#3 : Everything's New
Benar saja, di dalam rumah, lebih tepatnya di ruang tengah, tampak berkumpul beberapa orang pemuda dan ada juga dua gadis di sana. Satu orang yang Taylor kenal di sana adalah Louis. Louis tampak tengah duduk tenang, dengan rokok yang terselip di antara jari-jari tangannya.
Ew. Rokok. Taylor benci rokok. Harry adalah perokok, Taylor tahu itu. Tapi, semenjak Taylor berkata jika dia benci rokok—apalagi asapnya, Taylor tak pernah melihat Harry merokok di hadapannya lagi. Harry memang pernah merokok di hadapan Taylor tapi, itu saat mereka belum berstatus sebagai sepasang kekasih dan sekarang, Taylor harus tinggal dengan pemuda-pemuda perokok dan..pemabuk. Ada beberapa botol minuman keras di atas meja.
Kehadiran Taylor dan Harry akhirnya di sadari oleh salah seorang pemuda dengan rambut pirang. Pemuda itu tersenyum lebar sebelum dengan keras berkata, “Selamat datang kembali, Harry dan juga…gadis barunya!” Ucapan keras pemuda itu tentu membuat pemuda dan gadis lain menoleh ke arah Harry dan Taylor.
Tangan Harry menggenggam erat tangan Taylor sebelum mengajak Taylor melangkah mendekati teman-temannya yang masih diam, memperhatikan. Harry menarik nafas dan menghelanya perlahan.
“Lads, perkenalkan, ini Taylor. Dia gadisku dan dia akan tinggal bersama kita, di sini. Jadi, kuharap kalian bisa bersikap lebih baik.” Harry berkata tegas, menatap serius kepada para sahabatnya yang masih memasang wajah datar. Taylor gugup, sungguh. Semua sahabat Harry tampak sama sepertinya, sama seperti Louis juga. Mereka benar-benar terlihat seperti bad boys, namun bad boys yang sangat tampan.
Si pirang tadi bangkit berdiri dan menghampiri Taylor. Dengan senyuman lebar, pemuda itu mengulurkan tangan di hadapan Taylor. “Hai, Taylor. Aku Niall. Mulai sekarang, kita adalah teman.” Taylor menjabat tangan Niall dengan canggung. Niall terlihat seperti yang paling konyol di antara pemuda-pemuda lainnya. Dia seperti pria yang menyenangkan tapi, entahlah.
Benar, Niall sama saja dengan yang lain. Pemuda itu bahkan tak melepaskan tangannya yang berjabatan dengan Taylor, padahal perkenalan mereka sudah seharusnya selesai. Mata Niall menatap Taylor dengan senyuman bodoh di bibirnya. Taylor merasa risih dan terima kasih kepada Harry yang langsung menepis tangan Niall supaya terlepas dari tangan gadisnya.
“Kau terlalu lama berjabat tangan dengan gadisku, Horan. Temukan gadismu sendiri,” ujar Harry dengan suara dinginnya. Niall mengerucutkan bibir sebelum kembali duduk di tempatnya semula.
Untuk pria yang lain, Harry memutuskan untuk memperkenalkan mereka satu per satu kepada Taylor. Di mulai dari pemuda bertubuh kekar, yang tampak tengah bermesraan dengan gadis berambut kecokelatan panjang yang menurut Taylor sangat cantik. Pemuda bertubuh kekar itu bernama Liam dan gadisnya yang bernama Jessica. Liam dan Jessica terlihat sangat ramah dan paling normal di antara yang lain.
Kemudian, ada pemuda tampan berwajah Asia dan juga gadis cantiknya yang berambut pirang, seperti Taylor. Pria itu bernama Zayn dan gadisnya bernama Stella. Zayn terlihat dingin, sama seperti Louis sementara, Stella terlihat seperti gadis yang sangat bersemangat dan ceria, seperti Niall.
Total, ada lima pemuda di sini, termasuk Harry dan tiga gadis, termasuk Taylor. Mereka sangat dekat satu sama lain, Harry bilang mereka adalah teman sejak sekolah. Harry pernah tinggal di sini, sebelum akhirnya dia pindah ke Amerika karena sebuah urusan yang Taylor tak ketahui apa. Tapi, Taylor tak pernah melihat Harry yang sibuk. Harry pria yang sangat bebas. Selama mereka berpacaran, Harry tak pernah tak punya waktu untuk Taylor. Harry tak punya pekerjaan tapi, dia tetap mendapat uang, entah dari mana. Pria itu benar-benar bebas. Sangat bebas.
Harry dan Taylor bergabung dengan yang lain, berbicara sambil bercanda tawa. Tapi, Taylor tak benar-benar tertawa. Yang mereka bicarakan adalah sesuatu yang sangat membuat Taylor tak nyaman. Mereka membicarakan tentang seks. Sial, ya, seks. Sesuatu yang menurut Taylor sebagai sesuatu yang seharusnya dirahasiakan, bukan diceritakan.
