan sedikit alkohol terserak di atas tempat tidur. Ayla cepat-cepat memungutnya untuk dikumpulkan di keranjang cucian kotor, lalu ia menggigit bibir ketika gagal memutuskan apakah ia harus mengganti sprei tempat tidur atau tidak.
Bagaimana jika bekas keringatnya menempel dan itu membuat suaminya tidak dapat tidur nyenyak? Tapi ia baru menggantinya tadi sore. Tidakkah itu boros? Mana yang akan lebih disukai Jagad?
Karena sesungguhnya, ia hanya ingin... hanya ingin melihat senyum itu lagi. Senyum lebar yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali.
Wanita itu mendesah seraya mendudukkan diri di sisi tempat tidur. Sudah tiga tahun. Pernikahannya. Dan ia masih mengingat dimana awalannya.
***
"Ayla, pian handak dinikahkan dengan Jagad. Jagad yang itu, yang dulu, lagi halus suah bemalam ke sini seminggu lebih, bemainan lawan pian saban hari. Ingat?" (Ayla, kamu hendak dinikahkan dengan Jagad, Jagad yang itu, yang dulu, waktu kecil pernah menginap ke sini seminggu lebih, bermain sama kamu tiap hari. Ingat?) ujar ayahnya dengan tatapan menggoda.
Mereka sedang makan malam, dan Ayla tahu-tahu menemukan seluruh organnya turun ke perut. Ia tidak lagi lapar, hanya mencengkeram sendok dan garpu kuat-kuat karena... benarkah yang bibir ayahnya baru saja sampaikan? "Pian ingat, kah? Yang fotonya pian ragap saban handak guring itu. (Yang fotonya kamu peluk tiap mau tidur) Dia akan jadi suami pian."
Dengan wajah memerah hebat, Ayla memberikan ayahnya tatap jengkel terbaiknya lalu segera melarikan diri, kembali ke kamar. Berada di sana sedetik saja lebih lama, ia tidak tahu akan semerah apa wajahnya menjadi. Dan akan sekacau apa detak jantungnya. Karena sekarang ia sudah begitu berantakan. Berdetak begitu keras seperti akan menerobos rusuknya.
Malam itu Ayla tidak bisa tidur. Dengan gelisah ia menghadap kiri dan kanan, telentang, tengkurap, bergulung, menendang selimut dan berbagai upaya mencari posisi nyaman. Ia mengatupkan kelopak mata namun tetap, apa yang berputar di pikirannya telah mengusir semua rasa kantuk. Ia melarikan jemari ke dadanya dan menyadari, jantungnya masih berdebar oleh nama itu.
Jagad Abinawa. Jagad... Jagad dan nama itu berulang-ulang memenuhi pikirannya. Ia ingat Jagad. Ia mengenalnya dan mengkilas memori tentangnya semudah membalik telapak tangan. Remaja ramping yang satu kepala lebih tinggi dari anak seusianya pada umur lima belas. Ayla tiga belas, waktu itu, pemalu dan tidak memiliki teman. Wanita itu memutuskan untuk tidak melanjutkan ke sekolah formal, tidak setelah selalu mendapat bully dari teman-teman sekelasnya semasa sekolah dasar. Jadi ketika Jagad muncul di depan pintu, tinggi dan tampan, dengan setangkai mawar di tangan dan senyum lebar yang menggantikan matahari pagi itu, Ayla tidak dapat menahan diri untuk tidak menemukan cinta pertamanya saat itu juga. Di detik yang sama, tempat yang sama.
Bahkan setelah sepuluh tahun, perasaan itu tidak memudar, tidak pernah. Jagad adalah yang pertama dan satu-satunya pria yang membuat jantungnya berdebar. Walaupun mereka hanya pernah menghabiskan sepuluh hari bersama. Walaupun kekhawatiran tentang reaksi pria itu ketika bertemu dengannya lagi membuat Ayla merasa ingin muntah, tapi ia tetap tidak bisa memusnahkan senyum dari wajahnya. Sepanjang malam.
