#6 : Friends?

Secara perlahan, kelopak mata gadis itu terbuka. Saat matanya terbuka, dia baru menyadari satu hal: dia tidak berada di tempat terakhir dia berada. Taylor bangkit dari tidurnya dan dia ada di kamarnya dan Harry. Gadis itu memegangi kepalanya yang sedikit pening.

Apa kejadian tadi benar-benar terjadi? Austin, Adik Taylor, ada di London. Sangat dekat dengannya. Kemudian, Taylor menghindari Austin tapi, gagal menghindar dari orang suruhan Ayahnya. Taylor berlari kencang sampai dia merasa tak bisa melanjutkan langkahnya lagi. Hari ini adalah salah satu hari paling buruk dalam hidupnya.

Untung saja, Harry muncul dengan mengendarai sebuah sepeda motor—Taylor bahkan, baru tahu jika Harry bisa mengendarai sepeda motor—dan membawa Taylor menjauh dari pria-pria itu. Kemudian, Taylor ingat, dia benar-benar lelah hingga…dia tertidur saat berada di atas motor. Bodoh. Pasti Harry sangat bersusah payah untuk menjaga supaya Taylor tak terjatuh.

Taylor beranjak dari ranjang dan hendak ke luar, saat dia dapat mendengar jelas, pembicaraan Harry dengan seseorang di luar sana, sepertinya tepat di depan pintu. Taylor membatalkan niatnya dan memilih untuk diam, mendengarkan pembicaraan itu.

“Sudah kukatakan, kan? Kau kembali dan membawa masalah lebih besar lagi bagi kita! Gadis itu...bukan gadis sembarangan, Harry! Kau membawa kabur anak seseorang yang cukup berpengaruh di dunia!” Suara itu terdengar, setelah Taylor mengingat-ingat. Suara itu adalah suara Louis. Ya, Louis. Pria yang sangat kentara jelas tidak menyukai Taylor.

“Aku akan melepaskannya, saat dia ingin lepas dariku. Aku tak pernah memaksanya untuk terus bersamaku! Aku tahu, aku bukan siapa-siapa. Aku bukan orang yang sepadan dengannya. Aku tahu, aku tidak kaya tapi, sungguh, Louis, kali ini aku serius. Aku benar-benar menyukainya, bahkan mungkin aku mencintainya. Aku tak bisa melepasnya begitu saja.” Hati Taylor tersentuh mendengar ucapan Harry. Harry benar-benar…mencintainya?

Hening sesaat sebelum suara Louis kembali terdengar, “Kalau begitu, cari tempat berteduh lain untuk kalian berdua. Sungguh, Harry, rumah ini memang adalah rumah kita berlima tapi, keberadaan gadismu itu akan mempersulit bukan hanya kau, tapi kita semua. Kita semua akan terlibat dengannya jadi, sebelum itu terjadi, lebih baik kau cari tempat tinggal lain untuk kalian berdua.” Taylor menutup mulutnya mendengar ucapan Louis. Tidak, Louis tidak sepenuhnya salah tapi,…ya, Louis benar.

“Louis, kau tak dapat mengusir Harry dan Taylor tanpa persetujuan kami, yang lain. Kami sama sekali tak keberatan akan keberadaan Harry dan Taylor. Ya, aku tahu, cara Harry memang salah. Dia mengajak Taylor kabur dari rumah dan bodohnya lagi, Taylor setuju. Tapi, dia tetap sahabat kita. Kita harus membantu mereka. Setidaknya, melindungi Taylor sampai masalah mereka dengan orangtua Taylor selesai.” Kali ini, suara tegas Liam terdengar. Taylor menundukkan kepala. Sungguh, Taylor tak menyangka jika kehadirannya bisa membuat sahabat-sahabat itu berdebat seperti ini.

“Masalah mereka tak akan selesai karena mereka terus menghindar! Jika kau mulai serius dengannya, temui orangtuanya, lamar dia! Buktikan jika kau sepadan dengannya! Tapi, apa yang kau lakukan? Kau pengecut, egois dan bodoh dengan membawanya kabur.” Cibiran Louis terdengar dan yang Taylor tak bisa melihat apa yang selanjutnya terjadi tapi, suara jeritan Niall yang meminta Harry untuk berhenti seakan menjelaskan semuanya. Harry memukul Louis—atau nyaris memukul Louis.

Taylor memejamkan matanya dan memilih untuk berjalan menjauhi pintu. Taylor duduk di tepi ranjang dengan perasaan tak menentu. Taylor tahu, saat dia menyetujui ajakan Harry untuk kabur dari rumah, pasti akan banyak masalah yang menimpanya. Harry adalah pria yang bermasalah tapi, Taylor benar-benar menyukainya. Taylor tak mau dipisahkan dari Harry.

Apa salah jika Taylor mencintai Harry? Apa salah jika mereka bersama?

