Bab 18
Orang-orang duduk di depan televisi, memantau berita dari internet, dan juga berkomentar satu sama lain tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Seorang laki-laki tua mati seorang diri di rumah tanpa saudara atau teman-teman yang tahu. Kematian yang diperkirakan terjadi selama beberapa hari, baru diketahui oleh orang-orang saat sekelompok anak-anak bermain layangan dan tanpa sengaja masuk ke rumah itu. Mereka awalnya mencoba membobol pintu pagar rumah yang terlihat tua dan rapuh itu. Saat pintu pagar terbuka, mereka berlari ke pohon tinggi di tengah halaman dan bersiap untuk menaikinya saat tercium aroma tidak sedap.
Itu adalah pengalaman traumatis bagi anak-anak saat mereka mencoba mencari asal bau, dan ternyata menemukan seorang laki-laki terbujur kaku dengan banyak lalat di lantai. Bocah-bocah yang datang berjumlah lima orang. Dua anak mengompol di tempat, dua anak menangis dan satu anak berlari sambil berteriak.
"Ada mayaaat! Toloong! Ada orang mati!"
Para tetua desa berdatangan, termasuk orang tua dari anak-anak itu. Mereka masuk dengan masker di menutupi mulut. Bergidik ngeri karena melihat mayat tergeletak di lantai. Bisa dipastikan kalau mayat itu adalah pemilik rumah, seorang tua tanpa keluarga yang tinggal seorang diri. Tidak ada yang terlalu mengenal laki-laki ini karena tinggal sendirian dan tidak pernah bergaul dengan tetangga.
"Kasihan sudah tua."
"Mana nggak ada yang tahu kalau dia sakit."
"Siapa kerabatnya?"
"Nggak ada yang tahu siapa kerabatnyaa, karena jarang keluar. Biarkan polisi bekerja untuk mencari tahu."
Mereka sepakat untuk mengubur mayat itu tanpa otopsi dan menganggap mati karena usia tua. Setelah itu rumah dalam kedaaan kosong selama beberapa bulan. Sampai akhirnya terdapat tulisan dijual. Menunggu hingga berbulan-bulan hingga terjual pada yayasan yang membutuhkan rumah dengan halaman luas untuk panti jompo. Harga rumah besar itu cukup mahal, dan tidak ada yang tahu siapa yang menerima warisan. Orang-orang hanya tahu kalau pemilik rumah punya seorang mantan istri yang tidak diketahui keberadaannya. Berita tentang kematian itu menjadi trending untuk beberapa saat. Banyak orang sepakat untuk mempunyai keluarga agar terhindari dari mati kesepian.
**
Diandra menyapa Lestari lebih dulu, memeluk perempuan tua itu dengan penuh kasih sayang. Keyano dibawa Fakri pergi ke lantai dua. Suara laki-laki itu terdengar sangat gembira melihat cucunya datang. Merry berdiri di tengah ruang tamu, tidak percaya Diandra berani datang sendiri ke rumahnya tanpa Tommy.
"Nenek, sehat saja? Bagaimana kabarnya?"
"Kabar baik, Diandra. Kamu sehat saja?"
"Iya, Nenek. Kami semua sehat. Suamiku ada kerjaan mendadak di kantor, harusnya ia ikut."
"Nggak apa-apa, Tommy bisa datang sendiri, kapan saja dia mau. Nenek mau ketemu kamu dan Keyano."
Setelah menyapa Lestari, Diandra menghampiri Merry. Mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan mertuanya tapi Merry menolak uluran tangannya dengan wajah sinis.
"Aku baru saja pakai lotion."
"Apa kabar, Mama?"
"Baik, tapi sebaiknya jangan sok akrab. Memuakkan!" bisik Merry tepat di samping telinga Diandra. Saat itu Lestari sudah berjalan menjauh menuju ruang makan.
"Mama ternyata masih sama ramahnya seperti dulu." Diandra menanggapi dengan senyum.
Merry menyipit. "Kamu menghinaku?"
"Ah, Mama ini terlalu sensitive. Tentu saja aku ini menghargai Mama sebagai mertua yang baik. Kenapa harus marah, Mama?"
Jawaban yang dilontarkan Diandra seperti hinaan bagi Merry. Belum habis rasa herannya karena menantunya berani datang tanpa Tommy, ternyata Diandra berani bersikap kurang ajar padanya. Ia menggertakan gigi melihat senyum di wajah Diandra. Ingin rasanya membungkam bibir itu agar tidak lagi terbuka.
