#20 : Hard To Face Reality
"Jika aku tak menjemputmu, kau pasti terlambat, Harry. Kau membuang-buang waktuku,"
Audrey mengomel kepada Harry sesampainya mereka di bar. Harry mengganti pakaiannya dengan cepat, tanpa peduli tentang keberadaan Audrey. Audrey juga sudah seringkali menatap tubuh telanjang Harry dan dia tak berminat sedikitpun walaupun, tubuh Harry memang termasuk dalam kategori sempurna.
Harry mengenakan kaus tanpa lengan berwarna putih, mengingat panasnya cuaca malam ini. Setelah mengenakan kaus tanpa lengan itu, Harry segera berjalan ke luar, menuju panggung kecil. Rekan gitarisnya, Max.
"Kupikir kau terlambat malam ini," Max yang tengah mengatur senar gitarnya melirik Harry sekilas, yang tengah menyalakan mikrofonnya.
"Tes."
Harry tak merespon perkataan Max sama sekali. Dia malah sibuk mengetes mikrofonnya sebelum melirik Max dan berkata, "Aku malas berbasa-basi, Max jadi, mari kita bekerja sama malam ini."
Max tersenyum kecut sebelum mulai memainkan gitarnya dan Harry mulai mengimbangi dengan suara indahnya, menyanyikan lagu Ed Sheeran yang berjudul Give Me Love. Beberapa gadis lajang tampak mengerling kepada Harry dan sesekali, Harry balas mengerling kepada mereka.
Mobil yang dikendarai Stefan Olsen berhenti tepat di depan sebuah bar yang tampak ramai. Stefan menarik nafas dan menoleh kepada gadis yang duduk di sampingnya. Taylor tampak menunduk, menggigit bibir bawahnya.
"Kau siap?"
Pertanyaan Stefan membuat Taylor menoleh. Ada keraguan sekaligus ketakutan yang terpancar jelas dari iris biru indahnya. Stefan bisa menangkap semua itu.
Taylor menarik nafas dan menghelanya perlahan. Tangannya bergerak, memakai kembali hoodie yang menutupi rambutnya sebelum mengangguk mantap kepada Stefan.
Stefan tersenyum tipis. Keduanya ke luar dari mobil dan berjalan memasuki bar tersebut.
Sesampainya di dalam, suara kerasnya musik terdengar jelas. Taylor menahan nafas saat dia melihat sosok yang dicintainya-lah yang tengah menyanyi di panggung kecil di sana, dengan senyuman manis yang ditujukan pada gadis-gadis yang menatapnya.
Taylor mungkin akan membeku di tempatnya jika Stefan tak menarik lengan gadis itu untuk duduk tempat yang terletak cukup jauh dari panggung namun, panggung masih dapat terlihat jelas dari sana.
Mata Taylor tak dapat beralih dari Harry yang tengah bernyanyi lagu All Time Low yang berjudul Remembering Sunday. Taylor bahkan tak pernah tahu jika Harry bisa menyanyi sebagus ini. Taylor tak pernah mendengar Harry menyanyi.
Yang lebih membuat Taylor tak percaya adalah Harry benar-benar terlihat membalas godaan gadis-gadis yang tengah menggodanya. Bahkan, Taylor hanya dapat meremas ujung jaket hoodie yang dikenakannya saat sekelompok gadis naik ke atas panggung dan bernyanyi bersama Harry, menyentuh Harry dengan bebasnya. Salah satu gadis bahkan melingkarkan lengannya di pinggang Harry dan Harry balas melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu.
Mereka terus bernyanyi sambil bermesraan di atas panggung, sampai lagu selesai. Salah satu gadis itu tampak berbisik kepada Harry sebelum keduanya turun dari atas panggung.
Taylor menganga saat melihat gadis itu melingkarkan lengannya pada leher Harry sebelum menempelkan bibirnya pada bibir Harry. Harry balas melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu. Mereka berciuman. Berciuman panas. Bahkan, Taylor dapat melihat saat ciuman Harry itu menurun ke rahang gadis itu, sampai di leher. Kemudian, keduanya melangkah pergi, dengan tangan yang saling mengunci satu sama lain.
Taylor menelan saliva-nya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan memejamkan mata. Pikirannya tambah kacau. Dia menggelengkan kepala beberapa kali. Tidak, Harry tidak mungkin melakukan semua itu. Harry tidak...
"Apa kau ingin tetap di sini atau mengikuti mereka? Di samping bar ini ada hotel, itu pasti tujuan mereka."
Suara Stefan menarik Taylor dari pikiran kacaunya. Taylor menghela nafas dan kembali menggeleng. Gadis itu bangkit berdiri dan melenggang pergi begitu saja. Stefan menahan nafas dan ikut bangkit berdiri, memanggil nama gadis itu dan terus berusaha mengimbangi langkah kaki Taylor.
