#21 : Stella's Confession
Stefan Olsen menghela nafas seraya menatap pemandangan dari balkon kamar hotelnya dengan hampa. Karena semalam, Stefan tak bisa berhenti memikirkan Taylor. Gadis itu pasti sangat terluka. Stefan takut dia nekat berbuat yang tidak-tidak. Semalam wajahnya benar-benar terlihat sangat frustasi, seakan tak ada lagi cahaya dalam hidupnya.
Pikiran Stefan buyar saat salah seorang bodyguard-nya datang, berdiri beberapa langkah di hadapan Stefan seraya menundukkan kepala.
"Maaf, Sir. Ada seorang gadis yang mencarimu. Dia ada di depan pintu kamarmu saat ini. Dia mengaku bernama Taylor Swift."
Mendengar nama Taylor disebut, Stefan langsung bangkit berdiri dari kursinya dan berjalan cepat menuju ke pintu kamar. Stefan membuka pintu dengan cepat dan benar saja, seorang Taylor Swift-lah yang berada di sana.
"Hey,"
Taylor menyapa lemah dan hendak berjalan mendekat namun, baru satu langkah, gadis itu terhuyung dan benar-benar akan menyentuh kerasnya lantai marmer hotel jika Stefan dengan refleks tidak menangkap tubuh gadis itu.
"Panggil dokter!"
Perintah Stefan kepada bodyguardnya yang tampak sama paniknya dengan dirinya. Dua bodyguard itu mengangguk dan segera pergi begitu saja sementara, Stefan mulai mengangkat tubuh Taylor, bridal style, ke dalam kamar hotelnya.
*****
Harry Styles membuka matanya secara perlahan. Hal pertama yang muncul dalam pikirannya setelah membuka mata adalah gadisnya, Taylor. Harry menoleh dan meraba sisi kirinya. Harry tak mendapati Taylor yang berbaring di sampingnya.
Dengan cepat, pemuda itu bangkit dan duduk di tepi ranjang. Tangannya menyentuh kepalanya yang sedikit pening. Harry memejamkan mata dan dengan cukup keras, memanggil nama gadisnya.
"Taylor?"
Sialnya tak terdengar balasan apapun. Harry menatap sekeliling dan tak mendapati tanda-tanda keberadaan Taylor. Harry bangkit berdiri, berjalan meraih asal pakaian dan mengenakannya.
Pemuda tampan berambut ikal melewati bahu itu berjalan ke luar kamar. Mata tajamnya masih menatap sekeliling, mencari keberadaan gadisnya.
"Taylor,"
Harry terus memanggil nama gadisnya saat menuruni tangga. Di ruang tengah, Louis yang tengah menonton televisi nampak langsung menoleh saat mendengar suara Harry. Belum sempat Louis berkata apapun, Harry sudah bertanya kepadanya.
"Kau lihat Taylor, Louis?"
Louis mengangkat satu alisnya. "Taylor? Bukankah setelah minum kopi tadi dia kembali ke kamar kalian? Sejak pagi aku duduk di sini dan aku tak melihat Taylor ke luar dari kamar lagi."
Harry tercengang. Jantungnya mulai berdebar tak karuan. Seperti orang kesetanan, pemuda itu berlari mengecek satu per satu ruangan yang ada di rumah. Louis mengikuti Harry dari belakang, mulai ikut panik.
"Taylor!"
Nama Taylor terus Harry teriakkan. Kalut. Sungguh, di mana gadisnya itu? Ke mana dia pergi? Harry mencari di sekeliling rumah dan tak mendapati Taylor di manapun.
Di toilet, dapur, kamar, atau di manapun. Tak ada Taylor. Harry juga mencoba menghubungi gadis itu dan sialnya, ponsel gadis itu tertinggal di dalam kamar. Harry panik, sangat panik.
"Harry, tenang dulu. Mungkin dia pergi ke supermarket. Tunggu sebentar, dia pasti kembali," Louis berusaha menenangkan sahabatnya yang benar-benar terlihat kalap itu.
Harry menggeleng-gelengkan kepala, menjambaki rambut panjangnya.
"ARGH!" Harry berteriak kesal seraya menendang pintu kamarnya dengan penuh amarah. Louis terdiam, tercengang. Baru kali ini, Louis melihat Harry semarah ini.