Sebenarnya acara siang ini di luar kemauannya. Lestari mendadak mengatakan ingin mengundang Diandra datang. Ia menawari untuk pergi ke rumah Tommy dan mengambil Keyano tapi Lestari menolak.
"Kasihan Diandra nggak pernah main. Biarin dia datang, barang kali akan membuatnya gembira."
Sungguh ide yang mengesalkan, Merry masih belum lupa dengan kejadian di rumah Tommy. Sampai sekarang ia masih menaruh dendam pada Diandra. Sekarang, perempuan muda itu melangkah dengan kepala tegak, bersikap seakan berada di rumahnya sendiri dan menggandeng Lestari. Diandra mengerti, kalau ingin selamat harus menempel pada Lestari. Masalahnya Merry pasti menemukan cara untuk memberi pelajaran pada perempuan itu tanpa mertuanya ikut campur.
Di rumah ini ia memang menantu lestari dan juga istri dari Fakri. Sebelum Diandra datang, Lestari sangat menyayanginya. Menganggap dirinya sebagai menantu terbaik. Sikap Lestari padanya berubah saat tahu kalau dirinya tidak memperlakukan Diandra dengan baik. Lestari selalu beranggap kalau Diandra adalah anak baik dan sudah seharusnya disayangi.
Hal yang sama selalu diungkap saat bicara tentang Diandra. Tentang balas budi dan kebaikan hati Kamirah serta suaminya. Merry sangat bosan mendengarnya tapi tidak berani membantah karena suaminya pun mendukung orang tuanya.
Berbagai hidangan sudah disiapkan di atas meja. Tania dan Tantri muncul, seperti biasa wajah mereka terlihat muram dan tidaak ramah. Diandra mengabaikan keduanya, bersikap seakan tidak ada orang lain selain Lestari.
"Aku nggak tahu bakalan ada pesta," ujar Tania sambil mengenyakkan diri di kursi. "Memangnya ad ulang tahun?"
Tantri mendengkus. "Jangankan kamu, aku yang tiap hari di rumah juga nggak tahu apa pun. Nenek, emang ada acara apa?"
Lestari terkekeh. "Nggak ada acara apa-apa. Memangnya salah kalau kita berkumpul untuk makan?"
"Nenek pesan dari restoran?" tanya Tania.
"Iya, sesekali kita makan yang enak."
Diandra duduk di samping Lestari, berhadapan dengan Tania dan Tantri yang duduk bersampingan dengan Merry. Fakri mengatakan tidak ingin makan karena sedang sibuk menjaga Keyano di lantai atas. Di meja makan hanya ada para perempuan, dengan dua sikap yang berbeda.
Apakah Lestari tahu kalau menantu dan kedua cucunya memusuhi Diandra? Tentu saja ia tahu karena tidak buta untuk melihat apa yang terjadi. Ia tidak hentinya memberi nasehat pada menantunya agar bersikap lebih bijak pada Diandra. Sayangnya, tidak ada yang bisa mengendalikan sikap Merry dan dua anaknya. Lestari bahkan sudah kehabisan kata-kata untuk mengomentari keduanya. Ia hanya berharap Diandra bisa tahan untuk semua tekanan yang diterimanya.
"Ayam panggang ini kesukaanmu, Diandra. Nenek pesankan khusus untukmu."
"Terima kasih, Nek."
Merry mengerucutkan bibirnya, menahan umpatan yang ingin terlontar. Di sampingnya Tania dan Tantri menatap dengan wajah keruh. Keduanya terlihat seolah sedang melihat lalat yang menganggu. Ingin tepuk untuk diusir tapi lalat itu beterbangan di sekitar mereka dan membuat telinga keduanya berdengung.
"Wah, enak benar ayamnya, Nek."
Lestari terkekeh. "Memang, sangat juicy dagingnya. Eh, benar nggak cara ngomongnya gitu. Bahasa anak sekarang agak sulit dimengerti."
"Benar ngomongnya gitu, Nek. Aku suka ayam ini, nanti bisa bungkus nggak? Suamiku sepertinya juga suka."
Merry tidak tahan lagi. "Kamu ingin bawa makanan sisa untuk anakku?"
Diandra menatap dengan ekpresi bingung. "Mana ada, Ma? Lihat, aku sudah sisihkan untuk suamiku." Dengan cekatan mengambil piring kosong dan menyisihkan beberapa potong. "Nanti tinggal bikin sambelnya. Tommy suka sambal matah karena nggak pedas."
"Kamu tahu kesukaan suamimu?" tanya Lestari.
