Bab 21

Tidak pernah terpikir bahkan dalam mimpi sekalipun kalau kekasih Tommy akan datang ke rumah ini. Begitu cantik, anggun, dan menawan. Gaun hijau yang membalut tubuh dengan bagian atas terbuka, membuat perempuan itu seolah menjelma menjadi ratu dalam kontes kecantikan. Sebagai sesama perempuan, Diandra bahkan mengakui kalau kecantikan perempuan itu begitu bersinar dan menakjubkan, tidak heran kalau Tommy tergila-gila. Lalu apa yang dilakukan Reena di rumahnya?

Terdengar tawa nyaring dari lantai atas, Keyano yang tadi menonton televisi bersamanya, berlari ke lantai dua mencari Nana saat bel pintu berbunyi. Anak itu sepertinya menginginkan sesuatu dari si pengasuh. Reena sesaat terdiam saat mendengar tawa Keyano. Matanya menyapu arah dalam tapi hanya sekilas. Diandra hanya diam, enggan untuk menyapa.

Perempuan itu berjalan seperti ratu yang sedang menandai wilayahnya. Mengamati seluruh rumah, jemari lentiknya menyapu permukaan furniture, dan ujung bibirnya tertarik seolah sedang tersenyum. Setelah terpaku lama pada foto Keyano yang berada di atas buffet. Jemarinya terulur ingin menyentuh foto itu tapi ditariknya kembali. Apakah permukaan pigura membakar ujung jemarinya? Apakah kulitnya melepuh karena bersentuhan dengan foto itu? Diandra tidak tahu. Reena hanya melihat sekilas ke arah foto Tommy dan sama sekali tidak menyentuhnya. Apakah tidak ada kerinduan di antara mereka, atau jangan-jangan sudah pernah bertemu sebelumnya?

Reena membalikkan tubuh, tersenyum pada Diandra. "Kamu pasti kaget melihatku di sini."

"Sangat," jawab Diandra jujur, berdiri tegak menanggalkan kebingungan. "Kamu mau duduk di sini atau di dapur? Aku sedang memasak bubur."

"Oh, boleh kalau begitu. Aku ikut kamu ke dapur."

Mereka bersikap seperti sahabat lama yang baru saja bertemu. Tanpa canggung Reena mengikuti Diandra ke dapur.

"Kopi apa teh?"

"Kopi."

"Panas atau dingin?"

"Panas, dengan sedikit gula. Aku sedang membutuhkan asupan gula untuk tubuhku."

Reena mengeyakan tubuh di kursi, menatap punggung Diandra yang sedang membuat kopi.

"Boleh merokok?"

Diandra menggeleng, ada secangkir kopi di tangannya dan diletakkan di depan Reena. "Ada anak kecil di rumah ini. Ada baiknya kalau tidak merokok. Kalau mau juga, bisa ke teras belakang atau depan."

"Ups, baiklah kalau begitu. Aku lupa, kalau seorang mama akan sangat protektif pada anaknya." Reena menyesap kopi dengan perlahan. Bibirnya yang bergincu merah menempel pada permukaan cangkir dengan begitu indah. "Meskipun bukan darah daging sendiri, tapi kamu merawat dengan baik."

Tidak mengindahkan perempuan itu, Diandra mengaduk bubur di panci. Menambahkan daging, dan sayuran lalu mengoreksi rasanya. Aroma masakan membumbung di udara. Membuat perut keroncongan. Selama ia bekerja, Reen tetap terdiam seakan menunggunya selesai.

"Mau apa kamu kemari?" tanya Diandra tanpa basa basi, mematikan kompor, mencuci tangan lalu menarik kursi dan duduk di depan Reena. "Ingin bertemu Tommy? Dia ada di kantor sekarang."

Reena menggeleng, matanya bersinar penuh ingin tahu. "Kamu nggak takut kalau aku ingin bertemu Tommy?"

"Kenapa aku harus takut?"

"Bisa jadi aku akan merayunya kembali?"

"Setelah sekian lama pergi kamu masih menginginkan Tommy? Kenapa baru sekarang? Kenapa muncul lagi setelah sekian lama?"

"Anggap saja, beberapa tahun ini aku sedang berusaha mencari jati diri. Merefleksikan hidup dan segala yang terjadi pada diriku. Berusaha untuk tetap waras, meskipun pada akhirnya harus kehilangan banyak hal demi kewarasanku."

