Bab 8
Aroma pengharum ruangan tercium dari tangga. Diandra yang menggendong Keyano turun mendapati Tommy sudah bangun dan sedang mengepel lantai. Rupanya suaminya itu baru saja tersadar dari mabuk dan sedang membersihkan sisa muntah. Untunglah tidak mengenai sofa, kalau. tidak akan repot membersihkannya. Tommy mendongak dan senyum muncul di bibirnya. Diandra masih tidak terbiasa menerima keramahan dari suaminya.
"Hai, anak papa. Sudah bangun?"
Diandra tidak menjawab sapaan itu. Menyerahkan Keyano pada Tommy dan mengambil pengepel. "Aku yang ngepel. Kamu kurang bersih ngerjainnya."
"Terima kasih." Tommy menggendong Keyano dan menggelitik lehernya. Bayi itu tertawa gembira. "Selesai mengepel, sebaiknya kamu ganti pakaian. Kita pergi makan siang di rumah orang tuaku."
"Harus ikut?" tanya Diandra enggan. "Bisa nggak kamu dan Keyano saja yang pergi?"
Tommy menggeleng dengan wajah menyesal. "Sorry, nggak bisa. Kamu harus ikut karena Nenek yang memintamu datang. Lagi pula mereka mengadakan makan bersama untuk menjamu Hazel. Kamu pasti masih ingat dia bukan?"
Tentu saja Diandra ingat karena baru beberapa jam yang lalu Hazel berpamitan pulang. Namun, ia memilih untuk diam dan mendengarkan Tommy memberi penjelasan.
"Paling nggak, kita datang beberapa jam saja. Aku malas kalau dengerin Nenek mengomel."
Mau tidak mau Diandra pergi demi bertemu dengan Lestari. Kalau boleh memilih, ia lebih suka di rumah saja bersama Keyano dari pada berkumpul dengan anggota keluarga Tommy. Ia dan keluarga itu bagaikan minyak dan air yang tidak dapat bersatu. Memikirkan harus bersenda gurau, duduk termenung mendengarkan segala ocehan dengan beribu kesombongan membuatnya sakit kepala. Akhirnya, ia setuju untuk ikut setelah Lestari mengirim pesan yang mengharapkan kedatangannya.
Sesampainya di rumah mertuanya, Diandra merasa dirinya salah kostum saat melihat betapa cetar dan glamour pakaian dari penghuni rumah itu. Merry memakai gaun panjang kuning emas dengan sanggul tinggi, riasan lengkap dan tebal di wajah. Tania seperti biasa, glamour dan elegan dengan gaun mini merah. Sedangkan Tantri, memakai gaun pas tubuh sutra biru yang membuatnya terlihat seperti peri. Satu lagi kejutan adalah Gema, yang selama ini tidak terlihat karena sibuk berbisnis. Gema memakai gaun hitam berbelahan dada rendah. Diandra menatap dirinya yang memakai minidress batik dan make up tipis. Tidak menyangka kalau acara makan siang harus tampil begitu mewah dan glamour.
"Kak Tommy, lama nggak ketemu." Gema menyambut mereka di teras, memeluk Tommy dengan erat. Diandra bisa melihat kalau buah dada gadis itu menempel erat di dada Tommy. "Baru beberapa bulan nggak ketemu, tapi kayaknya ada yang beda."
"Beberapa bulan?" Tommy berujar bingung. "Bukannya sudah lama, ya?"
Gema tertawa riang, seolah mendengar Tommy mengatakan sesuatu yang lucu. "Baru beberapa bulan, Kak. Kita'kan pernah ketemu di klub beberapa kali."
"Oh, ya. Lupa."
Dengan senyum mengejek, Gema melirik ke arah Diandra yang sedang mencopot sepatu dan menggendong bayi di lengan. Penampilan istri Tommy yang sederhana terlalu menggelikan untuknya.
"Heh, lo! Nggak mau nyapa gue?"
Diandra mengabaikannya, tanpa menatap apalagi bicara, melewati Gema dan masuk ke ruang tamu. Terdengar desisan marah Gema di belakangnya.
"Kak, istrimu kenapa nggak ada sopan santun? Harusnya kamu ajari dia caranya sopan. Kalau perlu dipukul biar nurut."
"Kamu berlebihan sekali."
"Ini kenyataan, kok. Aku banyak dengar dari Tante, kalau istrimu bertingkah. Cuma karena dia merawat Keyano. Kak, kenapa nggak menggaji babysitter aja? Kamu bisa bebas dari pernikahan ini."
