#24 : Never Be

“Aku tak bisa bertahan lebih lama di sini. Aku tak mengenalmu dan aku tak mau terlalu lama merepotkanmu,” Taylor berkata tegas kepada Stefan, di sela-sela sarapan mereka.

Setidaknya, sudah hampir seminggu Taylor menginap di hotel Stefan. Taylor akui, Stefan memperlakukannya dengan sangat baik dan tak ada tanda-tanda jika Stefan akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Tapi, tetap saja. Taylor tak bisa bertahan di sini, bersama orang yang tak dan tak mau ia kenal.

“Aku memberi waktu Harry untuk membuktikan jika dia jauh lebih baik daripadaku dan selama itu pula, bukankah sudah kujelaskan? Aku ingin mengenalmu lebih dekat dan kau juga harus mengenalku. Tapi, kau tetap membatasi diri denganku, seakan-akan aku adalah orang jahat.”

Stefan menjawab panjang lebar, seraya meneruskan sarapannya. Taylor menghela nafas. Memang dia tak punya siapapun di Inggris. Stefan sudah sangat berbaik hati memberinya tempat berteduh, makan dan pakaian tanpa meminta imbalan apapun. Stefan hanya ingin mengenal Taylor dan sebaliknya.

Tapi, Taylor tak bisa. Taylor tak punya sedikitpun niat untuk membuka diri dengan orang lain selain Harry.

Harry. Ya, Harry.

Tiba-tiba nama beserta wajah Harry muncul dalam pikiran Taylor. Tak dapat dipungkiri, Taylor sangat merindukan Harry. Beberapa hari yang lalu, memang Harry menemuinya. Hanya sekedar bertemu, berbicara, tanpa mampu menyentuh satu sama lain.

Taylor merindukan sentuhan Harry di tiap inci tubuhnya. Taylor merindukan dekapan hangat Harry, disertai aroma maskulin tubuhnya yang menguar begitu saja. Taylor merindukan kecupan mesra Harry di puncak kepala, kening, pipi terlebih lagi bibirnya. Padahal baru seminggu berpisah, Taylor sudah setengah mati merindukan pria itu.

Pria yang mampu membuatnya ke luar dari zona nyamannya selama ini. Pria yang benar-benar mengajarinya tentang arti pengorbanan. Pria yang membuatnya rela melakukan apapun hanya untuk bersama pria itu. Pria yang selalu membuatnya merasa nyaman. Pria yang..mungkin juga melakukan hal-hal manis itu dengan gadis lain di luar sana.

Bayangan tentang Harry yang menyentuh gadis lain benar-benar membuat Taylor naik pitam. Tanpa sadar, tangan gadis itu mengepal dan gigirnya bergemertak. Stefan yang baru selesai menelan potongan sandwich terakhirnya mengangkat satu alisnya menyadari perubahan sikap Taylor.

Taylor memejamkan mata dan menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan semua bayangan itu dan secara perlahan, dia mulai bersikap normal. Walaupun, hatinya masih kesal.

“Hari ini, kita akan pergi ke luar. Membeli beberapa pakaian untukmu dan mungkin, merapihkan penampilanmu yang sangat buruk.”

Suara Stefan menarik Taylor kembali ke dunia nyata. Gadis itu mengangkat satu alisnya kepada Stefan yang menatapnya santai. Perlahan, sebuah senyuman muncul di bibir Stefan.

“Ibumu sudah ke luar dari rumah sakit beberapa hari lalu.  Yang kudengar dari Austin, dia terlihat lebih baik dari sebelumnya. Tapi, dia tetap saja tak seaktif dulu. Dia merindukanmu.” Taylor memejamkan mata dan mengangguk perlahan.

“Aku tahu.”

Stefan menghela nafas sebelum beranjak dari kursinya. “Baiklah. Ayo, pergi sekarang.”

Stefan mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Pemuda itu tahu, pembicaraan mengenai orangtua Taylor bukanlah sesuatu yang akan membuat mood gadis itu membaik.

