Bab 15

Kenapa Diandra begitu dibenci Merry dan kedua anaknya? Dugaan paling kuat adalah karena Diandra tidak kaya, dianggap tidak sepadan dengan Tommy yang dinilai sangat tinggi dan sangat baik oleh keluarganya. Diandra dianggap sebagai pembawa masalah, karena harusnya bisa menikah dengan perempuan lain yang memiliki segalanya. Mereka masih tidak bisa menerima kalau Tommy tidak menikah dengan Reena. Semua permasalahan itu makin parah dengan adanya Gema, yang jelas-jelas mengejar Tommy.

Lingkaran permasalahan asmara disekitarnya membuat Diandra pusing. Ia tidak berminat untuk menjalin hubungan atau pun bermanja dengan suaminya. Yang diinginkannya hanya melewati ujian dengan baik dan bisa bekerja sebagai pengacara. Secara perlahan Nana bisa membantunya mengasuh Keyano. Alih-alih mengambil hati Merry, kini Nana justru lebih dekat dengannya. Dengan begitu Diandra bisa mencapai cita-citanya yang tertunda.

Sikap Tommy yang akhir-akhir ini berubah menjadi semakin lembut dan baik, menambah kesulitan bagi Diandra. Merry dan dua anak gadisnya menuduhnya mengguna-guna Tommy. Hal yang paling tidak masuk akal yang pernah didengarnya. Jika bisa ingin ia menjauh dari suaminya itu, sayang sekali situasi dan kondisi tidak memungkinkan.

Suatu hari sebuah pesan datang dari Hazel. Laki-laki yang sudah berbulan-bulan tidak ada kabar berita itu mengatakan punya banyak referensi buku bagus untuk Diandra.

"Kamu bisa ketemu sama adikku untuk mengambil buku-buku yang aku titip orang tuaku. Bulan lalu mereka datang kemari."

Hazel memberikan nomor ponsel Helena untuk dihubungi sekaligus mengirim foto-foto dario buku yang akan diberikan untuknya. Wajah Daindra menjadi cerah seketika. Ia tidak tahu bagaimana tapi Hazel ternyata mengerti kalau dirinya memang membutuhkan buku-buku itu. Padahal mereka tidak berada di area yang sama tapi ternyata laki-laki itu paham.

"Bagaimana kamu tahu kalau aku akan butuh buku-buku ini?"

Hazel tidak menjawab lama sekali, sampai akhirnya satu balasan singkat muncul. "Karena aku sedang mempelajari hal yang sama?"

"Apaa? Kamu mengambil pendidikan lanjutan hukum kriminal?"

"Bisa dibilang begitu. Sudah bosan dapat duit dari dunia hiburan, saatnya mencari sesuatu yang menantang."

Tidak bisa dipercaya, Diandra menemukan orang dengan satu pikiran yang sama. Kalau saja keluarga Merry tidak menuduhnya macam-macam, ia yakin akan bersahabat baik dengan Hazel. Mereka akan bertukar pikiran tentang banyak hal dan itu akan menyenangkan. Tapi, Diandra mengerti untuk tidak mencari masalah yang akan mempersulit hidupnya.

Ia memberanikan diri membuat janji untuk bertemu Helena. Gadis itu menyambut baik keinginannya dan di Sabtu siang mereka sepakat untuk makan siang bersama di sebuah restoran. Sengaja Diandra tidak mengajak Keyano, membiarkan bayi itu dalam pengasuhan Nana. Memakai celana denim hitam dengan blus biru laut, Dindra menuruni tangga. Tommy menatapnya heran dari ruang tengah.

"Mau kemana kamu? Rumah Nenek?"

"Bukan, ada janji sama orang."

"Orang siapa? Aku kenal atau nggak?"

Pertanyaan Tommy yang sedikit menuntut membuat Diandra menghela napas panjang. Tommy benar-benar berubah, bersikap ingin menjadi suami yang baik dan posesif.

"Adiknya Hazel, kamu pasti kenal'kan?"

"Helena? Kamu kenal Helena?"

"Kenal, waktu Hazel mengantarku pulang kali lalu, kami makan bertiga. Sepertinya Hazel ada bilang sama kamu."

