Bab 13
Rumah tidak pernah seramai ini sebelumnya, ada suara cerewet perempuan dan juga rengekan bayi yang tidak berhenti. Nana memang seorang pengasuh anak yang baik tapi Keyano memang belum terbiasa dengan orang baru. Bayi itu menolak pelukan, penghiburan serta cara pengasuhan Nana. Diandra sendiri awalnya ingin menolak Nana, tapi teringat kalau Minggu depan akan ada ujian. Ia ingin memanfaatkan kedatangan pengasuh itu untuk waktunya sendiri. Sayangnya, tidak semudah itu dilakukan karena Keyano menolak.
Tommy terlihat sakit kepala dan muak, bukan karena tidak suka dengan Nana tapi karena Keyano menangis tanpa henti. Berkali-kali ia melemparkan lirikan meminta tolong pada Diandra tapi istrinya itu sibuk dengan urusannya dan seolah tidak memperhatikan. Membuatnya senewen dan akhirnya mengambil paksa Keyano dari gendongan Nana.
"Aku nggak tahu apa yang salah, tapi anakku nggak pernah rewel begini!"
Bentakan Tommy membuat Nana berjengit kaget. "Ma-maaf, Pak. Saya sedang coba tenangkan. Mungkin butuh waktu karena baru tiga hari di sini."
"Tiga hari cukup lama dan bikin aku stress. Setiap malam nggak bisa tidur, padahal siang harus kerja."
Nana menunduk malu sekaligus bingung, sedangkan Diandra tetap diam dengan buku terbuka di hadapannya. Ia memang sengaja tidak ingin ikut campur, satu karena fokus dengan ujian sedangkan kedua adalah ingin memberikan kesempatan pada Merry. Ibu mertuanya itu ingin menunjukkan dominasinya di rumah ini. Mengirim pengasuh kemari seakan ingin berkata kalau tanpa Diandra, cucunya akan baik-baik saja. Diandra menerima dengan tangan terbuka uluran bantuan dari Merry dan menyambutnya dengan sukacita. Ia akan memanfaatkan apa pun keadaan yang menimpanya.
Dengan Keyano dalam gendongan, Tommy menghampiri Diandra dan memohon dengan wajah memelas. "Tolonglah, anak ini menangis terus sedari tadi."
Keyano mengulurkan kedua tangan mungilnya ke arah Diandra. Tidak tega dengan wajah mungil yang berlinang air mata, Diandra merengkuh bayi itu.
"Anak mama, Sayang. Kenapa nangis? Bibi Nana mengajakmu bermain."
Diandra berdiri dari kursi dan menimang Keyano. Secara perlahan tangisan bayi itu terhenti. Diandra meraba pinggang dan pantat bayi.
"Nana, kamu sibuk ngasih makan sampai lupa ganti popok. Keyano kulitnya sensitive, kalau popoknya basah pasti nangis."
Nana tergopoh-gopoh mendatangi Diandra. "Maafkan saya, Nyonya. Karena sibuk saya lupa."
"Sudahlah, biar aku yang ganti. Kamu rapikan alat-alat makannya."
Diandra merebahkan Keyano ke atas sofa dan menggelitik pinggangnya. Setelah itu mengganti popok dengan cekatan. Tommy berdiri di samping sofa, mengamati bagaimana anaknya tertawa saat bersama Diandra. Ia tidak mengerti kenapa sang mama memaksa untuk menggaji babysitter. Dari awal bahkan menolak ide itu dan memaksa Diandra untuk mengasuh. Kini setelah istrinya dekat dengan Keyano, mendadak mamanya berubah pikiran. Tommy benar-benar bingung dibuatnya.
"Keyano menyukaimu," bisik Tommy tanpa sadar dengan senyum bahagia terkembang.
Diandra mendongak ke arah suaminya. "Mungkin karena dari awal aku yang mengasuh. Wajar kalau dia menganggap aku mamanya."
"Tapi, kamu memang mamanya."
Berdiri dengan Keyano di pinggang, Diandra menatap suaminya lekat-lekat. "Kenaoa hari libur kamu di rumah? Bukannya biasa pergi?"
Tommy menggaruk kepalanya dengan salah tingkah. "Dari tadi malam aku dengar Keyano menangis, karena itu bikin aku kuatir."
