#22 : Father
"Bagaimana keadaannya, Dok?"
Stefan bertanya cemas kepada dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Taylor. Taylor menginap semalam dan sampai sekarang, dia belum membuka mata. Nafasnya terdengar sangat lemah dan tubuhnya berkeringat.
"Tak ada yang salah. Hanya saja, dia benar-benar butuh istirahat ekstra. Istirahat secara fisik ataupun pikiran. Jangan buat dia stress." Dokter menjelaskan.
"Tapi, dia terlihat buruk. Apa kau yakin, dia hanya butuh istirahat?" Stefan kembali bertanya, menatap lirih ke arah gadis yang masih terbaring di ranjang tersebut.
Dokter itu terkekeh dan membuat Stefan berpaling kepadanya. Stefan mengangkat satu alisnya. "Ada apa? Apa ada yang aneh? Dia benar-benar terlihat pucat dan sangat lemas dari kemarin, Dokter."
"Mr. Olsen, itu sangat wajar. Lagipula, ini akan menjadi kali pertamanya, kan? Well, semoga kau bisa menjaganya dengan baik. Aku turut bahagia untuk kalian berdua."
Stefan mengernyit. Apa-apaan dokter ini? Taylor sakit, dia bilang turut bahagia? Apa dia gila atau apa?
"Dokter, apa yang kau bicarakan? Astaga, apa yang terjadi padanya? Katakan padaku!" Stefan bertanya mendesak, tak mau mendengar basa-basi dokter laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan tersebut dengan rambut pirang klimis tersebut.
Dokter itu mengangkat satu alisnya. "Kau belum tahu?"
"Belum tahu apa?"
"Wanitamu ini tengah hamil muda. Usia kandungannya baru menginjak sekitar tiga minggu."
Stefan menganga.
*****
Temui aku di Piratte's Café sekarang. Ajak Harry.
Louis menahan nafas membaca pesan singkat yang Stefan kirimkan padanya. Pemuda itu segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana dan berjalan keluar kamar. Louis mengetuk pintu kamar Harry yang berada di samping kamarnya. Louis mengetuk berkali-kali namun, tak kunjung ada balasan.
Baru di ketukan yang nyaris ke sepuluh, pintu terbuka. Harry muncul dari balik pintu dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Kantung mata cukup tebal di bawah matanya. Bibirnya memucat, begitupun dengan kulitnya. Rambut panjangnya berantakan, kusut. Mata hijaunya seakan tak memancarkan cahaya lagi.
Dia terlihat seperti mayat hidup. Hidup segan, mati tak mau.
"Bersihkan tubuhmu. Aku menunggumu di mobil. Stefan menghubungiku, dia juga ingin bertemu denganmu."
Mendengar nama Stefan di sebut, Harry membulatkan matanya. "Kau...serius?"
Louis mengangguk mantap. "Ya. Cepatlah. Dia sudah menunggu sejak tadi."
Harry mengangguk dan segera masuk ke dalam kamar, membersihkan dan merapikan diri.
*****
Sesampainya di kafe, Louis benar-benar tak bisa menahan saat Harry yang baru memasuki kafe, berlari kencang menerjang Stefan yang sudah duduk tenang menanti kehadiran Harry dan Louis sejak tadi. Harry memukul wajah Stefan dengan sangat keras sambil mengumpat, "Keparat!"
Stefan bisa saja mendapat pukulan lagi jika dua bodyguardnya yang semula lengah, tidak menahan Harry dan bodyguard itu akan balas memukul Harry jika Louis tidak datang untuk menenangkan.
"Harry! Tenanglah!"
Stefan bangkit dari posisi jatuhnya tadi. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Pemuda itu mengusap darah segar itu sebelum menatap Harry tajam.
"Jika kau tidak bisa tenang, pergilah. Aku tak mau berbuat keributan di sini." Ancam Stefan. Harry menyerah. Pemuda berambut kecokelatan itu memejamkan mata dan mencoba mengatur pernafasannya.
Saat Harry sudah mulai menenang, Stefan mengisyaratkan agar kedua bodyguard yang mengunci Harry, mulai melepaskan Harry. Untung saja, kondisi kafe tidak terlalu ramai. Mereka memang sempat menjadi pusat perhatian, tapi hanya sekilas. Sesaat kemudian, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Kalian tunggu di mobil," Stefan memerintahkan kedua bodyguard-nya yang langsung menurut, melangkah meninggalkan Stefan, Harry dan Louis di sana.
Louis menahan lengan Harry, mengantisipasi amarah Harry yang memang tak menentu kapan akan membludaknya. "Tenang, Harry. Bukankah sudah kukatakan berkali-kali? Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah."
Stefan menghela nafas, memperbaiki pakaiannya yang berantakan akibat ulah Harry. "Silahkan duduk, Louis, Harry."
Louis dan Harry menurut. Mereka duduk berhadapan dengan Stefan yang tampak meringis kesakitan akibat pukulan Harry. Stefan belum pernah di pukul seperti ini sebelumnya. Harry adalah orang pertama yang memukulnya sekeras ini.
