Bab 24

Tommy menatap perempuan yang berdiri di depan pintu, sangat cantik dan sexy dalam balutan pakaian tidur yang menerawang. Ada rokok menyala terjepit di sela jari kanan. Bulu mata lentik, pipi halus dan tirus, serta bibir penuh yang terlihat basah dan menggoda. Reena tersenyum kecil, menarik Tommy masuk lalu menutup pintu.

"Lama juga kamu mikirnya. Aku pikir kamu akan datang hari itu juga, saat istrimu memberi kabar aku pulang."

Tommy berdiri kaku, menatap Reena yang duduk menyilangkan kaki di sofa. Bagian bawah pakaian tersingkap dan menunjukkan pahanya yang putih mulus. Pakaian itu bisa dikatakan bukan penutup tubuh karena sangat tipis dengan warna krem berenda. Dada Reena membusung terlihat sangat jelas sementara area intimnya ditutup celana hitam. Penthouse yang luas, dengan dinding kaca menunjukkan pemandangan kota. Warna-warna yang mendominasi ruangan berupa putih, kuning emas, dan abu-abu. Perabot ruangan berkualitas terbaik, dari mulai sofa, buffet, lukisan di dinding, bahkan lampu gantungnya. Semuanya import dari luar negeri. Tommy tahu berapa harganya karena ikut andil dalam memilih saat Reena membeli penthouse ini. Dengan alasan ingin mandiri, perempuan itu memilih hidup terpisah dari keluarganya. Kenyataannya adalah agar mereka berdua bisa bebas bercinta kapan aja dan di mana saja di seluruh penjuru penthouse.

Reena sangat suka sex, liar dalam percintaan, dan mengerti benar cara memuaskan serta dipuaskan laki-laki. Seumur hidupnya, Tommy merasakan kebahagiaan yang hakiki adalah saat bersama Reena. Hubungan mereka meledak-ledak penuh gairah, tapi di saat bersamaan juga sarat cacian dan amarah.

Reena tidak suka diatur, berbuat semaunya dalam segala hal. Sering kali sikapnya yang keras kepala memicu pertengkaran hebat. Setiap kali itu terjadi, Reena memutuskan hubungan. Mereka menjauh satu sama lain, dan yang dilakukan Reena untuk membuat Tommy kembali adalah dengan membuatnya cemburu.

Pernah suatu waktu, saat mereka bertengkar hebat dan sepakat untuk putus, Tommy yang patah hati minum-minum di bar bersama Hazel dan teman-teman yang lain. Reena datang dalam kondisi setengah mabuk bersama seorang laki-laki bule. Yang dilakukannya untuk membuat Tommy cemburu sungguh kurang ajar, menari bersama laki-laki itu di atas meja. Tidak menolak saat digerayangi dan bahkan membalas ciuman denga sangat panas. Terakhir, pakaiannya melorot dan menampakkan setengah tubuhnya. Kalau bukan Hazel yang bertindak, bisa jadi Reena dan laki-laki itu akan bercinta di atas meja. Tommy mengamuk, membopong Reena keluar dari bar layaknya pahlawan menyelamatkan puteri. Masuk ke mobil, bertengkar hebat dan diakhiri dengan sex panas di parkiran.

Selalu terulang hal yang sama dan lama kelamaan membuat Tommy jenuh. Sampai akhirnya menerima tawaran pernikahan dengan Diandra. Siapa sangka, setelah dirinya menikah Reena justru makin terobsesi dan merayunya dengan gencar.

"Ternyata, bercinta dengan suami orang sangat menggairahkan. Oh, Sayang, pernikahanmu membuat hubungan kita makin panas."

Tommy terjebak dalam bujuk rayu, menjalin hubungan dengan Reena dengan status sebagai suami Diandra. Setelah itu Reena menghilang setelah melahirkan Keyano. Saat hatinya mulai tenang, ingin menatap hidup bersama Diandra, perempuan cantik itu kembali dan mencabik-cabik hati Tommy.

