Bab 4
"Sebenarnya ada tiga pelayan selain saya, tapi mereka semua nggak betah dan memilih untuk keluar." Pembantu yang tersisa bicara dengan suara lirih pada Diandra.
"Bukannya mencuri?" tanya Diandra.
Pembantu itu menggeleng. "Bukan, Nyonya. Mereka tidak tahan bekerja di sini. Itu, Nyonya Besar sangat sulit untuk dituruti kemauannya, belum lagi kedua nona yang cerewet. Kakek, Nenek, dan Tuan besar cukup ramah dan menghargai kami."
"Di mana Nenek dan Kakek? Aku nggak lihat mereka?"
"Sedang jalan-jalan di Puncak, katanya pulang besok."
Pantas saja Merry berani menyuruhnya layaknya pembantu, rupanya tidak ada kakek dan nenek, bahkan suaminya juga tidak terlihat. Merry benar-benar berniat menguras tenaga Diandra dengan menyuruh bekerja tiada henti. Yang datang untuk arisan ternyata bukan hanya para ibu melainkan anak-anak dan cucu mereka pun dibawa, membuat rumah besar Merry menjadi sangat riuh dan kacau.
"Diandraa! Ada minuman tumpah, lap cepat!"
"Diandraa, mana buahnya?"
"Lelet amat kamu, nasinya habis, ini!"
Perintah demi perintah diteriakkan Merrry, membuat Diandra bahkan tidak punya waktu untuk istirahat. Pukul dua sore, Diandra bahkan tidak sempat makan siang karena terlalu sibuk. Pembantu yang bekerja bersamanya menyuruh untuk makan, tapi baru mengambil nasi, Tantri sudah berderap masuk.
"Eh, lo, ngapain aja di dapur? Ngerumpi, ya? Itu ada cucu orang ngompol di ruang tamu!"
"Biar saya aja, Nyonya." Pembantu yang kasihan bicara pada Diandra. "Makan saja dulu."
Pembantu itu bergegas mengambil pel dan ember dan meninggalkan Diandra yang hendak makan. Sayangnya tidak semudah itu istirahat, Merry masuk ke dapur, membawa apel dan menyuruhnya mengupas.
"Rendam pakai air garam, jangan kebanyakan nanti asin. Sekarang, jangan ditunda!"
Gagal sudah rencana Diandra untuk makan siang, setelah apel selesai dikupas dan dipotong Tania memanggil dan mengatakan tisu habis. Diandra mengambil tisu dan memasukkan ke dalam kotak, di sekitarnya terdengar riuh para tamu.
"Jeng, di mana dapat pembantu ini? Lumayan gesit gerakan."
"Iya, pembantuku di rumah nggak bisa kerja."
Perkataan mereka dijawab dengan tawa oleh Merry. Tidak ada koreksi kalau Diandra itu menantu bukan pembantu.
"Heh, kamu. Kenalin, dong, ada teman kamu yang mau kerja di aku, nggak? Gaji gede?" Seorang nyonya tua tanpa sopan santun memukul bahu Diandra. "Aku suka sama kamu, kerja bagus dan cepat, sayangnya wajahmu terlalu cantik, takutnya kamu genit sama suamiku."
Orang-orang tergelak bersamaan, Diandra bangkit dari depan meja dan melangkah cepat ke dapur.
"Jeng Merry, pembantunya cantik tapik nggak ada sopan, ya?"
"Biarin saja, Jeng. Mari kita nikmati hidangan."
Diandra menyandarkan tubuh pada kulkas, memejam untuk meredakan rasa kesal bercampur kecewa. Ia mengerti kalau Merry dan anak-anaknya tidak menyukainya, tapi penghinaan macam ini harusnya tidak terjadi. Merry harusnya mengerti, mana yang boleh dan tidak untuk dibuat bercanda. Nyatanya, mertuanya itu memang sangat kejam. Bukan hanya suka berlaku semena-mena, ucapannya pun sama.
Mengambil selembar tisu dan menghapus air mata yang menggenang, Diandra memaksakan diri untuk tetap tenang. Tidak boleh menangis, dan harus kuat. Di sini memang bukan rumah mertuanya melainkan rumah milik perempuan yang suka semena-mena. Ia tidak dianggap menantu di sini, hanya perempuan muda yang diperlakukan sebagai pembantu.
"Ngapain lo merenung di situ? Nangis?"
Tania muncul dalam balutan gaun hitam tanpa lengan, make-up tebal menghiasi wajah dan sepertinya sedang bersiap untuk pergi. Diandra hanya melirik sekilas dan berusaha mengabaikannya.
"Eh, ada makanan apa buat bekal. Masukin ke kotak, dong. Gue mau bawa ke tempat kerja."
Perintah Tania tidak ditanggapi oleh Diandra yang kini mencuci perlatan memasak di westafel.
"Budek lo, yaa? Gua suruh apa tadi?"
Dengan geram Diandra membanting panci ke westafel dan menimbulkan bunyi yang sangat nyaring. Menyipit ke arah Tania dan menggeleng.