"Mencari jati diri sampai tega meninggalkan darah daging sendiri? Kamu bahkan nggak mikir apakah bayi itu akan hidup tanpa ibunya?"

Reena hanya mengangkat bahu tapi tidak menjaab.

"Ada pepatah mengatakan, bahkan singa yang paling buas sekalipun tidak akan memakan anaknya sendiri. Tapi kamu, meninggalkan bayimu tanpa ingin tahu apakah bayi itu survive atau tidak. Sebenarnya, kamu ini ibu atau bukan?"

Kata-kata Diandra yang tajam langsung tertuju padanya, membuat Reean sedikit tersentak. Ia sudah mendengar tentang istri Tommy dari beberapa orang yang dikenalnya. Mereka mengatakan kalau perempuan ini lemah lembut dan tidak bisa menolak apa pun permintaan Tommy. Karena itu rela mengasuh anak yang bukan darah dagingnya. Tapi ternyata ada banyak hal yang tersenyum dari diri Diandra. Orang-orang yang memberi kabar padanya sepertinya melewatkan sesuatu.

Diandra duduk tegak, dengan secangkir kopi di tangannya sendiri. Mengajak bicara seolah mereka pernah saling mengenal sebelumnya. Menasehatinya, bertanya dengan suara tajam dan terang-terangan. Reena mengetukkan jemari di atas permukaan meja dan berdecak kesal. Ingin merokok agar bisa bersikap tenang.

"Aku datang kemari bukan untuk mendengar kuliahmu! Lagi pula, siapa kamu? Berani-beraninya memprotes apa yang aku lakukan dalam hidupku. Nggak ada hak kamu melakukan itu!"

"Oh ya, tapi maaf, kamu yang datang ke rumahku. Karena kamu ada hubungan masa lalu dengan dua orang di rumah ini, bisa aku asumsikan kalau kamu ingin bertemu Tommy atau Keyano. Benar bukan?" Diandra tertawa lirih. "Saranku, kalau ingin bertemu Tommy sebaiknya lakukan di luar rumah. Jangan di sini. Dan untuk Keyano, kamu sudah melihat fotonya bukan?"

"Anakku tumbuh dengan tampan," bisik Reena dengan mata berbinar bahagia.

Diandra kesal mendengarnya. "Salah! Dia bukan anakmu tapi anakku. Di akte dan kartu keluarga nama mama dari Keyano adalah Diandra dan bukan Reena!"

Tangan Reen mengepal menahan kesal. "Kamu akan menghalangiku bertemu Tommy dan Keyano? Kenapa? Kamu takut aku akan merebut mereka?"

"Wah, aku nggak tahu kamu punya pikiran seperti itu dari mana. Untuk kamu tahu, kalau memang kamu ingin bertemu Tommy. Lakukan di luar, jangan di rumah ini. Tapi kalau Keyano, kamu memerlukan ijinku untuk melihat anak itu. Ingat, ijinku!"

Keduanya saling pandang dengan tegang. Diandra menolak untuk memalingkan wajah, begitu pula Reena. Ini adalah rumahnya, dan ia tidak akan membiarkan Reena bertindak semena-mena di sini. Belajar dan bekerja sebagai pengacara membuat Diandra sangat gemar mengamati pribadi orang lain. Biasnya orang-orang yang datang ke kantor dengan segala masalah mereka, akan melewati pengamatannya lebih dulu. Untuk melihat bagaimana kepribadian klien, Diandra akan memosisikan sebagai pengamat, bahkan Hazel sangat memuji kemampuannya itu.

Sama seperti sekarang, saat ia berhadapan dengan Reena yang diyakininya adalah perempuan manipulatif. Dulu ia berpikir, Reena hanya perempuan manja yang tidak bisa berhadapan dengan tanggung jawab. Panik saat tahu akan punya anak, dan baby blues membuatnya melarikan. Meskipun kesal, ia sempat mengasihani Reena dan berusaha mengerti perasaannya sebagai sesama perempuan. Ternyata, prasangkanya justru terlalu besar dan terlalu tinggi, Reena tidak seperti yang dipikirkannya. Terbukati sekarang, saat sedang kesal perempuan itu mengetukkan jarinya dengan cepat di permukaan cangkir. Ia yakin, kalau seandainya di tempat lain maka cangkir itu sudah pasti pecah karena dibanting.