Tanpa berkata apapun, Harry berjalan cepat ke luar rumah, matanya memerah. Louis terus mengikuti Harry. Louis takut, Harry akan nekat melakukan sesuatu yang buruk.
Harry belum pernah seperti ini sebelumnya.
*****
"Mereka membenciku. Mereka tidak akan menerima kehadiranku lagi. Mereka membenciku."
Taylor menggeleng-gelengkan kepala, ketakutan saat Stefan mengatakan jika dia akan mengantar Taylor kembali pada keluarganya. Taylor terlihat sangat buruk. Dokter sudah memeriksa keadaannya dan dokter meminta Taylor untuk tidak terlalu stress. Gadis itu anemia. Kekurangan darah. Hidupnya tak begitu teratur selama bersama pemuda itu.
"Dengarkan aku. Mereka orangtuamu. Mereka masih menganggapmu anak mereka. Mereka menyayangimu. Mereka menginginkanmu kembali. Mereka masih sangat menginginkan kehadiranmu di tengah-tengah keberadaan mereka."
"Aku..aku belum siap kembali. Aku..aku belum siap pergi. Aku..aku..."
"Kalau begitu, kita akan kembali saat kau siap. Aku akan menemanimu. Kau tinggal di sini, bersamaku." Stefan berkata tegas dan Taylor menundukkan kepala pasrah.
Taylor tak tahu harus ke mana dia pergi sekarang. Dia tak punya siapapun di London, yang bisa menjadi tempat berteduhnya selain Stefan. Taylor juga tak begitu mengenal Stefan tapi,Taylor tak punya pilihan lain. Taylor tak mungkin kembali ke rumah Louis. Tidak, Taylor tak mau bertemu Harry.
Harry merahasiakan banyak hal darinya dan dari percakapan mereka tadi pagi, Taylor tahu jika cepat atau lambat, Harry pasti akan melepaskannya. Harry akan melupakan Taylor dengan cepat, mengingat banyaknya gadis yang mengantri untuk masuk ke dalam hidupnya. Gadis yang jauh lebih sempurna daripada Taylor yang hanya dapat menjadi beban untuk Harry.
Sekarang Taylor yakin. Dia memang tak pantas untuk Harry.
*****
"Harry, tenanglah. Tunggu sebentar, okay? Siapa tahu dia hanya ke luar sebentar. Dia akan kembali."
Louis berusaha menenangkan Harry. Harry duduk di sofa dengan wajah sangat tegang, memerah. Sesekali, dia menjambaki rambutnya sendiri. Keringat mengalir deras dari pelipisnya.
Dia baru saja mencari Taylor di sekitar rumah namun, tak ada Taylor di manapun. Di supermarket atau di manapun. Harry benar-benar panik. Taylor tidak biasanya pergi tanpa meminta izin padanya. Sekalipun Taylor pergi ke luar, dia tak biasa pergi sendiri. Dia selalu pergi dengan teman, entah itu Louis atau Stella dan Jessica. Tapi, sekarang, dia benar-benar pergi sendirian.
"Aku harus menemukannya, Louis. Dia tak punya siapapun di London. Bagaimana jika orang jahat menemukannya dan melakukan sesuatu yang buruk padanya?"
Louis terdiam. Suara Harry benar-benar terdengar kacau. Sangat lemah dan terdengar pasrah.
"Kita akan menemukannya. Taylor pasti kita temukan." Louis berusaha meyakinkan Harry namun, pemuda itu menggelengkan kepala. "Tidak, dia pasti pergi. Aku sudah menyadari sikap anehnya. Dia pasti sudah tahu tentang segalanya. Dia pasti kecewa padaku. Dia pasti membenciku."
"Harry, tenanglah. Dinginkan pikiranmu. Kita akan menemukannya. Dia akan kembali padamu."
Lagi, Harry menggeleng. "Dia membenciku. Dia pasti merasa jijik padaku. Aku tidak memperjuangkannya. Aku tidak memberikan kehidupan yang layak untuknya. Dia akan melupakanku. Dia membenciku."
"Harry, dengar. Kita akan menemukan Taylor. Jangan berpikiran negatif dulu, okay?"
Harry menutup wajahnya dengan tangan besarnya. Dia tak pernah sepanik ini sebelumnya, saat ditinggal oleh seorang gadis.
