Bab 7

Beberapa bulan kemudian di sebuah klub malam, Tommy sedang menenggak minuman keras bersama Hazel dan beberapa teman lain. Mereka merayakan Hazel yang sedang berlibur dan akan tinggal di kota sama beberapa Minggu ke depan. Selama minum, Tommy yang biasanya sangat cerewet kali ini sangat pendiam. Hanya meneguk segelas demi segelas dan mendengarkan teman-temannya mengobrol. Hazel yang mengamati sikap sahabatnya yang tidak biasa, menepuk pundak Tommy.

"Ada apa? Masih mikirin soal Reena?"

Tommy mendengkus, tersenyum kecil lalu merebahkan kepala di sofa. Lampu-lampu yang berpijar di langit-langit sedikit menyilaukan mata. Mengerjap beberapa kali, ia memilih untuk memejam. Suara musik berdentum dengan orang-orang bicara sambil merokok atau mengisap vape. Riuh dunia malam yang selama beberapa bulan ini tidak dialaminya. Semua karena kehadiran Keyano, yang membuat hidupnya berubah drastis. Ia diharuskan pulang lebih cepat dari kantor, hari Sabtu waktunya mengajak Keyano ke rumah orang tuanya karena Diandra ingin libur. Rasanya seperti benar-benar menggaji seorang babysitter, hanya saja tinggal di rumah 24 jam dan sikapnya lebih dingin dari pada perempuan kebanyakan.

Diandra yang sekarang tidak pernah ingin menyapanya lebih dulu. Tidak pernah memasak kalau bukan karena dirinya yang meminta. Tidak pernah menyediakan sarapan meskipun hanya segelas kopi. Istrinya itu memperlakukannya seperti orang lain meskipun mereka tinggal di bawah satu atap. Sikap yang berbanding terbalik dengan saat dulu baru menikah. Diandra yang lembut, dan penuh perhatian kini menjadi perempuan yang asing. Meski begitu perlakuannya terhadap Keyano sangat baik. Merawat dan menjaga seperti anak sendiri. Keyano bahkan sangat lengket dengan Diandra dari pada dengannya. Kehidupa rumah tangga yang sungguh tidak disangka-sangkanya.

"Kamu ketemu Reena di USA?" tanya Tommy.

Hazel mengangguk. "Iya, dia sedang membuka butik dan banyak dihadiri selebritas. Aku pikir dia akan menetap di sini bersamamu."

"Aku juga berpikir hal yang sama tapi ternyata dia berkhianat. Apa kamu tahu Hazel, dia melahirkan anak kami dan minggat."

Hazel hampir menumpahkan minumannya. Menatap Tommy dengan pandangan tidak percaya. Meletakkan minuman, ia menepuk-nepuk telinganya. "Tunggu, kamu bilang apa? Reena melahirkan?"

Tommy menatap muram pada Hazel. "Sebelum kabur ke USA, dia meninggalkan anak itu di rumah kami dengan kondisi sakit. Dititipkan pada seorang pembantu tua yang tidak mengerti apa pun soal merawat anak."

"Gilaa! Ini benar terjadi atau hanya khayalanmu saja karena sedang mabuk?"

"Untuk apa aku berbohong. Ingat nggak sebelum aku nikah kalau Reena sedang marah? Aku pikir kita benar-benar putus saat itu. Ternyata dia merayuku kembali dan hamil. Setelah itu dia kembali menghilang dan datang lagi dalam kondisi baru saja melahirkan. Aku bahkan bersiap untuk cerai dengan istriku tapi ternyata dia justru pergi. Meninggalkan aku dan bayi kami. Ke USA demi mengejar karirnya sebagai designer. Sungguh ironis memang, hubungan putus nyambung kami selama empat tahun akhirnya seperti ini."

Hazel memperbaiki posisi duduk, menggeleng bingung. "Sekarang, anak kalian diasuh oleh Diandra? Dan istrimu sama sekali nggak marah?"

Untuk kali ini Tommy tersenyum pahit. "Siapa bilang nggak marah? Justru karena ini Diandra jadi punya kuasa untuk menekanku. Dia merawat Keyano dengan baik, tapi hubungan kami sebagai suami istri menjadi sangat renggang. Dari sebelumnya sudah berjarak, berubah makin asing satu sama lain. Tidak masalah sebenarnya untukku, asalkan dia merawat Keyano dengan baik."

"Kisah kalian aneh sekali. Kenapa kamu nggak minta orang tuamu yang merawat?"

"Kalau kamu jadi aku nggak akan lakukan itu, dengan kondisi mereka yang sudah berusia lanjut. Mana tega aku membebani mereka?"

"Kamu nggak mau bebani keluargamu tapi memberi tekanan pada Diandra. Sorry to say, Tommy. Tapi dalam hal ini aku merasa kamu sangat-sangat egois dan kurang ajar pada istrimu."

"Memang, dan dosaku mungkin tidak termaafkan. Tidak salah kalau Diandra marah memang."