Ini lain. Bahkan, Liam dan Jessica tampak tak ragu menceritakan tentang pengalaman seks mereka—mereka tampak sangat bangga akan pengalaman seks mereka. Begitupun, Stella yang menceritakan pengalaman seks-nya dengan Zayn walaupun, Zayn hanya diam saja sedari tadi, tak buka suara. Taylor belum mendengar suara Zayn. Pria itu sepertinya pendiam.
“Lalu, bagaimana denganmu, Taylor? Apa Harry cukup baik di ranjang?”
Taylor tercekat saat Stella menanyakan hal itu padanya. Taylor menundukkan kepala. Apa-apaan? Mendengar pengalaman seks orang lain saja membuat Taylor tersipu dan sekarang, Stella menanyakan tentang pengalaman seks Taylor dan Harry? Apa gadis itu gila atau apa?
“Jangan tanyakan hal yang bukan-bukan pada gadisku, Stel. Apa kau tak lihat, topik perbincangan kita kali ini terlalu berat untuknya?” Tangan Harry tiba-tiba melingkar di pundak Taylor, membuat Taylor menoleh.
Entah kenapa, sepertinya, ucapan Harry tadi sedikit menyinggung perasaan Taylor. Terlalu berat? Tidak. Taylor mengerti tentang segala sesuatu yang mereka bicarakan. Taylor tahu banyak tentang seks. Dia sudah melakukannya berkali-kali dengan Harry. Bagaimana bisa Harry berkata jika pembicaraan tentang seks terlalu berat untuknya? Tidak berat hanya saja, ini berlebihan untuk Taylor.
“Sepertinya, kau harus istirahat, Taylor. Sedari tadi, kuperhatikan, kau terlihat bingung. Mungkin kau masih merasa jetlagged. Harry bodoh ini seharusnya mengantarmu ke kamar, bukan mengajakmu bergabung dalam pembicaraan bodoh ini,” Jessica bangkit berdiri dan hendak mencapai Taylor namun, Harry dengan cepat mencegah Jessica.
Harry mengajak Taylor berdiri sambil berkata tegas kepada Jessica, “Terima kasih atas saranmu, Jess. Aku yang akan mengantar gadisku ke kamar. Lagipula, aku juga butuh istirahat. Cerita kalian sangat membosankan.”
Dengan cepat, Harry merangkul Taylor dan mengajak gadis itu melangkah menaiki tangga. Langkah kaki mereka berhenti tepat di sebuah pintu dengan tempelan khas The Rolling Stones yang ada di depannya. Taylor tahu, Harry penggemar berat The Rolling Stones, terlebih lagi Mick Jagger.
“Ini kamarku dan kamarmu. Kamar kita. Aku tak menempatinya selama lebih dari setahun jadi, yeah, kuharap Niall benar-benar merapihkannya.” Harry terkekeh sebelum memutar knop pintu dan membukakan pintu untuk Taylor
Sesampainya di dalam kamar, Taylor mengedarkan pandangan ke tiap sudut ruangan. Sangat berdebu dan banyak sarang laba-laba. Taylor dapat mendengar Harry mengumpat Niall karena tidak membersihkan kamarnya, seperti yang Louis katakan.
“Sialan, aku akan membunuh si pirang itu karena tak membersihkan kamarku,” ucapan Harry membuat Taylor terkekeh. Taylor beranjak duduk di ranjang Harry, yang tampak tanpa seprai. Namun, ada plastik lebar yang menutupi ranjang tersebut sehingga, yang berdebu adalah plastik tersebut.
“Apa kau punya sapu dan perlengkapan kebersihan lainnya?” tanya Taylor kepada Harry yang sibuk meraih sarang laba-laba dengan tangan kosong. Harry menarik nafas dan menghelanya. “Kau bisa tidur di kamar Liam terlebih dahulu, kurasa. Sepertinya Liam dan Jessica akan pergi. Mereka tak akan keberatan. Biar aku yang membersihkan kamar ini.”
Taylor melipat tangan di depan dada. “Mungkin kau lupa jika kau tidak terlalu berbakat dalam bersih-bersih, Harry. Ingat saat aku memintamu menyapu saat kita masih tinggal di apartment-mu? Kau menyapu dengan terlalu bersemangat sampai sapu itu patah,” Taylor terkikik geli dan Harry memutar bola matanya. “Ah, ya, saat itu aku terlalu bersemangat.”
“Kalau begitu, sana pinjam sapu, pel, dan yang lainnya! Kita akan membersihkan kamar ini, sebersih mungkin!”
Harry selalu bahagia melihat gadisnya yang sangat ceria.
*****
“Seseorang mengirimkan pesan kepadaku jika kemarin hari lalu, dia melihat Taylor dan bajingan itu di bandara. Aku sudah memeriksa bandara dan bagian operasional. Taylor dan bajingan itu memang menggunakan jasa pesawat dan tak ada petugas yang menyadari keberadaan mereka.”
Ini adalah tepat hari ketujuh setelah Taylor melarikan diri dari rumahnya dan pencarian tak akan dihentikan sampai Scott benar-benar bisa membawa kembali putrinya. Scott memijat kepalanya yang pening. Putrinya itu..membuatnya sakit kepala. Tindakannya yang satu ini sangat berlebihan dan bodoh.
