#9 : Cooking
Kemarin adalah hari paling menyenangkan untuk Taylor. Hampir semalaman penuh dia menghabiskan waktu bersama Harry, di karnaval. Mereka bersenang-senang, sesuatu yang mungkin sangat sulit mereka lakukan dalam akhir-akhir ini. Harry juga mengajak Taylor makan malam romantis di sebuah restoran sederhana yang tidak berada jauh dari karnaval. Intinya, Taylor sangat senang walaupun, semuanya sangat sederhana, tidak mewah.
Pagi ini, Taylor terbangun dalam dekapan hangat Harry. Bahkan, Taylor tak begitu sadar jika dia tertidur hanya mengenakan pakaian dalam sedangkan, Harry tertidur tanpa pakaian bagian atas dan hanya mengenakan celana boxer sangat pendek. Padahal, kemarin sangat melelahkan tapi, rasa lelah itu tak mengurangi hasrat satu sama lain.
Secara perlahan, Taylor menyingkirkan lengan Harry yang melingkar di pinggang telanjangnya. Taylor bangkit dan memegang kepalanya yang masih sedikit pusing. Taylor mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati pakaian yang kemarin ia kenakan, berserakan di lantai.
Taylor beranjak dari ranjang dan memunguti pakaiannya dan pakaian Harry sebelum meletakkan pada keranjang pakaian kotor. Taylor menatap cermin yang memantulkan setengah bagian tubuhnya. Senyuman muncul di bibir gadis itu. Tattoo yang baru kemarin di miliknya benar-benar nyata. Tattoo berbentuk burung merpati dengan ukuran yang tak terlalu besar, yang ada di sisi kiri bawah dadanya. Entah kenapa, Taylor merasa bangga akan keberadaan tattoo tersebut.
Saat tengah asyik menatap pantulan tubuhnya di cermin, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Bergegas, Taylor berjalan menuju ke lemari dan meraih asal kemeja Harry yang tentunya sangat kebesaran di tubuh gadis itu. Tapi, tak apa. Justru Taylor senang mengenakan pakaian kebesaran Harry. Aroma tubuh Harry menempel di sana, jadi setiap mengenakan pakaian Harry, Taylor merasa seperti Harry tengah memeluknya.
Taylor mengenakan kemeja merah itu asal-asalan sebelum membuka pintu kamar. Taylor memicing saat mendapati Louis yang berada di balik pintu. Louis mengangkat satu alisnya dan Taylor tersenyum tipis.
"Pagi, Louis." Sapa Taylor, memecah keheningan.
"Pagi." Jawab Louis, singkat.
"Ada apa?" tanya Taylor, tanpa basa-basi.
Louis menarik nafas dan menghelanya perlahan. "Apa kau sibuk?" tanya Louis. Taylor mengangkat satu alisnya dan mengedikkan bahu. "Tidak juga. Aku baru saja bangun tidur, Louis. Aku tak menyangka, kau juga sudah bangun. Kau selalu bangun lebih awal daripada yang lain, sepertinya."
Louis terkekeh kecil. "Yeah, aku memang selalu jadi yang pertama bangun di antara yang lain. Orangtuaku selalu mengajarkan untuk bangun pagi."
Taylor ikut terkekeh. "Begitupun aku. Orangtuaku akan terus mengetuk pintu kamar jika aku tidak kunjung bangun. Kami jarang bertemu makanya, kami harus selalu sarapan bersama. Itu satu-satunya momen kami bisa bertemu, selain makan malam."
"Aku tahu. Makanya, aku mengetuk pintu kamarmu dan Harry. Aku tahu kau sudah bangun dan ehm, bagaimana jika kita memasak untuk sarapan bersama lagi? Aku membeli beberapa bahan makanan di supermarket tadi." Louis menawarkan.
"Woah, benarkah? Aku akan segera ke dapur! Aku harus membersihkan tubuh terlebih dahulu!" Taylor tak bisa menolak ajakan Louis untuk memasak bersama. Lagipula, daripada harus terjebak di kamar dengan Harry yang masih tertidur pulas, Taylor memilih untuk memasak saja.
