Bab 16

Di sebuah bar dengan penerangan remang-remang serta penuh dengan orang-orang yang mabuk sampai lupa diri, sepasang laki-laki dan perempuan berpelukan dengan mesra di sofa. Tubuh perempuan itu melingkari tubuh si laku-laki dengan bibir saling melumat. Si perempuan tidak dapat menahan erangan saat jari laki-laki itu mengusap perlahan bagian depan tubuhnya. Malam ini ia memakai gaun pas tubuh dan tanpa bra. Sentuhan itu membuat putingnya tegak, gairahnya tersulut.

"Bagaimana kalau kita pindah?" bisiknya penuh damba pada laki-laki tampan yang kini menggerayangi pahanya.

Tommy seakan disiram air dingin mendengar permintaan Cindy. Ia berusaha menjernihkan pikiran, melawan nafsu yang melandanya. Mengakui dalam hati kalau lupa diri. Niat awalnya hanya bersenang-senang, lalu Cindy datang menyodorkan diri dan membuat hasratnya tergugah. Tapi ajaka intim perempuan itu justru membuatnya takut.

"Cindy, aku harus pulang," ucapnya serak.

Cindy terbelalak. "Kenapa? Baru jam satu, Tommy!"

"Tetap saja aku harus pulang. Karena—"

Cindy tidak memberikan kesempatan pada Tommy untuk pergi. Tanpa malu-malu mengenyakkan diri di atas paha Tommy. Ia mengangkat rok dan memasukkan tangan Tommy ke sela pahanya.

"Setelah membuatku basah, seenaknya saja kamu ingin pergi?"

Tommy menelan ludah, menyadari kalau Cindy tidak memakai celana dalam. Ia bisa merasakan kulit halus dan sesuatu yang lembut menyentuh ujung jarinya. Cindy memagut bibirnya saat jemarinya mengusap pangkal tubuh perempuan itu.

"Nah, begitu. Laki-laki yang baik itu namanya. Kamu ingin diberi kepuasan juga? Aku bisa memberikannya padamu."

Malam itu berlangsung sangat gila. Merekla duduk di sudut yang tergelap dengan Cindy berlutut di antara kedua kakinya. Tommy membiarkan Cindy mengisap dan memberinya kepuasan. Hasrat seksualnya meronta ingin dibebaskan. Ia mengusap lalu mencengkeram rambut Cindy saat bibir dan mulut perempuan itu bergerak cepat. Hingga akhirnya gairah meledak dalam bibir Cindy.

Selesai semua, rasa bersalah bergelayut di hati Tommy. Bayangan Keyano dan Diandra muncul seketika. Ia mengusap wajah dengan tangan gemetar. Setelah lebih dari satu tahun tidak menyentuh tubuh perempuan, gairahnya menggila tidak terkendali. Tidak peduli kalau perempuan yang memuaskannya adalah Cindy.

"Bagaimana? Masih berminat? Itu baru awal," bisik Cindy dengan senyum nakal.

Tommy mengerjap lalu menghela napas. Menyingkirkan tubuh Cindy dan merapikan celana. "Ke toilet."

"Jangan lama-lama, aku sudah tidak tahan." Cindy berujar penuh harap.

Tommy ke toilet untuk membasuh muka dan buang air kecil. Menatap bayangnnya di kaca dan memaki keras dalam hati. Merasa dirinya terlalu lemah hanya karena sentuhan perempuan. Keluar dari toilet, Tommy justru keluar dari bar. Tidak berminat untuk melanjutkan kesenanganya. Ia sudah muak dengan diri sendiri karena mudah tergoda oleh rayuan perempuan. Sangat berharap bisa mengulang waktu dan hal tadi tidak terjadi. Karena minum terlalu banyak, Tommy memutuskan untuk pulang dengan taxi dan meninggalkan mobilnya di bar.

**

Keyano merengek minta susu. Diandra membuat susu dan meletakkan di mulut Keyano. Setengah mengantuk menunggu anaknya selesai minum susu dan kembali tertidur. Ia merasa haus, menoleh ke arah teko yang kosong. Sore tadi ia sudah melihat kalau tekonya tidak ada air, tapi lupa untuk mengisi. Ia meraih teko dan bergegas ke bawah.

