Bab 3
Menjalani pernikahan tanpa paksa, hari-hari Diandra berlalu dingin. Di rumah besar berlantai dua, ia lebih mirip pembantu dari pada nyonya. Karena belum punya anak, Merry menyarankan agar Diandra membersihkan rumah sendiri, dan tidak menggaji pembantu.
"Lumayan untuk berhemat, pembantu sekarang kerjanya nggak ada yang benar," ujar Merry mengantar pengantin baru itu pindah rumah. "Lagian, kamu kerjanya juga siang jam sembilan. Bisa harusnya pagi bikin sarapan suamimu, bebersih baru kerja."
Diandra tidak menolak dan tidak membantah. Lagi pula benar yang dikatakan ibu mertunya, mereka akan berhemat uang lebih banyak tanpa pembantu. Masalahnya rumah berlantai dua yang ia tempati sangat besar. Memerlukan waktu berjam-jam untuk membersihkannya. Diandra menikah dengan orang kaya tapi tidak menikmati sama sekali.
Untuk uang kebutuhan sehari-hari yang memberi bukan Tommy, melainkan langsung dari mertuanya. Dikirim ke rekening tiap bulan, penggunaannya diawasi ketat oleh Merry. Padahal itu uang belanja Diandra, harusnya ia berhak untuk membelanjakan uang itu sesuai keinginannya.
"Buat kamu uang itu pasti banyak sekali, karena itu harus diatur. Jangan boros-boros, kalian cuma tinggal berdua. Anakku juga keseringan makan di rumah kami atau di luar."
Bukan pernikahan yang mudah, selain campur tangan mertua terutama Merry yang sangat cerewet, Tommy sebagai suami juga tidak pernah menganggapnya ada. Laki-laki itu pergi pagi-pagi sekali dan pulang saat larut. Mereka tidur di kamar terpisah, dan Diandra dilarang menyentuh barang-barangnya kecuali pakaian yang selesai dicuci, ataupun masuk kamar Tommy saat membersihkan. Selain itu meeka seolah punya hidup masing-masing. Tommy di kala libur, bahkan tidak pernah pulang. Entah menginap di mana Diandra tidak tahu.
Seorang istri yang kesepian, perempuan muda yang terperangkap dalam pernikahan yang tidak bahagia, demi ketenangan batin sang nenek. Diandra sadar kalau neneknya sakit-sakitan dan sering memikirkannya.
"Nenek bahagia kamu sudah menikah, dengan begitu ada yang menjaga kamu kalau nanti nenek mati."
Sebuah pernyataan yang membuat Diandra bersedih, tapi tetap berusaha untuk tersenyum. "Nenek bicara apa? Memangnya nggak mau lihat cicitmu?"
"Kamu benar, nenek harus lihat cicit dulu. Ngomong-ngomong, kenapa suamimu nggak pernah kamu ajak kemari?"
Selalu pertanyaan yang sama terlontar dari bibir Kamirah pada cucunya. Beberapa bulan berlalu dari Diandra dan Tommy menikah, tapi tidak pernah melihat cucu menantunya datang. Tidak ada kabar juga kalau Diandra hamil, membuat Kamirah bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan pernikahan cucunya.
"Semuanya baik-baik saja, Nek. Suamiku sibuk sekali, maklum bisnisnya sedang naik daun. Sering keluar kota sama papanya. Aku juga sibuk, selain kerja juga belajar, mau mengumpulkan uang untuk ikut pendidikan advokat."
Kamirah mengangguk bangga, karena cucunya sangat rajin dan pintar. "Kamu boleh bekerja dan belajar, nenek dukung. Tapi jangan telantarkan suamimu, ya?"
"Iya, Nek. Diandra ingat itu."
Dalam hati Diandra menjerit, bukan dirinya yang menelantarkan Tommy tapi justru sebaliknya. Suaminya yang tidak menginginkan kehadirannya. Bagaimana ia berani mengajak Tommy datang berkunjung ke rumah nenek kalau tidak pernah bertegur sapa. Saat mereka berada di rumah, suaminya berpura-pura seakan tidak melihat kehadirannya. Pagi sebelum berangkat, ia selalu menawari kopi atau sarapan dan Tommy hanya menatap tanpa menjawab. Sesekali akan muncul perkataan yang bagi Diandra justru lebih baik tidak dikatakan.
"Jangan berpura-pura jadi istri yang baik. Jijik aku melihatmu!"
Meskipun sudah menikah, Diandra tetap merasa single. Kemana-mana sendiri, bahkan saat ingin menonton film pun dilakukannya bersama Anika. Sahabatnya itu tidak jarang bertanya-tanya apa yang terjadi dengannya.
