#8 : Tattoos

Kali ini, Harry meminjam mobil Louis untuk dapat mengajak Taylor ke luar rumah. Taylor terus bertanya ke mana Harry akan membawanya namun, pemuda itu hanya diam dan memberikan senyuman penuh rahasia. Harry tak mau memberitahu Taylor tentang tempat yang mereka kunjungi. Yang jelas, Harry bilang, Taylor akan menyukainya.

Setelah menempuh hampir tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mobil Louis yang Harry kendarai berhenti tepat di sebuah karnaval. Sangat ramai, ada ratusan orang di sini dengan berbagai macam stand.

"Woah. Karnaval! Kau benar-benar mengajakku ke karnaval?!" Taylor bertanya antusias.

Harry terkekeh seraya melepaskan sabuk pengamannya. "Tentu saja. Kita sampai di sini. Aku akan membawamu berkeliling, aku tahu kau pasti sangat bosan di rumah."

"Tapi, bagaimana jika ada yang..."

"Tidak akan ada yang berani mendekatimu selama ada aku, Taylor. Jadi, tetaplah di sampingku, jangan menjauh dariku." Harry tahu ke arah mana Taylor akan bicara. Taylor tersenyum dan segera melepas sabuk pengamannya.

Keduanya melangkah ke luar mobil dan bergandengan tangan memasuki karnaval. Taylor terlihat sangat senang. Bayangkan saja, sudah hampir dua minggu dia berada di London dan dia tak pernah pergi ke luar rumah, sampai Austin dan orang suruhan Ayahnya itu pergi, tidak mengganggunya.

Taylor terus mengajak Harry ke setiap stand. Dimulai dari stand permainan, stand pakaian sampai stand makanan. Ini sangat konyol. Taylor membeli permen kapas dan terus memakan permen kapas itu sambil berjalan melihat stand-stand yang lain. Terlihat kekanak-kanakan tapi, Harry tak peduli. Harry justru akan terus memanjakan Taylor jika gadis itu menginginkannya.

Setelah berkeliling beberapa stand, giliran Harry yang mengajak Taylor menaiki kincir angin raksasa yang ada di sana. Cukup tinggi, sehingga mungkin sebagian kota London dapat terlihat saat mereka mencapai puncak. Mereka harus mengantri untuk mendapat giliran menaiki kotak kincir angin tersebut.

"Aku takut ketinggian, sungguh,"

Harry menoleh dan mendapati Taylor yang mendekatkan tubuhnya ke tubuh Harry. Lengan mereka saling bertautan, Taylor menghela nafas gugup. Harry terkekeh dan mengacak rambut Taylor dengan tangannya yang bebas.

"Katakan itu pada seorang gadis yang nekat memanjat pagar rumahnya yang cukup tinggi di malam hari untuk kabur?" goda Harry.

Taylor menoleh ke arah kekasihnya dan mengerucutkan bibir. "Itu keadaan mendesak. Lagipula, lebih baik aku jatuh dari atas pagar daripada harus bertahan di rumah."

"Kalau begitu, anggap saja ini sama seperti waktu itu. Naik kincir angin tak akan membunuhmu. Kau bisa melihat pemandangan indah kota London dari atas."

Taylor menghela nafas pasrah, membuat Harry setengah mati menahan tawa. Harry tak mengerti, bagaimana bisa dia menjalin hubungan dengan gadis semanja Taylor? Sangat berbeda dengan gadis-gadis Harry sebelumnya. Taylor sangat manja, penakut, penurut namun, di lain sisi dia terlihat sangat..rapuh. Harry merasa bertanggung jawab untuk melindungi gadis itu, bagaimana pun caranya. Harry merasa lebih seperti seorang pria saat bersama Taylor daripada saat bersama mantan-mantan sebelumnya yang sangat mandiri.

Setelah mengantri sekitar lima belas menit, akhirnya Harry dan Taylor mendapat giliran untuk menaiki kincir angin. Lagi, mereka harus menunggu beberapa menit sampai kincir angin mulai berputar secara lambat. Tangan Taylor mulai menggenggam erat tangan Harry, tak berani melihat ke bawah. Gadis itu hanya memfokuskan matanya, menatap ke satu arah. Mata Harry.

"Aku mengajakmu menaiki kincir angin karena aku ingin kau melihat keindahan kota London di malam hari, Babe. Semuanya akan percuma jika kau hanya menatapku saja." Harry memutar bola matanya.

Taylor terkekeh. "Tapi, yang membuat kota London indah adalah kau, Harry. Makanya, aku hanya menatapmu saja."

"Alasan yang cukup menarik," Harry menarik Taylor mendekat. Tangan Harry merengkuh pundak Taylor dan memutar tubuh gadis itu perlahan, supaya Taylor bisa menatap pemandangan lain di sana. Harry memeluk Taylor dari belakang, menyandarkan dagunya di pundak Taylor.

Harry menoleh sekilas ke arah Taylor yang diam saja. Sesaat kemudian, Harry memutar bola matanya lagi. Taylor memejamkan mata, benar-benar tak berani melihat ke luar sana.