"Nenek, kami menikah dua tahun, nggak mungkin aku nggak tahu apa saja yang disukai suamiku. Kayak berdosa banget aku jadi istri kalau nggak tahu ini dan itu soal suamiku sendiri."
"Istri yang baik, nenek bangga padamu.
Pujian Lestari membuat Tantri mendengkus, sedangkan Tania memutar bola mata. Keduanya tidak tahan untuk melontarkan celaan tapi menahan diri. Sebuah pengendalian diri yang luar biasa, mengingat sikap Diandra menurut mereka sangat menyebalkan. Diandra memuja dan memuji setinggi langit terhadap Lestari. Tidak peduli dengan tatapan sinis yang dilontarkan Merry dan yang lain. Bersikap seolah tidak ada orang lain dan makan dengan lahap.
Merry memutar otak untuk menyerang Diandra, sayangnya tidak mendapatkan kesempatan yang pas karena menantunya itu sibuk bicara dan menjilat mertuanya. Rasa geram membuat makanan yang tersangkut di tenggorokan dan tidak tertelan.
"Nenek, kapan-kapan kita jalan bareng ke mall. Keyano sekarang sudah bisa jalan sedikit-sedikit, senang sekali kalau main di mall."
"Boleeh, jemput nenek kalau ingin main. Ngomong-ngomong bagaima kabar nenekmu?"
"Nenek Kamirah baik juga, sudah nemu orang yang tepat buat menemani."
"Bagus, aku senang dengarnya."
"Kayak punya duit aja, ngajak Nenek jalan-jalan. Paling juga lo pakai duit abang gue!" sela Tantri keras. Tidak tahan lagi untuk duduk diam dan mendengarkan percakapan Diandra dan Lestari. "Makanya cari kerja, dong. Biar apa-apa pakai uang sendiri."
"Tantri, diam! Jaga mulutmu!" bentak Lestari.
Diandra mengangkat bahu, meraih tangan Lestari dan berujar gembira. "Nenek jangan marah. Yang dikatakan Tantri memang benar. Seharusnya aku bekerja, Nek. Bukan malah ongkang-ongkang kaki di rumah."
"Diandra, kamu merawat Keyano," jawab Lestari.
"Sudah ada Nana. Aku lihat dia bisa jaga Keyano dengan baik." Merry akhirnya menemukan sesuatu untuk menyerang menantunya. Sedari tadi tidak tahan mendengarkan omong kosong Diandra. "Kecuali memang kamu terlalu nyaman dengan keadaan ini. Menjadi istri yang full di rumah, tidak bekerja, dan hanya mengurus anak, memang menyenangkan. Ada pelayan yang membantu, dan gaji suami yang besar untuk dihabiskan. Siapa yang tidak mau?"
"Ah, seperti Mama kalau begitu?" sela Diandra lembut. "Bukannya Mama juga nggak kerja dan total mengurus anak di rumah. Anggap saja aku mengikuti gaya Mama dalam membangun rumah tangga. Bagaimana, Nenek?"
Merry memerah karena malu dan kesal sedangkan Lestari mengangguk. "Nggak masalah jadi ibu rumah tangga, asalkan anak dan suami sehat."
"Siapa bilang mamaku menganggur. Dia ada bisnis!" bentak Tania. Melotot ke arah Diandra. "Mama pekerja keras, memutar uang demi mendapatkan keuntungan. Siapa kamu berani menyama-nyamakan dengan Mama. Sungguh menantu nggak tahu diri."
"Sederhana kalau begitu, Mama mengajariku bisnis juga. Dengan begitu aku nggak nganggur lagi. Bagaimana, Ma?"
Sengaja bertanya dengan suara perlahan dan lembut, mata Diandra tertuju sepenuhnya pada Merry. Ia bukannya tidak tahu kalau bisnis Merry adalah jual beli tas mahal. Masalahnya, sering kali ditipu orang dan modal yang terbuang sudah banyak sekali. Merry juga sering mengadakan arisan dengan niat untuk membantu penjualan tasnya. Tapi, orang-orang yang datang arisan kebanyakan berhutang. Membuat modal tidak bisa berputar dan Fakri yang harus menanggung kerugian. Diandra mendapatkan informasi itu langsung dari Tommy dan Fakri.
Ia sudah tahu akan diserang dari segala sisi saat datang ke rumah ini. Mengerti benar kalau keluarga Tommy sangat membencinya. Namun, tekatnya sudah bulat untuk tidak menyerah dan tunduk pada sikap Merry yang arogan. Diandra bukannya tidak mau menghormati mertua dan adik iparnya. Tapi mereka menciptakan permusuhan dan yang dilakukannya adalah bertahan dari segala situasi yang mendesaknya.