"Keyano baik-baik saja. Pergilah kalau kamu mau keluar."
"Kamu ingin aku keluar?"
Diandra mengedip bingung. "Apa urusannya antara kamu ingin pergi dan aku? Terserah kamu!"
Tidak menunggu suaminya menjawab, Diandra bergegas menaiki tangga, membiarkan Tommy berdiri gamang. Nana pun sama, berdiri bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Tommy memilih untuk menonton di kamarnya, sedangkan Nana membersihkan rumah. Merasa sedikit sedih karena tidak bisa melakukan pekerjaanya dengan baik. Bagaimana ia bisa jadi pengasuh kalau Keyano tidak mau dipeluk dan didekati olehnya.
Seminggu Nana bekerja di rumah itu, Merry memanggilnya datang dan mengintrograsi apa yang terjadi. Dengan jujur Nana mengatakan kalau Keyano sangat sulit untuk didekati. Ia meminta maaf secara pribadi karena belum bisa mengambil hati anak kecil itu.
"Sudah pekerjaanmu untuk merawatnya. Kenapa kamu malah nggak bisa?"
"Maaf, Nyonya. Saya akan usahakan. Keyano sangat bergantung sama mamanya."
"Perempuan itu bukan mama Keyano. Dia orang lain dan sama sepertimu, hanya pengasuh bayi!"
"Tapi, Nyonya Diandra sangat baik dalam merawat Keyano."
"Itu karena dia dibayar! Sebenarnya, dalam hati Diandra sama sekali nggak ada cinta untuk bayi itu. Karenanya, aku minta kamu datang, ambil hati Keyano, asuh dia denga baik. Setelah itu aku bisa menendang perempuan tidak tahu diri itu!"
Merry mengomel panjang lebar, memarahi Nana yang dianggap tidak mampu bekerja. Tidak hanya itu, ia juga kesal dengan anak sulungnya yang kini berbalik memusuhinya dan justru membela Diandra. Padahal semua yang dilakukannya untuk menyelamatkan Tommy dari kehancuran. Ia selalu menganggap kalau Diandra tidak cukup baik, tidak cukup kaya, untuk menjadi menantunya.
"Aku beri kamu waktu satu bulan untuk bekerja di sana, kalau nggak bisa. Aku akan memecatmu!"
Ancaman Merry membuat Nana ketakutan tapi meski begitu hanya bisa pasrah. Tidak ada yang bisa dilakukannya kalau memang Merry ingin memecatnya. Terkadang ia sangat bingung, kenapa perempuan seperti Diandra dibenci bertubi-tubi oleh Merry dan anak-anaknya. Namun bukan urusannya untuk mencar tahu. Ia dibayar untuk bekerja dan bukan bergosip.
Setelah Nana pergi, Merry kembali mengoceh di depan dua anak gadisnya. Tidak mengerti bagaimana caranya menendang Diandra dari rumah itu. Rasa bencinya pada si menantu sudah di ubun-ubun dan sungguh di luar nalar. Ia tidak peduli, kalau harus melakukan segala cara, yang terpenting adalah Diandra bercerai dari Tommy.
"Kesalahan kita adalah memohon pada perempuan itu untuk tetap tinggal dan merawat Keyano. Sekarang lihat akibatnya gimana?"
Merry menyesali sikap keluarganya saat itu. Andai bisa diulang, tidak akan pernah ia meminta Diandra untuk tinggal. Dengan alasan Tommy berselingkuh, mereka bisa bercerai, dengan begitu Diandra bisa keluar dari rumah. Sayangnya semua sudah terjadi, tanpa mereka sadari Diandra sudah menancapkan pengaruhnya yang kuat sekali dan membuat segala sesuatu semakin sulit dikendalikan.
"Bagaimana caranya bikin Kak Tommy sadar?" tanya Tania. "Makin hari kayak kelihatan kalau dia itu naksir istrinya. Bikin kesal saja!"
"Satu-satunya cara adalah Kak Reena kembali atau kita cariin istri yang lain untuk Kak Tommy. Semudah itu sebenarnya." Tantri menimpali.
"Mana bisa mudah, jelas-jelas itu sulit. Selama hampir dua tahun ini kita terikat pada perempuan miskin itu. Sebelum ada Keyano, dia terlihat lemah dan nurut, makin kemari makin ngelunjak. Sial, benar-benar sial!" maki Merry.
