Bab 25
Tommy menatap punggung Diandra dengan berbagai perasaan berkecamuk. Ia ingin bicara penting tentang semua hal dalam rumah tangga mereka tapi istrinya sedang sibuk. Keyano berlarian dari depan ke belakang, sesekali merengek pada sang mama meminta sesuatu tapi di lain kali akan ribut minta digendong. Diandra sedang membuat makanan untuk Keyano, sedari tadi sibuk di depan kompor. Sering kali Tommy merasa bangga, di kala sibuk Diandra masih perhatian dengan anak mereka. Andai kasih sayang pada Keyano diberikan sama persis untuknya juga, pasti Tommy akan senang. Sayangnya, ia tidak bisa mendapatkan hal seindah itu dari istrinya.
Sekian lama tinggal seatap, makin hari Tommy makin mengerti sikap dan sifat istrinya. Diandra yang tegas dalam bertindak, seakan tidak pernah terpengaruh keadaan kala harus membuat keputusan. Awal menikah rela mengalah pada keluarganya. Tidak membantah apa pun perintah mamanya. Semua dilakukannya demi Tommy. Pada akhirnya Tommy juga yang menghancurkan keteguhan itu dengan pengkhianatan, yang sepertinya tidak akan pernah bisa dilupakan.
Menghela napas panjang, Tommy menyesap kopi di cangkirnya. Ingin sekali bertanya pada istrinya apakah tidak ada kata maaf untuknya? Bukankah banyak laki-laki di luar sana yang berselingkuh tapi istrinya tetap memaafkan dan memberi kesempatan? Kenapa sulit bagi Diandra melakukannya? Membuka pintu maaf dan memberinya kesempatan kedua. Ia akan berjanji menjadi suami dan papa yang baik bagi Keyano. Sayangnya, tidak ada kepastian untuk itu. Justru sekarang Diandra yang asyik berkarir, lebih fokus pada masalah pekerjaan dan lebih dekat dengan Hazel dari pada dengan dirinya sebagai suami. Pertama kalinya, Tommy merasa sangat cemburu pada sahabatnya itu.
Dari mereka kenal pertama kali, selalu saling mendukung satu sama lain. Hazel adalah sahabat terbaik dan banyak membantunya mengatasi masalah, terutama saat Reena sedang membuat ulah. Sering juga menggunakan pengaruh keluarganya yang kaya raya itu untuk menyelesaikan masalah. Hazel itu pintar, tampan, dan kaya. Banyak perempuan yang suka dan Tommy tidak pernah cemburu meski sering dibandingkan, karena sebagai sahabat mereka saling mengerti satu sama lain. Sekarang ini, ia merasa sangat-sangat cemburu karena istrinya justru sering memuji sahabatnya dari pada dirinya.
"Hazel itu intuisinya bagus."
"Kasus ini sulit tapi kalau menangangi dengan Hazel, aku yakin bisa."
Itu adalah kata-kata yang sering terlontar dari bibir Diandra setiap kali mengobrol soal hukum entah dengan neneknya atau dengan Nana. Tommy tidak pernah berpikiran buruk, justru merasa bangga dengan mereka sampai lama kelamaan merasa tersisihkan. Sungguh perasaan kenak-kanakan yang sulit dihilangkan.
"Mamaa, mau jus."
Diandra menoleh ke arah Tommy yang duduk di belakangnya.
"Sayang, minta sama Papa sana."
Keyano menggeleng. "Maunya sama Mama."
Tommy tersadar dari lamanuna, tersenyum dan melambai ke arah anaknya. "Sini, papa ambilin yang banyak."
Kenayo ragu-ragu sesaat sebelum menghampiri Tommy. Memang Keyano sangat lengket dengan sang mama. Kalau ada Diandra di rumah semua orang baik Tommy maupun Nana tidak dianggap. Tommy membuka kulkas, mengambil jus jambu dan menuangkan ke dalam gelas.