Lamunan Taylor buyar saat decitan pintu terdengar. Harry berjalan memasuki kamar dan tersenyum tipis kepada Taylor, sebelum duduk di samping gadis itu. Tanpa banyak berkata, Harry menarik Taylor dalam dekapan hangatnya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Harry, suaranya terdengar sangat lembut. Taylor mengangguk.

“Maafkan aku. Seharusnya, aku melarangmu sejak awal, untuk ke luar dari rumah. Seharusnya, aku ada di sisimu, untuk melindungimu. Maafkan aku,” Taylor memejamkan mata dalam dekapan Harry sambil menjawab, “Kenapa kau minta maaf? Tak ada yang tahu jika hal seperti tadi akan terjadi.”

Harry menghela nafas. “Apa kau mendengar perbincangan kami tadi?” tanya Harry. Taylor tak menjawab pertanyaan Harry, gadis itu hanya diam saja dan Harry mengartikan diam itu sebagai iya. Taylor pasti mendengarkan perbincangan Harry dan sahabat-sahabatnya tadi.

“Maafkan Louis. Dia yang tertua di sini jadi, bisa dikatakan, dialah yang cukup berpengaruh. Rumah ini peninggalan orangtuanya. Maafkan atas kata-katanya yang mungkin, melukai perasaanmu. Aku tidak akan meninggalkanmu,” Harry mengelus lembut lengan Taylor.

“Tapi, dia benar, Harry. Aku hanya akan membawa masalah untukmu dan yang lain. Dad tak akan berhenti mencariku dan dia akan melakukan apapun untuk menyeretku kembali. Dia bisa saja menyakitimu dan yang lain. Aku tak mau kalian terluka.”

Harry mempererat pelukannya. “Tak akan ada yang terluka, Taylor. Aku berjanji padamu. Semuanya akan baik-baik saja, jangan cemas.” Harry mengecup singkat puncak kepala Taylor, “Aku sangat mencintaimu.”

“Aku…juga mencintaimu, Haz.”

*****

Pagi yang cerah, Taylor terbangun dari tidur lelapnya dan kali ini, untuk pertama kalinya sejak berada di London, dia bangun lebih awal dari Harry. Senyuman Taylor merekah, Harry masih tertidur pulas di sampingnya. Terlihat sangat damai.

Taylor bergerak dengan sangat perlahan, supaya tidak membangunkan Harry. Gadis itu mengikat rambutnya dengan karet yang berada di atas meja, sebelum berjalan menuju ke kamar mandi. Taylor membasuh wajah dan menatap pantulan wajahnya di cermin. Taylor baru sadar, seberapa pucat dia. Ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Bibir Taylor yang dulu seringkali terpoles lipstick atau minimal lipgloss, kali ini benar-benar kering, pecah-pecah. Tapi, Taylor tak peduli. Dia tak ada niatan sedikitpun untuk berdandan. Dia hanya ingin tampil apa adanya untuk Harry.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar. Taylor berjalan ke luar dari kamar mandi dan Harry masih tertidur pulas. Ketukan itu berasal dari pintu kamar, Taylor segera membukanya perlahan. Mata Taylor terbelalak saat mendapati Louis-lah yang berada di balik pintu.

Louis tampak menahan nafas saat melihat Taylor, namun sesaat kemudian, pemuda itu menghela nafas sambil berkata, “Well, hai, Taylor.” Suaranya terdengar sangat aneh, tidak dingin seperti biasanya tapi, tidak juga ramah. Entahlah.

“Um, hai, Louis.” Taylor menyapa balik dengan canggung. Tak ada percakapan lagi di antara mereka. Louis tampak kehilangan kata-kata, begitupun Taylor. Tapi, Taylor-lah yang lebih dahulu memecah kecanggungan itu.

Berusaha seramah mungkin, Taylor berkata, “Jika kau mencari Harry, dia masih tertidur. Apa aku harus membangunkannya?”

Louis menggeleng cepat. “Tidak, aku tidak mencari Harry. Aku mencarimu,” Taylor mengernyit mendengar ucapan Louis. Serius, pemuda itu mencarinya? Ada angin apa?

“Sebelumnya, aku ingin minta maaf jika sikapku kepadamu sangat buruk. Aku hanya…well, aku mencemaskan sahabat-sahabatku, termasuk Harry. Apa yang telah kalian lakukan benar-benar salah dan…kalian melibatkan diri kalian dalam masalah besar. Kuharap, kau sadar akan hal itu,” Taylor menghela nafas dan mengangguk, ucapan Louis memang sangat benar.

“Tapi, aku bisa melihat keseriusan di wajah Harry saat dia mati-matian mempertahankanmu. Aku ingin sahabatku bahagia. Aku ingin Harry bahagia dan kebahagiaan Harry itu adalah kau. Jadi, aku memutuskan untuk…melindungi kebahagiaan Harry, yaitu kau.” Tak bohong, Taylor terkesiap mendengar ucapan Louis.