"Masih untung dia mau merawat anakmu."

Tommy tidak menjawab kalau untuk merawat diperlukan bayaran. Jujur saja yang diminta Diandra tidak banyak, ia sanggupo memberikan sepertiga dari penghasilannya untuk Diandra. Uang susu dan belanja bulanan, orang tuanya yang memberi. Tommy mengerti kalau Diandra menginingkan uang, dengan kondisi tidak lagi bekerja, istrinya membutuhkan uang untuk si nenek.

Ia lupa bagaimana wajah si nenek Kamirah. Dari pertama menikah tidak pernah datang ke rumah nenek tua itu, padahal sebagai suami yang baik sudah seharusnya ia berkunjung.Tapi, dirinya enggan melakukannya karena tidak pernah menganggap Diandra sebagai istri dan Kamirah sebagai neneknya. Perempuan tua miskin bukanlah seseorang yang ingin dikenalnya. Irionisnya, ia kini justru bergatung pada kebaikan dan kemurahan hati Diandra untuk mengasuh anaknya. Rupanya Tuhan sedang memberi hukuman padanya karena sudah bersikap zalim pada perempuan yang dinikahinya.

"Kamu masih merindukan Reena?"

"Entahlah, aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang sering uring-uringan dan kabur-kaburan. Tidak lagi merasa kesal seperti dulu. Tapi kali ini aku menganggap dia sudah keterlaluan karena meninggalkan anak kami."

"Tommy, kamu merasa sakit hati pada Reena, dan lupa kalau Diandra juga merasakan hal yang sama pada kalian berdua. Reena kekanak-kanakan, kamu brengsek, kalian disatukan, dan Diandra menjadi korban. Jangan marah, yang aku katakan adalah kenyataan."

Bagaimana ia bisa marah kalau semua hal yang dijabarkan Hazel memang benar adanya. Ia dan Reena adalah pasangan brengsek yang tidak pernah berhenti saling menyakiti. Ia secara sadar berselingkuh, meniduri kekasihnya dari pada istrinya sendiri. Seharusnya dari awal ia menolak pernikahan dan kini semua hal sudah terlanjur terjadi. Meneguk satu botol minuman, Tommy ingin tenggelam dalam penyesalan yang seolah tidak berujung.

**

Jam di dinding menunjukkan waktu pukul dua dini hari. Diandra terbangun karena lapar. Tadi sore ia tidak sempat makan apa pun sebelum terlelap bersama Keyano. Ia mengernyit, karena menyadari tidak ada mobil Tommy di garasi. Laki-laki itu belum pulang. Tidak aneh bagi Diandra kalau mendapati suaminya menginap di tempat lain tanpa penjelasan, lagi pula ia juga tidak peduli lagi. Sekian lama berada di bawah atap yang sama dengan Tommy, ia mulai terbiasa dengan cara laki-laki itu menjalani hidup.

Dirinya yang dulu akan sangat peduli, rela menunggu Tommy yang tidak pulang dengan duduk do sofa ruang tamu hingga mengantuk. Saat Tommy muncul, bergegas menyambut dan menanyakan beragam pertanyaan dari mulai makan, mandi, atau pun hal lain yang diinginkan suaminya. Saat itu Tommy akan membentaknya dengan suara keras dan mengatakan dengan lantang kalau dirinya berisik.

"Bisa nggak tutup mulut dan jangan ganggu aku!"

Saat itu ia memang sakit hati diperlakukan semena-mena tapi menahan diri. Selalu berpikiran baik kalau suatu saat nanti suaminya akan berubah dan mencintainya. Sebuah khayalan yang pada akhirnya merobek hatinya. Sekarang ini, ia bahkan tidak ingin tahu apakah Tommy akan pulang atau tidak. Lebih nyaman seperti sekarang, tinggal satu rumah, uang diberikan lancar dan tidak ikut campur urusan masing-masing.

Diandra menyalakan kompor dan meletakkan panci kecil berisi air. Sesedikit mungkin membuat suara karena tidak ingin mengganggu Keyano yang sedang tertidur. Padahal anak itu sedang berbaring aman di lantai dua dalam keadaan pintu tertutup. Tetap saja ia merasa kuatir, karena begitu terbangun akan sulit untuk kembali tidur.

Mie baru saja selesai dimasak saat terdengar kendaraan memasuki garasi. Diandra meletakkan mie rebus ke dalam mangkok dan berjengit karena suara bel pintu. Tumben-tumben Tommy menyalakan bel saat pulang. Ia mematikan kompor dan setengah berlari ke arah pintu, takut bel berbunyi akan memangunkan Keyano.

"Lupa bawa kunci?" ujarnya saat membuka pintu dan tertegun.

"Hai, Diandra. Sorry ganggu kamu malam-malam." Hazel muncul dengan Tommy dalam pelukannya. "Sekali lagi aku datang tengah malam untuk antar Tommy pulang."