"Mau es batu?"
"Mau Papa."
Tommy menambahkan es batu, membawa anaknya ke sofa ruang tengah dan mendudukkanya di sana dengan segelas jus. Ia kembali ke dapur untuk menunggu istrinya memasak dan tak lama berbagai hidangan yang bisa dimakan oleh Keyano tersedia di meja.
"Kenapa bukan Nana yang masak?" tanya Tommy.
Diandra menjawab sambil lalu. "Nana butuh istirahat. Menjaga Keyano itu nggak mudah. Seminggu sekali aku yang masak, nggak masalah."
"Kamu boss yang baik," puji Tommy.
Diandra merasa heran dengan pujian suaminya tapi tidak mengatakan apa apa. Ia membersihkan perlatan memasak, setelah itu mengelap kompor. Selesai semua membalikkan tubuh dan heran pada suaminya yang masih duduk di kursi seakan sedang menunggunya.
"Ada apa? Tumben kamu nunggu aku masak?"
Tommy mengulum senyum. "Sengaja nunggu kamu, karena kalau nggak ditunggu begini kamu nggak mau bicara sama aku."
"Ada masalah?"
Menarik kursi di seberang suaminya, Diandra menyesap es kopi yang sudah mencair dari gelas tinggi. Menatap Tommy yang sekarang menunduk. Wajah Diandra diliputi seribu pertanyaan. Ia punya dugaan kalau masalah yang ingin dibicarakan suaminya pasti ada hubungan dengan Reena. Ia sudah bersiap dengan segala kemungkinan. Memang terlihat kegelisahan pada wajah dan sikap suaminya semenjak mantan kekasihnya itu kembali. Ia yakin mereka sudah bertemu dan entah bagaimana pertemuan itu berlangsung, tidak ada urusan dengannya. Meskipun ia sedikit ingin tahu apa yang terjadi dengan mereka.
Menatap mata si istri lekat-lekat, Tommy melontarkan pertanyaan yang sedikit sulit dan terasa mengganjal di tenggorokan.
"Kenapa kamu selalu bepergian berdua dengan Hazel?"
Diandra mengedip bingung. "Maksudnya apa?"
"Maksudku adalah, ada banyak pengacara di kantor kalian, kenapa kamu selalu berdua dengan Hazel? Memangnya nggak ada orang lain? Seperti tadi malam, aku jelas nungguin kamu untuk makan bersama dan ternyata kamu malah makan di luar bersama Hazel. Kenapa kalian harus berdua?"
Keheranan melanda Diandra, sampai-sampai otaknya terasa buntu. Hatinya tergelitik mendengar pertanyaan yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Mulai kapan semua sikap dan tindakannya menjadi pertanyaan? Terlebih ini menyangkut pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan hal pribadi. Lagi pula, atasannya adalah Hazel yang juga sahabat Tommy. Sungguh sebuah pertanyaan yang tidak masuk akal.
"Tommy, kamu ngerti bukan arah pertanyaanmu?" Diandra berucap dengan tenang. "Kamu tahu bukan siapa atasanku?"
Tommy mengangguk. "Iya, Hazel."
"Kamu mengerti dan masih tanya kenapa harus aku sama Hazel? Di kantor itu, khususnya untuk kasus Nyonya Shinta, memang aku dan Hazel yang menangani. Ada tim lain yang khusus untuk mengurus masalah harta gono gini. Kemarin itu kami pergi ke rumah saksi dan sulit sekali meminta keterangan dari saksi itu. Sampai malam baru selesai. Dalam keadaan habis hujan dan lapar, memangnya salah kalau kami makan duluan?"
Penjelasan dari Diandra menimbulkan rasa malu pada diri Tommy. Meski begitu ia tetap harus membuat semua masalah menjadi jernih.
"Memangnya selain Hazel nggak ada yang bisa bantu kamu? Ada banyak pengacara lain juga bukan?"