Ia menatap ruang tamu dan dapur yang kosong. Tommy sepertinya belum pulang. Ia menduga suaminya akan pulang pagi atau menginap di luar, mengingat foto yang baru saja diterimanya. Sepertinya Tommy sedang bersenang-senang di luar. Mengambil segelas air dan meneguk perlahan, Diandra merasa sangat ironis. Suaminya yang selama setahun belakangan berubah sikap menjadi lebih baik dan sopan, pada akhirnya kalah oleh nafsu. Apakah ia kecewa? Tentu saja Diandra merasakan kekecewaan itu tapi tidak terlalu besar seperti saat Tommy membawa Keyano pulang. Jauh dalam lubuk hatinya ia tahu kalau pernikahan mereka hanya di atas kertas. Tommy membutuhkan kelembutan seorang perempuan, tidak mungkin mendapatkan dari dirinya sudah pasti akan mencari dari perempuan lain.

Selesai minum, Diandra mencuci gelas lalu mengisi teko. Bersiap untuk kembali ke atas saat terdengar suara kendaraan masuk. Ia tidak ingin bertemu Tommy, ingin bergegas naik tapi teriakan menghentikan langkahnya.

"Diandraa! Aku pulang, Sayang!"

Setelah itu terdengar deru mobil menjauh, suara mutahan, dan tak lama gedoran di pintu.

"Diandra! Buka pintunya. Aku lupa kunciku di mana!"

Diandra menghela napas panjang, meletakkan teko di atas meja ruang tengah dan melangkah cepat menuju pintu depan lalu membukanya. Aroma alkohol menyergap penciuamannya.

"Kamu mabuk?" tanyanya.

Tommy tersenyum seperti orang bodoh, melangkah gontai ke ruang tamu dan mengamati istrinya yang sedang menutup pintu. Diandra memakai daster tipis dengan tali kecil di pundak. Panjang daster hanya mencapai lutut dan bagian atas tubuhnya terpampang jelas. Rengan yang ramping dengan kulit putih, leher yang jenjang dan belahan dadanya sedikit terlihat. Diandra yang biasanya sangat kaku serta tegas, kali ini terlihat sangat lembut, cantik, dan sexy.

Cindy dengan gaunnya yang melekat pas di tubuh, tanpa bra dan celana dalam, tidak bisa menandingi kelembutan dan daya tarik Diandra dalam balutan daster.

"Nggak, Sayang. Aku nggak mabuk." Tommy terus tersenyum. Mengulurkan tangan pada Diandra. "Ayo, bantu suamimu ini ke atas. Aku butuh untuk dipapah sama kamu, Sayang?"

Diandra mengernyit bingung bercampur jengkel. "Kamu mabuk kenapa ke atas. Tidur aja di ruang tengah. Jangan bikin repot Nana kalau sampai muntah di kamar."

"Aduh-aduh, bentakan istriku sungguh indah didengar. Apakah memang begini rasanya menjadi suami istri yang sesungguhnya? Saling marah dan membentak tapi dalam hati menyimpan cinta?"

Terbelalak dengan ucapan suaminya, Diandra merasa kalau otak Tommy rusak karena alkohol. "Aku mau naik, kamu tetap di sini."

"Eit, tunggu dulu. Nggak semudah itu, Diandra. Aku masih mau bicara!"

Di luar dugaan, Tommy meraih lengan Diandra dan ingin memeluknya. "Tommy, lepaskan!"

Tommy memeluk istrinya makin erat. Gairahnya kembali naik saat melihat Diandra memakai daster dengan lekuk tubuh menggoda. Ia ingin sekali mencicipi rasa tubuh dan bibir istrinya.

"Diandra, aku suamimu. Sudah seharusnya kalau kamu melayanikuu!"

Dengan kekuatan penuh dan memaksa, Tommy mencoba mencium Diandra. Menarik tubuh istrinya ke sofa ruang tengah dan membantingnya. Tidak memberi kesempatan pada Diandra untuk berkelit, ia menciumi leher, pundak, serta wajah yang halus.

"Sudah semestinya kamu melayaniku, Diandra. Aku ini suamimu. Aku menuntut hakku!"

"Tommy, minggir! Sialan kamu!"

