Bab 23

Hari ini ada jadwal untuk wawancara saksi mata. Sebenarnya Diandra lebih suka memanggil saksi untuk datang ke kantor, tapi dengan alasan privacy, mereka yang akhirnya pergi berkunjung ke rumah saksi. Seorang artis muda yang menjadi teman dari tersangka. Diandra bersama Hazel menaiki satu mobil yang sama. Hazel mengemudi sementara Diandra sibuk membacakan detil kasus yang mereka tangani.

Melanju stabil di tengah jalanan yang ramai lancar, Hazel mendengarkan setiap informasi yang dibacakan Diandra untuknya. Inilah yang disukainya saat bekerja bersama Diandra, mereka akan mengevaluasi setiap kasus, lagi dan lagi untuk mencari celah yang bisa jadi sudah dilewatkan. Diandra bahkan membuat catatan dari setiap informasi yang mereka terima, entah menguntungkan atau merugikan, semua hal yang terkait dengan kasus akan dicatat rapi.

"Nyonya Shinta adalah mama dari Reza. Sedangkan yang menjadi saksi adalah temannya Reza, si Violet ini. Nama aslinya Virlia dipanggil dengan nama beken Violet. Korban juga kenal dengan Violet ini. Sepertinya hubungan antar artis cukup ruwet dan sempit."

Hazel mengangguk. "Memang. Minggu lalu aku bertemu dengan Nyonya Shinta, dan tebak apa? Ada dugaan kalau si suami punya selingkuhan yang lain."

"Wow, cool banget jadi lakinya. Mungkin karena kaya raya."

"Bisa jadi, kekayaan ibarat gula yang menggoda semut untuk berdatangan. Korban bernama Nabila, dua puluh lima tahun. Sedangkan Reza berumur dua puluh dua tahun. Kasus ini sangat rumit, melibatkan harta yang sangat banyak pula. Kita harus hati-hati Diandra. Jangan sampai salah mengambil kesimpulan."

"Pak Handoyo ini tipe laki-laki yang tidak cukup dengan satu istri. Kalau selain Nyonya Shinta, ada Nabila dan perempuan lain, entah berapa banyak dia terikat dengan perempuan. Apa itu berarti kita harus bicara lagi dengan Pak Handoyo?"

"Yup, kita harus bicara lagi dengannya dan dugaanku, dia tidak akan senang. Kamu masih ingat bukan, terakhir bertemu dengannya wajah laki-laki itu sangat masam. Mungkin kalau bisa mengusir kita, akan dilakukannya."

Diandra mengangguk, membaca ulang berkas-berkas di tangannya. Mereka dibayar untuk membela Reza, tapi ia merasa ada yang janggal dari kasus ini. Dimulai dengan minimnya bukti, serta kehadiran Reza yang begitu saja ada di rumah korban. Padahal, mereka tidak kenal akrab sebelumnya. Reza adalah anak kandug Shinta, dan bukan anak si laki-laki konglomerat. Perebutan harta, kecembuan, serta amarah akan menjadi alibi yang kuat untuk melakukan pembunuhan. Tetap saja Diandra merasa ada yang tidak cocok dengan semua ini.

Mobil berhenti di lampu merah yang padat kendaraan. Hazel melirik Diandra. Menimbang-nimbang ingin menanyakan sesuatu tapi ditahannya. Pada akhirnya, pertanyaan itu tercetus juga karena keinginatahuannya membumbung tinggi.

"Diandra, apa benar Reena menemuimu?"

Tangan Diandra yang sedang membalikkan dokumen, terhenti di udara. Terdiam sesaat lalu mengangguk. "Iya, dia datang ke rumah."

"Kapan?"

"Minggu lalu. Apa Tommy yang memberitahumu?"

"Selain Tommy, ada teman-teman yang tahu kepulangan Reena. Banyak spekulasi terlontar, terutama apa niat Reena sebenarnya. Ingin Tommy kembali atau ingin anaknya?"

Pertanyaan Hazel membuat Diandra mendongak, pandangannya bertemu dengan mata jernih Hazel dan ia mengangkat bahu. Sedikit tidak menyangka kalau Hazel akan terpikir untuk bertanya seperti itu. Mungkin instingnya sebagai pengacara.

"Keyano, sepertinya itu yang diinginkannya. Tapi, kita nggak bisa menebak jalan pikiran perempuan seperti Reena. Dia itu sangat apa, ya, nyebutnya."

"Manipulatif?"

"Nah ya, benar. Manipulatif. Awalnya datang dengan baik-baik, tentang ini dan itu, lalu saat Keyano muncul mulai bertingkah dramatis. Dia bakan tidak berkata ingin mengambil kembali Tommy, tapi terus menerus menyerangku. Entah emang benar ingin mengambil Keyano atau egonya tersentil karena anak yang dilahirkannya justru dekat denganku. Tidak ada yang tahu soal itu."