Taylor mandi dan berpakaian dengan cepat sebelum ke luar kamar, menuruni tangga dan berjalan menuju ke dapur. Di dapur, sudah tampak Louis yang duduk di meja makan sambil memotong sosis dengan sangat berhati-hati.
"Hey, apa yang akan kita masak hari ini?"
Taylor menghampiri Louis, menarik kursi di samping pemuda tersebut. Taylor tak lagi takut pada Louis. Awalnya, Louis memang bersikap dingin kepadanya tapi, seiring berjalannya waktu, sikap Louis secara perlahan semakin membaik, bersahabat. Jadi, Taylor berpikir, mungkin Louis sudah benar-benar menerima keberadaannya saat ini.
"Aku ingin kau membantuku memasak omlet, bagaimana?" tanya Louis tanpa menoleh kepada Taylor.
"Aku suka omlet!"
"Kau bisa membantuku memotong daging dan bahan-bahan lainnya, sebelum mulai memasak." Louis mendorong kantung plastik yang tadi ada di atas meja di hadapannya, ke hadapan Taylor. Taylor meraih satu lagi pisau di atas meja dan mengeluarkan bahan-bahan lainnya yang ada di dalam kantung plastik.
Sambil memotong daging, Taylor berkata, "Aku tak tahu jika kau suka memasak, Louis. Aku terkesan."
Louis terkekeh kecil. "Aku satu-satunya pria di sini yang sering berada di rumah. Liam dan Zayn pergi bekerja, Niall selalu pergi ke luar entah melakukan apa, begitupun Harry. Jessica dan Stella juga pergi bekerja walaupun, tak sesering Liam dan Zayn. Tapi, sungguh, tak ada yangbisa diandalkan dari kedua gadis itu. Mereka memang cantik tapi, mereka anti memasuki dapur."
Taylor terkekeh mendengar cerita Louis. "Ya, aku bisa melihat dari wajah keduanya. Mereka pasti tak mau kecantikan mereka ternodai di dapur."
"Makanya, saat tahu jika kau bisa memasak dari kedua gadis itu, aku memutuskan untuk mengajakmu memasak bersama. Maksudku, baiklah, aku memang bersikap menyebalkan saat pertama kau tiba di sini. Bukan berarti aku tidak menyukaimu tapi, well, aku selalu bersikap dingin pada orang yang baru kutemui. Termasuk pada Jessica dan Stella dulu."
Taylor mengangguk. "Aku mengerti. Aku pun juga begitu."
"Tidak, kau bukan orang yang dingin Taylor. Saat pertama kita bertemu, aku tahu kau orang yang ramah. Buktinya, kau menyapaku terlebih dahulu walaupun, wajahmu terlihat ketakutan dan ragu." Louis terkikik geli, membayangkan wajah Taylor saat pertama melihatnya beberapa minggu lalu.
Taylor memutar bola matanya. "Kau memang membuatku ketakutan! Kau menatapku sangat dingin dan jika kau bukan teman Harry, aku bisa saja bersikap tidak baik padamu saat itu."
Louis menghela nafas dan menatap Taylor. "Aku berpikir untuk membuka sebuah restoran kecil dengan kau dan aku, sebagai pengelola sekaligus koki-nya. Bagaimana menurutmu?"
"Woah. Kau serius mengajakku untuk membuka restoran kecil? Aku belum memiliki uang sama sekali untuk itu."
"Tenang saja untuk masalah uang. Aku punya simpanan di bank. Sepertinya cukup untuk modal. Hitung-hitung, sebagai mata pencaharian tetap kau dan aku." Louis menjelaskan.
Taylor mengernyit. "Kupikir, kau sudah memiliki pekerjaan."
Louis kembali terkekeh. "Belum. Pekerjaanku sangat tidak pasti. Terkadang aku bekerja, terkadang aku menganggur. Ralat, maksudnya, jarang sekali aku bekerja dan lebih sering aku menganggur."
"Memangnya, apa pekerjaanmu?"
"Aku seorang guru privat. Aku mengajar beberapa anak sekolah menengah atas. Tapi, tidak terlalu sering."
Mata Taylor berbinar. "Woah, kejutan lagi untukku. Kau seorang guru privat? Kau serius?"
Louis mengangguk. "Tentu saja aku serius. Aku mengajar matematika. Itu salah satu pelajaran kesukaanku semasa sekolah."