"Kamu punya tangan? Kerjain sendiri! Kamu pikir aku pembantumu? Hah!"
"Berani lo, ya, sama gue!"
"Kenapa? Mau marah? Sini? Biar aku suram pakai air cucian!"
Entah keberanian dari mana muncul dalam diri Diandra. Rasa lelah bercampur lapar membuat amarahnya bangkit. Ia masih bisa tahan disuruh-suruh oleh Merry. Tapi nada penghinaan dari Tania membuatnya sangat kesa. Umur mereka nyaris sepantas, tapi cara Tania bicara padanya seolah dirinya anak kecil dan pembantu di rumah ini yang bisa diperintah.
"Perempuan miskin tak tahu diri!" maki Tania. Membalikkan tubuh dan meninggalkan dapur. Diandra mengusap wajah dengan tangannya yang basah, ingin sekali pergi dari rumah keparat ini. Namun, tugasnya masih banyak dan ia merasa kasihan pada satu-satunya pembantu di sini, kalau dirinya pergi.
Selesai mencuci perabot, Merry berteriak agar Diandra merapikan peralatan makan yang kotor. Membawa nampan, Diandra ke ruang tengah, mengambil piring, sendok, dan gelas kotor. Melangkah perlahan karena pandangannya tertutup perlatan makan yang menumpuk tinggi. Tidak melihat ada seorang anak yang berlari di depannya. Tabrakan terjadi, tubuh Diandra oleng dan nampan terjatuh dengan seluruh isinya berhamburan ke lantai dan pecah. Anak itu berteriak kencang karena kaget. Sedangkan Diandra terduduk di lantai menahan sakit, berusaha menahan beban nampan membuat pergelangan kakinya keseleo.
"Eh, babu jahanam! Gimana kerjamu! Kalau sampai cucuku kenapa-napa, awas kamu!"
Nenek dari anak itu berteriak dan orang-orang lain menunjuk-nunjuk serta memaki Diandra. Merry hanya berdiri kaku menahan marah. Duduk di antara pecahan kaca, Diandra merasa ponsel di sakunya bergetar. Ada telepon dari perawat neneknya.
"Ya, Bi Ani. Ada apa?"
"Non, Nenek sakit. Pingin ketemu."
"Ya, aku ke sana sekarang."
Diandra bangkit dengan meringis, berusaha untuk berdiri. Melemparkan nampan ke samping, ia tertatih menuju dapur untuk mengambil tas.
"Mau kemana kamu? Bersihkan pecahan kacanya!" teriak Merry.
Diandra mengabaikan mertuanya, membuka pintu belakang dan berjalan pincang keluar dari dapur.
"Diandraa! Kembali kemari? Kamu berani membantahku! Lihat saja nanti akibatnya!"
Untuk kali ini Diandra membalikkan tubuh, menatap perempuan yang menjadi mertuanya. Ia tidak habis pikir, apa kesalahannya hingga punya mertua yang begitu jahat dan sama sekali tidak ada rasa kasih sayang untuknya. Mengusap pelupuknya yang basah, Diandra menjawab dengan bibir gemetar.
"Nenek sakit, dan aku lapar. Mama ingin membersihkan ruang tengah? Kenapa nggak suruh dua anak manjamu itu!"
"Berani-berannya kamu—"
Tidak ingin mendengar banyak cacian, Diandra menyeret kakinya yang sakit ke arah jalan. Memanggil ojek online dan meminta untuk diantar ke rumah si nenek. Sepanjang jalan ia tidak kuasa menahan tangis, di atas motor yang melaju kencang, Diandra terisak tiada henti. Tukang ojeknya bahkan menawari untuk berhenti dan membeli minum, tidak tega melihat Diandra menangis kencang.
"Neng, mau berhenti dulu?"
"Aku nggak apa-apa, Bang. Cuma lagi sakit aja. Ayo, kita jalan."
Sejujurnya Diandra tidak suka menangis, sedari kecil hidup sendiri tanpa orang tua, menempanya menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Ia tidak suka disangka lemah karena harus menjaga neneknya yang tercinta. Tapi, tekanan demi tekana dari keluarga Tommy membuat emosinya seakan tidak terbendung. Ia memang menantu miskin, tapi bagaimana pun dirinya juga manusia biasa. Dan mereka memperlakukannya seperti budak.
Tiba di rumah si nenek, sebelum masuk ke kamar ia lebih dulu ke toilet. Membasuh wajah dan menenangkan diri. Setelah minum segelas air dan yakin kalau suaranya tidak lagi parau, mengetuk pintu kamar neneknya.
"Nek, sakit apaa?"
Duduk di samping ranjang perempuan tua yang selama ini mengasuhnya, hati Diandra terasa sakit. Melihat bagaimana si nenek terlihat tua dan letih. Ia meraih tangan si nenek dan meletakkan di pipinya.
"Nenek nggak apa-apa, cuma lelah. Ngapain kamu jauh-jauh datang?" Kamirah berucap lemah.