"Reen memang seperti itu. Seingat dulu, sering kali dia membuat Tommy berada dalam kesulitan. Setiap kali bertengkar, akan mendekati laki-laki lain dan saat Tommy cemburu, memukuli laki-laki itu maka Reena akan mengulum senyum dan mereka bersama lagi. Selalu berusaha untuk mendapatkan perhatian setiap orang dan tindakannya cenderung impulsif. Entahk berapa kalai terlibat masalah seperti mabuk berlebihan dan hampir menari telanjang di klub, bertengkar dengan salah satu anak pemilik butik, dan masih banyak lagi. Tommy sangat sabar mengahadapinya."

Diandra tersenyum kecil. "Mungkin karena benar-benar cinta. Bukankah orang cinta cenderung bersikap bodoh?"

Hazel melirik Diandra yang duduk dengan tenang. Ekpresinya tidak terbaca. "Bagaimana denganmu? Nggak cemburu mendengar cerita yang baru saja aku bilang?"

Semua jawaban Diandra teredam oleh hujan yang tiba-tiba turun. Sangat deras, seolah air mengucur begitu saja dari langit. Laju kendaraan melambat, dan bunyi klakson terdengar di mana-mana. Situasi menjadi sedikit kacau. Hazel bergerak lincah melewati lampu merah sebelum terjebak dalam kemacetan. Mobil SUV miliknya memang sangat kokoh dan melaju tidak terkalahkan.

"Diandra? Kenapa diam?"

"Karena aku bingung bagaimana menjawabnya. Kalau aku katakan cintaku pada Tommy mati saat dia membawa Keyano datang malam itu, apakah itu berarti aku bukan perempuan yang baik?"

Hazel mengernyit. "Apa korelasinya antara perasaan dan image baik? Kamu dan perasaanmu sendiri adalah sesuatu yang orang lain tidak bisa ikut campur."

"Memang, tapi aku sering merasa bersalah sebenarnya. Tommy berubah sikap menjadi lebih perhatian karena merasa bersalah. Dia juga mulai membelaku di depan keluarganya. Padahal dulu dia tidak peduli dengan apa yang terjadi denganku. Tommy sekarang sangat berbeda seperti saat kami baru menikah dulu. Sayangnya, hatiku membatu. Semakin aku berusaha untuk mencintainya, hatiku semakin menolak. Sampai akhirnya aku yang sudah lelah dan takut membuat Tommy makin lelah meminta untuk bercerai dan ditolak."

Keheningan terasa mencekam di dalam kendaraan. Hanya terdengar deru hujan menjatuhi atap mobil. Sesekali suara cipratan air terdengar saat kendaraan lain melewati mereka. Diandra merasa kedinginan, menyetel suhu udara sedikit tinggi demi mendapatkan rasa hangat.

"Kamu ingin bercerai?"

Diandra mengangguk. "Iyaa, demi agar tidak saling menyakiti satu sama lain."

"Bagaimana dengan Keyano kalau kalian bercerai? Apakah kamu akan menyerahkannya pada Reena?"

"Sebelum Reena datang, aku berharap bisa mendapatkan hak asuh Keyano. Meskipun itu sesuatu yang sulit terjadi. Tapi, aku yakin Tommy akan merawat Keyano dengan baik, ada Nenek dan Kakek juga. Tapi, setelah Reena datang, aku nggak yakin lagi sama apa yang aku inginkan. Bukan karena Tommy tapi karena Keyano. Rasanya nggak rela melepas Keyano kembali pada ibu yang sudah menelantarkannya. Apakah aku kejam?"

"Nggak, kamu justru memikirkan Keyano sampai-sampai rela melepas apa yang sangat kamu inginkan."

"Kamu nggak maarah kalau aku bercerai dari Tommy?"

"Untuk apa marah? Itu urusan pribadi kalian. Diandra, yang menetukan kebahagiaa dalam hidupmu adalah dirimu sendiri. Orang luar tidak ada yang boleh ikut campur. Apalagi aku yang hanya atasan sekaligus teman."

Rasa hangat mengalir dalam diri Diandra mendengar perkataan Hazel. Yang ia butuhkan adalah orang yang mendukungnya dan Hazel memberikan itu tanpa syarat. Mereka hanya sebatas patner kerja, bukan sahabat seperti halnya Tommy tapi pikiran berimbang dan tidak memihak diberikan Hazel untuknya.

Semenjak bekerja di kantor hukum milik Hazel, Diandra belajar banyak hal. Selain tentang kerja professional, juga kasus yang ditangani bukan masalah kecil seperti di kantor yang dulu. Selalu melibatkan uang yang banyak atau selebritas. Kedudukan keluarga Hazel yang ternyata adalah pebisnis dan orang berpengaruh, membuat klien kaya mendatangi mereka.

Helena pernah menyingung tentang orang tua mereka yang awalnya tidak mendukung karir Hazel. Mereka menginginkan Hazel meneruskan perusahaan tapi sang kakak ternyata memilih menjadi pengacara.

"Aku dosen, Kak Hazel pengacara. Satu-satunya harapan Papa hanya si bungsu. Semoga saja orang tua kami tidak memajakan bocah itu dan menghancurkan harapan mereka sendiri."

