Bab 6
"Kak, tumben banget nyuruh kita datang." Tantri berujar antusias. "Nggak biasanya loh."
"Mungkin mau bagi-bagi uang," timpal Tania.
"Mana mungkin? Tahu sendiri orang kalau udah kawin nggak bakalan ngasih lagi uang ke adiknya."
"Apalagi kalau istrinya pelit!"
Keduanya bertukar pandang dengan masam, tapi tidak berani bicara lebih banyak karena ada sang papa. Tommy berkomentar atas perkataan dua adiknya. Wajah kusut dengan tubuh lunglai, seolah kehilangan banyak semangat. Merry manatap muram pada anak sulungnya.
"Tommy, ada apa? Kenapa kayak sedih."
Tommy menggeleng dan menuntun keluarganya ke ruang tengah. Diandra sudah menunggu di sana, duduk di kursi tanpa senyum. Menyapa sekilas pada keluarga mertuanya.
"Pa, Ma, apa kabar?"
Merry tidak menjawab tapi Fakri tersenyum. "Diandra, kamu sudah lama nggak main ke rumah."
"Sibuk, Pa."
"Oh, kerjaan?"
"Semacam itu, Pa."
"Jangan terlalu lelah kerja, biar kalian ada waktu untuk bersama. Sudah satu tahun menikah, papa pingin nimang cucu."
Perkataan Fakri membuat Diandra tersenyum kecil, sedangkan Tommy mengenyakkan diri di sofa dengan wajah murung. Rumah besar itu hening, meskipun ada enam orang di dalamnya. Merry masih menolak untuk bicara, duduk angkuh di sofa. Tania dan Tantri saling pandang tidak mengerti. Mereka pun merasa kalau Diandra tidak bersikap seperti biasanya. Istri kakaknya itu biasa terlihat sangat senang kalau orang tua mereka datang. Seperti anjing kecil, Diandra akan menyambut gembira dan berceletoh untuk menyenangkan semua orang. Tapi malam ini berbeda. Duduk diam seolah orang-orang yang datang bukan keluarga melainkan orang asing.
Tommy pun sama, sikapnya jauh berbeda dengan biasa ditunjukkan. Tidak terlihat keangkuhan dan kesombongan yang selama ini melekat padanya. Suasana rumah yang aneh karena Diandra yang sangat seolah tidak peduli dan Tommy yang murung.
"Kamu memanggil kami kemari ada apa?" tanya Merry lantang. Pada akhirnya tidak betah berdiam diri lebih lama. "Kami orang sibuk, harusnya kamu yang ke rumah dan bukan malah memaggil kami. Berani sekali kamu melakukan itu? Menantu tidak tahu diri!"
"Maa, kenapa kasar begitu?" sergah Fakri. "Kita dengarkan dulu apa mau mereka?"
Merry melengos kesal, sedangkan Diandra hanya tersenyum kecil. Sikap kasar mertua perempuannya sudah biasa diterimanya.
"Boleh saja aku yang ke rumah kalian, dengan resiko nenek dan kakek mendengarnya juga. Siapa yang tanggung kalau mereka kesal dan marah lalu jatuh sakit?" Diandra bangkit dari kursi, menghampiri box di dapur dan mengambil Kayeno dan membawanya ke ruang tengah. "Aku ingin bicara soal bayi ini."
Semua orang ternganga bingung dan tidak mengerti. Menatap Diandra dengan bayi dalam gendongan.
"Bayi siapa itu?" tanya Fakri.
"Cucu kalian, anak Tommy," jawab Diandra lugas. "Bayi ini dibawa oleh suamiku yang tercinta Minggu lalu dalam keadaan demam dan kelaparan. Suamiku tercinta memintaku untuk merawat anaknya. Ngomong-ngomong biar kalian nggak bingung aku tegaskan, ini anak Tommy dan Reena."
Melihat keterkejutan di wajah mereka, Diandra tertawa lirih. "Ah, rupanya kalian semua mengenal siapa Reena."
Yang pulih pertama kali dari kekagetan adalah Fakri. Laki-laki itu menggeleng cepat. "Kami tahu siapa Reena. Tapi setahu kami tidak ada hubungan lagi antara Reena dan Tommy."
