Bab 14
Apakah Diandra sama sekali tidak tergerak dengan perubahan Tommy? Sebagai perempua dan seorang istri, tentu saja hatinya tergetar. Terlebih ia sempat mencintai suaminya sepenuh hati, rela melakukan apa saja untuk membuat suaminya bahagia. Namun semua harapnnya hancur begitu saja dan bahkan tidak sempat membangunnya lagi. Berserak, pecah berkeping-keping dan ia terlalu malas untuk memungut puing-puing perasaannya untuk menyatukannya lagi. Ada banya ketidakpercayaan, sakit hati, dan tidak percaya diri di antara mereka. Tommy bersikap sangat baik dan penuh perhatian tapi justru membuat Diandra takut.
Suaminya bukan lagi orang yang sama. Perubahannya terlalu drastis dan dipaksa. Ia tidak percaya kalau ada cinta di balik perubahan itu, selalu ada untung rugi jika menyangkut Tommy dan kelurganya. Bagi Merry serta dua anak gadisnya, dirinya mungkin hanya perempuan beban dan miskin. Tapi bagi Tommy, ia adalah perempuan tepat untuk menjadi ibu bagi Keyano. Semua hal yang dilakukan Tommy, bukan karena cinta tapi lebih ke berharap agar Keyano baik-baik saja. Semua pikiran itulah yang membuat Diandra menjaga jarak dari suaminya sendiri.
Lagipula, mertua dan dua adik iparnya tidak berhenti memperingatkannya kalau Tommy adalah milik Reena. Cinta, hidup, dan mati Tommy hanya pada satu perempuan yaitu, Reena. Membuat Diandra muak karena terus menerus mendengar nama perempuan itu disebut.
"Kalau memang kalian begitu memuja Reena, kenapa nggak minta dia balik. Suruh urus anak dan kekasihnya, biar nggak merepotkan orang lain!"
Jawaban ketus Diandra terlontar saat Tania suatu malam sengaja datang ke rumah. Gadis itu mencari Tommy dan saat tahu kakaknya belum pulang, dengan angkuh berkata akan menunggu. Diandra tidak peduli dengannya. Tetap belajar dengan Keyano bermain di sampingnya bersama Nana. Tapi, Tania terus menerus mengganggunya dengan kata-kata yang sengaja untuk memanas-manasi.
"Rumah ini jujur saja terlalu kecil untuk ditinggali kakak dan keponakan gue. Dulu sekali, gue ingat dulu Tommy pernah berniat membeli rumah luas di tengah kota yang harganya fantastis. Kebetulan Kak Reena juga menyukai rumah itu. Rencananya akan ditempati saat mereka menikah. Menurut gue seleranya Kak Reena sangat bagus, karena rumah pilihannya memang elegan. Sayang sekali tidak jadi dibeli. Tapi, nggak tahu juga kalau Kak Tommy diam-diam beli. Kita semua tahu betapa bucinnya kakak gue itu."
Dengan sengit dan kejam, Tania melirik Diandra. Sebenarnya ia penasaran apa yang dilakukan Diandra saat di rumah apalagi sekarang ada Nana. Ia yakin kalau kakak iparnya itu akan bermalas-malasan sepanjang hari. Tommy sudah membayar jasanya, akan rugi kalau mendapatkan istri yang pemalas dan kurang ajar. Nyatanya semua kecurigaan mereka tidak beralasan. Diandra sepanjang waktu membaca buku, sambil mengasuh Keyano. Tania bahkan melihat dengan matanya sendiri bagaimaa Diandra mengerjakan sesuatu di laptopnya dengan Keyano tertidur di pangkuannya. Sama sekali tidak terganggu dengan bayi yang setiap saat bisa saja bangun dan rewel.
Nana yang diharapkan bisa mengasuh Keyano dan merebut hati bayi itu, justru lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga. Pengasuh itu memasak, menyapu, dan membersihkan rumah. Tidak ada kata keberatan meskipun melakukan pekerjaan yang tidak sesuai kontrak. Tania benar-benar dibuat heran. Kesal karena kata-katanya tidak mendapatkan tanggapan, Tania berdecak keras.
"Eh. lo budek, ya. Dari tadi gue ngomong lo diemin!"
Diandra meletakkan jari di bibir dan mendesis. "Ssst, berisik sekali kamu ini. Nggak lihat anakku lagi tidur?"
Tania melotot. "Dia bukan anakmu . Tapi anak Kak Reena."
Melambaikan tangan tidak peduli, Diandra mengusir Tania. "Kalau kamu punya banyak waktu buat nunggu kakakmu itu, mending nonton tivi atau apalah, jangan ganggu aku!"
"Sok banget lo! Ini rumah kakak gue! Bukan rumah lo!"
Kesabaran Diandra benar-benar tipis saat berhadapan dengan Tania yang keras kepala dan kurang ajar. Seorang perempuan muda yang tidak pernah belajar menghargai orang lain.