Reena sudah pasti terbiasa mendapatkan semua keinginannya. Terbiasa dimanja dan diperlakukan layaknya ratu, tapi apakah perempuan itu tahu, kalau identitasnya tidak berlaku di sini. Rumah ini dan segala aturannya adalah milik Diandra.

"Wah, ternyata mulutmu tajam juga," ucap Reena dengan senyum tersungging. Senyum yang bahkan tidak mencapai matanya yang lebar. "Ternyata apa yang dikatakan orang-orang tentangmu itu salah. Siapa namamu? Diandra? Sorry, aku mudah lupa dengan nama orang yang nggak akrab sama aku."

Diandra tertawa lirih, seolah geli mendengar perkataan Reena. "Jangan bohong Reena. Kamu jelas tahu siapa namaku, sama seperti aku yang tahu siapa namamu. Mungkin kamu tersembunyi di Amerika, nggak pernah kontak Tommy, dan ingin dianggap menghilang. Tapi bisa kupastikan kalau kamu menyebar mata-mata untuk mengawasi kami. Demi siapa? Tommy atau Keyano?"

Mata Reena berkilat tajam sebelum menjawab. "Bagaimana kalau kubilang demi Tommy?"

Terdengar dengkusan keras lalau Diandra kembali tertawa. "Bohong lagi, Reena?"

"Bangsat!"

"Kamu yang bangsat, dan sebaiknya jaga kata-katamu di rumah ini!"

Buku-buku jari Reena memutih karena mencengkeram cangkir, kemarahannya menggelegak. Rupanya profesi sebagai pengacara membuat Diandra dengan mudah memutar balikkan kata-kata. Tadinya ia berpikir akan bertemu perempuan lemah yang mudah ditindas dan menangis. Secara penampilan Diandra memang terlihat lemah dan lembut, tapi kata-katanya justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Kekuatan utama dari Diandra justru dengan lidah tajam. Sungguh menarik. Selama ini Reena berhadapan dengan orang-orang yang memuja dan memujinya, bertemu Diandra ternyata menarik untuknya.

Dengan sengaja ia menarik cangkir ke pinggiran meja, tersenyum pada Diandra yang mengamati tingkahnya. Perempuan itu tidak menghentikan tindakannya saat cangkiri mencapai tepi dan dengan satu kali sentakan, terjatuh ke lantai. Kopi menciprat ke segala arah, bahkan memerciki ujung gaun hijau Reena. Tumpah ke lantai, meja, dan membuat kotor dengan sepihan yang berserak. Reena tertawa lirih, mengibaskan rambut ke belakang.

"Ups, tanganku licin. Nggak sengaja bikin cangkir jatuh. Maaf, ya? Kalau kamu marah, aku bisa ganti dengan satu set cangkir yang lebih bagus kualitasnya. Keramik terbaik, dengan gaya Victoria yang anggun. Bukan cangkir biasa seperti itu."

Diandra menghela napas panjang, berjuang untuk tetap sabar. Sekuat tenaga menahan diri untuk tidak meraih kepala Reena dan menjambak rambutnya. Akan menyenangkan kalau bisa menampar pipi yang mulus dan dipoles make-up dengan hati-hati itu. Namun, ia tahu kalau semua tindak kekerasan yang ingin dilakukannya, tidak sebanding dengan hasilnya. Ia membenci harus mengalah, tapi bukan berarti akan kalah.

"Kamu ini aneh, Reena. Sudah tidak muda lagi, bahkan sudah ada bayi lahir dari rahimmu tapi bersikap seperti remaja labil. Jujur saja aku terganggu dengan kedatanganmu kali ini. Kalau bisa lain kali nggak usah datang kemari."

Wajah Reena menggelap. "Perempuan sialan! Kamu pikir aku nggak tahu kalau rumah ini milik Tommy? Kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu hanya perempuan miskin yang bergantung hidup pada Tommy?"

Diandra terbelalak dan bertepuk tangan. "Waaah, ternyata kamu mencari tahu semua tentangku. Hebaaat, sekali Reena. Kamu harusnya berprofesi sebagai penyidik perkara dari pada jadi perempuan manja dan tukang mengatur. Dengar, ya? Aku tidak peduli apa pun pendapatmu, tapi rumah ini adalah tempat tinggalku. Aku berhak untuk menentukan siapa saja yang boleh datang atau tidak ke rumah ini!"