Diandra membuka pintu lebar-lebar dan menunjuk sofa ruang tengah. "Bisa tolong tidurkan di sana? Di ruang tamu ada karpet, agak sulit dibersihkan kalau muntah."

"Tentu saja."

Hazel memapah Tommy ke ruang tengah dan membaringkannya ke sofa. Membantu mencopot sepatu dan Diandra menyelimuti dengan kain bergambar beruang warna biru. Sepertinya itu adalah selimut si bayi. Menegakkan tubuh, Hazel mengendus udara.

"Apa kamu lagi makan?"

Diandra menunjuk meja dapur. "Baru masak mi rebus. Kamu mau?" Itu adalah tawaran basa-basi dan siapa sangka Hazel menerimanya.

"Tentu saja, aku mau. Kebetulan lagi lapar."

"Duduk dulu, aku buatin. Eh, gini aja. Kalau kamu nggak keberatan rasa soto, biar kamu makan dulu."

Hazel menarik kursi. "Nggak masalah, aku nunggu kamu."

Rasanya sungguh aneh, berada di dapur saat tengah malam dan makan mi bersama laki-laki lain yang bukan suaminya. Ia bahkan tidak pernah melakukan ini sebelumnya dengan Tommy. Sama sepertinya, Hazel juga suka kalau mi rebus diberi irisan cabai dan telur setengah matang tapi tidak pecah. Menikmati mi dengan Tommy tertidur pulas. Sesekali laki-laki itu mengigau.

"Reena, brengsek!"

Hazel menatap Diandra lekat-letak, makan mi dengan garpu. "Kamu nggak apa-apa?"

Diandra mengangkat wajah. "Soal apa?"

"Anak itu."

"Ah, Tommy sudah bilang rupanya."

"Sudah, dan aku baru tahu malam ini juga. Padahal bulan lalu aku bertemu Reena dan dia nggak cerita apa pun. Reena nggak seharusnya ninggalin anaknya sendiri. Lebih nggak seharusnya masih menjalin hubungan dengan Tommy di saat kalian sudah menikah. Selama ini aku pikir mereka sudah putus."

Rupanya Hazel pun kenal dengan Reena. Makan dengan lahap, Diandra menekan rasa malunya. Entah kenapa cara Hazel menatapnya membuatnya kikuk. Sikap Hanzel yang memaklumi terasa berbeda dengan cara Fakri membelanya. Mungkin karena laki-laki di depannya tidak ada hubungan keluarga atau pertemanan tapi membelanya.

"Kamu pasti marah sekali, Diandra."

Cara Hazel menyebut namanya membuat Diandra terdiam. Mengepalkan tangan di atas meja, ia menunduk di atas mangkok kosong.

"Awalnya mungkin marah tapi sekarang aku sudah bisa menerima," ujar Diandra dengan suara tercekat. "Mungkin terdengar aneh, tapi aku melakukannya bukan demi cinta atau pun pernikahan kami tapi demi uang."

"Benarkah?" tanya Hazel dengan tertarik. "Kamu meminta Tommy membayarmu?"

"Benar, cerdas sekali Anda, Pak Pengacara. Kamu pasti ingat kalau aku kerja jadi pararegal, tapi sekarang nggak bisa kerja lagi gara-gara merawat anak. Dengan dibayar, aku bisa kumpulkan uang dan siapa tahu suatu saat nanti bisa ikut ujian pengacara."

Hazel tertawa lirih, mengacungkan dua jempol. "Rencana yang luar biasa, Diandra. Mengubah sakit hati dan kemarahan menjadi uang. Cara berpikirmu sungguh langka. Meskipun aku teman Tommy, tapi dalam hal ini aku mendukungmuy. Apa kamu masih belajar sampai sekarang?"

Untuk kali ini Diandra memilih untuk jujur. Entah kenapa bicara dengan Hazel membuat ingin berterus terang. Rasanya seperti bertemu teman lama, padahal ini baru ketiga kalinya mereka berjumpa dan pertama kalinya mengobrol lama.

"Aku belajar saat siang, di kampus dekat sini. Hanya beberapa jam selama seminggu dan lebih banyak mengambil kelas Sabtu. Karena itu setiap Sabtu aku minta libur dari Tommy."

"Cerdas sekali."

"Kapan rencana mau ujian?"

"Tahun depan, semoga bisa."

Hazel mengulurkan tangan pada Diandra dan mereka berjabat tangan. "Pasti bisa. Diandra, kamu perempuan yang hebat. Semoga aku bisa kerja sama denganmu kalau kembali nanti."

"Apakah kamu ingin kembali ke USA?"

"Iya, dalam beberap hari. Ada banyak pekerjaan menunggu. Selesai di sana, aku akan kembali kemari."

Sekali lagi Tommy mengerang dan mengigau. Kali ini menyebut nama Keyano dan Diandra. Keduanya saling pandang, dan melanjutkan obrolan setelah Diandra membuat kopi. Hazel berpamitan pulang saat sinar matahari muncul temaram di ufuk Timur.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah update bab 25-28.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top