#37 : Get You Back
Gadis berambut pirang itu berdiri gelisah, menatap ke jendela kamarnya yang terbuka. Tepat lima menit setelah Harry mengakhiri panggilannya dengan Taylor setelah mengatakan jika dia akan membawakan makanan, hujan turun dengan derasnya. Hujan itu tak kunjung reda, padahal sudah hampir satu jam berlalu.
Harry juga tak kunjung datang, membuat Taylor semakin cemas. Taylor masih mengingat jelas cara Harry mengendarai mobil. Dia benar-benar buruk. Seringkali dia mengendarai ugal-ugalan dan tak akan sadar akan bahaya di hadapannya, jika Taylor tak rajin menepuk pundaknya, menyadarkan pemuda itu.
Menit-menit selanjutnya berlalu begitu saja. Hujan tak kunjung reda. Taylor mundar-mandir seraya sesekali melirik jendela kamarnya. Sampai sebuah ketukan terdengar dan dengan cepat, Taylor membukakan jendela.
Taylor menganga mendapati Harry yang basah kuyup, dengan kantung plastik berisikan sekotak pizza di tangannya.
“Astaga, Harry! Kau..kenapa kau sangat nekat?!”
Taylor bertanya refleks sesampainya Harry di dalam kamarnya. Harry meletakkan kotak pizza di atas ranjang dan pemuda itu beralih menatap Taylor. Taylor tercengang. Wajah pemuda itu terlihat pucat, tubuhnya bergetar. Dia pasti kedinginan.
“Tunggu sebentar! Aku akan mengambilkan pakaian ganti untukmu!” Taylor berbalik ke luar kamar, berjalan cepat menuju ke kamar tamu. Austin pernah menginap di sini, sekali dan Taylor yakin, Austin pasti meninggalkan pakaiannya di lemari.
Mana berani Taylor meminjamkan pakaian Stefan kepada Harry. Stefan adalah seorang perfeksionis. Dia pasti akan sangat hafal akan keberadaan pakaiannya. Meminjamkan pakaian Stefan kepada Harry sama saja seperti melempar diri ke kandang singa.
Untunglah, Austin benar-benar meninggalkan beberapa helai pakaian di lemari. Taylor meraih pakaian tersebut dan membawanya kembali ke kamar. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Semua pelayan pasti sudah tertidur pulas.
Taylor kembali ke kamar dan mendapati Harry yang masih berdiri dengan tubuh bergetar. Bibirnya memutih, wajahnya sangat pucat. Taylor meraih handuk yang tergantung di belakang pintu kamarnya dan menyodorkan handuk itu kepada Harry, bersamaan dengan pakaian milik Austin.
“Cepat ganti pakaianmu, Harry! Kau bisa sakit dengan pakaian basah seperti itu!”
Harry mengangguk dan tersenyum tipis sebelum meraih handuk dan pakaian milik Austin. Pemuda itu berjalan menuju ke kamar mandi. Taylor duduk di tepi ranjang, menunggu Harry datang seraya menarik ke luar kotak pizza dari kantung plastik.
Tak lama kemudian, Harry muncul dari kamar mandi, sudah mengenakan pakaian Austin yang sedikit kebesaran dikenakan olehnya. Padahal, Taylor pikir, tubuh mereka sama.
Harry mengeringkan rambut ikal panjangnya dengan handuk putih milik Taylor sementara, Taylor memperhatikan pemuda itu. Kaus berwarna putih dan celana training hitam itu terlihat jauh lebih menarik saat dikenakan oleh Harry daripada dikenakan oleh Austin. Oh, yeah, tentu saja. Mustahil, Taylor tertarik dengan adiknya sendiri, kan? Lagipula, mau mengenakan pakaian atau bahkan tidak, Harry selalu menarik di mata Taylor.
“It’s not polite to stare, Taylor.”
Harry menyeringai dan menarik Taylor kembali ke dunia nyata. Taylor menahan nafas sebelum memutar bola matanya. “Aku tidak…ah, sudahlah. Aku hanya…rambutmu. Terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Apa rambutmu tak tumbuh lagi?”
Hening sesaat sebelum Harry tertawa geli akan kepolosan Taylor. Taylor mengernyit dan menunggu Harry berhenti tertawa. Setelah beberapa menit, barulah Harry berhenti tertawa. Harry berjalan mendekati Taylor dan duduk di samping gadis itu.
“Karena kupikir, kau suka jika rambutku tetap seperti ini. Long hair-slicked back.” Harry mengedip dan Taylor dapat merasakan pipinya yang memanas.
“Sudahlah. Cepat, buka kotak pizza itu dan makan malam, Taylor. Kau harus menghargai usahaku, hanya untuk membuatmu makan.” Harry meraih kotak pizza ke dalam pangkuannya dan membuka penutup kotak tersebut.
“Ini sudah hampir dini hari. Kau memintaku untuk makan malam?” tanya Taylor, menggoda.
Harry memutar bola matanya dan meraih satu potong pizza. “Baiklah. Anggap saja, ini sarapan. Sarapan di tengah malam.” Taylor terkekeh saat Harry menyodorkan potongan pizza tersebut ke depan bibir gadis itu.
Saat Taylor membuka mulut dan hendak menyambut pizza, Harry malah menjauhkan pizza itu dari mulut Taylor dan menggigit pizza itu sendiri. Taylor menganga sejenak sebelum memicingkan mata, kesal. Harry melirik Taylor dan tertawa keras.