"Kenapa diam saja, Sayang? Ayo, duduk dan kita bicara!" Reena menunjuk sofa kosong di depannya. "Kamu makin tampan setelah sekjan lama kita nggak ketemu. Bisnismu berkembang dengan baik rupanya. Dilihat dari tubuhmu yang sedikit lebih berisi dan sexy. Ngomong-ngomong aku suka melihatnya." Reena mengedipkan mata, melihat Tommy hanya berdiri diam membuatnya jengkel. Ia bangkit dari sofa, menghampiri Tommy dan mengalungkan tangan di lehernya. Menggesekkan dadanya dengan sensual seraya berbisik. "Kamu mau berdiri saja di sini? Bagaimana kalau kita berciuman dulu lalu dilanjutkan dengan sesi pemanasan?" Jemari Reena dengan kurang ajar mengusap kejantanan Tommy. "Aku tahu kamu suka dioral sambil berdiri. Mau kita lakukan sekarang Tom?"

Napas Tommy menjadi berat seketika. Membayangkan hal-hal erotis yang bisa dilakukannya bersama Reena. Sudah lama ia tidak menyentuh seorang perempuan dan pastinya akan sangat menyenangkan. Sayangnya ia datang bukan untuk ini. Mendorong tubuh Reena, Tommy melangkah cepat menuju sofa dan duduk di sana.

"Kenapa kamu ke rumah? Kenapa harus menermui Diandra, hah!"

Perkataan keras dari Tommy sedikit mengejutkan Reena. Setelah menguasai diri ia berdecak dan kembali duduk di tempatnya semula. Mengambil satu batang rokok dan menyulutnya.

"Marah Tommy? Kenapa? Karena Diandra atau Keyano?"

Wajah Tommy menggeleng. "Jangan berpura-pura nggak tahu Reena. Kamu jelas datang untuk menyerang Diandra bukan?"

"Wow, apa perempuan itu mengadu padamu? Dia bilang aku menyerangnya? Luar biasa sekali!" Reena berteriak sambil bertepuk tangan dan abu memercik ke semua tempat.

"Diandra nggak ngomong apa-apa malah, hanya memberi informasi kalau kamu datang. Tanpa tambahan kata-kata yang lain. Tapi aku dengar dari Nana, pengasuh Keyano, kalau kalian berdua berdebat bahkan kamu membanting cangkir ke lantai. Ya Tuhan, Reena. Kamu nggak berubah! Dari dulu sampai sekarang, kamu suka sekali menyakiti orang lain!"

Reena melotot ke arah Tommy. Kekesalan terlintas di matanya. Sekian lama tidak bertemu, ia membayangkan kalau Tommy akan memeluk dan menciumnya. Ia yakin Tommy masih mencintainya bisa dilihat dari pernikahannya dengan Diandra yang tidak mempunyai anak. Tapi ternyata salah. Tommy datang hanya untuk mengamuk padanya, sungguh di luar perkiraaan.

"Tommy, kamu membela istrimu?" tanya Reena dengan nada sakit hati.

Tommy menyipit ke arah mantan kekasihnya dan menganggeleng. "Bukan membela Diandra, karena dia sendiri nggak butuh pembelaanku. Tapi, aku tegaskan padamu, lain kali kalau mau bertindak jangan terlalu impulsif. Keyano nggak pernah kenal siapa kamu. Mendadak kamu datang ingin memeluk dan menciumnya? Kamu gilaa, Reena!"

"Memang! Aku gilaa! Lalu kenapa?" Reena membentak. "Selama bertahun-tahun kita nggak ketemu, aku menjauh agar Keyano bisa dekat denganmu dan saat aku kembali, ternyata begini perlakuanmu?"

"Apa? Kamu menjauh demi Keyano? Hah, jangan membuatku tertawa Reena. Kita berdua jelas tahu apa yang kamu ingin capai saat itu. Karir dan kepopuleran!" Tommy bangkit dari sofa dan menunjukan Reena dengan amarah terpendam. "Aku ingatkan sekali lagi, jangan ganggu anakku. Keyano sudah nyaman dengan Diandra. Jangan merusak mental seorang anak karena lahir dari perempuan sepertimu!"

Tanpa permisi Tommy bergegas pergi, meninggalkan Reena yang terbeliak marah. Pintu dibanting menutup, Reena meraih asbak dan melemparkannya ke seberang ruangan hingga membentur dinding. Semua yang terjadi di luar rencananya dan ia merasa sangat-sangat marah.

"Diandraa! Aku nggak akan menyerah sekarang. Kamu sudah merampas semua yang aku tinggalkan, Keyano lalu Tommy. Aku akan mendapatkan kembali apa yang seharusnya aku miliki! Perempuan jahanam!"