"Matematika adalah pelajaran yang paling tidak kusukai saat di sekolah." Taylor menimpali ucapan Louis dan membuat Louis tertawa kecil.
"Matematika itu pelajaran paling menantang, Taylor. Dia menantangmu untuk menyelesaikan tiap soal dengan cara yang sangat rumit. Saat kau sudah menyelesaikan soal tersebut sendiri, pasti akan ada kenikmatan luar biasa yang kau dapatkan."
"Tidak juga, terima kasih. Aku benci matematika dan segala sesuatu yang berhubungan dengan angka." Taylor kembali meneruskan memotong daging sementara, Louis kembali menertawakan jawaban Taylor.
Hampir satu jam Taylor dan Louis bergelut dengan masakan mereka di dapur. Setelah masakan matang, mereka menyajikan di atas meja. Satu per satu penghuni rumah ini tampak sudah terbangun dan langsung duduk di meja makan dengan ceria, apalagi Niall walaupun, sangat kentara jika pria berdarah Irlandia itu belum mandi. Tapi, Harry tak kunjung muncul dan dengan terpaksa, Taylor harus menaiki tangga dan membangunkan pemuda yang dalam pikiran Taylor, tentunya masih tertidur pulas di kamar.
Pikiran Taylor ternyata salah. Saat Taylor memasuki kamar, tampak Harry yang tengah bercermin sambil menyisir rambut ikalnya yang masih basah ke belakang. Harry menoleh, menyadari keberadaan Taylor sebelum melipat tangan di depan dada.
"Lagi, kau ke luar kamar tanpa memberitahuku. Kau gadisku yang nakal," ujar Harry yang membuat Taylor terkekeh dan berjalan mendekat. Harry langsung menarik pinggang gadis itu sehingga tubuh keduanya bersentuhan. Harry mengecup singkat bibir Taylor sebelum melepaskan tubuh gadisnya tersebut.
"Tumben sekali kau bangun, sebelum aku membangunkanmu. Aku terkesan," goda Taylor seraya duduk di tepi ranjang memperhatikan Harry. Harry tampak mengenakan kaus putih polos dan celana jeans pendek yang telah robek di berbagai sisi. Pakaian santai ala Harry.
"Saat menyadari kau tidak ada, aku langsung bangun. Aku baru ingin mencarimu dan kau kembali ke kamar." Harry menjelaskan.
Taylor memutar bola matanya. "Aku tak akan pergi ke manapun, Haz. Kau tahu sendiri, aku tak begitu tahu London. Jadi, kalau aku tidak berada di kamar, aku pasti ada di luar kamar, di sebuah ruangan yang masih berada di dalam rumah ini."
"Aku akan pergi malam ini," ujar Harry tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan.
"Oh, ya? Ke mana? Aku ikut?"
Harry memutar tubuhnya menghadap Taylor. "Aku pergi bekerja, Taylor. Kau tak akan ikut bersamaku. Kau tetap di rumah, okay?"
Taylor mengangkat satu alisnya. "Bekerja? Aku tak tahu jika kau sudah mulai bekerja. Di mana dan sebagai apa?"
"Kau terlalu banyak bertanya hari ini, Babe. Tenang saja, aku akan kembali sebelum fajar."
Taylor memicingkan matanya. "Sebelum fajar? Apa yang kau lakukan, sih? Kenapa harus malam hari? Maksudku, Zayn dan Liam juga bekerja tapi, mereka tidak bekerja dari malam sampai fajar. Kau bisa mencari pekerjaan lain di pagi hari dan pulang sebelum jam makan malam."
"Itu terlalu normal untukku, Taylor. Mengertilah. Lagipula, bukankah itu bagus? Aku akan menemanimu sepanjang siang dan sore ini."
"Lalu, kau membiarkanku tidur sendirian, begitu?" Taylor mengerucutkan bibirnya.
Harry beralih duduk di tepi ranjang, di samping Taylor. "Saat kau bangun besok, aku pastikan, aku akan tetap menjadi orang pertama yang kau lihat. Mengerti?"
"Tapi,..."
Lagi, Harry membungkam Taylor dengan bibirnya, sebelum Taylor melanjutkan protesnya.
Posted : 12.27.2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top