“Tujuan mereka? Apa kau sudah mencari tahu?” tanya Scott kepada orang suruhannya itu.
Si pria bertubuh tegap itu mengangguk cepat. “Tujuan mereka London, Inggris dan seharusnya mereka sudah sampai sejak kemarin.”
Scott kembali menghela nafas. Entah kenapa semuanya terasa sangat berat dan Scott bersumpah, sampai kapanpun dia tak akan pernah memaafkan pemuda bodoh yang berani-beraninya membawa pergi Taylor.
“Kirim orang untuk menyelidiki mereka di London. Seret paksa putriku kembali ke Amerika dan aku memberimu waktu satu minggu.” Perintah Scott.
Pemuda itu mengangguk patuh. “Bagaimana jika dalam satu minggu tak cukup untuk mencari informasi tentang mereka?”
“Kalau begitu biarkan. Aku tak akan menganggapnya ada lagi.”
*****
Setelah menghabiskan sekitar satu setengah jam untuk membersihkan seisi kamar, akhirnya Taylor dapat berbaring dengan tenang di atas ranjang yang sudah diberi seprai. Harry berdiri di samping ranjang dan mulai melepaskan kausnya yang sudah kotor dan basah oleh keringat. Harry belum pernah melakukan hal ini sebelumnya, Harry tak pernah bersih-bersih kamar dengan seorang gadis dan Taylor benar-benar seorang perfeksionis. Kamar ini jauh terlihat lebih baik dari sebelumnya.
“Tidurlah, Babe. Aku akan membangunkanmu saat makan malam nanti.” Harry duduk di tepi ranjang, menatap Taylor dengan lembut.
“Kau tidak tidur juga? Tadi kau bilang kau lelah,” protes Taylor.
Harry terkekeh. Tangan kekarnya bergerak, mengelus lembut puncak kepala Taylor. “Apa kau lupa? Selama di pesawat, aku tertidur sangat pulas, Tay. Jadi, aku pasti akan baik-baik saja.” Taylor menghela nafas. “Tapi, aku mana bisa tidur tanpamu,” ujar Taylor manja, mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk, dengan tangan yang melingkar di lengan Harry.
“Ada sesuatu yang harus kukerjakan, bersama dengan yang lain. Jika kau bangun lebih awal, tenang saja. Ada Jessica dan Stella. Mereka akan menemanimu. Sepertinya mereka berdua tidak akan pergi bekerja hari ini.” ujar Harry lembut.
“Mereka bekerja?” tanya Taylor, sedikit kagum.
Harry mengangguk. “Ya. Jessica bekerja di sebuah restoran, sebagai seorang asisten manajer dan Stella adalah seorang model.” Harry menjelaskan dan Taylor berdecak kagum. Sungguh, Taylor tak menyangka jika dua gadis itu sudah mendapat pekerjaan yang sangat baik. Jessica seorang asisten manajer? Bagaimana bisa? Stella model? Well, sebenarnya sudah sangat kentara dari bentuk tubuh dan wajah cantiknya.
“Apa menurutmu…aku juga harus mencari pekerjaan? Aku tak mau bertergantungan padamu, Harry. Aku tak mau terlalu sering merepotkanmu.” Harry mengelus lembut rambut panjang Taylor. “Aku akan menanggung semua biaya hidup kau dan aku, kita berdua. Jadi, aku tak tahu apakah kau harus bekerja atau tidak.”
“Aku tak mau berada di sini terus-menerus, Harry. Aku akan bosan jika dikurung. Kau tahu itu,” Taylor kembali merengek.
Harry diam sejenak sebelum berkata, “Baiklah. Kau boleh bekerja tapi, aku yang akan mencarikan pekerjaan untukmu. Aku punya banyak teman yang sepertinya bisa membantu.”
Taylor memeluk Harry cepat. “Terima kasih, Haz. Aku sangat mencintaimu.”
Harry balas memeluk Taylor. “Aku juga sangat mencintaimu, Babe.”
Kemudian, Harry melepas pelukannya dan bangkit berdiri. “Sekarang, beristirahatlah. Sampai bertemu saat makan malam nanti.”
“Ke mana kau akan pergi?” tanya Taylor.
“Aku tidak bisa memberitahumu sekarang, Babe. Mungkin lain kali. Tidurlah. Mimpi yang indah.”
Harry mengecup singkat dahi Taylor sebelum berjalan menuju ke lemari, mengambil sebuah kaus dari sana dan mengenakannya secepat mungkin. Harry melangkah ke luar kamar, meninggalkan Taylor sendiri.
----
a/n:
Well, sebenarnya mungkin ff yg ini sedikit yeah, dewasa. Tapi, aku gak berani nulis yg lebih detail. Bikin adegan ciuman aja aku ragu wkwk. Cuma mau eksplor aja kok.
Terima kasih yang udah baca, vote dan komentar :D
All the love. A x
Posted on : 12.08.2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top