Merry tersenyum yang tidak mencapai matanya. Mengusap bibir dengan tisu. Matanya berkilat penuh dendam. "Pintar bicara kamu, sampai-sampai tahu soal bisnisku juga."
"Mama salah paham, ini bukan karena aku pintar bicara. Tapi suamiku kuatir kalau Mama kena tipu. Katanya banyak yang utang dan nggak bayar."
"Tommy benar," sahut Lestari cepat. Mengacungkan sendok ke udara dan menunjuk Merry. "Aku pun kuatir karena sudah bertemu langsung dengan teman-teman Merry. Mereka orang-orang sok kaya padahal nggak punya apa-apa. Mana semuanya sombong dan belagu, bicara keras-keras soal kondisi keluarga kita. Dikiranya aku nggak dengar apa? Orang-orang itu nggak punya adab dan sopan santun!"
"Maaa, mungkin hanya kesalah pahaman biasa. Mama mungkin salah paham," ucap Merry membela diri.
Lestari menggeleng. "Merry, telingaku masih berfungsi dengan baik. Aku juga bisa tahu gerak-gerik mereka yang meremehkanmu. Dalam hal ini aku setuju dengan Tommy, takut kalau mereka akan menipumu mentah-mentah."
Diandra menyulut api perlahan. "Benar, Nek. Aku juga kuatir karena itu. Tommy bahkan mengusulkan untuk menutup modal Mama."
"Diam kamu!" bentar Merry tidak tahan lagi. "Semua yang terjadi di rumah ini, bukan urusanmu. Apa perlunya kamu ikut campur? Dasar menantu kurang ajar!"
Api yang mulai membesar, disiram bensin oleh Diandra. Memasang wajah tercengang, ia bicara dengan bibir gemetar.
"Mama, aku nggak ada niat be-gitu. Semua yang aku katakan ta-di adalah ucapan suamiku. Bagaimana pun dia kuatir kalau Mama akan kehilangan uang lebih banyak. Sayang katanya, karena Tantri masih butuh biaya kuliah."
"Jangan sedih, Diandra. Semua ucapanmu benar. Merry memang harus intropeksi diri kalau nggak mau bikin suaminya bangkrut!" Lestari membela Diandra.
Mengepalkan tangan di atas lutut, Merry merasakan api kemarahan berkobar di dadanya. Menatap penuh dendam pada Diandra yang duduk dengan mata berkaca-kaca dan seakan tanpa rasa bersalah. Ia ingin sekali membalikkan meja, membuang semua makanan, tapi ada Lestari yang menahannya untuk tetap bersikap baik. Mertuanya itu sudah tahu tentang bisnisnya yang kacau, kalau salah bertindak maka akses untuk mendapatkan modal ditutup. Ia tidak mau kehilangan sumber uangnya hanya karena Diandra yang tidak bisa menutup mulut.
"Iya, Maa. Aku akan dengarkan kata Mama." Dengan lesu Merry menjawab dan menunduk. Hanya bisa pasrah menerima kenyataan kalau kesalahannya sedang dikuliti oleh Diandra.
Tania tidak tahan lagi, meletakkan sendok serta garpu dan bangkit dengan kesal. "Aku sudah kenyang! Kalian lanjutkan makan saja. Aku nggak sudi duduk lama-lama sama perempuan ini!" Menunjuk dengan dagu ke arah Diandra.
"Kenapa cepat-cepat, Tania. Sebentar lagi Gema datang," jawab Diandra dengan wajah tersenyum. "Nah itu dia, sepupu tercinta kita datang. Selamat datang Gema!"
Gema muncul dalam balutan celana dan blus hitam. Menatap ke semua orang dan tersenyum cerah.
"Hai, semua. Aku datang. Terima kasih untuk undangannya!"
Merry dan Tania saling pandang, keduanya merasa tidak mengundang Gema. Kenapa gadis itu mendadak ada di sini? Pertanyaan mereka terjawab oleh sambutan Lestari.
"Gema, nenek senang melihatmu. Ayo, datang!"
Diandra meraih gelas dan menyesap minumannya. Diam-diam mengulum senyum melihat Gema yang duduk di samping Lestari. Api yang baru saja disulutnya, kini menjalar perlahan dan membakar semua barang yang ada di sekitarnya. Ia harus menjaga kondisi api tetap stabil, sampai tiba waktunya kembali menyiram bensin dan membuat nyala lebih besar.
.
.
.
Di Karyakarsa ending hari ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top