"Diandra mau menginap malam ini di sini."
"Suamimu bagaimana? Kamu ini istri orang, nggak bisa sembarangan menginap di luar tanpa ijin suami."
"Suamiku ke rumah orang tuanya, Nek. Ada acara keluarga, tadi aku juga di sana trus ijin ke sini. Pokoknya malam ini aku ingin tidur sama Nenek. Besok libur, aku bisa pulang Senin pagi."
Kamirah tidak tahu apa yang terjadi tapi ia bisa merasakan kesedihan pada cucunya. Suara Diandra yang parau dengan mata sembab. Ia tidak berani bertanya apakah itu ada hubungan dengan pernikahan, karena selama cucunya tidak bercerita, bukan haknya untuk ikut campur.
Selama satu hari dua malam, Diandra menginap di rumah neneknya, yang dulu adalah tempat tinggalnya. Merasakan kenyamanan setelah sekian lama terkurung di rumah besar yang dingin dan pengap itu. Si nenek memanggil tukang pijat untuk mengurut kakinya yang keseleo. Diandra memasak dan makan lahap setelah sekian lama, tidak ada nafsu untuk menyantap apa pun.Ia berpikir, seandainya bisa kembali ke rumah ini, pasti akan membahagiaan. Meninggalkan Tommy yang dingin, Merry dan dua anak gadisnya yang kejam. Rumah ini sangat sederhana dibandingkan rumah keluarga suaminya, tapi di sini ia merasa sangat nyaman dan bahagia.
Setelah peristiwa di rumah mertunya, Diandra menghindari Tommy dan juga Merry berserta dua anaknya. Ia mengabaikan pesan berisi caci maki yang dikirim mereka. Merry mengutuknya karena sudah membuat masalah dan perempuan itu juga mengadu pada anak laki-lakinya. Entah apa yang dikatakan Merry, yang pasti membuat Tommy jengah. Suatu malam, sepulang kerja suaminya itu menegur keras.
"Bisa nggak kamu kerja yang becus. Banyak sekali masalah yang kamu buat, membuat Mama marah terus. Sebenarnya kamu ini bisanya apa, sih, selain membuat orang lain geram?"
Diandra terpaku, mendengar kemarahan suaminya. Ia sedang mengelap meja makan yang baru saja selesai digunakan untuk bersantap. Merasa ironis karena suaminya yang selama ini tidak pernah mengabaikannya, mendadak mengajak bicara dan hanya untuk melontarkan kemarahan. Ia mencuci lap di westafel, tanpa menjawab perkataan Tommy bergegas ke atas.
"Heh, aku belum selesai bicara sama kamu. Turun, sini!"
Tentu saja Diandra dengan sengaja mengabaikan perintah Tommy. Ia membaringkan diri di ranjang dan menghela napas panjang, tak lama terdengar pintu dibanting dan bunyi kendaraan distarter. Tommy mipergi lagi dan Diandra tidak peduli akan ke mana laki-laki itu. Ia sudah terbiasa sendiri, tidak masalah apakah ada Tommy di rumah ini atau tidak.
Hari berganti Minggu dengan cepat. Tidak terasa nyaris satu tahun Diandra menjadi istri dari Tommy. Selama satu tahun ini tidak ada yang berubah dari hubungan mereka, masih sama persis seperti di awal pernikahan. Hanya dua orang yang tinggal bersama tanpa cinta. Sikap mertuanya masih sama ketus, begitu pula dua adik iparnya yang layak dijuluki ipar iblis. Sebisa mungkin berusaha menjauh dari mereka untuk menghindari masalah.
Suatu malam, dua hari menjelang perayaan satu tahun pernikahan, sesuatu terjadi. Di luar hujan deras saat Tommy pulang awal. Diandra sesaat merasa heran dan berniat untuk naik, tidak ingin berada di ruangan yang sama dengan suaminya. Suara Tommy yang mendesak menahan langkahnya.
"Diandra, tolong akuu!"
Diandra terdiam, membalikkan tubuh dan menatap suaminya yang sedang memeluk buntelan besar.
"Bi-bisakah kamu membantuku?" Suara Tommy bergetar.
"Ada apa?" tanya Diandra bingung.
Tommy maju, mengulurkan buntelan yang dipeluknya. Ternyata berisi bayi mungil yang tertidur. Tommy menelan ludah dan berujar dengan suara parau.
"Diandra, ini adalah anakku dengan kekasihku. Anak yang tidak berdosa ini ditinggalkan oleh mamanya. Ka-rena itu, maukah kamu membantuku?" Tommy makin mendekat dan kini bayi itu diserahkan ke lengan Diandra. "Apakah kamu mau merawatnya? Demi keutuhan rumah tangga kita? Aku berjanji akan menjadi suami yang baik kalau kamu merawat bayiku."
Di luar Guntur menggelegar tak lama curah hujan turun dengan deras. Diandra terpaku dengan hati terpilin sakit memeluk bayi merah yang tertidur.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 16.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top