"Taylor,"
Stefan berusaha mencapai lengan Taylor tapi, Taylor tetap saja berjalan dengan langkah cepat. Bahkan, Stefan tak sadar jika mereka sudah ke luar dari bar dan berada di tepi jalan saat ini. Stefan tahu, gadis itu menangis. Pasti menangis. Stefan tahu tidak seharusnya dia memberitahu semua ini saat gadis itu belum siap sepenuhnya. Tapi, sungguh, Stefan tak rela jika Taylor lebih memilih pemuda bajingan itu daripada dia atau pemuda-pemuda lain yang jauh lebih baik.
"Taylor,"
Akhirnya, Stefan berhasil meraih lengan Taylor dan menghentikan langkah gadis itu. Taylor menundukkan kepala, tubuhnya bergetar. Stefan memejamkan matanya. Dia ingin memeluk gadis itu, menenangkannya tapi, dia tidak bisa. Tidak sebelum gadis itu mengizinkannya.
"Aku ingin kembali."
Stefan membulatkan matanya mendengar ucapan Taylor. Taylor masih menundukkan kepalanya.
"Kembali? Kau serius?"
"Antar aku ke rumah Louis. Beri aku waktu. Aku akan menghubungimu secepatnya." Ujar Taylor dengan suara parau. Gadis itu benar-benar menangis. Hatinya pasti sangat terluka.
Stefan mengangguk dan memberanikan diri merangkul Taylor, menuju mobilnya.
*****
Harry menghela nafas sesampainya dia di kamar. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tiga dini hari dan Harry kembali lebih awal hari ini. Entahlah. Pikirannya tak baik hari ini.
Bahkan, saat tengah melakukan hubungan dengan gadis yang Harry tak ketahui namanya tadi, Harry memanggil gadis itu dengan nama Taylor, membuat gadis itu melotot sebelum pergi meninggalkannya begitu saja, setelah meninggalkan uang sejumlah 500 pounds.
Pemuda itu melirik sekilas ke ranjang, Taylor berbaring memunggunginya di sana. Harry tersenyum tipis sebelum melangkah menuju ke kamar mandi, membasuh tubuhnya. Setelah memastikan tubuhnya sudah bersih dari bekas gadis asing tadi, barulah Harry bergabung di ranjang bersama Taylor.
Taylor tidak benar-benar tertidur. Gadis itu masih terjaga. Dia tak bisa berhenti menangis sejak tadi dan berusaha keras menyembunyikan semuanya dari Harry yang mulai melingkarkan lengan kekarnya di pinggan ramping Taylor.
"Tay, aku tahu kau belum tidur."
Suara lembut Harry terdengar di telinga Taylor. Taylor membuka mata dan menghela nafas. Dia memang tak pandai berpura-pura.
"Berbalik. Aku ingin menatapmu." Perintah Harry namun, Taylor menggeleng perlahan. "Aku...aku lelah, Harry. Aku baru ingin tidur. Mimpi yang indah."
"Taylor,"
Harry bangkit dari posisi berbaringnya dan menarik lembut pundak Taylor, memaksa gadis itu menatap ke arahnya. Mau tak mau, Taylor menurut walaupun, dia benar-benar tak mau Harry melihat kondisinya saat ini yang sangat menyedihkan.
Hati Harry mencelos. Wajah gadisnya benar-benar pucat dan matanya masih sembab. Bahkan, masih berair. Dari Harry pergi sampai Harry pulang, Taylor masih menangis. Harry menahan nafas.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Kau menangis lagi?" tanya Harry cemas.
Taylor tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "Tak terjadi apapun. Aku hanya...merindukan Ibuku. Maafkan. Aku tahu, aku cengeng."
Mata Harry memicing. Tangannya bergerak, menyentuh lembut pipi Taylor. "Taylor, kita sudah membicarakan ini baik-baik. Aku tak pernah memaksamu untuk ikut bersamaku. Jika kau ingin kembali, aku akan mengantarmu kembali."
Mata Taylor memicing. "Kau ingin...kau ingin aku meninggalkanmu?"
Harry memejamkan matanya sebelum menggeleng. "Aku..aku ingin kau bahagia, Taylor. Jika kau tidak bahagia bersamaku, pergilah. Cari kebahagiaanmu sendiri. Aku akan melepasmu."
"Kenapa kau mengatakan hal seperti itu? Kau menyesal telah menghabiskan waktumu bersamaku? Apa aku seperti beban untukmu?" tanya Taylor bertubi-tubi. Sejujurnya, sakit di hati gadis itu bertambah ketika mendengar Harry yang sangat pasrah. Harry terdengar sudah sangat siap untuk kehilangan Taylor, melepaskan hubungan ini.