Karena ia akan bertemu dengan pangerannya. Akhirnya.
Senyum itu bertahan berhari-hari hingga hari ketika ia akan bertemu Jagad lagi untuk pertama kali. Kegugupannya yang lebih hebat dari biasanya sangat bisa dimengerti, ini Jagad, dari semua orang! Ia memilih meja di dekat jendela di mana sinar matahari menyiram dengan banyaknya dan menghangatkan diri di sana, dengan secangkir cokelat panas yang ia pesan kemudian, ia melingkarkan jemari di pinggiran mug, berusaha menyingkirkan dingin dan gemetaran gugup dari ujung-ujung jarinya. Hampir satu jam. Namun, ketika pria itu datang, ia tetap tidak merasa siap.
Ia berbalik, menyaksikan kembali Jagad dari ingatannya, yang sekarang bertransformasi. Jagad yang sekarang lebih tinggi dari yang ia ingat, tubuh kurusnya menghilang digantikan sepasang lengan kokoh dan tubuh tegap yang bahkan kemeja abu-abu miliknya tak mampu tutupi. Rambutnya hitam, sedikit undercut dan disisir bergaya ke belakang, memamerkan dahi. Rahangnya menjadi lebih tegas. Namun,, matanya yang sayu, hidungnya yang lurus, alisnya yang seolah mengernyit setiap waktu dan telinganya yang lebih lebar dari siapa pun yang pernah Ayla temui masih Jagad yang sama. Dan wanita itu membiarkan senyum terbentuk di bibirnya tanpa usaha, meski otaknya beku dan ia tidak dapat berpikir apa-apa.
Dia tidak dapat menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada pria ini, lagi. Dan lagi. Dan lagi. Mungkin karena senyumnya? Mungkin karena telinganya yang seperti peri? Mungkin karena penampilannya yang meneriakkan kata 'sempurna' secara lantang? Atau mungkin hanya karena ia Jagad. Jagad cinta pertamanya selama sepuluh tahun. Jagad yang membawakannya mawar dan tersenyum begitu lebar hingga Ayla lupa bernapas.
Mendadak Ayla lupa bagaimana cara agar jantung berfungsi dengan normal. Karena pria ini... adalah cinta pertamanya. Dan pria ini juga... mungkin... akan menjadi yang terakhir baginya.
Namun, begitu ia menyapanya, dengan jemari yang gemetaran hebat dan senyum yang mengandung harapan, ia melihat pada keterkejutan di wajah pria itu. Bagaimana kali ini Jagad tersenyum tidak selebar waktu itu, bahkan tidak mencapai setengahnya. Matanya menatap Ayla aneh. Asing.
Seketika itu juga senyum wanita itu jatuh. Begitu pun hatinya. Ia penasaran, seandainya ia dapat mendengar, apakah ia dapat mendengar hatinya sendiri patah menjadi ribuan keping sekarang? Karena itulah yang terjadi.
Jagad tidak mengingatnya.
***
Jagad dapat mendengarnya dengan jelas meski disamarkan suara guyuran shower. Lagu lama, Sugar dari Maroon 5 sedang diputar dengan keras, dan lagu yang sama telah diputar untuk kali ketiga sekarang. Begitu ia mematikan shower, alunan itu membuatnya merasa seperti sedang berada di sebuah konser. Dia mengambil dua handuk, melingkarkan salah satunya di pinggang dan yang lainnya untuk mengeringkan rambut sebelum berjalan keluar kamar mandi, secara tidak sadar menyenandungkan irama lagu kesukaannya yang sedang diputar itu.
