#38 : Take Me With You
“Harry!”
Harry yang baru saja berjalan ke luar dari mobil yang menjemputnya dari bandara menoleh saat mendengar suara tersebut. Senyuman lebar muncul di bibir pemuda tampan itu, mendapati gadis cantik dengan tubuh proporsional berjalan cepat ke arah Harry, sebelum melingkarkan lengannya pada leher Harry. Harry terkekeh dan balas memeluk gadis itu.
“Bagaimana kabarmu, Stel?”
Stella melepaskan pelukannya dan tersenyum lebar kepada Harry. “Kabar baik, tentu saja! Oh, yeah, kau juga terlihat baik-baik saja. Aku sangat merindukanmu, Harry!”
“Begitupun aku. Hei, bagaimana dengan Zayn? Sudah lama aku tak bertemu dengannya,” Harry melangkah masuk ke dalam tempat di mana mereka akan melakukan syuting. Stella melangkah di samping Harry.
Harry menoleh, Stella tak menjawab pertanyaannya sama sekali. Harry menghentikan langkahnya dan menatap lekat Stella. Stella mengerucutkan bibir bawahnya.
“Baik-baik. Well, aku dan Zayn…kami bertengkar semalam. Kau tahu? Dia sangat sibuk dengan pekerjaan tak jelasnya.” Stella memutar bola matanya seraya menarik kursi di dekatnya dan duduk di sana. Mereka telah sampai di sebuah gubuk sederhana yang berada tak jauh dari pantai Bahama.
Harry menarik kursi kayu satunya lagi dan duduk berhadapan dengan Stella. Harry menyatukan satu tangannya, masih menatap Stella dengan penuh tanda tanya.
“Benar kau dan Zayn sudah tinggal satu rumah? Jessie bilang, kalian akan menikah secepatnya.”
Stella menghela nafas dan mengangguk lemah. “Ya, itulah rencana awalnya. Tapi, aku tak mengerti apa yang ada di pikiran Zayn. Kau tahu? Kami belum menentukan tanggal pernikahan dan semacamnya. Dia terlalu sibuk dengan dunia bodohnya. Kami bertengkar semalam dan sampai detik ini, dia tak menghubungiku atau merasa sedikitpun menyesal telah membentakku.”
Harry tercengang sesaat mendengar cerita Stella yang sangat panjang, tanpa jeda. Namun, sesaat kemudian, Harry tertawa. Ciri khas Stella yang masih Harry ingat adalah: kecerewetannya. Masih tak berubah. Masih Stella yang sama.
“Lalu, bagaimana denganmu? Sudah mendapat gadis baru?” Stella mengganti topik pembicaraan.
Harry tersenyum tipis sebelum menggeleng. “Belum. Masih menunggu keajaiban.”
Stella terkekeh. “Keajaiban apa? Oh, come on, Harry. Move on! Kau dan Taylor…kalian sudah selesai. Taylor bahagia dengan Stefan dan seharusnya kau bisa menerima fakta itu. Kau juga harus mencari kebahagiaanmu sendiri.”
“Stel, kau tidak tahu apapun jadi, sudahlah. Aku tak mau membahas semua ini.” Harry bangkit berdiri dan meletakkan kertas yang sedari tadi di genggamnya di atas meja. Pemuda itu menatap sekelilingnya, beberapa kru tampak sudah siap.
“Ayo, selesaikan pekerjaan ini secepat mungkin, Stel!”
Harry melangkah meninggalkan Stella yang menatapnya dengan jengkel.
*****
“Aku ingin bicara. Tunggu aku di ruang tengah.”
Taylor menghela nafas seraya melirik jam yang menggantung di dinding. Sudah satu jam berlalu, sejak Stefan memintanya untuk menunggu di ruang tengah. Ya, Stefan. Pemuda itu baru saja kembali dari Dubai. Baru saja datang, dia sudah meminta Taylor menunggunya di ruang tengah, hendak membicarakan sesuatu yang Taylor tahu, bukanlah hal yang baik. Tatapan Stefan saat mereka pertama bertemu, setelah seminggu lamanya tak bertemu itu sangat berbeda.
Taylor menyatukan jari-jari tangannya, berharap cemas semoga saja pikiran-pikiran buruknya tak benar-benar terjadi. Jika terus begini, Taylor sudah tak tahan lagi.
Akhirnya, Stefan muncul, dengan mengenakan kaus putih dan masih menggunakan celana kerjanya tadi. Tatapan pemuda itu tertuju tajam kepada Taylor, yang menundukkan kepala.
“Aku tak mau berbasa-basi. Apa kau tahu apa yang akan kubicarakan?”
Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari bibir pemuda tampan itu. Taylor mengangkat wajah, memberanikan diri menatap Stefan. Stefan akan lebih marah padanya jika Taylor menghindari tatapan mata langsung dengannya.
Taylor menggeleng. “Aku tidak tahu apapun.”
Stefan tersenyum miring dan sedikit membungkuk, menghadap langsung mata Taylor. Jarak wajah mereka sangat dekat dan Taylor tahu, ini pertanda buruk.
Benar saja, tiba-tiba, Stefan kembali menjambak rambut Taylor sambil berteriak keras tepat di hadapan gadis itu, “Jalang! Kau mengundang mantanmu ke rumah ini! Sialan! Apa kau pikir aku tak tahu apa yang kau lakukan selama aku tak ada di rumah ini?!”
Taylor tercengang. Matanya mulai basah. Stefan menjambak rambutnya dengan keras, di tambah lagi dengan bentakkan. Apa Stefan lupa jika Taylor paling tak suka dibentak?
“Kau benar-benar membuat kesabaranku habis, Jal–,”
“Aku bukan jalang!”
Kesabaran Taylor habis. Gadis itu mendorong Stefan keras hingga pemuda itu jatuh dengan punggung menabrak meja kecil di belakangnya. Stefan meringis dan memicingkan mata kepada Taylor. Taylor bangkit berdiri dan menggigit bibir bawahnya, menatap Stefan. Tubuhnya bergetar.
Dia baru saja melakukan kesalahan yang sangat besar. Stefan menggertakkan gigi-giginya sebelum kembali bangkit berdiri. Taylor berniat untuk kabur namun, Stefan sudah terlebih dahulu mencengkram kuat lengan gadis itu.
Stefan mencengkram wajah Taylor dengan keras dan berkata, “Kau yang memaksaku melakukan kekerasan padamu!”
Taylor tahu, keesokan paginya, dia tak akan mampu bangkit dari tempat tidur tanpa rasa sakit di sekujur tubuhnya yang membiru.
*****
Harry dan Stella baru saja menyelesaikan syuting. Keduanya memilih untuk makan malam bersama, sambil bernostalgia tentang hal-hal gila yang pernah mereka lalui bersama. Walaupun, Harry tak begitu dekat dengan Stella, Stella tetap saja salah satu sahabat Harry.
“Zayn sudah mengirimkan pesan permintaan maaf kepadaku tadi. Dia bilang, dia sangat menyesal dan dia memintaku untuk bertahan di sini karena dia akan datang. Dia merindukanmu juga, katanya.”
Stella meletakkan ponselnya kembali ke dalam tas setelah membaca pesan dari Zayn. Harry menarik nafas dan menghelanya perlahan. “Aku juga merindukannya. Pastikan, kita ada waktu untuk berkumpul saat dia tiba, Stel.”
“Aku tak yakin dia serius akan datang. Kau tahu? Sudah berapa kali dia berbohong. Katanya, dia akan menyusulku dan sebagainya. Tapi, setelah kutunggu, dia tak kunjung datang.” Stella menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Harry terkekeh kecil. “Ayolah. Kalian sudah lama bersama. Harusnya kau bisa mengerti Zayn, Stel. Zayn bukan tipikal pria yang suka mengingkari janjinya sendiri. Kalaupun dia mengingkari janjinnya, itu pasti karena sebuah alasan yang penting.”
Stella memutar bola matanya. “Saat itu juga aku tahu, ada yang jauh lebih penting dari aku, untuknya. Aku bukanlah prioritas utamanya.”
Harry baru ingin buka suara saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Harry meraih ponsel dari saku celananya dan senyuman muncul di bibir pemuda itu saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
Taylor.
Tanpa basa-basi, Harry segera mengangkat panggilan tersebut, dengan Stella yang memperhatikan pemuda itu lekat.
“Hei, ap–,”
“Harry…”
Senyuman lenyap dari bibir Harry saat mendengar suara Taylor dari jauh sana. Suaranya terdengar bergetar dan Harry tahu. Taylor pasti tengah menangis saat ini.
“Tay? Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?!” Harry bertanya cemas. Mendengar nama ‘Tay’ yang Harry ucapkan, Stella membulatkan mata dan menegakkan posisi duduknya. Stella memperhatikan Harry dengan sangat lekat.
“Taylor, katakan sesuatu! Apa yang terjadi?! Jangan membuatku cemas!” Harry bertanya tak sabaran. Cemas, itu yang Harry rasakan sekarang. Harry dapat mendengar isakan Taylor. Taylor pasti tengah menangis dan tangisan Taylor adalah salah satu kelemahan terbesar Harry.
Harry menggertakkan gigi-giginya, tak sabar. “Tay, cepat kat–,”
“Harry, bawa aku bersamamu. Aku tak tahan lagi di sini.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top