Tommy mendesah, menatap Gema sambil menggeleng. "Bisa nggak kamu pelankan suaramu. Ada Nenek dan Kakek, dan beliau berdua tidak tahu apa pun soal ini. Ingat, Gema. Jangan sekali-kali kamu keceplosan."
Gema mencebik tapi mengangguk dengan terpaksa. Menatap sengit pada Diandra yang sedang menyapa Lestari. Keyano digendong dan ditimang, dan tawa anak itu memenuhi ruangan. Merry sibuk menata meja makan, melirik masam pada Diandra karena berharap dibantu, tapi kali ini menantunya berpura-pura sibuk dengan Keyano dan si nenek. Mau tidak mau Merry mengerjakan semuanya sendiri ditemani pelayan.
Tantri muncul dan menyipit ke arah Diandra saat ia hendak membuat susu untuk Keyano. Diandra mengabaikannya, tapi gadis itu mendesis seperti ular padanya.
"Eh,lo, nggak tahu malu, ya? Datang ke rumah mertua malah ongkang-ongkang kaki. Harusnya lo bantuin mertua lo, tuh. Gimana, sih? Jadi menantu nggak tahu diri banget. Ingat, lo di sini bukan jadi tamu kehormatan. Kerja, doong!"
Diandra menakar susu, dan mencampur dengan air lalu menggoyangkan botol sebentar. Menekan botol sedikit dan dua tetes cairan mengenai punggung tangannya. Tidak terlalu panas, bisa langsung diminum. Ia bergegas meninggalkan dispenser dengan Tantri mengekor di belakangnya.
"Heh, budek lo ye. Dari tadi gue ngomong malah dicueki!"
Lestari yang mendengar teriakan cucunya bertanya heran. "Tantri ada apa teriak-teriak?"
Tantri menunjuk Diandra dengan kesal. "Itu, Nek. Ngeselin aja ini orang. Aku suruh dia bantu Mama tapi diam aja. Nggak jawab omonganku."
"Bantu mamamu ngapaian?"
"Siapin makananlah."
"Loh, ada kamu. Sana, kamu aja yang bantu. Diandra lagi suapi Keyano minum susu. Lagian mana bisa Keyano ditinggal, nanti nangis kalian juga nggak bisa tenangin."
Diandra tersenyum kecil mendengar pembelaan panjang lebar dari Lestari. Ia bukannya tidak tahu kalau Merry sedang kesulitan menata meja dan menyiapkan hidangan, hanya berpura-pura untuk tidak melihat. Kalau dirinya yag dulu, dengan senang hati akan menyingsingkan lengan baju untuk membantu. Tapi sekarang ia tidak ingin berbuat begitu lagi. Mereka bukan orang-orang yang paham berterima kasih, tidak peduli betapa lelah dirinya bekerja, akan selalu ada makian dan cacian. Diandra sedang tidak ingin dihina.
Tommy mengobrol dengan papa dan kakeknya di ruang tengah. Diandra duduk di samping Lestari di sofa ruang tamu, sedangkan Gema menghilang ke kamar Tania. Tantri dengan terpaksa membantu sang mama karena tidak ada yang tergerak untuk meluangkan tenaga.
Tamu yang mereka tunggu pun muncul, Hazel datang dalam balutan kemeja biru laut dan menyapa ramah. "Selamat siang semua." Matanya seketika terpaku pada Keyano yang dipangku oleh Diandra. Tanpa canggung menghampiri dan berjongkok di depan Diandra. "Hallo, anak tampan."
"Baru minum susu dia," ucap Diandra sambil tersenyum.
"Ah, pasti lagi kenyang banget. Boleh aku gendong?"
Diandra menyerahkan Keyano pada Hanzel, tepat saat Tania dan Gema muncul. Keduanya bertepuk tangan dengan ceria, seakan Hazel yang sedang menggendong Keyano adalah hal yang luar biasa.
"Kak Hazel, apa kabar?" sapa Tania dengan mata berbinar.
Hazel mengamati Tania lalu tersenyum. "Tania, aku sampai pangling sama kamu. Kabar baik semua?"
Tania menganggap kata-kata Hazel adalah pujian dan berkata malu-malu. "Iya, Kak. Kabar baik. Senang rasanya lihat Kakak di sini."
"Keyano lucu dan imut, ya?" puji Hazel.
"Memang, anak ini menggemaskan sekali," puji Tania. "Suka gemas pingin gendong dan meluk terus."