"Buka matamu sekarang, Taylor. Ini perintah." Ujar Harry tegas.

Taylor menggeleng. "Tidak, sampai kita sudah kembali ke tanah. Aku tidak mau melihat ke sana, terlalu tinggi. Bagaimana jika kita jatuh, Haz?" Taylor kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Buka matamu. Sekarang." Harry kembali memerintah dengan sedikit keras dan mau tak mau, Taylor menurutinya. Taylor membuka matanya dan menahan nafas. Harry mengecup singkat pipi gadis itu sebelum kembali menyandarkan dagunya di pundak Taylor. Tangan Harry melingkar erat di perut gadis itu.

"Bagaimana? Indah, bukan?" tanya Harry lembut.

Taylor masih diam, menahan nafas sebelum menghelanya perlahan. "Ehm, yeah. Kuharap, kita tak ak-ARGH!" Taylor berteriak panik saat tiba-tiba saja kincir angin berhenti bergerak dan lampu di dalam kotak mati. Harry melepaskan pelukannya dan menatap ke luar kincir, mencari tahu apa yang terjadi, sampai sebuah suara cukup keras terdengar.

"Perhatian untuk seluruh pengunjung, kincir angin raksasa mengalami gangguan teknis. Kami sedang berusaha memperbaikinya, secepat mungkin. Untuk yang tengah berada di dalam kotak, kami mohon untuk bersabar dan tidak panik. Kami akan mengusahakan agar kincir angin kembali beroperasi normal, secepat mungkin."

"Sial, sial, sial!"

Suara panik Taylor terdengar. Harry meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. Tak lama kemudian, lampu di dalam kotak kembali menyala namun, tak ada pergerakan dari kincir angin raksasa tersebut.

Taylor terlihat sangat panik. Harry menarik Taylor ke dalam dekapan hangatnya, mengelus lembut puncak kepala gadis itu sambil berkata, "Bukankah sudah kukatakan berkali-kali? Selama aku ada di dekatmu, semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja, Babe."

"Bagaimana jika kita-,"

Satu lagi cara untuk mengatasi kepanikan Taylor adalah membuat gadis itu diam, dengan cara membungkam Taylor dengan bibir Harry. Harry menghisap bibir atas Taylor, menunggu sampai Taylor membalas ciumannya. Benar saja, tak lama kemudian, Taylor balas menghisap bibir bawah Taylor dan melingkarkan tangannya di leher Harry.

Ciuman Harry menurun, ke rahang gadis itu, leher dan baru Harry hendak meninggalkan satu tanda lagi di leher bagian belakang gadisnya, kincir angin kembali bergerak. Harry menjauhkan wajahnya dari leher Taylor dan tertawa, Taylor juga tertawa keras. Keduanya tertawa. Jika saja kincir angin itu terus mati, mungkin Harry dan Taylor akan terbawa suasana. Kotak yang mereka tempati sangat sempit dan dengan cahaya yang tak terlalu terang.

Kemudian, Harry memaksa Taylor untuk melihat pemandangan kota London dari atas kincir angin. Awalnya Taylor ragu tapi, Harry terus-menerus mendesak agar gadis itu mau melihat. Hasilnya, tak buruk. Pemandangan kota London dari atas memang indah, sangat indah lebih tepatnya.

Hampir tiga puluh menit mereka bertahan di kincir angin sampai akhirnya, mereka ke luar dari wahana tersebut. Harry benar-benar tak bisa menahan tawanya saat melihat Taylor yang tampak sangat lega ke luar dari kincir angin. Gadis itu terlihat seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan namun, tidak dimarahi oleh orangtuanya.

"Lain kali, kita akan ke taman rekreasi di pusat kota. Kincir angin di sana le-,"

"Hell, no! Tidak, tidak dan tidak! Walaupun, pemandangan kota London memang sangat indah dari atas tapi, aku tetap tidak mau. Tidak, tidak dan tidak." Harry tertawa melihat Taylor menggeleng-gelengkan kepalanya.

Setelah itu, giliran Taylor lagi yang menarik Harry menuju ke photobox. Lagi, mereka harus mengantri walaupun, antriannya tak sepanjang antrian kincir angin tadi. Hanya beberapa menit, mereka akhirnya sampai di dalam photobox tersebut.

"Aku tidak suka difoto, Taylor. Bagaimana jika kau saja, aku tidak?" tanya Harry, malas-malasan sementara, Taylor tengah sibuk memilih tema dan yang lain-lainnya. Taylor menggeleng. "Tidak, Harry. Aku ingin berfoto bersamamu, untuk dipajang di dompetku. Kita tak sempat berfoto sama sekali sejak sampai di London. Aku butuh foto terbaru kita."

"Untuk apa?" tanya Harry sementara, Taylor tampak sudah menentukan tema yang akan dia gunakan. Taylor menoleh sekilas ke arah Harry sebelum menjawab cepat, "Tentu saja untuk mengingatkan jika kita pernah mengalami semua kejadian ini. Hari ini adalah salah satu hari terbaik untukku, kecuali bagian menaiki kincir angin. Ah, sudah. Kemarilah! Mendekat karena kita akan mulai berfoto!"

