#28 : Stay Away

Harry melangkah memasuki rumah yang di tempatinya selama ini, bersama orang-orang yang dianggapnya sahabat, dengan sangat lesu. Baru hendak mencapai tangga, sebuah suara menyadarkan Harry, menghentikan langkah putus asanya.

"Harry, kita harus bicara. Kita semua."

Harry menoleh sekilas, memicingkan mata, mendapati semua sahabatnya sudah berkumpul, menatapnya dengan sangat cemas. Bahkan, Harry dapat menangkap mata Stella dan Jessica yang berair.

Pemuda tampan itu mengabaikan tatapan cemas para sahabatnya. Harry melanjutkan langkah kakinya, menaiki tangga, mengabaikan suara yang terus memanggil namanya.

Sesampainya di kamar, Harry langsung menutup kasar pintu dan membuka lemari pakaian. Harry menarik koper yang dia letakkan di samping lemari. Koper milik Taylor.

Harry membuka koper itu dan memasukkan secara asal, semua barang-barang miliknya yang berada di sana. Saat decitan pintu terdengar, Harry mengabaikan. Sahabat-sahabatnya memasuki kamar dan benar-benar menatap Harry dengan sangat cemas.

"Man, kau tidak bisa pergi begitu saja. Bukankah ini rumahmu juga? Ayolah, jangan seperti ini!"

Liam berkata, memecah keheningan di antara mereka. Harry menghentikan kegiatannya dan menatap Liam tajam. "Rumahku? Bukan. Ini bukan rumahku."

"Harry, dengar, tentang Taylor kau tah-,"

"Cukup!"

Harry membentak Jessica dengan sangat keras, membuat seisi rumah hening seketika. Wajah Harry memerah, menahan amarah. Tubuh Jessica dan Stella bergetar, ketakutan. Belum pernah mereka menghadapi Harry yang seperti ini.

"Kalian bukan sahabatku! Berhenti bertingkah baik di hadapanku! Aku muak dengan kalian semua!" Harry berkata keras dengan nafas yang menggebu-gebu.

"Bukankah ini yang kalian inginkan? Aku kehilangan anakku dan juga gadisku! Aku kehilangan arah hidupku! Aku kehilangan segalanya! Itu yang kalian inginkan, kan?!" Harry kembali membentak, membuat yang lain menundukkan kepala.

Hening. Yang terdengar hanyalah nafas menggebu Harry. Harry memejamkan mata, berusaha meredakan emosi. Pemuda itu berbalik dan kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam koper, dengan lebih cepat.

"Harry, dengar. Dengarkan, sebentar saja."

Suara Zayn terdengar, lembut. Harry diam sejenak sebelum meneruskan kegiatannya. Zayn menoleh kepada Louis dan mengangguk. Louis ikut mengangguk.

"Stella dan aku diancam oleh Stefan untuk memberitahu segala sesuatu yang kau dan Taylor lakukan. Ya, kami berdua mata-mata kau dan Taylor. Stella diancam akan kehilangan karirnya dan...Harry...aku..." Louis memejamkan mata dan menunduk.

"Aku mencintaimu. Lebih dari sahabat dan sejujurnya...aku cemburu akan kedekatanmu dan Taylor. Aku merasa...Taylor membuatmu menjauh dariku. Aku benci itu. Aku benci caramu menatapnya. Kau tak pernah menatapku seperti kau menatapnya. Aku benci dia. Aku benci dia karena telah membuatmu jatuh cinta padanya."

Harry membuka tas ransel besarnya dan memasukkan barang-barang sisa ke dalam sana. Banyak barang milik Taylor juga yang ada di sana. Harry langsung menarik retsleting tas dan mengenakan tas. Harry menarik pula kopernya sampai menyentuh lantai.

Tanpa banyak berkata, Harry melangkah menarik koper hendak meninggalkan kamar. Namun, saat sampai di depan pintu, Harry sempat berkata, "Terima kasih atas segalanya," sebelum benar-benar pergi dari rumah yang dulu sempat menjadi surganya.