Diandra menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Seumur-umur tidak pernah melihat Tania menggendong Keyano, begitu pula Tantri. Keduanya merasa kalau bayi itu merepotkan terutama saat sedang menangis. Mendadak bersikap manis dan melontarkan pujian untuk Keyano, sungguh sebuah maksud yang sangat terlihat jelas.
Tommy muncul, menyapa Hazel dan keduanya membawa Keyano ke teras samping bersama Fakri. Tertinggal Diandra berdua dengan Lestari karena Tania secara otomatis akan mengikuti kemana pun Hazel pergi.
"Gimana kabar nenekmu?"
"Sehat, Nek. Sedang ada di rumah temannya. Katanya semingguan di sana."
"Wah, bagus itu. Sering jalan-jalan biar nggak bosan di rumah. Nenekmu itu pekerja keras sedari dulu, sudah tua memang seharusnya bersenang-senang."
Memang itu yang paling diharapkan Diandra, melihat neneknya bahagia. Ia rela berbohong soal Keyano, bersikap seolah pernikahannya baik-baik saja agar neneknya tenang. Sama seperti yang dilakukannya pad Lestari.
Merry memberitahu kalau makanan sudah siap dan meminta semua orang untuk berkumpul. Lestari meminta Keyano diasuh sebentar oleh pelayan agar Diandra bisa makan bersama mereka. Meskipun mendapat tatapan tajam dari Merry tapi Diandra tidak peduli. Duduk di samping Lestari dan Tommy. Mengambil makanan dengan tenang, sementara orang-orang mengobrol di sekitarnya.
Diandra mengerti kenapa Merry terlihat memusuhinya. Tentunya berharap ia yang melayani mereka. Sayangnya, ia sedang lapar dan malas untuk bekerja. Tidak peduli bagaimana pandangan Merry, ia menunduk di atas piringnya dan berusaha menikmati makanan.
"Jangan malu-malu makanya. Aku sengaja pesan dari restoran ternama. Cuma beberapa saja yang dimasak langsung. Maklum, beberapa orang kayaknya belum pernah makan enak dari restoran ini," ucap Merry berisi sindiran halus untuk Diandra. Sayangnya yang menjawab justru Hazel.
"Wah, Tante tahu aja aku belum pernah makan dari restoran ini. Sepertinya enak, khas daerah kita ini."
"Hazel, makan yang banyak. Jangan malu-malu." Merry duduk dengan cemberut, karena Diandra sama sekali tidak merespon perkataannya.
"Kak Hazel, kapan-kapan ajak aku liburan. Aku juga pingin ke USA," ujar Tania. Menatap penuh harap pada Hazel. Dalam hati memuji ketampanan teman kakaknya itu. Ia sudah berusaha segala cara dari bertahun-tahun lalu untuk menarik perhatian Hazel, tapi sampai sekarang belum ada hasil.
Hazel yang duduk bersebelahan dengan Fakri mengangguk. "Boleh aja, tapi sebaiknya cepat kalau mau ke sana. Aku ada rencana dua tahun lagi balik kemari."
Tania terbelalak gembira. "Keren banget."
"Buka kantor di sini, Kak?" tanya Tantri ikut bertanya. Mendengkus tidak suka saat Tommy mengambil sepotong daging untuk Diandra.
"Sepertinya begitu."
"Ayo, ah. Urus visa buat ke main ke USA." Tania mengedip pada Gema.
Hazel tanpa rasa bersalah menjawab. "Kalian bisa pergi sekalian sama Diandra, dan Keyano. Aku pingin main sama Keyano."
"Ide bagus!" celetuk Tommy. "Kapan-kapan kami akan ke tempatmu. Hitung-hitung bawa Keyano liburan.
Gema menggeleng kencang dan menggoyangkan telunjuk di depan wajah. "Nggak boleh, Kak Tommy tetap di sini. Enak aja mau ke USA, bilang aja mau nyari Kak Reena."
Perkataan Gema membuat semua orang membeku. Diandra bisa merasakan kalau pandangan semua orang tertuju padanya. Ia mengusap tengkuknya yang mendadak merinding dan mendesah tiba-tiba.
"Kenapa tengkukku dingin'ya? Merinding semua. Jangan-jangan ada kunti di belakangku."
Perkataan Diandra membuat Hazel terbahak-bahak, Tommy tersenyum kecut dan yang lain menahan makian di lidah. Berharap sekali bisa menendang Diandra dari rumah ini.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 29-32.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top