"Mungkin aku lupa. Mau ada urusan apa sama Helena? Aku antar, ya?"

Diandra menggeleng. Ia bisa menolerir sikap Tommy yang mendadak baik tapi tidak dengan cara intim seperti ini. Mengantar pulang pergi bukan hal yang ingin dilakukannya.

"Nggak usah. Aku hanya ingin ngambil buku sekalian makan. Hazel ngasih buku-buku hukum."

Keterkejutan terlintas di mata Tommy. "Hazel memberimu buku hukum?"

"Iya, buku-buku langka yang di sini susah dapatnya. Aku pergi sekarang, biar cepat balik."

Perasaan Tommy carut marut menatap kepergian istrinya. Ia tidak menyangka kalau Hazel akan berbuat begitu jauh untuk membantu Diandra. Membelikan buku mungkin hal yang sepele, tapi masalahnya jarak mereka berjauhan dan dalam kondisi Hazel sangat sibuk, masih sempat membantu Diandra. Rasa cemburu menguasainya sesaat. Kalau tidak ingat Hazel adalah sahabatnya, sudah punya kekasih, dan tinggal di USA, rasa cemburunya pasti meledak kuat.

Tommy menggeleng resah. Bila dibandingkan dengan Hazel, tentu saja ia kalah. Sahabatnya itu jauh lebih tampan dan kaya, banyak perempuan akan menyukai Hazel. Bisa jadi Diandra akan tergoda. Tommy bingung dengan perasaannya sendiri. Ia menjadi begitu gila dan cemburu dengan kedekatan sahabat dan istrinya sendiri. Sungguh hal gila yang pernah terpikir olehnya.

Menatap jam di ponsel, Tommy teringat punya janji. Ia memutuskan untuk mandi dan keramas, menenggelamkan rasa gundahnya.

**

"Hai, lama nggak ketemu. Berapa bulan?" sapa Helena ramah.

"Sudah tiga atau empat bulan sepertinya."

"Ayo, duduk. Kamu nggak sibuk'kan? Kita bisa mengobrol lama."

Diandra duduk dengan gembira. "Dengan senang hati. Udah pesan makan?"

Helena menggeleng. "Belum, nunggu kamu."

Layaknya dua teman lama, keduanya mengobrol akrab. Bicara banyak hal tentang keseharian dan juga Hazel. Helena mengatakan kakaknya sedang sibuk kuliah lanjutan dengan banyak kasus yang ditangani. Termasuk hubungannya dengan pacar yang sempat merenggang.

"Orang tua pacarnya ingin agar mereka segara menikah. Hazel meminta untuk ditunda sampai studynya selesai. Bukan hanya itu, kakakku ingin tinggal di sini tapi pacarnya justru maunya di sana. Mereka ribut, sempat putus lalu akhir-akhir ini kembali lagi. Pasangan aneh!"

Diandra tertawa mendengar kata-kata Helena. Memang seperti itulah hubungan sepasang kekasih yang sebenarnya, saling mencinta, sesekali bertengkar lalu kembali mesra. Ia sendiri tidak punya pengalaman banyak seperti orang-orang muda lainnya. Hidupnya dihabiskan untuk bekerja, belajar, dan merawat neneknya. Satu-satunya laki-laki yang pernah menetap di hatinya hanya Tommy. Itupun karena ia bertekad ingin menjadi istri yang baik, dan benar-benar mencintai suaminya. Sayangnya perasaannya kandas bahkan sebelum sempat berkembang.

"Mungkin itulah cara mereka menunjukkan cinta."

"Bisa jadi, tapi kakakku memang kurang peka. Mereka kembali akur karena pacarnya yang duluan mencari dan memohon, kalau tidak udah rusak kali selamanya. Harusnya jadi laki-laki itu lebih peka. Benar-benar aneh dia."

"Bukannya begitu, ya? Banyak laki-laki yang nggak peka?"

