#4 : What?!
Taylor terbangun tepat pukul lima sore. Dia sudah tertidur selama hampir lima jam dan saat dia bangun, Harry masih tak ada di sisinya. Taylor bangkit dari ranjang, meraih handuk dan berjalan menuju ke kamar mandi yang kebetulan ada di dalam kamar. Sungguh, Taylor sangat bersyukur saat menyadari ada kamar mandi di dalam kamar Harry. Taylor tak dapat membayangkan jika dia harus berbagi kamar mandi dengan yang lain.
Dengan hanya berbalutkan handuk, Taylor berjalan ke luar dari kamar mandi dan nyatanya, Harry tampak sudah kembali dan duduk di tepi ranjang, menatap gadisnya dengan seringai di bibirnya
Gadis berambut pirang itu melipat tangan di depan dada. “Kupikir, kau akan pulang saat makan malam nanti,” ujar Taylor, berjalan menuju ke lemari kayu yang ada di sudut ruangan dan meraih pakaiannya. Taylor sudah meletakkan pakaiannya ke dalam lemari, bersebelahan dengan pakaian Harry.
“Kupikir, kau akan bangun saat makan malam nanti. Nyatanya kau bangun lebih awal,” Harry meniru ucapan Taylor seraya terkekeh sebelum bangkit berdiri dan menghampiri gadisnya. Harry melingkarkan lengann kekarnya di perut Taylor dan menyandarkan dagunya di pundak gadis itu.
“Aku suka aroma tubuhmu setelah kau mandi. Sangat segar dan memabukkan,” Harry menghirup aroma tubuh Taylor sebelum mengecup pundak telanjang gadisnya. Taylor terkekeh saat nafas Harry menyentuh kulit lehernya. Geli.
“Menjauhlah, Haz. Aku harus mengenakan pakaianku. Aku akan membantu memasak untuk makan malam,” Harry terkekeh mendengar ucapan Taylor. Bibir merah muda pria itu kembali mengecup pundak telanjang Taylor. “Apa kau tahu? Dapur di rumah ini tak pernah digunakan. Sekalipun.”
Taylor mengernyit sebelum berbalik, menatap Harry heran. “Benarkah? Lalu, siapa yang akan memasak makanan untuk kalian?”
“Jika kau berpikir Stella ataupun Jessica bisa memasak, kau salah besar, Babe. Kedua gadis itu tak bisa memasak. Begitupun para pria di sini. Jadi, kami tak pernah memasak. Kami akan memesan makanan, setiap harinya begitu.”
“Bukankah itu pemborosan?” tanya Taylor.
Harry menggeleng. “Tidak sama sekali. Terkadang, kami mendapat makanan gratis. Kami punya trik sendiri untuk mendapat makanan gratis.” Harry kembali melingkarkan lengannya di pinggul Taylor.
Taylor mengangkat satu alis. “Trik seperti apa?” tanya Taylor, penasaran.
“Kau akan mengetahuinya nanti.”
Dengan cepat, pemuda itu menyatukan bibirnya dengan bibir Taylor, melahapnya dengan cukup ganas. Tangan Harry bergerak ke punggung Taylor dan hendak menarik handuk yang melilit di tubuh gadisnya itu dengan sekali hentakkan namun, Taylor segera bertindak dengan menggigit bibir bawah Harry, membuat Harry menjerit pelan dan mundur selangkah.
“Aw, apa yang kau lakukan, Babe?!”
Taylor terkekeh. “Keluarlah. Aku harus berpakaian. Aku baru selesai mandi, Haz.”
“Lalu, kenapa aku harus ke luar di saat aku sudah terbiasa melihatmu tanpa busana sekalipun. Come on, Babe.” Harry memutar bola matanya. Taylor mendorong dada Harry perlahan dan menyeringai nakal. “Jika kita melakukannya sekarang, kita tak akan melakukannya nanti malam. Kau tahu, sekarang sudah sangat dekat dengan waktu makan malam.”
Seringai muncul lagi di bibir Harry. Pemuda itu kembali mendekati Taylor dan mengecup singkat bibir gadis itu sambil berkata, “Gadis pintar. Baiklah, aku akan ke luar dan berbincang dengan teman-temanku. Jika kau sudah berpakaian lengkap, turunlah dan bergabung.” Setelah itu, Harry melangkah ke luar dari kamar.
Setelah mengenakan pakaiannya, Taylor berjalan ke luar kamar, hendak bergabung dengan yang lain. Taylor baru sadar, tak ada meja makan di sini. Harry dan teman-temannya duduk berkeliling di sebuah karpet yang telah digelar di ruang tengah, dengan beberapa jenis makanan yang ada di tengah-tengah karpet. Seperti tengah piknik.