"Lo nonton sendiri, kemana-mana sendiri, udah nikah bukannya kelihatan bahagian, malah kelihatan tertekan. Lo sadar nggak kalau sekarang ini lo sangat kurus."
"Masa, sih? Perasaan biasa aja."
"Biasa aja gimana? Pipi lo yang chubby menggemaskan nggak ada lagi. Ganti jadi kempot kayak nenek tua!"
Malam itu, selesai mandi Diandra berdiri di depan cermin dengan hanya memakai celana dalam dan bra. Tidak salah yang dikatakan Anika, ia memang terlihat lebih kurus dengan muka cekung. Padahal ia sudah makan sebanyak yang perutnya bisa menampung, tidak pilih-pilih makanan, tapi entah kenapa tidak bertambah gemuk. Tersenyum menatap bayangannya di cermin, Diandra mengatakan pada diri sendiri, menjadi langsing itu bagus. Berapa banyak perempuan bersedia membayar hanya untuk mendapatkan tubuh langsing sepertinya. Ia berusaha mensyukuri keadaannya.
Suatu malam, Tommy pulang dalam keadaan mabuk diantar oleh Hazel. Laki-laki berkulit putih itu meminta maaf berkali-kali pada Diandra dan mengatakan semua kesalahannya karena tidak mengawasi Tommy dengan baik.
"Aku juga nggak nyangka kalau Tommy bakalan mabuk berat. Tadinya aku pikir dia hanya ingin minum sedikit. Maklum, besok kami berpisah. Aku akan ke USA, Diandra."
Diandra tersenyum pada laki-laki baik hati itu. "Wah, semoga selamat sampai tujuan."
"Terima kasih. Ngomong-ngomong, aku dengar dari Tommy kamu seorang pararegal?"
"Benar."
"Kenapa nggak ikut ujian advokat?"
"Masih belajar dan juga mengumpulkan biaya."
Hazel berdecak bingung. "Diandra, suamimu kaya raya, harusnya biaya untuk ujian mudah saja buat Tommy. Nggak akan ngabisin jatah dia seminggu bisa jadi."
Diandra tidak menjawab, hanya tertawa lirih dan berdiri kikuk. Di sofa terdengar dengkur keras dari Tommy. "Terima kasih sudah mengantar suamiku."
"Aku pulang dulu, sampai jumpa kapan-kapan. Oh, ya, pulang dari USA nanti aku ada rencana membuka kantor advokat, semoga kamu bisa kerja sama aku nanti."
Terbelalak bingung, Diandra bertanya dengan takjub. "Kamu pengacara juga?"
"Benar, pengacara kriminal."
Berbeda dengan Tommy yang cenderung pendiam, Hazel sangat hangat dan mudah diajak bicara. Laki-laki itu berpamitan sekali lagi setelah mereka bertukar cerita. Mengamati sosok Hazel yang menjauh, Diandra tidak merasa heran kalau Tania jatuh cinta setengah mati pada laki-laki itu. Ia pernah mendengar pembicaraan dua adik iparnya tentang Hazel. Sedari dulu, Tania sudah naksir dan ingin menjadi kekasih Hazel tapi bertahun-tahun mengejar, tidak ada hasil.
Kisah cinta Tania sama persis dengan Gema. Mereka sama-sama mengejar laki-laki yang sulit untuk didapatkan. Tanpa sadar Diandra menertawakan diri sendiri karena mengalami hal yang sama. Ia menginginkan sikap suaminya berubah. Berharap kehangatan dari pelukan Tommy. Makin lama menikah, makin mustahil keinginannya menjadi kenyataan. Ketulusan, kebaikan, dan kehangatan yang ditawarkannya ditolak mentah-mentah oleh suaminya sendiri.
Tommy yang mabuk muntah di ruang tamu, mengotori sofa, karpet, dan juga lantai. Laki-laki itu menggeram, memaki, dan berteriak memanggil nama seorang perempuan.
"Evaaaa, kamu jahat, Evaaa. Di mana kamu, Sayaaang. Di mana kamu sekarang?"
Diandra yang sedang membersihkan terdiam. Tangannya terhenti dan menatap Tommy yang kini meraung sambil menangis. Sesekali ada gumaman yang tidak jelas tapi di kadang-kadang ada ungkapan kerinduan untuk seorang perempuan.
Eva, apakah itu kekasih Tommy? Apakah mereka bertengkar malam ini karenanya Tommy mabuk? Diandra tergoda untuk meninggalkan Tommy tergeletak di ruang tamu, tapi aroma alkohol dalam cairan muntah membuatnya mual. Mau tidak mau ia berusaha memapah Tommy menuju kamar mandi.