Helena mengedipkan sebelah mata dan tertawa. "Apakah itu termasuk suamimu? Aku mengenal Tommy. Laki-laki yang sangat sadar kalau dirinya tampan dan banyak yang memuja. Berbeda dengan kakakku yang cenderung tidak peduli, Tommy sangat-sangat memahami pesona dirinya. Menurutku, dia bukan tipe laki-laki peka."

Diskripisi Helena tentang Tommy membuat Diandra terbahak. "Sangat akurat. Tommy memang sangat percaya diri dengan pesonanya. Aku akui, sempat jatuh dalam pesonanya yang tampan luar biasa itu. Sampai akhirnya aku sadar kalau perasaanku adalah sesuatu yang bodoh."

"Bagaimana sekarang? Kamu nggak cinta lagi sama suamimu?"

"Entahlah, dari awal mungkin memang nggak ada cinta. Bisa juga dikatakan, aku pernah jatuh cinta lalu dihancurkan. Sekarang aku juga nggak mau lagi berjuang, terlebih dengan mama dan dua adiknya yang membenciku."

Helena mengedip iba. Ia merasa Diandra adalah perempuan yang baik hati, dan sangat pintar. Entah apa yang membuatnya dibenci oleh keluarga Tommy.

"Kelak mereka akan menyesal, Diandra. Sudah berburuk sangka padamu. Seiring waktu kamu akan membuktikan pada mereka, kalau kamu bisa lebih dari sekarang."

Diandra tertawa, hatinya membuncah dalam bahagia. Di antara begitu banyak orang yang dikenalnya, hanya Helena yang memberinya dukungan. Bersama Helena ia bisa mengungkapkan semua pikirannya, tentang ketakutan dan harapannya. Juga hal-hal lain menyangkut keluarga Tommy. Memang menyenangkan punya satu sahabat, setelah pertemannya dengan Anika merenggang.

Dulu ia dan Anika sangat akrab karena satu kantor. Tapi sekarang mereka jarang berkomunikasi karena kesibukan masing-masing. Kini ada Helena yang menyatakan siap menjadi teman berbagi perasaan. Diandra merasa sangat gembira.

Selesai makan, Helena mengajak Diandra menonton musik di hall utama mall. Keduanya duduk bersebelahan, menonton pemuda berambut gondrong bernyanyi. Diandra cukup menikmati lagu-lagu yang dibawakan band itu, mengetuk-ngetukkan jemari di lutut. Selesai performa, di luar dugaan sang vokalis mendatangi mereka. Dengan wajah malu-malu mengatakan ingin mengajak berkenalan. Diandra menolak dengan sopan.

"Aku sudah menikah, tapi temanku belum."

Wajah pemuda itu menjadi cerah seketika, menatap Helena penuh harap. "Bagus kalau begitu, aku juga belum menikah. Namaku Ronand, mahasiswa semester akhir."

Helena mengulurkan tangan. "Aku Helena, baru saja selesai skripsi dan sedang cari pekerjaan."

"Hebat, umur kita nggak beda jauh ternyata."

Diandra menahan senyum saat mereka bertukar nomor ponsel. Menyenangkan melihat orang-orang muda menjalani hidup mereka dengan bebas dan penuh kegembiraan. Ia tidak punya kesempatan seperti itu dulu, mengenal banyak orang dan bersosialisasi. Tapi sekarang ia akan memanfaatkan semua fasilitas yang diberikan Tommy, untuk bersenang-senang dan menebus waktu mudanya yang terlewat.

Selesai makan dengan Helena, ia memutuskan untuk mampir ke rumah si nenek. Kamirah menyambutnya dengan Sonya berada di sampingnya. Diandra bisa melihat kalau Sonya memperlakukan neneknya dengan baik.

"Nenek akhir-akhir ini makan banyak. Sonya pintar memasak," puji Kamirah.

"Ah, Nenek. Hanya masakan biasa. Tiap hari aku akan masak untuk Nenek."

Sebelum pulang, Diandra memberikan sejumlah uang untuk Sonya. Perempuan itu awalnya menolak tapi Diandra memaksa.

"Ini untuk uang belanja, Kak. Sudah seharusnya Kakak terima karena ini uang Nenek. Aku meminta maaf tidak bisa merawat Nenek dan merepotkanmu."