*****

"Taylor? Kau siap, Honey?"

Taylor Swift menoleh dan tersenyum tipis kepada wanita yang paling dia cintai di dunia ini. Tentu saja sang Ibu, Andrea Swift. Di samping Andrea, tampak adik Taylor, Austin Swift yang sudah membawa koper berisi perlengkapan Taylor.

Keluarga Swift baru sampai di London kemarin dan di saat bersamaan, Taylor mendapati koper yang berisikan barang-barang milik Taylor, yang Taylor bawa saat pergi bersama Harry. Harry mengembalikan barang-barang milik Taylor, tanpa menunjukan diri di hadapan Taylor.

Hari ini adalah hari terakhir Taylor berada di London. Kemarin malam, Taylor sudah berbicara dengan kedua orangtuanya, tentang keinginannya. Alhasil, kedua orangtuanya setuju.

Perjodohan Taylor dan Stefan akan ditunda. Ditunda sampai Taylor benar-benar siap membuka hati untuk Stefan dan selama itu pula, Taylor akan melanjutkan pendidikannya di New York. Taylor juga tak akan menolak dengan keberadaan Stefan nanti. Perjodohan mereka hanya ditunda, bukan dibatalkan. Jadi, orangtua Taylor berharap, Taylor mau mengenal Stefan lebih dekat,
begitupun sebaliknya.

Stefan tidak memberitahu orangtua Taylor perihal Taylor yang mengalami keguguran dan Taylor cukup berterima kasih atas hal itu. Setidaknya, tak menambah alasan untuk orangtua Taylor, lebih membenci Harry.

Kedua orangtua Taylor benar-benar membenci Harry, terlebih lagi ayah Taylor, Scott Swift. Taylor sadar, jika dia terus berada di dekat Harry, dia akan benar-benar membawa Harry dalam masalah besar. Hubungan mereka sangat bermasalah.


Taylor menatap ke luar kaca mobil yang dikendarai oleh Stefan Olsen. Dengan sangat bermurah hati, Stefan mengantarkan keluarga Swift ke bandara, untuk kembali ke Amerika. Stefan bilang, dia akan kembali ke Amerika, setelah menyelesaikan urusan bisnisnya di Inggris.

"Kau akan sangat merindukan London, kan?"

Taylor menoleh mendengar suara itu. Stefan meliriknya sekilas dan tersenyum tipis. Taylor tak mengerti. Stefan adalah tipikal pria yang pastinya digilai banyak wanita tapi, pria ini justru kekeuh mempertahankan perjodohannya dengan wanita yang sudah jelas-jelas sangat berbeda dari wanita-wanita lainnya.

"Yeah, pasti."

"Kau akan kembali ke sini...,"

Taylor menahan nafas. Kembali ke London? Mengulang kembali semua memori yang dia miliki di ibukota Inggris ini?

"...bersamaku. Memulai cerita yang berbeda." Stefan melanjutkan ucapannya dan Taylor memalingkan wajahnnya ke kaca mobil.

Tak lama kemudian, mobil yang Stefan kendarai berhenti tepat di depan Bandar Udara London Heathrow. Taylor melepaskan sabuk pengaman yang dikenakannya dengan cepat. Mata Stefan hanya terfokus pada gadis yang terlihat sangat pucat itu.

"Aku akan melihatmu minggu depan."

Taylor berhenti sejenak dan tersenyum tipis. "Okay."

"Jaga dirimu baik-baik." pesan Stefan lagi dan Taylor mengangguk sebelum ke luar dari dalam mobil. Di saat bersamaan, orangtua Taylor juga ke luar dari mobil, bersama adik Taylor dan dua orang bodyguard yang membawakan koper.

Taylor berjalan ke sisi sang Ibu dan Andrea melingkarkan lengannya di lengan sang putri.

"Terima kasih sudah mau mengantar, Stefan. Aku sangat menghargai waktumu."