**

Membutuhkan waktu berjam-jam sampai mereka selesai meminta keterangan Nabila. Saat keluar dari unit si artis, Diandra merasa kepalanya pusing sedangkan Hazel menghela napas lega. Rasa lapar mendera dan memereka memutuskan untuk makan di restoran terdekat. Yang mereka temui adalah warung tenda pinggir jalan yang menyediakan iga panggang, ayam dan bebek bakar. Duduk berhadapan, Hazel memesan teh panas begitu pula Diandra. Untuk makanan mereka memesan iga lada hitam, tumis kangkong, dan sop kambing. Menunggu makanan datang. Hazel menyulut rokok. Menatap Diandra yang sibuk mengelap meja dengan tisu.

"Aku kesal sekali dengan gadis itu." Hazel berdecak tidak puas. "Kata-katanya selalu berubah-ubah, dan entah mana yang bisa dipercaya."

"Memang mengesalkan. Dia lebih sibuk merayumu dari pada memberikan keterangan. Kalau tidak ingate tika kerja pingin aku pukul tangannya yang berusaha menggerayangi pahamu. Untung saja kamu bersikap tegas dengan menyingkirkan tangannya." Diandra mengomel sambil mengelap permukaan meja dan membuang tisu ke tempat sampah.

"Bukan sombong tapi perempuan seperti Nabila mudah ditemui di kota-kota besar. Menjual tubuh dan wajah dengan harapan bisa menemukan laki-laki kaya yang akan membantu perekonomian mereka. Biasanya, mereka berasal dari kaum kurang secara finansial, merasa punya wajah cantik untuk dijual. Jadilah mereka masuk ke dunia hiburan dengan harapan bisa menangkap kakak besar untuk umpan tubuh dan sedikit popularitas."

Diandra mengeryit, memahami penjelasan Hazel. "Kalau begitu, apakah Nabila berteman dengan Reza atau dengan korban sebagai sesama artis?"

Hazel menggeleng. "Kita nggak tahu, tapi sebaiknya kita selidiki. Perlu juga dicari tahu apakah Nabila berhubungan juga dengan suami Nyonya Shinta."

Meraih ponsel untuk mencatat perkataan Hazel, Diandra melihat dua panggilan tidak terjawab dari Tommy dan satu pesan masuk.

"Jangan pulang malam-malam, aku ingin bicara."

Ia tidak tahu apa yang ingin dikatakan suaminya. Berpikir sesaat sebelum membalas pesan Tommy.

"Baru selesai bertemu klien dan sekarang sedang makan. Nggak usah menungguku, besok saja kita bicara."

Pesanan mereka datang, Hazel mencuci tangan lebih dulu dilanjutkan dengan Diandra. Mereka bersantap sambil bicara soal kasus dengan nada lembut. Tidak ingin orang-orang di meja sebelah mendengarnya.

"Wah, enak sekali iganya," puji Hazel.

Diandra mengangguk setuju. "Memang, kangkungnya juga enak. Ini, Cobain!"

Dengan cekatan Diandra menyendok tumis kangkong ke piring Hazel. Laki-laki itu menagngguk. "Benar, memang enak. Kapan-kapan kita harus makan kemari lagi."

"Setuju! Bila perlu bawa tim biar semua tahu ada warung tenda yang enak."

Mereka makan lahap, setelah keluar dari warung dilanjutkan dengan membeli kopi. Seharian ini mereka bersama dan tanpa sadar Diandra selalu tertawa. Hazel pun demikian, tidak melulu bicara soal kasus sesekali mereka bercerita soal keluarga. Hazel berbagi informasi tentang Helena dan adik bungsunya yang manja. Sedangkan Diandra menceritakan tingkah konyol Keyano.

Layaknya dua sahabat yang seolah sudah saling mengenal satu sama lain, mereka bicara terbuka dengan tawa bahagia. Bagi Diandra memang sangat membahagiakan bisa dekat dengan laki-laki yang mengerti dirinya dengan baik seperti Hazel.

Saat kendaraan Hazel berbelok di ujung jalan rumah Diandra, laki-laki itu menerima panggilan dari kekasihnya. Mereka membuat janji untuk berkencan besok. Sedangkan Diandra membalas pesan Tommy yang bertanya di mana dirinya makan. Tidak peduli betapa akrab dan cocok mereka, ada hal yang tidak dapat dikesampingkan, yaitu status masing-masing. Diandra memilih untuk mengingkari dadanya yang berdebar lembut saat melihat senyum Hazel..
.
.
.
Sedang PO


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top