Harry berjalan mendekat dan kamera mulai membidik keduanya. Total ada enam foto yang mereka ambil. Foto pertama, Taylor tersenyum lebar sementara, Harry tampak menatap kamera malas-malasan. Foto kedua, Taylor mencubit pipi Harry dan Harry memasang wajah kesakitan. Foto ketiga, Harry memeluk Taylor dari belakang dan keduanya memasang gaya sama yaitu, mengerucutkan bibir masing-masing. Foto keempat, Harry mengecup pipi Taylor masih dengan posisi memeluk gadis itu sementara, Taylor tengah tertawa. Foto kelima, Harry dan Taylor berhadapan sambil mengerucutkan bibir. Foto keenam dan terakhir adalah foto saat keduanya saling menyatukan bibir dengan mata yang terpejam.

Keduanya tertawa melihat hasil foto mereka. "Aku ingin foto yang paling terakhir, Babe. Aku juga ingin memajangnya di dompetku," ujar Harry. Taylor menjulurkan lidahnya. "Enak saja! Tidak, tidak dan tidak. Kau bilang, kau tidak suka difoto!"

"Tapi, yang terakhir aku suka. Aku ingin menyimpannya di dompetku," pinta Harry dan Taylor menggeleng tegas. "Tidak."

Harry memutar bola matanya sebelum meraih tangan Taylor. "Ya, sudahlah. Sekarang, kau ikut denganku."

Harry mengajak Taylor ke stand tattoo. Taylor mengernyit, ini untuk pertama kalinya dia berada di stand ini. Harry tampak sibuk memilah-milah gambar tattoo dalam sebuah katalog yang telah di sediakan.

"Bagaimana menurutmu dengan yang satu ini?" tanya Harry, memperlihatkan gambar tattoo yang ada di katalog kepada Taylor. Taylor mengeryit. "Apa itu burung merpati?" tanya Taylor balik. Harry mengangguk.

"Ya. Burung merpati. Cocok untukmu, kan?"

Taylor memasang wajah terkejut. "Untuk...ku?"

Harry mengangguk. "Ya, untukmu. Aku berpikir, jika kita harus memiliki tattoo yang sama. Yang berhubungan satu sama lain. Bagaimana menurutmu?" Taylor memasang wajah panik, sungguh Harry benar-benar membuatnya jantungan beberapa kali hari ini.

"Kau...tidak serius ingin aku memiliki tattoo, kan?" tanya Taylor.

Harry memicingkan matanya. "Ada apa dengan tattoo? Kau tidak mau memiliki tattoo yang berhubungan denganku?"

Taylor buru-buru menggeleng. "Bukan begitu, Harry. Hanya saja, aku...aku tak pernah memiliki tattoo sebelumnya. Aku tak yakin akan ide gila ini dan...itu pasti sakit." Taylor mengingat kejadian beberapa bulan lalu, saat dia melihat wajah kesakitan Harry saat Taylor menemani Harry mendapat tattoo baru berupa kapal pada lengan kirinya.

"Tay, bukankah aku sudah mengatakan padamu berkali-kali? Selama kau bersamaku, kau-,"

"Akan baik-baik saja. Baiklah, aku mengerti." Taylor menghela nafas pasrah dan mengangguk. "Aku mau memiliki tattoo burung merpati itu. Tapi, tak terlalu besar dan aku mau tattoo itu tak begitu terlihat."

Harry terkekeh dan mengangguk. "Aku yang akan men-tattoo-mu, bagaimana? Di bagian yang tak akan terlihat orang lain, kecuali kau dan aku." Taylor memicingkan matanya. "Kau? Yang men-tattoo-ku? Aku tak yakin, Harry."

"Aku beberapa kali men-tattoo diriku sendiri. Jadi, kujamin, hasilnya tidak akan buruk. Kita akan memiliki tattoo di tempat yang sama dan tentunya, tattoo itu memiliki makna untuk kita."

"Makna seperti apa?" tanya Taylor.

"Kau akan memiliki tattoo burung merpati dan aku akan memilik tattoo sangkar burung merpati. Apa kau tahu jika burung merpati merupakan lambang kesetiaan? Sejauh apapun merpati terbang, pada ujungnya dia akan kembali ke sangkarnya." Harry menghela nafas dan tersenyum tulus sebelum melanjutkan, "Harapanku, sejauh apapun kau melangkah, akulah tempat kembalimu, karena aku adalah rumah untukmu."

Penjelasan Harry seakan meruntuhkan keraguan Taylor akan memiliki tattoo. Akhirnya, Taylor dengan yakin, memutuskan untuk mendapat sebuah tattoo yang berhubungan satu sama lain dengan tattoo Harry.

Mereka sama-sama mendapat tattoo terpahat sisi kiri tubuh, tepatnya di atas tulang rusuk masing-masing. Yang memang saling berhubungan.






Posted on : 12.25.2015

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top