Harry melambaikan tangan ke Taylor sebelum menunjukkan tempat di antara pria itu dan juga Louis. Sepertinya, Harry paling dekat dengan Louis di antara yang lainnya. Taylor segera berjalan mendekat dan duduk di antara Harry dan Louis. Taylor hendak menyapa Louis namun, entah kenapa, Taylor merasa seperti Louis tidak menyukai kehadirannya. Sejak Louis menjemput mereka di bandara, Taylor sudah merasakan hawa aneh saat berhadapan dengan Louis. Louis sangat sinis kepadanya.
Taylor kembali ke dunia nyata setelah Harry merangkulnya dan mengecup singkat pipi Taylor. “Kuharap, kau tak keberatan dengan KFC. Hanya itu yang berhasil di dapatkan Zayn dan Stella. Zayn pecinta ayam,” bisik Harry dan Taylor terkekeh sebelum mengangguk.
Memang itu sebuah ritual atau bukan, yang jelas, tak ada yang menyentuh makanan sampai Liam seakan memulai pidato singkatnya. “Malam ini, kita merayakan kembalinya salah satu sahabat kita, Harry, setelah merantau cukup lama, mengorek tempat sampah di Amerika,” Harry memutar bola matanya sementara, yang lain tertawa. Taylor hanya tersenyum tipis.
“Jangan lupakan, kita mendapat sahabat baru! Seorang gadis cantik dari Amerika yang entah bagaimana bisa bersama dengan seorang bajingan seperti Harry.” Niall menambahkan dan tawa kembali terdengar. Harry mengeratkan rangkulannya pada Taylor sebelum dengan santai merespon, “Aku bajingan tampan, Horan. Bukan bajingan buruk rupa yang tak laku sepertimu.” Tawa semakin menggelegar. Tapi, Taylor tidak tertawa, begitupun Louis yang tampak benar-benar sangat tak tertarik dengan semua ini.
“Baiklah, makan malam kali ini anggap saja sebagai salah satu perayaan atas kembalinya Harry, bertambahnya satu anggota di rumah ini, dan hei, tentu saja, jangan lupakan atas terpilihnya Stella sebagai bintang iklan sebuah pasta gigi!” Liam kembali berkata dan kali ini, semuanya bersorak senang. Taylor tak mengerti akan perkumpulan ini. Sepertinya, butuh waktu lama untuk beradaptasi.
“Selamat makan!”
Kali ini, Niall yang berucap dan semua mulai mengambil kotak berisi makanan untuk mereka masing-masing. Harry mengambilkan untuk Taylor dan mereka berdua makan berhadapan. Ah, satu lagi. Mereka makan masih dengan kotak makanan, tanpa piring dan alat-alat makan lainnya. Ini sungguh, berbeda dengan kegiatan makan Taylor sehari-hari.
“Mom dan Dad tidak akan mengizinkanku makan KFC. Mereka bilang, makanan KFC itu tidak sehat. Seperti sampah,” ujar Taylor, pelan kepada Harry yang terkekeh.
“Ya, memang sampah. Sampah yang sangat nikmat, bukan?” tanya Harry balik dan Taylor tak bisa untuk tak setuju. KFC sangat enak. Mungkin, Taylor bisa mempertimbangkan untuk mencekoki orangtuanya dengan KFC, sehingga mereka sadar jika KFC bukan sampah.
Ini lucu. Taylor selalu dimarahi jika makan sambil bicara tapi, semua yang ada di sini, makan sambil bicara, bahkan bercanda tawa. Niall bahkan berbicara dengan mulut penuh dan sesekali, makanan ke luar dari mulutnya. Jika Mom atau Dad Taylor melihat semua ini, mereka pasti akan menatap Niall dengan tatapan jijik.
Mengingat orangtuanya, Taylor mulai merindukan keduanya, meskipun tak ada niatan untuk kembali. Ya, setidaknya untuk saat ini.
Taylor memang belum terbiasa dengan suasana di sini tapi, Taylor yakin, lambat laun, dia pasti akan terbiasa.
Setelah makan, mereka tidak langsung naik dan tidur. Di rumah ini, ada lima kamar tidur, untuk masing-masing pria. Tentu saja Stella dan Jessica tidur di kamar kekasih mereka masing-masing, Zayn dan Jessica. Stella dan Jessica tampak sudah akrab dengan teman-teman kekasih mereka. Mereka tampak sangat keren di mata Taylor. Jessica dengan dandanan tomboy tapi, dia tetap cantik di mata Taylor. Sedangkan, Stella adalah gadis yang cantik dan juga seksi. Taylor iri dengan mereka berdua. Liam dan Zayn memilih gadis yang tepat.