Tania mendengkus keras. "Mungkin setahun kemarin dia masih coba-coba, Ma. Anggap saja gitu. Sekarang waktnya beraksi."
"Mana Nenek sayang sekali sama dia," keluh Tantri. "Nggak bisa kita omongin dia, Nenek pasti marah. Bicara balas budilah, kebaikanlah, aduuh eneg!"
"Hush! Jangan bicara begitu soal nenekmu. Beliau hanya terlalu baik sampai nggak sadar udah ditipu sama si ular itu." Merry menatap Tania lekat-lekat dan memikirkan sesutu. "Tania, kamu punya banyak teman. Emangnya nggak ada yang canttik gitu? Coba bawa satu biar kenalan sama kakakmu."'
Mengernyit sesaat, Tania memikirkan tentang teman-temannya. Nyaris semuanya berwajah rupawan, tapi ia harus menelaah satu per satu.
"Tita cantik, tapi keluarganya sederhana. Hani itu lembut, tapi lemot juga kalau diajak ngomong. Cindy, dia itu, ah perfect. Maa, Cindy aja gimana? Orang tuanya pengusaha dan baru putus dari pacarnya."
Mata Merry berkilat gembira. "Ide yang bagus. Kapan kamu ada waktu, kenalkan Cindy pada kakakmu. Tapi, tunggu dulu hasil kerja Nana. Kalau memang Nana berhasil mengusir perempuan itu dari rumah, kita nggak perlu repot-repot lagi."
Ketiga bertukar pandang dan kembali menyusun rencana sambil memaki-maki Diandra. Kebencian yang mereka rasakan seolah merasuk dalam nadi dan mencemari hati nurani.
**
Diandra bertanya pada Nana, apa yang diinginkan ibu mertuanya. Nana dengan jujur mengatakan kalau Merry menginginkannya dekat dengan Keyano. Di luar dugaan, Diandra sama sekali tidak marah dengan Nana.
"Kalau kamu benar-benar ingin pekerjaan ini, harus berusaha untuk itu. Kamu harus merebut hati Keyano."
Nana terperangah sesaat. "Tapi, Nyonya nggak apa-apa?" tanyanya takut-takut.
"Kenapa memangnya?"
"Itu, Nyonya Merry ingin, anu, aduuuh. Nggak enak ngomongnya tapi beliau berharap Nyonya Diandra bisa melepaskan Keyano kalau saya berhasil. Bu-bukankah itu sama saja mencelakannya Nyonya sendiri?"
Mengamati Nana yang berdiri salah tingkah, Diandra menghela napas panjang. Entah kenapa tidak terkejut dengan apa yang didengarnya. Dari awal sudah bisa menduga niat Merry menggaji seorang babysitter. Nana yang awal datang sangat percaya diri dengan semua teori serta pengalamannya dalam bekerja, dibuat takluk oleh Keyano. Sebenarnya Nana bisa menaklukan Keyano kalau saja tidak mendapat tekanan dari Merry. Semakin besar pengharapan yang dipikul pundak Nana, semakin kesulitan untuk beradaptasi. Tidak menyalahkannya, ia pun akan mengalami hal yang sama kalau bekerja di bawah tekanan.
"Nana, kamu kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Keyano anak yang manis, mudah untuk merawatnya. Tapi, kalau kamu ketakutan akan dipecat, takut berbuat salah, atau juga takut mengecewakan ibu mertuaku, maka kerjanya nggak akan bagus. Kamu harus fokus, letakkan sepenuh hati pada Keyano. Anak itu pasti luluh."
Diandra mengerti kalau Nana berhasil maka keberadaannya di rumah ini tidak lagi berarti. Namun ia juga meyakini kalau tidak akan mudah untuk Merry dan dua anaknya ingin menyikat serta menendangnya menjauh. Ia punya banyak benteng pertahanan, selain kakek dan nenek juga Keyano. Diandra tidak memperhitungkan Tommy. Entah kenapa meskipun sikap laki-laki itu sudah berubah banyak dari waktu lalu, tetap saja ia tidak percaya sepenuhnya. Ada luka yang terlanjur menganga dan sulit untuk mengering meskipun telah diobati dan dianggap sembuh.