"Memang, tapi tugasku sama Hazel kebetulan sama."
"Kenapa bisa sama?"
Diandra menghela napas panjang, merasa jengkel sekarang. "Tommy, untuk kasus ini aku dan Hazel adalah pengacara utama. Kami jelas diwajibkan untuk bekerja sama. Kamu tanya kenapa harus kami? Jawaban apa yang kamu mau? Jelas-jelas karena pekerjaan. Aku heran sama kamu, ada apa, sih sampai tanya menggebu-gebu soal Hazel dan aku?"
"Karena aku cemburu!" teriak Tommy tidak tahan lagi. Menatap istrinya yang berada di seberangnya dengan heran. "Kamu dengan Diandra? Aku cemburu karena kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengan Hazel dari pada denganku padahal aku suamimu. Oh, jangan membantah Diandra. Kamu tahu dengan jelas kalau aku benar!" Tommy menghela napas panjang saat melihat istrinya membuka mulut ingin membantah. "Kamu pasti bilang kalau aku nggak layak cemburu, pernikahan kita hanya platonic demi Keyano. Memangnya nggak boleh kalau aku beneran sayang sama istriku?"
Kata-kata Tommy tidak membuat Diandra terkejut sama sekali. Ia sudah sering mendengar kata cinta dari suaminya, ungkapan rasa sayang, dan perhatian berlebihan layaknya suami pada istri. Tapi baru kali ini merasa cemburu dengan orang lain. Diandra tidak habis pikir kenapa Tommy bisa merasakan itu, padahal mereka bersahabat bahkan dari semenjak belum mengenalnya.
"Kenapa diam Diandra? Kaget karena aku bilang cinta dan cemburu sama kamu?"
Diandra menggeleng. "Nggak kaget, karena kamu sering bilang cinta. Buat orang luar memang kamu terlihat sangat cinta sama aku, tapi kita berdua tahu siapa yang kamu cintai," ucapnya dengan tenang. "Jangan membantah Tommy. Kalau benar kamu cinta sama aku, nggak akan mengkhiantiku dengan Reena. Nggak ada bercumbu dengan perempuan yang melemparkan diri padamu, aku nggak pernah lupa bagaimana kamu terlibat dengan Cindy."
"Aargh! Diandraa, itu karena kamu nggak ngasih kasih sayang ke aku. Memangnya aku patung yang sanggup menahan birahi, hah? Aku manusia biasa, laki-laki yang dimanja dan di rumah istriku sangat dingin melebihi kutub. Mana ada yang tahan kalau begitu?"
Diandra bangkit dari kursi dan mengulum senyum dingin. "Tommy, aku sangat mengerti keingiannmu tapi sayangnya nggak bisa aku berikan."
Tommy ikut bangkit, mengitari meja dan meraih lengan Diandra lalu mencengkeramnya. "Kenapa? Kamu mau bilang kalau nggak ada cinta untukku?"
"Lepaskan, ada Keyano," bisik Diandra panik.
"Nggak apa-apa kalau Keyano lihat, biar dia tahu bagaimana mamanya sangat kejam dan dingin dengan papanya. Aku sudah memohon, bersujud dan merendahkan harga diriku untuk meminta maaf dan kamu masih sama egois dan sombong dengan harga dirimu!" Tommy menolak untuk melepaskan cengkeramannya. Ingin menunjukan pada istrinya kalau sebagai suami wajib dipatuhi. Ia bahkan tidak sadar kalau tenaga yang dikeluarkan terlalu besar.
Wajah Diandra mengeruh seketika. Mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Tommy tapi sulit. Jemari suaminya memegang erat lengannya dengan ujung kuku menusuk kulit. Ia mengernyit kesakitan dan terengah takut saat mencium aroma parfum dari kemeja Tommy. Bayangan bertahun-tahun lalu kembali datang, saat Tommy yang mabuk ingin memperkosanya. Tidaak! Bagaimana mungkin perasaan takut dan trauma ini masih membekas setelah bertahun-tahun lamanya? Diandra menjerit dalam hati. Tanpa sadar napasnya tersengal dengan keringat dingin membanjiri tubuh.