"Papa salah kalau begitu," sela Diandra lugas. Ada ketenangan yang tersirat dari sikapnya. "Mereka masih bersama, bahkan setelah kami menikah. Mereka tidur bersama bahkan setelah aku tinggal di rumah ini. Benar bukan suamiku, Sayang? Kekasihmu melahirkan anak laki-laki dan ditinggalkan begitu saja."
Luncuran kata-kata dari Diandra menghantam kesadaran semua orang. Mereka memandang Tommy demi menuntut penjelasan dan laki-laki itu menunduk lebih dalam dengan kepala nyaris berada di antara lutut. Yang pulih dari kekagetan pertama kali adalah Fakri.
"Benar itu, Tommy? Bayi itu anakmu dan Reena?"
Tommy mengangkat wajah dan menatap sang papa dengan muram lalu mengangguk perlahan. "Iya, Pa. Bayi itu benar anakku."
Emosi menguasai Fakri. Seketika bangkit dari sofa, menarik kerah kemeja anaknya dan melayangkan dua pukulan ke wajah.
"Papaaa!" teriak Merry kaget. Tania dan Tantri terbelalak ketakutan, menatap papa mereka yang marah. Tidak pernah terjadi sebelumnya, sang papa emosi hingga lepas kendali. "Tenang, Paa."
Fakri mengepalkan tangan dengan wajah memerah, lalu menghardik istrinya yang mencoba menghalangi. "Minggir kamu, Ma. Biar aku kasih pelajaran anak kurang ajar ini. Terlalu dimanjakan membuatnya lupa diri dan seenaknya saja menyakiti istri. Tommy, kamu gila, yaa? Diandra itu istrimu dan kamu malah menghamili perempuan lain. Setelah punya anak, kamu bawa kemari? Di mana hati sama otakmu, Tommy!"
Merry berusaha menolong anaknya tapi Tommy menyingkirkan dengan lembut lengannya yang terulur. Mengalihkan pandangan pada Diandra yang berdiri menggendong bayi, kebencian terlintas di matanya untuk perempuan itu. Seharusnya Diandra memberitahunya lebih dulu, dengan begitu ia bisa mencari jalan terbaik dan terhalus untuk memberitahu suaminya. Bukan dengan cara seperti ini yang akhirnya memicu emosi suaminya.
"Diandra! Ini semua salahmu! Harusnya, kamu bicara baik-baik!" bentak Merry.
Diandra menaikkan sebelah alis. "Oh, aku yang salah, Ma? Tommy yang berselingkuh dan tetap saja aku yang salah?"
"Caramu memberitahu kami ini ibarat adu domba!"
"Dari pada membentakku, kenapa nggak marahi anakmu? Ini beneran aneh!" Tanpa banyak kata, Diandra menyerahkan bayi dalam gendongannya ke tangan Merry yang terbelalak bingung. "Selama seminggu penuh aku mengasuh bayi dari perempuan lain. Kekasih dari suamiku sendiri. Saat aku menuntut keadilan, bisa-bisanya tetap aku yang salah!"
Tommy menggeleng sambil mengusap pipinya. "Diandra, bukan begitu. Ini salah paham saja."
Tidak memedulikan pembelaan suaminya, Diandra tersenyum kecil. "Salah paham? Tentu saja bukan begitu, Tommy. Mamamu merasa aku yang nggak ada sopan santun, padahal aku yang dirugikan. Gara-gara mengurus bayi yang rewel itu, aku sampai nggak kerja! Kekurang waktu untuk diriku sendiri dan masih juga disalahkan. Hebat sekali ibu mertuaku!"
Merry tidak sempat membalas kata-kata Diandra karena Keyano memilih untuk menangis. Bayi itu menuntut perhatian. Merry berusaha menenangkannya dengan menimang-nimang tapi tangisannya semakin keras. Tommy tidak tahan lagi.
"Maaa, kasih Diandra. Dia tahu gimana caranya tenaning Keyano."
Dengan terpaksa Merry mengulurkan bayi itu kembali ke pelukan Diandra, yang segera memberi susu dan menimangnya. Semua orang tidak ada yang bicara, hanya menatap Diandra dan bayi dalam gendongan dengan bingung. Merry yang biasanya bersikap kasar hanya bisa menunduk karena pandangan memperingatkan dari suaminya.