"Harry,"
Harry mendongakkan kepala mendengar seseorang yang memanggil namanya. Stella berdiri beberapa langkah di hadapan Harry, menggenggam erat tangan Zayn. Zayn membisikkan sesuatu pada gadisnya itu dan Stella maju satu langkah.
"Ber-berjanjilah kau...kau tidak akan marah padaku setelah aku menceritakan semuanya."
Mata Harry memicing, begitupun Louis. Bahkan, Liam dan Jessica yang baru saja bergabung dan belum mengerti apapun, hanya dapat diam, menangkap suasana mencekam yang ada di antara mereka saat ini. Zayn mempererat genggaman tangannya pada Stella. Stella memejamkan mata singkat sebelum membukanya.
"Stefan Olsen... Stefan Olsen adalah orang yang dijodohkan dengan Taylor. Dia...dia sudah mengenali Taylor sejak awal."
Harry terbelalak mendengar ucapan Stella. Pemuda itu bangkit berdiri dan berjalan mendekati Stella yang menundukkan kepala, Zayn terus berada di samping Stella, berusaha melindungi gadisnya dari Harry yang Zayn tahu akan berbuat nekat.
"Stefan... Stefan menawariku proyek besar jika aku memberitahu banyak tentang Taylor. Dia sudah mengenali Taylor sejak awal pertemuan mereka. Stefan sudah mengetahui keberadaan Taylor, sebelum kalian bertemu dan proyek kerja sama dengan Louis, semata-mata hanya untuk...memberi akses supaya dia lebih mudah bertemu dengan Taylor."
Yang terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang Zayn pikir benar akan terjadi. Seperti orang kesetanan, Harry mengumpat Stella dan hendak menerjang gadis itu jika saja Zayn tidak langsung maju melindungi Stella, sedang Liam dan Louis menahan Harry.
"Kau! Sialan! Keparat!"
Harry memberontak namun, cekalan Liam dan Louis benar-benar sudah menguncinya. Tubuh Stella bergetar, Zayn merangkul gadisnya dan mengajak Stella menjauh dari Harry yang sudah benar-benar hilang kendali.
"Harry, cukup! Tenanglah!"
Louis berusaha menenangkan Harry yang masih memberontak. Liam tak tahu harus apa dan tanpa sadar, dia melayangkan sebuah pukulan kencang di perut Harry, membuat Harry yang semula tak bisa tenang, menjadi sedikit lebih tenang, meringis kesakitan.
"Bisakah kau menghadapi masalah dengan kepala dingin?!" bentakkan Liam membuat Harry benar-benar tenang. Secara perlahan, Louis melepaskan tangannya yang menahan lengan Harry tadi dan Harry jatuh terhuyung begitu saja di lantai, berlutut.
Sangat kacau.
"Aku tak tahu masalah apa yang terjadi di antara kau dan Taylor tapi, harusnya kau sadar. Sejak awal, hubungan kalian memang salah. Seharusnya kau tahu, dia bukan tipikal gadis yang cocok untukmu. Kalian itu seperti langit dan bumi."
Perkataan Liam selanjutnya membuat Harry benar-benar terdiam. Louis menggigit bibir bawah, tak tahu harus melakukan apa. Sejujurnya, Liam ada benarnya. Tapi, Louis berpendapat lain. Entah kenapa, Louis percaya jika Taylor adalah gadis yang pantas untuk Harry.
Liam menghela nafas. "Kita akan mencari Taylor, setelah kau sudah bisa menenangkan diri. Untuk sementara, kita tunggu. Siapa tahu, kau hanya terlalu berlebihan bersikap saat dia hanya pergi ke luar."
Liam menepuk singkat bahu Harry sebelum melangkah menghampiri Jessica yang hanya diam saja di sudut ruangan, menatap Harry takut. Liam merangkul gadisnya itu dan mengajak gadis itu menuju kamar, menjauh dari Harry yang masih sangat kacau.
Louis menatap Harry lirih. "Aku tahu di mana Stefan berada. Kita akan menemuinya. Tenangkan pikiranmu. Taylor pasti baik-baik saja. Berdoa saja supaya dia dapat kembali padamu."
Akhirnya, Harry menganggukan kepala pasrah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top