Sonya menerima uang dengan malu-malu. "Aku yang minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kalau bukan kamu yang menolong, entah bagaimana hidupku. Sendirian, tanpa saudara. Beruntung aku kenal kamu dan Nenek."

"Kaak, aku nitip Nenek. Tolong jaga baik-baik."

"Pasti! Nenek itu orangnya lucu dan menggemaskan. Setiap malam sebelum tidur selalu bercerita soal kamu. Sekarang ini, meskipun kalian tinggal terpisah tapi nenek merasa bahagia karena kamu sudah menikah. Dia berharap kalau pernikahanmu berjalan bahagia selama-lamanya."

Katra-kata Sonya membuat Diandra mengulum senyum. "Nenek memang suka bercerita soal masa lalu."

"Aku senang mendengarnya, juga tentang pengalaman masa lalu kalian. Diandra, meskipun kamu udah nggak ada orang tua, tapi ada nenek yang menyayangimu."

"Memang, dan aku beruntung sekali. Terima kasih, Kak. Sudah menjaga dan merawat nenek"

Diandra meninggalkan rumah neneknya dengan tenang. Pertama kalinya merasa yakin sudah menemukan orang yang tepat untuk menemani dan merawat sang nenek. Ia rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk Sonya, karena melihat ketulusan perempuan itu.

Selama satu tahun belakangan, Diandra memang memiliki tabungan yang lumayan jumlahnya. Didapatkannya dari Tommy dan Fakri, dan juga tabungannya dari hasil bekerja dulu. Ia menggunakan semua uang dengan cermat, dan hemat. Hanya sedikit untuk keperluan pribadinya, dan sisanya untuk masa depan serta biaya pendidikan. Uang tidak boleh keluar sembarangan, terlebih untik membeli barang-barang yang tidak perlu. Diandra mengerti, pernikahannya dengan Tommy bisa terancam setiap saat. Sebelum itu terjadi, ia harus membuat banyak persiapan.

Kalau memang suatu saat harus bercerai, ia sudah mandiri. Punya pekerjaan, dan juga penghasilan sendiri. Dengan begitu tidak menyia-nyiakan waktu saat masih bersama. Ia memang sangat menyayangi Keyano, tapi hidup harus realstis. Rasa sayangnya pada bayi itu tidak mengubah keadaan kalau mereka bukan ibu dan anak yang sesungguhnya. Meskipun di kartu keluarga dan akte nama ibu Keyano adalah dirinya, tapi tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan keluarga Tommy pada mereka. Diandra akan melindungi dirinya sendiri, si nenek, dan Keyano dari orang-orang dengan pikiran jahat seperti Merry dan dua anaknya.

Tiba di rumah, Nana memberitahu kalau Tommy tidak ada. Kelegaan menyergapnya seketika. Rumah menjadi lebih menyenangkan kalau tidak ada suaminya.

"Ayo, kita makan sate, Nana! Di depan komplek banyak tukang makanan, sekalian bawa Keyano jalan-jalan."

Nana mengangguk gembira. "Iya, Nyonya!"

Mereka berdua berjalan beriringan dengan Diandra mendorong kereta Keyano. Sebenarnya Keyano sudah mulai menolak kalau diletakan di dalam kereta dan memilih untuk digendong. Tapi berjalan-jalan seperti sekarang, lebih nyaman dan aman menggunakan kereta.

Pukul dua belas malam, Tommy belum juga pulang. Diandra memutuskan untuk tidur dan meminta Nana mengunci pintu. Ia yakin Tommy sedang bersenang-senang bersama teman-temannya seperti yang biasa dilakukannya dulu. Saat Diandra baru saja merebahkan kepala di atas bantal, satu pesan masuk dari nomor yang tidak dikenalnya. Ia membuka pesan berisi foto dan terbelalak.

"Suamimu sedang bermesraan dengan perempua lain."

Di foto itu ada Tommy yang sedang berpelukan dan bermesraan dengan seorang perempuan berambut merah. Entah siapa yang mengirim foto itu tapi yang jelas, orang ini mengerti tentang dirinya dan Tommy dengan baik.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 60.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top