"Tommy, apa penjelasanmu?" tanya Fakri memecah suasana hening. "Bagaimana rencanamu dengan bayi itu?"
"Pa, aku ingin Diandra yang merawatnya. Ini mungkin terdengar gila dan nggak adil, tapi Mama sudah tua, Tania dan Tantri, nggak bisa diharapkan. Mengurus diri mereka sendiri aja nggak becus. Karena itu, satu-satunya harapanku hanya Diandra. Lagi pula, selama bayi itu sakit, Diandra mengurus dengan baik."
Suara Tommy bergema di ruang tengah, semua mendengarkan. Sesaat Merry membuka mulut untuk membantah tapi diurungkan. Fakri menatap kecewa pada anak laki-lakinya lalu memalingkan pandangan pada Diandra. Menantunya yang penurut dan sabar, harus menerima begitu besar cobaan. Fakri merasa gagal sebagai papa, tidak bisa mendidik anaknya dengan baik.
"Diandra, aku mengerti kalau kamu marah dan kecewa. Kamu boleh lampiaskan pada kami, terutama pada Tommy karena memang dia yang salah. Permintaan Tommy, kalau memang memberatkan untukmu, bisa kamu tolak."
Diandra mengusap wajah mungil si bayi dan menjawab perkataan mertuanya tanpa mendongak. "Kalau saya meminta cerai, apa diijinkan juga?"
"Ya, tentu saja," jawab Fakri cepat.
"Tidaak!" Tommy menyela cepat. "Kita sudah sepakat, aku akan memberimu apa saja asalkan kamu merawat bayi itu. Diandra, kita sudah sepakat soal itu, jangan lupa janjimu."
Mengangkat bahu, Diandra seakan tidak mendengar kata-kata suaminya. Merasa miris dengan keadaanya yang sekarang. Dipaksa untuk tetap menjadi seorang istri dari laki-laki yang jelas-jelas mencintai perempuan lain. Namun, ia harus tetap mengedepankan sisi logika, untung dan rugi dari semua hal yang menimpanya. Tidak boleh hanya Tommy yang beruntung dalam hal ini.
"Baiklah, aku terima semua Tommy. Merawat anakmu ini dan tidak bercerai. Dengan satu catatan—"
"Apa?" sergah Tommy tidak sabar. "Apa yang kamu inginkan Diandra?"
Menatap lekat-lekat mata suaminya, Diandra menjawab ringan. "Bayar aku!"
Merry ternganga bingung, begitu pula Tommy. "Maksudmu?"
"Bayar aku untuk menjadi pengasuh anakmu. Selama merawat bayi ini aku bahkan tidak bisa bekerja, kehilangan satu mata pencaharian dan juga karirku terhenti."
"Nggak masuk akal! Kami memberimu jatah bulanan!" teriak Merry.
"Jatah bulanan yang bahkan untuk membeli pakaian saja tidak cukup?" Diandra berujat tidak kalah keras. "Nggak masalah kalau Tommy nggak mau bayar, kalian bisa menjadi baby sitter lain dan aku ingin angkat kaki dari rumah ini. Kenapa aku harus mengabdikan hidupku pada orang-orang yang tidak bisa menhargaiku."
"Cewek matre!" desis Tantri.
Diandra mendengkus. "Bukan waktunya untuk kamu ngomong, anak kecil! Kalau kamu nggak mau jaga bayi ini, lebih baik kamu tutup mulut!"
Tantri terbelalak, tersinggung dengan perkataan Diandra. "Maaa, dia berani menghinaku!"
"Kurang ajar!" desis Merry.
"Diam semua!" Tommy menengahi perdebatan, sebelum terjadi masalah yang lebih besar. "Aku setuju akan membayarmu, berapa pun yang kamu minta akan aku berikan. Di luar tanggungan suami istri."
Fakri mengangguk. "Bahkan kalauy Tommy nggak mau membayarmu, papa yang akan keluar uang."
"Papaa, kenapa, sih?" tanya Merry.
"Mama dari tadi cuma bisa protes dan teriak!" sergah Fakri kesal. "Memangnya kita bisa apa, hah? Mama merawat bayi itu? Atau Tani dan Tantri?"
Baik Tania dan Tantri menggeleng bersamaa. Wajah mereka menunjukkan kengerian.