Dia sudah menduganya. Momen ketika ia menginjakkan kaki keluar dari kamar mandi, suara itu menjadi berkali lipat lebih keras. Nyaris memekakkan telinga saat ia berjalan ke sisi tempat tidur untuk mengambil ipodnya dan mematikan speaker. Ia mungkin tidak akan terlalu keberatan, tapi ia yakin jika tetangga mendengarnya mereka akan berkata lain. Sekarang sudah lewat jam satu malam, omong-omong. Ia menoleh pada Ayla yang duduk di sana, matanya yang kecil dan sayu membulat lebar pada Jagad, bibir bawah ia gigit.
Apa aku memutar lagu yang salah? Ia bertanya, dengan menempelkan genggaman tangannya di dagu, ibu jari dan kelingking di kedua sisi, menyentuh ujung pipinya sebelum ia menjatuhkan tangan itu ke pangkuan bersamaan dengan pandangannya, seolah meneliti jemari-jemarinya yang saling beradu. Meski sesekali ia masih melirik pada Jagad seolah penasaran.
Jagad, di sisi lain, tidak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum. Ia berlutut di hadapan wanita itu hingga mereka berada di level pandang yang sama dan Ayla tidak lagi dapat melarikan diri dari tatapannya. Secara terang-terangan pria itu memiringkan kepalanya sedikit, menggodanya, menyebabkan rona merah di wajah wanita itu.
"Bagaimana kamu bisa tahu lagu favorit saya?" Ia bertanya, lambat, memastikan Ayla dapat membaca gerak bibirnya. Dan bukan favoritnya, sebenarnya. Hanya lagu yang terlalu sering diputar Rayyan jika ia tidak sengaja meletakkan ponsel sembarangan dan anak itu memungutnya.
Jagad sendiri tidak memiliki preferensi musik apapun. Ia bukan salah satu penikmat lagu.
Wanita itu menyembunyikan senyumnya beserta kedua pipi yang memerah dengan menunduk lebih dalam, namun ketika ia mengangkat wajahnya lagi demi menatap Jagad, usaha itu gagal sia-sia . Ia tidak dapat menghapus semburat di wajahnya.
Aku melihat di playlist-mu kamu sering memutar lagu ini.
Yang satu ini sulit diterjemahkan, dengan Ayla yang menunduk dan tangan yang nyaris tidak meninggalkan pangkuannya. Jagad tidak akan mengerti jika bukan karena jemari wanita itu yang menunjuk-nunjuk playlist di ponselnya.
"Kamu nggak perlu melakukannya," katanya lirih, tidak yakin apakah wanita itu bisa memahami apa yang ia katakan, sehingga ia kemudian meraih tangannya dan menawarkan senyum.
"Terimakasih."
Wanita itu menunduk lebih dalam namun gagal menyembunyikan rona merah di wajahnya. Jagad selalu beranggapan itu lucu, mengingatkannya pada kue-kue manis... sehingga ia menarik dagunya pelan untuk menatapnya.
Aku bikin sandwich dan teh, ujarnya lagi, berakhir dengan menunjuk piring di atas meja nakas. Namun, Jagad hanya menggeleng.
"Hmm nanti aja," gumamnya dan tanpa menunggu, menanamkan ciuman di bibir wanita itu. Sebuah ciuman lembut yang mencuri napas. Kemudian yang menuntut, yang membuat wanita itu melingkarkan kedua tangannya di belakang leher Jagad ketika ia merebahkannya ke tempat tidur. Menciumi bibirnya. Perpotongan lehernya. Pundaknya yang kehilangan penutup.
Dan di malam-malam seperti itu, ketika fisik menyatu, tawa kecil dibagi dan semuanya membaur, keduanya lupa terhadap dinding tak kasat mata di antara mereka. Entah hanya atas dasar kebutuhan primitif atau pelepasan penat. Ketika raga menyatakan butuh dan hati masa bodoh. Hanya pada saat-saat seperti itu, ketika mereka menjadi suami istri dalam makna sesungguhnya, semuanya terlihat baik-baik saja. Seolah-olah pernikahan mereka baik-baik saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top