"Kenapa merepotkan, sih?" gumam Diandra tidak sabar. Ia bahkan tidak sempat merasa cemburu pada perempuan bernama Eva karena sibuk mengurus suaminya yang mabuk. Tommy kembali muntah di kamar mandi, setelah itu tergeletak dan tidur di sofa ruang tengah. Diandra kerja bakti membereskan rumah, mengepel lantai, membasuh karpet, dan terakhir mengelap sofa serta meja.
"Kamu patah hati karena Eva dan aku yang harus kerja keras," gumam Diandra sambil menatap suaminya yang mendengkur. "Kita harus bagaimana, Tommy? Perlukah kita bercerai demi membebaskan diri?"
Tentu saja, Diandra tergoda untuk bercerai. Kalau bukan karena sang nenek, ia lebih suka hidup sendiri daru pada menikah dengan laki-laki yang tidak menganggapnya ada.
Pukul lima dini hari, pekerjaannya baru saja selesai dan ia tertidur saat pagi menjelang. Rasanya ia baru merebahkan diri saat bel pintu berdering tiada henti, disusul dengan ponselnya yang terus menerus berbunyi tanpa panggilan masuk. Diandra mengerjap, meraih ponsel dan menerimanya.
"Iya, Ma."
"Buka pintu, dasar pemalas!"
Diandra mengerjap, berusaha memfokuskan pandangan. Ia mengedus pakaian, untuk memastikan tidak ada bau muntah yang tertinggal. Mencuci muka lalu menguncir rambut dan bergegas turun untuk membuka pintu. Di ruang tengah, suaminya masih terlelap dan ia mengabaikannya. Setengah berlari menuju pintu. Saat membukanya, Merry berdiri dengan Tantri di teras. Wajah keduanya menunjukkan kekesalan.
"Pagi, Ma. Ada apa datang pagi-pagi?" sapa Diandra.
"Pagi kata lo? Ini udah jam sembilan! Lo masih tidur? Enak amat hidup lo jadi istri kakak gue!" Tantri membentak marah, berbeda umur empat tahun tapi sikap gadis itu pada Diandra sungguh-sungguh kasar dan tidak ada sopan santun. Meski begitu, Merry sama sekali tidak ada niat untuk menegur anak bungsunya. Justru terlihat menikmati wajah Dindra yang tertekan.
"Mentang-mentang hari Sabtu, kamu berleha-leha saja? Rumahmu kotor dan bau apa ini? Sampah?" tanya Merry.
"Bukan, Ma. Tadi malam Kak Tommy pulang dalam keadaan mabuk."
"Terus, kamu nggak bersihin?"
"Sudah, tapi—"
"Halah, banyak alasan kamu. Di mana anakku?"
Merry menyingkirkan tubuh Diandra, bergegas masuk dan menjerit saat melihat Tommy tergeletak di sofa. "Ya ampun, Tommy. Ngapain kamu tidur di sofa? Bisa masuk angin!"
Tommy mengerang. "Berisik banget, sih?"
"Sana, pindah ke kamar! Punya istri yang nggak becus, ya, kayak gini. Suami mabuk bukannya dibawa ke kamar malah suruh tidur di sofa! Tantri, bantu mama bawa kakakmu!"
"Nggak, Ma. Aku bisa sendiri." Tommy menolak bantua mamanya. Berdiri terhuyung mengucek mata, bersendawa dan mengusap perutnya. Tanpa melihat ke arah Diandra, ia naik tangga dengan perlahan.
"Tommy, aku bawa istrimu ke rumah!"
Tommy tidak menjawab, hanya melambaikan tangan kanan dengan sikap tidak peduli. Merry berpaling pada Diandra yang berdiri di sudut.
"Ngapian kamu di sana? Sana ganti baju. Ikut ke rumah. Aku ada arisan hari ini dan dua pembantu keluar karena mencuri. Buruan, aku butuh bantuanmu!"
"Iya, Ma."
Tanpa bantahan Diandra berganti pakaian, berupa celana katun cokelat dengan kaos putih. Ia sengaja berpakaian santai, karena takut di rumah mertuanya akan banyak bergerak. Ternyata dugaannya tidak salah, dari semenjak datang Diandra bekerja di dapur bersama seorang pembantu. Memasak, membuat minuman, dan mengiris buah. Semua dilakukan berdua, membuat makanan dengan banyak macam.
"Ingat, saat nanti teman-temanku datang, jangan sekali-kali ke depan. Aku tidak mau mereka melihat betapa dekilnya kamu!"
Peringatan Merry pada Diandra bergema di dapur yang sepi. .
.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 12.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top