*****

Tempat pertama Stefan membawa Taylor adalah sebuah salon kecantikan. Tanpa meminta persetujuan Taylor, Stefan meminta sang petugas salon untuk memperbaiki penampilan Taylor. Sebenarnya, tak ada yang salah dengan Taylor.

Stefan menunggu sampai Taylor selesai di luar ruangan, seraya membaca koran yang disediakan di sana. Sekitar satu jam kemudian, pintu terbuka dan Taylor muncul bersama si tukang salon. Satu hal yang Stefan tahu saat melihat Taylor muncul adalah: Gadis itu benar-benar terlihat seperti malaikat.

Tak banyak yang berubah sebenarnya. Hanya rambut Taylor yang sudah kembali ke warna aslinya, dengan sedikit mengubah gaya menjadi lebih lurus dan berkilau. Wajah polos Taylor tadi juga sudah dipoles dengan make up yang tidak terlalu tebal, lebih menonjolkan di bagian bibir berisi Taylor, yang tampak merah menggoda saat ini.

Tatapan kagum Stefan lenyap saat matanya bertemu dengan mata Taylor. Taylor masih memberinya tatapan dingin, tak bersahabat. Tatapan yang benar-benar membunuh secara perlahan.

“Terima kasih atas bantuanmu.”

Stefan berujar sopan kepada si tukang salon sebelum meminta Taylor mengikutinya dari belakang. Sejujurnya, Stefan ingin menggandeng tangan gadis itu, memaksanya untuk berjalan berdampingan dengannya namun, Stefan tak setega itu. Stefan tahu, Taylor masih terikat dengan Harry.

“Kita akan membeli beberapa pakaian untukmu.”

Stefan memberi informasi seraya membukakan pintu mobil untuk Taylor. Taylor masuk ke dalam mobil tanpa memberikan jawaban apapun dari informasi yang Stefan berikan.

Sekali lagi, Stefan menghela nafas. Mencoba tetap sabar menghadapi gadis yang satu ini.

*****

“Kau hanya bersekolah sampai sekolah menengah. Kenapa kau tidak melanjutkan kuliah, Mr. Styles? Maksudku, kau tahu, di zaman saat ini, pendidikan sangat diperlukan untuk melamar pekerjaan?”

Harry menghela nafas mendengar ucapan staff HRD yang berada di hadapannya saat ini. Sudah sejak kemarin, Harry melakukan walk in interview di beberapa perusahaan. Namun, semuanya menolak Harry, hanya dengan alasan pendidikan. Harry tahu, dia memang belum menyelesaikan kuliahnya. Apa harus kuliah terlebih dahulu, baru mendapat pekerjaan? Harry tak mau membuat Taylor menunggu terlalu lama.

“Aku bisa mengerjakan apapun. Aku mau diperintah. Aku akan melakukan apapun. Kumohon, berikan aku pekerjaan. Apapun itu.” Harry memohon. Dia sudah merasa frustasi saat ini. Hari ini, toko kacamata ini adalah toko atau perusahaan ke lima yang Harry datangi. Total, sudah dipastikan lima belas perusahaan menolak Harry.

Si staff HRD berkacamata itu menatap Harry lekat. Sungguh, sebenarnya, dia tak akan menolak keberadaan Harry di sini. Maksudnya, Harry sangat tampan dan hampir semua karyawan di sini memiliki tampang pas-pasan. Jadi, Harry bisa menjadi pemanis di sini.

“Jikapun ada, kemungkinan kau akan menjadi seorang salesman atau penjaga toko di sini, bukan menjadi orang di dalam bagian operasional.” Staff itu melanjutkan.

Senyuman tipis muncul di bibir Harry. Harry mengangguk cepat. “Tak apa. Aku mau bekerja apapun. Aku siap bekerja dalam bidang apapun. Aku akan melakukan yang terbaik.”

Staff HRD itu tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku menghargai usahamu. Aku akan bertanya langsung kepada pemilik toko, apa aku bisa merekrutmu sebagai karyawan di sini atau tidak. Aku akan menghubungimu secepatnya.”