Untuk kali ini tidak ada kemarahan, Reena tertawa terbahak-bahak seolah perkataan Diandra adalah hal paling lucu yang didengarnya. Wajah cantiknya memerah dan suara tawanya memenuhi dapur. Tawa yang melengking tapi mengerikan untuk didengar. Sikap anggunnya tetap sama meskipun sedang mengejek. Duduk tegak dengan satu kaki berada di lutut. Diandra mengakui dalam hati, kalau Reena memang perempuan yang sangat-sangat cantik dan menarik, meskipun dengan sisi-sisi kejam yang terlihat. Tawa Reena terhenti seketika, menghela napas panjang dan menunjukkan dadanya yang membusung. Jemarinya yang lentik menunjuk ke arah tangga.

"Kamu pikir kamu yang tahu pertama kali soal rumah ini? Nggak! Kamu salah besar! Tommy saat membeli rumah ini, meminta pendapatku. Saat itu kami langsung bertengkar, seperti yang biasa kami lakukan. Aku ingin tinggal di apartemen dan bukan rumah biasa yang kecil ini. Jawaban Tommy membuatku marah. Dia bilang rumah ini untuk ditinggali kelak bersama istrinya. Wow, kamu tahu apa yang aku rasakan saat itu? Marah, cemburu, tapi juga tertarik."

Reena menjentikkan kuku dengan senyum terkulum. Menatap lantai kotor yang penuh dengan tumpahan kopi serta pecahan keramik. Menurunkan satu kaki dan menginjak pecahan keramik. Dengan sengaja dan hati-hati ingin tahu apa yang terajdi, tapi sepatu mahalnya menghalangi semua niatnya yang ingin mengalami luka.

Reena mengangkat wajah, kembali menatap Diandra yang terdiam dengan tenang. "Apa kamu tahu apa yang kami lakukan saat Tommmy membawaku ke rumah ini? Kejadiannya seminggu setelah pertunangan kalian. Kami dengan liar bercinta di seluruh penjuru rumah ini. Benar-benar liar seperti binatang. Apa kamu dan Tommy pernah bercinta seperti itu? Sampai kehabisan napas dan terengah dengan peluh membasahi tubuh?"

Untuk kali wajah Diandra memerah dan Reena tersenyum puas.

"Oh, kamu nggak salah dengan Diandra. Kami memang melakukan itu, aku ingin memberi tanda pada rumah ini. Napas dan tubuhku pernah ada di rumah in. Kami bercinta di ruang tamu, ruang tengah, ruang tidur, bahkan di meja ini. Selama dua hari kami bercinta seperti binatang lapar yang ingin menerkam satu sama lain. Hahaha! Kamu mengklaim ini rumahmu? Sungguh tidak tahu maluu!"

Diandra mengepalkan tangan, menatap Reena penuh kebencian. Seumur hidupnya baru kal ini bertemu dengan perempuan yang sungguh tidak tahu malu. Reena dengan bangga menunjukkan kelakuannya yang amoral. Bagaimana ia harus bersikap sekarang? Mengusir atau memukul perempuan ini? Karena melakukan keduanya bukan sesuatu yang mudah.

"Mama ...."

Panggilan lirih dari suara anak kecil di ujung tangga menghentikan tawa Reena. Keduanya menatap sosok kecil yang berdiri di ujung tangga atas dengan Nana di belakangnya. Diandra bergerak cepat, menuju tangga dan memberi perintah.

"Sayang, mama sedang bicara penting. Keyano main dulu sama Bibi Nana di atas, ya? Jangan turun."

Keyano memiringkan kepala. "Nggak boleh tulun Mama?"

"Iya, Sayang. Jangan turun sekarang. Mama sedang ada tamu. Main dulu di atas, nonton cocomelon sama Bibi, ya?"

Keyano menatap bingung dan Diandra memberi tanda pada Nana untuk mengajak anaknya pergi.

"Ayo, Sayang. Kita main game," ajak Nana.

Keyano mengangguk dan membalikkan tubuh bersama Nana, dan menghilang ke lantai atas.

"Jangaaan! Suruh turun dia. Aku ingin ketemu anakku!" teriak Reena.

Diandra merentangkan tangan menutupi tangga dan berkata tegas. "Tidak! Kamu nggak boleh ketemu dia!"
.
.
.
.
Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top