Tapi, kenapa Harry memilihnya? Taylor yakin, Harry bisa mendapat gadis lain yang jauh lebih baik daripadanya, yang bisa mengimbanginya. Sedangkan Taylor? Taylor benci kenyataan ini tapi, Taylor mengaku, dia terlihat sangat munafik. Taylor bukan gadis seperti Jessica dan Stella. Taylor dulu adalah gadis yang penurut dan sangat ceria. Tipikal gadis baik-baik tapi, semenjak mengenal Harry, Taylor rela kehilangan predikatnya itu. Taylor rela jika harus dia berubah menjadi gadis yang liar, seliar mungkin. Asalkan Harry tetap bersamanya.
“Let’s talk about you, Taylor.”
Taylor tersentak dari lamunannya saat mendengar namanya di sebut, oleh Stella. Saat ini, semua mata tertuju pada Taylor, seakan meminta penjelasan. Taylor mengernyit heran. “Apa?” pertanyaan polos itu mengalir ke luar begitu saja dari mulut Taylor dan semuannya tertawa, kecuali Louis tentu saja.
Gadis itu mendongak, meminta penjelasan akan maksud ucapan Stella tadi dari Harry yang nyatanya juga tertawa. Tapi, saat sadar jika mata Taylor tertuju padanya, Harry menghentikan tawa, tersenyum dan berkata, “Mereka ingin tahu tentangmu, Babe. Seperti nama lengkap, tanggal lahir, apa yang kau suka dan kau tidak suka, dan yang lain. Kau bisa memberitahu apapun yang ingin kau beritahu.”
Taylor mengedarkan pandangannya ke setiap mata yang masih menatapnya sebelum menghela nafas. Mereka sudah berhenti tertawa dan tampak menuntut penjelasan dari Taylor.
Dengan sedikit gugup, Taylor mulai berkata, “Nama lahirku Taylor Alison Swift. Aku lahir pada tanggal 13 Desember dan angka 13 adalah angka kesukaanku. Aku merasa selalu mendapat keberuntungan dengan sesuatu yang berhubungan dengan tiga belas.” Taylor mengambil nafas dan kembali menatap berkeliling, semua mata masih tertuju padanya. Taylor menoleh kepada Harry, seakan bertanya, ‘apa yang harus kukatakan lagi?’ Harry memberi isyarat supaya Taylor terus bercerita.
“Ibuku seorang manajer sebuah restoran di New York. Ayahku memiliki perusahaan sendiri, Swift Travel. Adikku tengah belajar bisnis dan akan menjadi penerus jejak Ayahku dalam mengurus Swift Travel.”
“Kau…anak orang kaya?” Liam memotong ucapan Taylor dengan sebuah pertanyaan. Taylor diam sejenak sebelum menjawab, “Aku selalu hidup berkecukupan. Orangtuaku akan memberikan fasilitas apapun untukku dan untuk adikku. Mungkin, bisa dikatakan begitu.”
Kali ini, Niall yang mengajukan pertanyaan, “Damn, kalau kau adalah anak orang kaya, kenapa kau mau dengan seseorang seperti Harry? Maksudku, sangat banyak pemuda di sana yang pastinya bisa setara dengan status sosialmu.”
Taylor melirik Harry sekilas sebelum menjawab, “Aku juga tak tahu kenapa. Hanya saja, aku bosan dengan hidup yang kujalani di sana. Terlalu banyak aturan. Aku benci dikekang. Aku hanya ingin bebas dan Harry memberikan kebebasan itu kepadaku.” Tangan Harry terlepas dari pundak Taylor beralih menggenggam erat tangan Taylor.
“Lalu, orangtuamu tahu tentang kau dan Harry? Apa mereka menyetujui hubungan kalian?” Bahkan, Zayn yang bisa dikatakan pendiam mulai tertarik untuk bertanya kepada Taylor.
Taylor diam selama beberapa saat sebelum menghela nafas. “Orangtuaku tidak menyukai Harry. Mereka menyiapkan sebuah perjodohan bodoh antara aku dan seorang anak rekan kerja mereka. Tapi, aku menolak.”
Jessica mengernyit. “Jadi, orangtuamu tidak merestui hubungan kalian? Bagaimana bisa kalian berada di sini?” Pertanyaan itu mengalir sempurna dari mulut Jessica, Stella mengangguk menyetujui pertanyaan itu.
“Harry mengajakku kabur dari rumah dan aku menurut.”
“APA?!”
Posted on 12.12.2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top