Senyuman Harry melebar. Harry bangkit dari duduknya dan menggenggam erat tangan si staff HRD. “Benarkah? Terima kasih. Terima kasih.” Harry membungkukkan tubuhnya penuh penghormatan.

“Sama-sama, Mr. Styles.”

Si staff HRD menjawab dengan pipi yang mulai merona akibat genggaman tangan Harry.


Harry berpamitan dan berjalan ke luar dari toko kacamata yang berada di dalam salah satu pusat perbelanjaan di London tersebut. Baru saja ke luar dari toko, mata Harry sudah menangkap sosok yang membuatnya harus bekerja keras mencari pekerjaan, bersama dengan pemuda yang sudah sangat Harry benci karena menjauhkannya dari gadisnya tersebut.

Taylor dan Stefan.

Senyuman tipis muncul di bibir Harry saat melihat Stefan yang berjalan di depan Taylor dan Taylor yang mengikuti di belakang. Mereka tidak berjalan bergandengan tangan atau berdampingan. Harry merasa sangat senang mengetahui hal tersebut.

Harry tetap berdiri di sana, memperhatikan gadisnya yang terlihat sangat cantik saat ini. Rambut pirang Taylor telah kembali. Rambut yang sangat Harry suka. Jangan lupakan bibir yang dipoles dengan lipstick yang benar-benar menantang untuk dikecup oleh bibir merah muda Harry.

Sialan. Harry benar-benar ingin menyentuh Taylor saat ini.

Tapi, tidak bisa.

Yang Harry lakukan hanya menghela nafas kecewa saat melihat Taylor dan Stefan memasuki salah satu toko yang berhadapan dengan toko kacamata ini.

Toko perhiasan.

Perhiasan. Sesuatu yang sangat sulit Harry berikan kepada Taylor. Bahkan, Harry tak yakin, apa dia mampu membeli perhiasan di toko itu untuk Taylor. Yang Harry bisa belikan hanyalah perhiasan semi-original, yang harganya jauh lebih murah dari perhiasan di toko itu.

Kali ini, Stefan menang.

*****

“Kupikir kita akan pergi untuk membeli pakaian dan toko pertama yang kau kunjungi di sini adalah toko perhiasan.” Taylor menyindir Stefan, saat keduanya melangkah memasuki toko perhiasan tersebut.

Stefan menoleh dan mengangkat satu alisnya. “Kau tidak suka perhiasan? Semua gadis suka perhiasan. Lagipula, kalungmu itu…pasti dari Harry, kan? Dia tak seharusnya memaksakan diri untuk membeli kalung itu. Kalung itu tidak asli.”

Taylor menunduk, menatap kalung pesawat kertas yang melingkar di leher jenjangnya. Kalung pemberian Harry yang masih senantiasa melingkar indah di leher Taylor. Taylor tak punya niatan sedikitpun untuk melepas kalung ini dari lehernya.

“Aku suka kalung pemberian Harry. Bukan tentang harga atau kualitas. Tapi, tentang makna dan siapa yang memberikan kalung ini.” Taylor menjelaskan dengan datar.

“Kau yakin, akan mengenakan kalung itu? Dalam waktu beberapa bulan, kalung itu akan berkarat.”

“Selamanya. Aku akan mengenakan kalung ini.” Taylor berkata tegas.

Stefan terdiam, mendapati kesungguhan dari nada bicara gadis itu. Stefan tak mau memaksa Taylor untuk melepaskan kalung itu, Stefan tak mau membuat Taylor merasa tertekan saat berada di dekatnya. Stefan akan menuruti kemauan gadis itu, apapun. Stefan akan memberikan kenyaman kepada gadis itu, sampai akhirnya dia mendapat hati gadis pirang tersebut.

“Baiklah. Kau boleh terus mengenakan kalung itu. Tapi, jangan tolak perhiasan yang kubelikan untukmu sekarang.”

Sebelum sempat Taylor menjawab, Stefan sudah pergi memilah perhiasan yang akan dia belikan untuk Taylor.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top