"Tommy, le-lepaskan aku."
Tommy terkesiap, kaget melihat istrinya yang gemetar. Serta merta cengkeramannya terlepas dan mundur dengan bingung. "Diandra, kamu kenapa?"
Ambruk ke lantai dengan tangan terkepal, Diandra berusaha mengatur napasnya. Tidak boleh begini. Laki-laki yang baru saja mencengkeramnya adalah suaminya dan bukan laki-laki jahat. Kenapa harus takut? Kenapa harus gemetar? Tommy tidak akan melukainya. Nyatanya berbagai penghiburan tidak membuatnya tenang dan tubuhnya kini bahkan menggigil. Pertanyaan Tommy terdengar bergaung jauh di atas kepalanya. Ia menutup telinga rapat-rapat dan berusaha untuk tetap tenang.
"Mamaaa, Keyano lapar!"
Sosok kecil itu datang, menghambur ke dalam pelukannya dan merangkul lehernya dengan lengannya yang mungil. Diandra memeluk Keyano erat-erat, berusaha mengendalikan diri. Saat ini ada Keyano, tidak perlu takut dan Tommy juga bukan penjahat. Setelah merasa tenang, Diandra tersenyum pada anaknya.
"Ayo, kita makan, Sayang. Ajak Papa sekalian."
Bangkit dengan perlahan, Diandra membantu anaknya mencuci tangan lalu mendudukkanya di kursi. Ia menghindari pandangan Tommy. Mengambil nasi dan lauk untuk Keyano dan menyodorkan pada Tommy. Sepanjang makan, tidak ada percakapan selain celoteh Keyano.
Sikap diam istrinya membuat Tommy dilanda rasa bersalah. Ia hanya ingin bicara dan meminta pengertian istrinya tapi nyatanya justru membuat Diandra takut. Ia memang bodoh, bertindak tanpa berpikir dan berujung pada kekerasan di luar kemauannya.
"Apa yang sebenarnya sudah aku lakukan?" pikir Tommy muram.
Di sela makan, Tommy menerima pesan dari nomor tidak dikenal. Ia membukanya dan pesan yang tertera membuat hatinya campur aduk.
"Tommy, sebenarnya saat itu aku nggak mau ninggalin Keyano tapi orang tuaku memaksa. Kamu tahu bukan bagaimana mereka? Kedua orang tuaku nggak bisa dibantah. Saat itu mereka yang mengepak pakaianku dan menyiapkan visa sekaligus pasportku. Jujur saja Tommy, kalau bukan karena paksaan mereka aku lebih memilih bersama kamu. Hidup bahagia dengan anak kita. Apa kamu nggak ingin hal yang sama, Sayang?"
Tommy mengabaikan pesan itu dan membiarkannya saja. Tidak perlu terjebak dan terjatuh dalam rayuan yang sama. Reena sudah menyakitinya dan tidak perlu menggubrisnya sekarang. Ia menatap Keyano yang makan dengan lahap, lalu pada istrinya yang bertutur lembut pada anak mereka. Diandra yang teguh, keras, dan dingin, membuat hatinya tercabik bimbang.
"Tommy, jangan mengabaikanku. Aku jelas tahu kalau kamu merindukanku. Bagaimana kalau kita bertemu untuk minum berdua? Aku jani hanya minum saja dan tidak ada hal lain. Aku tunggu jawabanmu dan aku akan terus menganggu kalau kamu menolak."
Pesan bernada sama dikirim setidaknya sepuluh kali dan membuat Tommy akhirnya menyerah. Menerima ajakan mantan kekasihnya dengan harapan Reena tidak akan menganggunya lagi.
...
Hari terakhir PO
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top