Setelah bicara dari hati ke hati dengan Diandra, Nana mulai bersikap santai dalam bekerja. Lebih sabar dan perhatian dengan Keyano. Lambat laun bayi itu mulai dekat dengan si pengasuh, memberi banyak waktu pada Diandra untuk belajar. Ia harus mengejar ketinggalannya akan pelajaran.
Suatu malam Tommy pulang dari bekerja dalam keadaan heran. Rumah hening, hanya ada Diandra sedang mengetik di ruang tengah. Tommy melepas dasi dan bertanya pada istrinya.
"Keyano mana? Tumben nggak ada di sini."
"Tidur di atas sama Nana," jawab Diandra tanpa mengangkat wajah.
Menghenyakkan diri di sofa, Tommy menghela napas panjang. Menatap istrinya yang serius mengerjakan makalah. Tommy tidak dapat menahan senyum melihat Diandra yang bekerja dan belajar dengan tekun. Ia sering memperhatikan istrinya yang belajar giat, seolah besok akan ujian. Terbersit rasa kesal di hatinya karena tidak mendukung penuh usaha Diandra untuk maju.
"Kalian tadi makan apa?" tanyanya sambil mengusap perut.
Diandra menggeliat dan meregangkan tubuh. "Mi rebus. Aku yang masak. Kamu mau? Masih ada."
Wajah Tommy cerah seketika. "Mau tentu saja."
"Biar aku hangatkan."
Ternyata mi buatan Diandra tidak sesederhana yang ada dalam pikiran Tommy. Istrinya merebus mi dan menuang kuah kaldu, berikut ayam goreng dan sayuran. Tidak hanya itu, disediakan juga sambal, kecap, dan kerupuk. Saat mencicip kuahnya, Tommy berdecak gembira.
"Enak sekali. Kamu bisa buka restoran kalau mi yang kamu masak seenak ini."
Diandra tersenyum tipis. "Hanya mi biasa, sudah sering buat untuk Nenek."
"Sayangnya kamu belum pernah buat untuk di rumah ini."
"Sering, di awal pindah kemari dan hanya aku sendiri yang memakannya. Sekarang ada Nana, dan ternyata dia juga suka. Makanlah, aku lanjut belajar."
Seolah ada yang mengganjal di tenggorkan Tommy mendengar perkataan Diandra. Dipikir lagi ternyata ia memang sebrengsek itu dulu. Tidak pernah memperhatikan Diandra dan justru terjebak dalam hubungan yang toxic dengan Reena. Saat itu ia merasa sebagai laki-laki yang terkurung dalam pernikahan, merasa muak karena tinggal serumah dengan perempuan yang tidak dicintainya. Menyadari kini kalau semua perasaan-perasaan itu mencambuk dan menghukumnya dengan kejam. Ia menelantarkan Diandra selama satu tahun pernikahan, tidak aneh kalau kini istrinya begitu dingin padanya.
Selesai makan Tommy meletakkan peralatan makan dui wastafel. Ia ingin mencuci tapi tidak mengerti caranya. Selalu ada orang yang membersihkan semua bekas peralatan makan untuknya.
"Pak, biar saya yang nyuci."
Nana muncul, menuruni tangga sambil menggendong Keyano. Tommy merasa lega seketika. Nana menyerahkan Keyano pada Diandra sebelum menghampiri Tommy. Membersihkan meja dan mencuci perlatan bekas makan.
"Sayangku, baru bangun? Waah, alamat begadang nih, mama."
Keyano yang masih setengah mengantuk, menyedot susu di pangkuan Diandra.
"Nggak apa-apa begadang, asal jangan nakal. Anggap saja temani mama belajar, ya?"
Semua terlihat indah, damai, dan menetramkan bagi Tommy. Ia berdiri di ujung tangga, mengamati Diandra yang sedang memangku Keyano. Ada laptop terbuka di depannya, suara Nana yang mencuci piring dan kedamaian layaknya rumah tangga pada umumnya. Tommy menghela napas panjang, menyadari betapa cantik dan lembutnya perempuan yang sedang menimang anaknya. Tidak peduli betapa liar dan sexy-nya Reena, baginya Diandra terlihat sangat indah malam ini. Hati Tommy bergetar dalam pengharapan.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 44-48.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top