"Kupikir, kalian sudah tahu, apa yang akan kubicarakan dengan kalian." Stefan membuka percakapan, berusaha melupakan apa yang baru saja Harry lakukan padanya.
"Jangan banyak berbasa-basi, Bajingan! Katakan, di mana gadisku!" Harry membentak kasar.
Stefan memejamkan mata sekilas sebelum menatap Harry tajam. "Dia aman bersamaku. Aku tak akan melakukan hal yang buruk padanya. Yang jelas, aku tak yakin, dia siap bertemu denganmu, setelah dia tahu apa saja yang kau lakukan selama ini, tanpa sepengetahuannya."
Harry nyaris saja menerjang Stefan lagi jika Louis tidak segera menarik lengan Harry, memaksa pemuda itu untuk tetap duduk tenang. Menghadapi masalah dengan kepala dingin.
"Jadi, kerja sama kita selama ini hanya sandiwara supaya kau bisa mencari tahu tentang Taylor?" tanya Louis, menggertakkan giginya.
Stefan mengangguk perlahan. "Ya. Tapi, setelah berbicara banyak tentang bisnis denganmu, aku memutuskan, kerja sama kita akan tetap terjalin. Aku akan tetap menanamkan modal pada kafe-mu."
"Di mana gadisku, Keparat?!"
Pandangan Stefan teralihkan kepada Harry yang terlihat sangat marah. "Tenanglah, Mr. Twist-aku tak yakin itu nama keluarga aslimu, gadismu ada bersamaku. Taylor ada bersamaku dan aku selalu memegang kata-kataku. Dia. Aman. Bersamaku." Stefan menekankan kata-kata terakhirnya.
Tubuh Harry sudah bergetar, menahan amarah. "Kembalikan dia padaku!"
"Dia bukan barang, Harry. Dia manusia dan dia juga punya perasaan. Untuk sementara, biarkan dia menenangkan diri. Aku menjamin keselamatannya. Aku tak akan memberitahu keberadaannya kepada keluarganya. Kau bisa memegang kata-kataku."
Tubuh Harry sedikit menenang. Harry memejamkan matanya sekilas. "Apa maksudmu dengan pertemuan ini? Aku tak suka berbasa-basi."
Stefan tersenyum miring. "Hanya ingin memintamu untuk bersaing sehat denganku, Harry. Melihat apa pekerjaanmu dan semua tentangmu, aku tak bisa menjamin gadis seperti Taylor akan bisa hidup bahagia bersamamu. Tapi, aku dapat menjamin kebahagiaan untuknya."
Emosi Harry kembali meningkat. "Sialan! Kau ingin merebutnya dariku?! Dia milikku!" Louis lagi-lagi harus menahan lengan Harry supaya pemuda itu tidak menerjang Stefan lagi.
"Aku tidak ingin merebut. Bukankah sudah jelas apa yang kukatakan tadi? Aku ingin bersaing sehat denganku. Kau menghabiskan lebih dari satu tahun untuk mengenal Taylor. Jadi, setidaknya, berikan aku waktu untuk ikut mengenalnya juga. Keputusan akhir, Taylor yang menentukan. Aku tak akan memaksanya untuk memilihku."
"Gadisku bukan barang yang bisa dipindahtangankan begitu saja!"
"Taylor juga bukan gadis yang bisa kau curi begitu saja dari tempat asalnya." Stefan membalas dengan sengit. Louis hanya diam, berusaha menahan Harry. Sungguh, melihat peringai Harry, Louis yakin, Stefan bisa mati jika Louis tidak ada di sini, menahan Harry.
Stefan bangkit berdiri seraya memperbaiki posisi dasinya. "Datang dan ambil kembali gadismu, jika kau bisa membuktikan bahwa kau jauh lebih baik daripada aku. Sampai waktu itu datang, aku akan menggunakan waktu untuk mengenal Taylor lebih dekat, mengingat, yeah, kami dijodohkan oleh orangtua kami."
Nafas Harry memburu. Giginya kembali bergemertak.
"Ada rapat yang harus kuhadiri dalam satu jam lagi. Senang berbincang denganmu, Harry walaupun, kau memberiku kenang-kenangan terindah berupa pukulan di sudut bibirku."
Stefan tertawa dipaksakan, menyindir Harry sebelum melirik Louis dan tersenyum ramah. "Aku akan mengabarimu secepatnya tentang bisnis kita, Louis. Kuharap, masalahku dan Harry tidak sama sekali mempengaruhi bisnis kau dan aku." Louis tak tahu harus merespon apa.
"Ah, satu lagi. Aku tak tahu apa ini akan menjadi kabar baik atau kabar buruk untukmu, Harry," Stefan menyeringai kepada Harry yang masih menatapnya tajam, menusuk.
"Selamat. Kau akan segera menjadi ayah. Yeah, doakan saja supaya anak dan Ibu dari anakmu itu mau menganggapmu sebagai ayahnya."
Harry membeku mendengar ucapan Stefan.
----
Happy Valentine's Day!!!
Aku gak tau ini cerita mau di lanjut atau enggak krn aku mulai stuck wkwk
Maap ya, ngepost-nya gak sesering dulu. Udah mulai kerja, jadi sibuk haha :D
Thanks buat yang masih mau baca :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top