“Karena itu…aku memutuskan untuk berteman denganmu juga, jika kau tak keberatan,” kali ini, suara Louis mengecil. Taylor diam sejenak sebelum tersenyum lebar dan mengangguk. “Tentu saja! Kita bisa berteman, sama seperti yang lain!”

Untuk pertama kalinya, Taylor melihat senyuman di bibir Louis. Senyuman yang sangat…tulus dan hangat. Louis mengulurkan tangannya di hadapan Taylor. “Teman?” Taylor menjabat tangan Louis dan balas berkata mantap, “Teman.”

“Satu lagi, kemarin Jessica sempat memberitahuku jika kau bisa memasak dan tak keberatan untuk memasak. Jadi, aku pergi ke supermarket dan membeli beberapa bahan makanan. Sudah kuletakkan di dapur.”

Taylor tersenyum lebar. “Aku akan segera ke dapur!”

Gadis itu memang benar-benar suka memasak.

*****

Harry menuruni tangga, sambil menguap. Dia baru saja bangun dari tidur lelapnya dan tak mendapati Taylor di manapun. Jadi, Harry langsung mengambil kaus dan mencari gadis itu. Harry selalu mencemaskan Taylor, saat dia tak berada di dekatnya. Taylor gadis yang sangat ceroboh dan terlalu baik. Polos.

“Jess, kau melihat Taylor?”

Harry bertanya kepada Jessica yang tampak tengah menatap rambut Stella. Jessica menoleh sekilas dan menjawab, “Di dapur. Membuat sarapan bersama Louis.”

Tanpa basa-basi, dengan banyak pertanyaan yang ada di pikirannya, Harry melangkah menuju ke dapur. Benar saja, Taylor tampak tengah memasak di sana, dengan Louis yang duduk di meja, tampak memotong wortel. Harry mengernyit. Kenapa mereka bisa akur? Tidak, mereka tidak bertengkar tapi, bukankah Louis tidak menyukai keberadaan Taylor?

“Louis, sepertinya sudah cukup untuk wor—oh, hey, Harry!” Taylor menoleh dan tersenyum lebar saat mendapat Harry tepat di pintu dapur. Louis yang semula sibuk memotong wortel, ikut menoleh sebelum kembali meneruskan pekerjaannya, seakan-akan menganggap Harry tak ada.

Harry berjalan mendekati Taylor yang tengah berkutat dengan panci dan kompor. Harry memeluk gadisnya dari belakang, “Lain kali, kalau pergi, bilang padaku, Babe. Kau membuatku cemas.”

Taylor memutar bola matanya. “Kau pikir, memangnya aku akan pergi ke mana? Aku tak bisa pergi ke manapun.”

“Kau ingin pergi ke luar? Aku tahu tempat yang sepertinya tidak diketahui banyak orang. Jadi, kita aman.” Harry menyandarkan dagunya pada pundak Taylor, Taylor terkekeh kecil. Rasanya geli saat dagu Harry menyentuh pundak Taylor yang terlapisi kaus tersebut.

“Harry, kita bicarakan nanti. Pergilah. Aku sedang memasak,” Taylor mengaduk isi panci dengan sendok. Harry tak beranjak sedikitpun. “Apa yang kau masak, Babe?” tanya Harry.

“Sup dan kau tak akan mendapat jatah sup jika terus menggangguku, Haz. Sekarang, menjauhlah.” Harry memutar bola matanya dan mengecup singkat pipi Taylor sebelum berbalik dan menarik kursi di samping Louis yang masih sibuk memotong wortel.

Harry melirik sekilas sahabatnya sebelum berkata, “Aku minta maaf telah memukulmu kemarin. Aku tak bisa mengontrol emosi. Maafkan aku.” Taylor mendengar ucapan Harry itu dan tersenyum.

Louis menghela nafas, meletakkan pisau di atas meja dan balas menatap Harry. “Sudahlah. Aku sudah melupakan semuanya. Anggap saja kejadian kemarin tak pernah benar-benar terjadi.” Harry tersenyum dan mengangguk. Kemudian, iris hijau Harry menangkap satu-satunya makanan yang ada di atas meja. Harry baru menyadari satu hal.

“Kalian tidak memasak sup hanya dengan wortel, kan?”

Hening sesaat kemudian, Taylor dan Louis terkekeh bersamaan. Taylor menoleh ke arah Harry yang memasang wajah horor—pasalnya, Harry tidak begitu menyukai wortel—dan menyeringai, “Bahan makanan satu-satunya yang ada adalah wortel.”

Harry menoleh ke arah Louis, meminta penjelasan. Louis mengedikkan bahu sambil menjawab santai, “Kau tahu, semua orang pasti suka wortel.”

“Aku tidak!”

Tawa Taylor dan Louis tak dapat terelakan lagi.

A/n:
Thanks buat siapapun yg udah baca. Maaf kalo gak sesering dulu ngepostnya. aku sibuk maap ya.
Sekali lagi thank you :D

Posted on : 12.19.2015

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top