"Ini memang rumah Tommy tapi mau nggak mau, suka nggak suka, aku nyonya di rumah ini. Kalau kamu nggak mau aku usir, tutup mulutmu!"
"Kurang ajar! Kak Reena aja nggak kejam kayak lo!"
"Kalau Reena memang sebaik itu, dia nggak akan minggat dan telantarin anak. Sebelum kamu membantah ucapanku, lebih baik pergi dari ruang tengah sekarang. Terserah mau nunggu di mana tapi jangan ganggu aku!"
Tania menjerit kesal dan Diandra mengabaikannya. Gadis itu memutuskan untuk menunggu di ruang tamu. Diam-diam Diandra meminta Nana membuat minum untuk adik iparnya.
"Tunggu Keyano bangun, aku akan membawanya keluar jalan-jalan. Kamu tetap di rumah aja," ucapnya pada Nana.
"Iya, Nyonya."
Diandra bisa mendengar Tania mengamuk saat dirinya meninggalkan rumah sambil mendorong Keyano dengan kereta bayi.
"Lo itu pengasuh. Harusnya lo yang ajak bayi itu jalan-jalan."
Bisa dimengerti kalau Tania marah, merasa kecewa karena orang suruhannya tidak bisa melakukan sesuai keinginan mereka. Di luar dugaan, Nana bahkan rela melakukan pekerjaan rumah tangga asalkan tetap bisa bekerja. Tommy menyetujui untuk membayar gaji demi meringankan beban Diandra. Sekarang bisa dibilang, selain neneknya maka Nana adalah orang terdekat untuknya.
Keyano berumur sepuluh bulan, dua bulan ke depan akan genap satu tahun. Diandra tidak mengira kalau dirinya akan menjadi sesayang ini pada anak kecil. Bukankah ia seharusnya membenci Keyano karena lahir dari perempuan yang sudah merebut suaminya? Namun, hatinya menolak itu semua. Perempuan normal tidak akan pernah bisa membenci bayi selucu Keyano.
Kamirah menelepon saat ia sedang mendorong kereta bayi di taman, melihat tanaman dengan burung-burung beterbangan.
"Iya, Nek. Ada apa?"
Suara Kamirah terdengar bahagia. "Diandra, kamu masih ingat Sonya'kan?"
"Iya, tentu saja. Tetangga baru."
"Nenek mau bilang sama kamu, karena Bi Ani udah tua dan juga sakit-sakitan, makanya jarang datang. Sonya yang kesepian menawarkan diri menemani nenek. Menurutmu bagaimana?"
Ingatan Diandra tertuju pada Sonya yang cantik, baik, dan sangat ramah. Perempuan yang mudah sekali akrab dengan orang lain karena pintar mengambil hati.
"Kalau Nenek memang cocok dengan Kak Sonya, nggak masalah, sih."
Kamirah menyahut cepat. "Cocook! Nenek sangat-sangat suka sama Sonya. Kalau memang kamu ijinkan, biar dia pindah kemari besok. Sayang kalau uangnya dibuang-buang buat kontrakan."
"Loh, bukannya udah bayar buat setahun?"
"Gampang itu, nenek yang minta lagi nanti."
Si nenek memutuskan sambungan dan Diandra terdiam menatap awan. Perasaan bersalah menyelimutinya karena tidak bisa tinggal bersama neneknya di hari tua. Harusnya ia di samping neneknya, menemani dari pagi sampai malam, sayangnya Kamirah justru menolak keinginannya.
"Kamu masih muda, punya banyak kesempatan untuk meraih cita-cita dan menjalani hidup yang kamu inginkan. Nenek hanya akan jadi beban untukmu."
Seandainya Kamirah tahu tentang apa yang terjadi dalam pernikahannya, pasti tidak akan mengatakan itu. Tidak ada seorang nenek pun yang ingin cucunya menderita, sayangnya Diandra justru tidak ingin neneknya tahu. Cukup ia telan sendiri semua kesedihan dan kesengsaraan, neneknya harus hidup bahagia setiap hari, agar panjang umur dan sehat.
Saat pulang Diandra mendapati Tommy sudah kembali dan sedang bicara dengan Tania di ruang tengah. Keduanya terlihat sangat serius dan Diandra yang tidak ingin menganggu, berniat membawa Keyano ke atas tapi Tommy mencegatnya.
"Dari mana kalian? Jalan-jalan?"
Diandra mengangguk kecil. Mengacungkan kantong di tangan. "Beli empek-empek."
Tommy mengendusnya. "Sepertinya enak. Banyak nggak kamu beli? Kalau banyak bisa minta Nana goreng, kita makan bersama. Aku pesan minuman."
Terus terang Diandra enggan berada di satu meja makan bersama Tania tapi permintaan Tommy sulit ditolak. Ia tidak ingin ada pertengkaran dengan Tania karena itu mengesalkan. Dengan terpaksa ia meminta Tania menggoreng. Setelahnya mereka makan di dapur dengan Nana membawa Keyano untuk mandi.