“Gosh, Taylor! Apa kau tak melihat bagaimana lucunya wajahmu itu? Kau sepertinya sangat berharap agar aku bisa menyuapimu, begitu?”
Taylor memutar bola matanya dan hendak meraih potongan pizza yang lain di dalam kotak. Namun, sebelum sempat mengambil potongan pizza tersebut, tangan Harry menghentikan pergerakan tangan Taylor. Harry menyodorkan potongan pizza yang tadi dia gigit ke depan bibir Taylor. Taylor menatap Harry dengan tatapan ‘jangan coba-coba lagi!’ dan Harry terkekeh geli.
“Buka mulutmu, Taytay!” perintah Harry dan Taylor menurut. Untungnya, kali ini, Harry benar-benar serius. Taylor mengunyah pizza tersebut dengan perlahan, saat Harry tersenyum lebar menatap gadis berambut pirang tersebut makan.
“Kau harus banyak-banyak makan, Tay. Lihat dirimu. Baiklah, kau memang cantik dan kecantikanmu tak akan pernah pudar,” Taylor menatap Harry dengan jengkel dan Harry kembali terkekeh sebelum meneruskan, “Tapi, aku tak suka melihatmu sekarang. Kau terlihat lebih kurus dan pucat dari biasanya. Aku tak mengerti, apa bajingan itu tidak memperhatikan pola makanmu dengan benar?”
Taylor diam sejenak sebelum menggelengkan kepala. Mata Harry memicing. Wajah Harry yang tadi pucat, sudah berubah normal. Tangan pemuda itu mengepal. Sungguh, rasanya Harry ingin membunuh pemuda bernama Stefan Olsen itu.
“Apa dia memperlakukanmu dengan baik?” tanya Harry.
Taylor lagi-lagi terdiam. Memperlakukan dengan baik? Seperti mengurung Taylor untuk terus berada di dalam rumah dan berani menggunakan kekerasan kepada Taylor tiap kali Taylor melakukan kesalahan? Oh, tentu saja. Stefan memperlakukan Taylor dengan sangat baik.
“Apa dia bisa membuatmu tenang tiap kali kalian bersama?”
Kepala Taylor tertunduk. Tidak, jawabannya adalah tidak. Tiap kali bersama Stefan, Taylor tak pernah bisa tenang. Rasa cemas, ragu, terlebih lagi takut, selalu muncul. Apalagi, jika Stefan sudah mulai menatap Taylor dengan tatapan yang…mengerikan di mata Taylor.
“Apa dia membuatmu bahagia?”
Sama sekali, tidak. Pikiran Taylor menjawab pertanyaan Harry.
“Taylor…”
Suara Harry membuat Taylor mengangkat wajahnya untuk dapat berhadapan dengan pemuda itu. Emerald dan safir kembali bertemu. Jantung Taylor berdegup cepat. Hanya Harry yang bisa membuatnya seperti.
“Har–,”
“Apa dia mencintaimu, seperti caraku mencintaimu?”
Harry memotong ucapan Taylor dengan pertanyaan yang lainnya. Taylor menahan nafas sesaat sebelum memejamkan mata dan kembali menunduk.
“Dia bukan kau, Harry. Jangan samakan bagaimana caranya memperlakukanku, dengan bagaimana caramu memperlakukanku.”
Harry memperhatikan gadis di hadapannya itu dengan seksama. Jessica benar. Gadisnya tidak bahagia bersama pemuda brengsek itu. Buku-buku jari Harry memucat. Tangan Harry mengepal terlalu kencang.
“Aku akan membuat perhitungan dengannya,” Gigi-gigi Harry bergemertak dan Taylor dapat menyadari aura buruk dari tubuh Harry.
Taylor meraih tangan Harry yang mengepal, membuka tangan itu dan menyatukan jari-jari tangannya dengan jari tangan Harry. Taylor menggenggam tangan Harry erat, menyalurkan ketenangan kepada Harry. Harry masih menatap Taylor dengan tatapan meminta penjelasan.
Taylor menggigit bibir bawahnya dan tak berani menatap Harry. “Bu-Bukan berarti Stefan tak memperlakukanku dengan baik, Harry. A-Aku…aku bahagia bersama Stefan hanya saja…hanya saja…dia punya cara sendiri untuk memperlakukanku. Kau tidak akan bisa membandingkan caranya dengan caramu. Dia..dia….” Bibir bawah Taylor bergetar.
Harry memejamkan mata dan menghela nafas sebelum menarik Taylor ke dalam dekapan hangatnya. Harry mengelus lembut puncak kepala Taylor dan tanpa sadar, Taylor menangis. Taylor tak tahu, kenapa dia harus selalu menjadi gadis yang cengeng.
“Taylor, kau bisa membohongi dia. Kau bisa membohongi orangtuamu. Kau bisa membohongi semua orang di dunia ini. Tapi, kau tidak bisa membohongi aku.” Harry berkata dengan nada lembutnya. Taylor masih menangis di pundak Harry.
“Dia berjanji akan membuatmu bahagia padaku.” Harry menghela nafas dan melanjutkan, “Tapi, dia tidak menepati janjinya.”
Harry melepaskan pelukannya dan merengkuh erat pundak Taylor.
“I promise, I will get you back.”
-----
3 part lagi!!!!
Kayaknya aku bakal buat FF baru, kalo ada ide.
Antara Haylor atau Zigi because I love them so much!!!
Haylor atau Zigi maunya? Wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top