Sulit dipercaya kalau tiga bersaudara dan si sulung yang seharusnya menjadi pewaris perusahaan justru tidak menginginkannya. Hazel pernah mengatakan kalau ingin menjadi polisi. Sebuah cita-cita yang dianggap biasa saja untuk orang-orang dengan tingkatan ekonomi luar biasa seperti mereka.

Mereka tiba di apartemen milik sang artis yang ternyata tempat sederhana, bukan apartemen mewah seperti anggapan semula. Hujan masih belum reda dan mereka parkir di tempat terbuka. Diandra merapikan berkas dan memasukkan ke dalam tas, Hazel mengambil payung, memutari kendaraan dan membuka pintu di sisi Diandra.

"Jangan lupa hapemu."

Diandra melompat turun dan nyaris menubruk Hazel yang berdiri di dekat pintu. Tangan laki-laki itu menahan bahunya sesaat sebelum menutup pintu dan mengunci mobil.

"Kita ke tempat security."

Diandra tidak mengelak saat tangan Hazel melingkari bahunya sementara tangan yang lain memegang payung. Mereka melangkah cepat melintasi halaman basah menuju ke lobi apartemen. Diandra menyadari kalau Hazel ternyata sangat tinggi. Kepalanya hanya setinggi bahu Hazel. Tiba di lobi, Hazel menutup payung dan meletakkan di tempat penitipan. Diandra menghampiri security dan mengatakan ada janji dengan Nabila. Mereka diberikan akses masuk lift.

"Rambut dan bahumu basah." Di dalam lift Diandra mengambil tisu dan memberikannya pada Hazel.

"Thanks." Hazel menerima tisu dari Diandra dan memasuh rambut serta bahunya yang basah. Sedikit kesulitan di bagian punggung dan tersenyum saat Diandra yang membantunya mengelap. Hazel berdiri memunggungi Diandra, membiarkan perempuan itu mengeringkan kemejanya. Tindakan sederhana seperti ini terasa sangat intim untuk mereka.

Diandra sendiri melakukannya dengan spontan, melihat punggung Hazel basah dengan cepat membantu mengelap. Nyatanya, tidak seperti yang diduganya. Saat jemarinya mengusap punggung Hazel, menyadari betapa kuat dan kokoh tubuh atasannya itu. Aroma parfum yang maskulin menguar dari kemeja yang dipakainya, berbaur dengan aroma tembakau. Diandra berusaha untuk tidak bernapas terlalu kuat, takut kalau aroma itu akan mempengaruhi pikirannya. Ia menggeleng, mengusir semua pikiran aneh yang mendadak masuk dalam otaknya.

Pintu lift membuka, keduanya menoleh bersamaan dengan kaget. Hazel membiarkan Diandra keluar lebih dulu. Mereka mencari unit Nabila yang ternyata terletak di ujung lorong. Diandra memencet bel, dengan Hazel berdiri di belakangnya. Pintu membuka, muncul seorang perempuan muda pertengahan dua puluhan dengan tanktop bertali kecil warna hitam. Bayangan bra yang dipakainya tercetak jelas di balik tanktop. Bagian bawah adalah rok pendek merah dengan lipatan. Sekilas penampilanya terlihat seperti anak sekolah.

"Kalian pengacara itu?" tanya Nabila dengan ketus.

Diandra tersenyum, mengulurkan kartu nama. "Kenalkan, namaku Diandra. Dari Makarim Dunn and patner."

Makarim Dunn adalah nama keluarga Hazel. Hal lumrah kalau nama pribadi digunakan sebagai nama kantor hukum. Nabila menerima kartu dengan sikap dingin.

"Sebenarnya aku ada syuting, dan semua tertunda karena kamu mau datang. Masuklah!" ujarnya dengan ketus.

Masih dengan senyum di bibir serta mengabaikan sikap ketus Nabila, Diandra menyingkir untuk menunjukkan ada orang lain di belakangnya yang sedari tadi tersembunyi oleh pintu.

"Bukan aku sendiri, tapi ada patnerku. Boleh kami masuk?"

Nabila membuka pintu lebih lebar dengan wajah menunjukkan kekesalan. Diandra masuk lebih dulu disusul Hazel dan saat melihat laki-laki itu, raut wajah Nabila berubah. Tercengang bercampur rasa kagum yang tidak bisa ditutupi. Terlihat jelas bagaimana perempuan muda itu seolah terpana dan terpesona dengan Hazel.

"Maafkan kami kalau kedatanganya kami menganggu. Tapi, ini penyelidikan penting untuk Reza," ucap Hazel dengan santun.

Menghela napas panjang, Nabila mengangguk dengan senyum lebar. Matanya berbinar menatap Hazel. "Tentu saja, sebagai teman aku akan berusaha semampuku. Silakan masuk."

Diandra menahan tawa dalam hati, melihat bagaimana sikap Nabil berubah cepat saat melihatnya dan Hazel. Namun itu membuktikan kalau Nabila normal. Perempuan mana pun akan tertarik melihat Hazel dan Diandra tidak menyalahkannya..
.
.
.
Open PO hari ini, bisa pesan satuan atau bundling.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top