"Iya, aku memang laki-laki sialan. Aku kurang ajar! Tapi, aku tetap suamimu. Kamu paham bukan hukumnya menjadi suami istri? Kamu harus melayaniku, apa pun yang terjadi. Sudah cukup waktu yang aku berikan untukmu, Diandraa. Aku nggak tahan lagi. Ayo, Sayang!"

Kata-kata Tommy membuat Diandra tercabik rasa ngeri. Laki-laki yang sedang berusaha menelanjanginya bukan lagi suaminya melainkan monster yang sedang penuh nafsu. Diandra gemetar dalam rasa takut, menolak dengan seluruh tenaga. Ia berusaha menggeser tubuh Tommy dari atas tubuhnya. Menekan lutut dan dengan susah payah menyingkirkan suaminya. Bangkit dari sofa dan meraih teko dengan tangan gemetar. Dalam satu kali sentakan, menghantamkan teko ke bahu Tommy.

Teko kaca itu pecah, dengan air membasahi Tommy. Diandra bangkit dengan tangan terkepal. Tubuhnya bergetar takut, jantung berdetak lebih cepat karena rasa ngeri. Bagaimana bisa Tommy ingin memerkosanya?

"Bangsat kamu!" teriak Diandra keras bercampur tangis ketakutan. Tidak peduli kalau sampai Nana terbangun karena mendengarnya. "Kamu ingin memperkosaku, Tommy? Setelah semua yang aku lakukan untukmu, kamu ingin memperkosakuu?!"

Tommy mendesah, menatap tubuhnya yang basah serta serpihan kaca di lantai dan sofa. Ia terduduk di karpet, menyadari apa yang akan dilakukannya pada Diandra. Ia menengadah dan kulit bagian atas tubuh istrinya penuh dengan bilur merah. Mengusap rambut dengan tangan basah, ia menggeleng perlahan.

"Kamu pikir aku nggak tahu apa yang baru saja kamu lakukan, Tommy? Aku bisa melihat jelas kamu bermesraan dan bertukar air liur dengan perempuan berambut merah. Nafsu yang kamu bawa dari luar rumah, ingin kamu lampiaskan padaku? Brengsek kamu!"

"Perempuan berambut merah?" gumam Tommy linglung. "Maksudmu Cindy. Ba-bagaimana kamu tahu kalau aku dan Cindy bermesraan?"

Diandra menatap jijik pada suaminya. Merapikan kembali pakaian, ia meneggakan tubuh. Tangannya kini berada di atas asbak kristal. Ia tidak akan segan menghantamkan benda itu ke tubuh Tommy kalau kembali berulah.

"Nggak penting aku tahu dari mana, tapi aku tegaskan sekali lagi. Jangan coba-coba menyentuhku atau aku akan membunuhmu! Laki-laki keparat! Kamu pikir bisa meniduriku seperti yang kamu lakukan pada perempuan lain di luar sana? Jangan harap! Lebih baik aku mati dari pada menjadi korban nafsumu!"

Dengan hati penuh luka, tubuh gemetar takut, dan kengerian di dada, Diandra berlari menaiki tangga. Ia membuka kamar, mengunci pintu lalu terduduk di lantai dan menangis. Sikap Tommy yang begitu buas dan brutal membuatnya bertanya-tanya lagi tentang keputusannya untuk tetap tinggal di rumah ini. Bagaimana kalau Tommy kembali lepas kendali? Apa yang harus dilakukannya?

Di lantai bawah, Tommy menatap langit-langit ruang tengah dengan pandangan menerawang. Kesadaran menguasainya dan ia memejam. Mengingat kembali tentang kelakukannya pada Diandra. Bagaimana bisa ia bersikap begitu tolol pada Diandra? Nafsunya memang memuncak dari masih di bar. Tapi tidak seharusnya melampiaskannya pada Diandra. Tommy memaki kebodohannya sendiri.

Diandra tahu kalau dirinya bermesraan dengan Cindy, tentu saja merasa jengah dan jijik padanya. Hubungan mereka yang mereggang semenjak ada Keyano, bisa dipastikan akan makin renggang setelah ini. Tommy menekuk kepala di antara lutut dan berujar dengan suara parau penuh penyesalan.

"Diandra, maafkan aku."
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 64.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top