Stefan yang juga sudah ke luar mobil tersenyum kepada Scott Swift dan mengangguk. "Aku senang bisa mengantar kalian. Sampai bertemu secepatnnya dan have a safe flight?"

Stefan dan Scott sempat berjabat tangan singkat, sebelum keluarga Swift memasuki bandara dan bersiap kembali ke tempat di mana mereka seharusnya berada.

New York, Amerika.

*****

"He-hei! Kau terlalu dekat mengambil gambar, Harry!"

Harry terkekeh perlahan melihat rekaman yang terdapat di ponselnya tersebut. Pemuda berambut ikal panjang itu baru saja sampai di kediaman sang Ayah, beberapa jam yang lalu. Sampai di Chesire, yang Harry lakukan hanyalah berdiam diri di kamar, melihat-lihat isi ponselnya, yang penuh dengan kenangan akan dirinya dan Taylor.

Ibu jari Harry bergerak, menggeser layar ponselnya dan video lainnya muncul. Kali ini adalah video Taylor dan Harry. Yang mengambil video tersebut adalah Taylor.

"Say something, Harry!"

"Apa?"

"Apapun! Ayolah!"

Dalam video, tampak Harry yang tertawa sebelum mendekatkan bibir merah mudanya ke dekat telinga Taylor dan berbisik lembut, "I love you, Swift."

Taylor terkekeh geli di video itu sebelum menatap Harry sambil kembali berkata, "Apa yang kau katakan tadi, Babe?"

"I'm fucking in love with you, Taylor Alison Swift!"

Video itu berakhir dengan tawa Taylor dan Harry yang cukup keras.

Senyuman tipis muncul di bibir Harry setelah menyaksikan video tersebut. Harry memejamkan mata dan meletakkan ponselnya di atas meja. Pemuda tampan itu membaringkan tubuhnya di ata ranjang, masih dengan mata terpejam.

"I'm still fucking in love with you, Taylor Alison Swift."

Kalimat itu mengalir dari mulut Harry dengan sangat lemah, seiring dengan sunyinya suasana kamar yang sudah beberapa tahun tak Harry tempati.

*****

"Aku sudah memberitahumu berulang kali, dia bukan yang terbaik untukmu. Firasat seorang Ibu selalu benar, Taylor."

Andrea mengelus lembut puncak kepala Taylor yang bersandar di pundaknya. Taylor tengah memperhatikan wallpaper ponselnya yang dikembalikan Harry sekaligus dengan semua barang-barang milik Taylor.

Taylor memejamkan mata, memutar kembali memori saat wallpaper ponselnya itu diambil. Foto itu diambil di kamar. Harry baru saja selesai mandi dan menganggu acara selfie Taylor dengan tiba-tiba datang dan ikut berpose. Taylor tersenyum tipis. Pagi yang sangat indah, jika ada Harry di sisinya.

"Aku mencintainya, Mom."

Taylor menggigit bibir bawahnya. Suara Taylor terdengar bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut. Andrea membeku, belum pernah mendengar Taylor berbicara seperti ini.

"Aku sangat mencintainya. Aku akan melakukan apapun untuk bisa bersamanya. Kenapa sangat sulit untuk aku dan dia bersama? Kenapa harus ada pembatas di antara aku dan dia?"

Andrea memejamkan mata. Dari suaranya, Taylor memang terdengar sangat tersiksa dengan kehidupan yang harus dialaminya. Sejujurnya, Andrea sama sekali tak membenci Harry. Andrea hanya...hanya belum bisa menerima pria tak jelas asal usulnya seperti Harry, masuk di kehidupan sang putri. Karena Andrea tahu, putrinya akan terluka. Seperti sekarang.

"Akan ada yang jauh lebih baik darinya, Honey. Kau akan segera melupakannya. Kau gadis baik, Taylor. Kau berhak mendapat pria yang baik juga dan pria itu bukanlah dia."

Andrea kembali mengelus puncak kepala sang putri yang mulai menangis, tak sanggup menahan lagi.

Apa Taylor bisa hidup tanpa Harry, begitupun sebaliknya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top