"Lihat'kan? Bahkan anak-anakmu pun nggakmau? Kalau Diandra sakit hati, meminta cerai, dan bagi harta gono gini, Tommy akan membayar lebih banyak dari sekedar gaji bulanan! Apa Mama mengerti sekarang?"
Tidak ada yang membantah ucapan Fakri. Semua keluarganya menunduk. Diandra diam-diam mengulum senyum, karena rencananya berhasil. Ia tidak akan membiarkan Tommy dan keluarganya lolos dari masalah ini dengan mudah. Ini hanya permulaan, akan lebih banyak kejutan nanti.
Selama ini ia memcoba agar bisa diterima di keluarga ini. Berusaha dengan segala cara untuk dicintai. Namun semuanya sia-sia belaka. Bahkan saat tertimpa masalah seperti sekarang, ia masih disudutkan. Diandra memahami satu hal, kalau Tommy dan seluruh keluarganya memang brengsek. Kecualio tentu saja Fakri dan Nenek, Kakek.
"Papa, apakah ini berarti syaratku akan dipenuhi?" tanya Diandra.
"Tentu saja," jawab Fakri cepat. "Tommy pun nggak masalah. Yang terpenting kamu merawat bayi itu dengan baik. Perbuatan Tommy memang salah, tapi bayi itu cucu kami, Diandra. Demi papa, tolong rawat seperti anakmu sendiri."
"Papa tenang saja, aku bisa lakukan itu. Satu syarat lagi, Pa."
Merry bangkit sambil menuding ke arah Diandra. "Lihat'kan? Perempuan ini ngelunjak. Kalian masih mau mendengarkannya?"
Diandra tidak bereaksi untuk kemarahan Merry. Tetap menatap Fakri tidak berkedip.
"Syarat apa lagi, Diandra?" Tommy yang bertanya. "Bukannya kami sudah setuju yang kamu mau?"
"Inia da hubungannya dengan Papa bukan denganmu," jawab Diandra ketus.
Fakri mengedip lalu mengangguk. "Coba bilang, satu lagi apa?"
"Tolong, jangan bilang sama Kakek dan Nenek kalau ini anak Tommy. Setidaknya untuk sementara. Aku nggak mau Nenek dan Kakek kecewa, karena sudah pasti kabar ini akan terdengar sampai ke telinga nenekku. Kalau itu yang terjadi, sudah dipastikan aku akan bercerai dari Tommy."
"Tentu saja, Diandra. Kami akan mengatakan pada Nenek dan Kakek kalau itu anak adopsi. Apakah boleh begitu?"
"Terserah Papa saja, aku nurut."
Malam itu, untuk pertama kalinya Tommy menyadari kalau isi pikiran istrinya tidak sesederhana penampilannya. Diandra akan sangat alot dalam bernegosisai saat menginginkan sesuatu. Sifat dan sikap lemah lembutnya sirna kala dihadapkan dengan masalah yang menyangkut harga dirinya. Selama ini Diandra terlihat polos, lugu, dan tidak banyak tingkah, tapi ternyata itu hanya di permukaan. Tidak heran kalau Diandra bekerja di bidang hukum, caranya mendapatkan sesuatu sungguh di luar dugaan. Cara berpikirnya, berbeda dengan perempuan kebanyakan. Membuang hati dan berpatokan pada logika. Mau tidak mau, Tommy menyerah kalah.
Setelah kesepatakan dibuat, Diandra mengajukan pengunduran diri dari kantor. Anika meratapi kepergiannya dan Diandra mengatakan pada sahabatnya akan kembali bekerja karena tidak akan pernah melepaskan mimpi menjadi pengacara.
Setiap bulan akan ada tiga macam tranferan masuk ke rekening Diandra. Uang bulanan, bayaran untuk mengasuh anak, dan tunjangan dari Fakri. Ia menerima semua dengan senang hati, karena meskpun marah dan benci dengan Tommy, setidaknya dengan uang ia bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan.
Diandra mengusap wajah dan rambut lembut si bayi lalu berbisik. "Keyano, mulai sekarang kamu akan menemani mama belajar. Jangan rewel, jangan nakal, semoga mama bisa jadi pengacara, ya, Keyano."
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 21-24.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top