"Empek-empek pinggir jalan, ya, gini. Udah keras, alot, nggak ada rasa ikannya pula," gerutu Tania sambil mengiris makanannya. Matanya melotot ke arah Diandra. "Pasti murah belinya."
Tommy menggeleng. "Tania, jangan gitu. Empek-empeknya cukup enak kok. Apalagi cukonya juga enak."
"Halah, Kakak bela dia terus. Kenapa? Takut dia marah? Padahal yang aku omongin benar."
Tergoda untuk menarik piring berisi empek-empek dari depan Tania, dan membuang isinya, Diandra mencoba menahan sabar. Di antara adik sama mama, entah siapa yang lebih mengesalkan tapi bagi Diandra mereka sama saja. Bibir mereka tajam dengan kata-kata yang memang khusus untuk menyakiti. Kalau ada orang mati karena makian, Diandra pasti sudah tewas berkali-kali karena mereka.
"Tania, kalau memang nggak enak. Kagak usah makan!" bentak Tommy geram.
Tania meletakkan sendok dan garpu lalu bersedekap. Menatap kakanya lekat-lekat seolah baru mengenalnya. Tommy yang diingatnya tidak pernah seperti ini, membela Diandra sampai berani membentaknya. Semua gara-gara perempuan rendahan di depannya. Diandra yang makan dengan tenang seolah tidak terpengaruh pertengkaran kakak adik. Mengunyah perlahan dan menikmati setiap potong makanan yang masuk ke mulut.
"Lo pasti senang karena dibela kakak gue'kan?"
Diandra tahu pertanyaan ini ditujukan padanya dan jawabannya hanya berupa senyum kecil yang tidak mencapai matanya.
"Lo janga merasa hebat. Kakak gue bela lo buka karena suka sama lo, tapi demi Keyano. Lo paham'kan? Semua eksistensi lo di rumah ini nggak ada artinya kalau nggak ada Keyano."
"Taniaa, kalau kamu masih bicara melantur. Lebih baik pulang sekarang!" Tommy yang kehabisan sabar, memundurkan kursi dan bangkit dengan wajah kesal. "Kamu datang nggak diundang, harusnya menjadi tamu dan adik ipar yang baik, namanya juga lagi nengok kakak. Tapi kamu malah beda, sedari tadi mengomel dan mengkritik Diandra tanpa henti. Padahal Diandra nggak melakukan apa pun yang bikin kamu marah!"
"Kakak salah! Dari awal perempuan itu datang ke rumah sudah suatu kesalahan. Harusnya dia nggak datang dan mengacaukan semua. Harusnya dia tahu diri dan nggak nikah sama kamu, Kak. Dengan begitu kamu nggak harus menderita karena punya istri yang nggak becus! Harusnya—"
"Reena nggak kabur dan nelantarin anak!" Diandra menyela keras. Membuat Tania terdiam begitu pula Tommy. Diandra menghela napas panjang lalu menggeleng. "Nggak habis pikir aku sama kalian. Bersaudara tapi ribut terus. Tania, kalau urusanmu sudah selesai, lebih baik pulang sekarang!"
Tania melotot marah. "Lo ngusir guee? Lo berani ngusir gue dari rumah ini?"
Diandra bersedekap dan mengangguk. "Ya, aku mengusirmu karena ini rumahku. Kamu marah dan terus menerus membentak, bikin Keyano nggak bisa tidur. Kalau kamu masih ingin mengobrol dengan kakakmu, bersikap yang sopan. Kalau datang cuma mau marah dan menghina, lebih baik pulang. Tanpa kamu ucapkan dengan lantang dan mengulanginya berkali-kali, aku tahu dan sadar diri kalau miskin!"
Tanggapan dan juga serangan balik dari Diandra membuat Tania melongo. Melirik ke arah Tommy, ia ingin meminta bantuan tapi kakaknya memilih untuk memalingkan wajah dan melangkah diam ke ruang tengah. Tania menatap punggung kakaknya, merasakan kekesalan kalau diabaikan padahal ia datang untuk Tommy. Tidak pernah terjadi sebelumnya, si kakak tidak peduli dan bahkan membiarkannya menjadi sasaran caci maki Diandra. Ia tidak akan membiarkan hal ini terus terjadi. Mamanya harus tahu masalah ini dan mereka akan mencari jalan untuk menyingkirkan Diandra.
"Lo pikir udah hebat? Bisa bikin kakak gue suka dan sayang sama lo?" ujar Tania dengan senyum sinis. "Kita lihat saja nanti sampai kapan ini bertahan. Kakak gue nggak bakalan mau lagi sama orang kayak lo, kalau dia ketemu yang jauh lebih baik dari lo! Jih, miskin aja nggak tahu diri!"
Melontarkan makian terakhir Tania meninggalkan ruang makan, tanpa berpamitan bergegas ke pintu. Menoleh sebentar pada Tommy yang duduk merokok di teras.
"Jangan lupa janji kita, Kak!"
Setelah itu masuk ke mobil dan menghilang dari pandangan dengan hati dipenuhi kemarahan.
.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 56.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top