Harry kembali berbaring di samping Taylor. Mata mereka saling mengunci satu sama lain.
"Sudahlah. Aku tak mau membahas hal seperti ini sekarang. Tidurlah. Ibumu pasti baik-baik saja."
Harry menarik diri lebih ke atas, sehingga dia bisa menarik kepala Taylor untuk bersandar di dada bidangnya. Tangan Harry terus mengelus punggung Taylor dengan lembut.
Sementara Taylor, masih menahan diri untuk tidak menangis.
Paginya, Taylor terbangun lebih awal dari Harry. Taylor membasuh tubuhnya dengan cepat sebelum berjalan ke luar kamar. Sesampainya di ruang tengah, Taylor disambut Louis yang tengah menonton televisi dengan secangkir kopi di atas meja.
"Hey, Tay. Selamat pagi. Bergabung bersamaku?"
Taylor tersenyum tipis dan ikut bergabung dengan Louis. Louis sempat berpamitan untuk membuatkan kopi untuk Taylor sebelum kembali bergabung. Mereka menonton acara pagi, berita pagi.
"Kau terlihat pucat, Taylor. Kau baik-baik saja?"
Taylor yang sibuk memperhatikan kopinya menoleh dan mendapati Louis yang menatapnya lekat. Taylor tersenyum tipis dan menggeleng. "Aku baik-baik saja, sungguh."
"Tapi, kau tak terlihat baik-baik saja. Kau yakin?" Louis bertanya, memastikan.
Taylor meraih cangkir kopinya dan menyesap perlahan sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja."
Akhirnya, Louis menyerah untuk menanyakan keadaan Taylor. Louis menyesap kopinya, sesekali melirik Taylor. Entah kenapa, Louis yakin ada yang salah dengan gadis itu. Dia terlihat pucat dan kacau. Apa yang telah terjadi?
"Tay, kau dan Harry..kalian baik-baik saja?" Louis bertanya ragu-ragu.
Taylor yang semula menatap fokus ke layar televisi menoleh dan tersenyum tipis. "Kami baik-baik saja, Louis. Memangnya, kau pikir apa yang terjadi?"
"Sungguh, kau membuatku cemas. Kau sangat pucat, Swift."
Taylor terkekeh. "Kau terlalu mencemaskanku. Aku baik-baik saja, kapten. Aku bersumpah."
Taylor kembali menyesap kopinya dan menatap lurus ke layar televisi. Sementara Louis masih memicingkan mata, memperhatikan gadis sahabatnya yang terlihat sangat asing hari ini.
Taylor berpamitan kepada Louis untuk kembali ke kamar setelah menghabiskan kopinya. Sekembalinya ke kamar, Taylor sudah mendapati Harry yang duduk di tepi ranjang, menundukkan kepala. Senyuman muncul di bibir Taylor. Senyuman..sedih.
Harry menyadari keberadaan Taylor. Pemuda itu mengangkat wajah dan tersenyum kepada Taylor, menggerakkan tangannya mengisyaratkan agar Taylor mendekat. Taylor mendekat. Harry menarik gadis itu duduk di pangkuannya.
"Kau bangun lebih awal hari ini," ujar Taylor saat Harry mulai mengecupi leher jenjangnya.
"Aku juga tak tahu, kenapa aku bangun lebih awal hari ini." Harry menjawab dengan bibir yang masih sibuk mengecupi tiap sudut wajah gadisnya.
Taylor memutar posisinya, menghadap Harry dengan kaki yang melingkar di pinggang Harry. Taylor melingkarkan tangannya di leher Harry, dia tersenyum parau dan Harry balas tersenyum lemah padanya.
"Kau pucat, Babe."
"Kau juga pucat," balas Taylor.
Harry terkekeh geli sebelum menggesekkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Taylor. Harry menempelkan dahinya pada dahi Taylor. "Kau selalu bisa menjawab semua ucapanku. Siapa yang mengajarimu untuk lancang padaku, Swift?"
"Kau guru semua sifat dan sikap burukku, Haz." Taylor balas menyeringai sebelum menempelkan bibirnya pada bibir Harry. Taylor menghisap bibir atas Harry sementara, Harry menghisap bibir bawahanya selama beberapa saat sebelum ciuman mereka semakin memanas.
Harry memutar posisi mereka, membanting perlahan tubuh Taylor ke atas ranjang. Tangan Taylor bergerak, meraba punggung Harry saat Harry masih sibuk melahap bibirnya. Mata Taylor terpejam. Taylor bisa merasakan bekas cakaran di punggung Harry dan Taylor tahu, itu bukan perbuatannya sama sekali. Taylor rajin menggunting kukunya.
Taylor berusaha membuang bayangan tentang Harry-nya yang disentuh dan menyentuh gadis lain selain dia. Taylor memejamkan mata, berusaha menikmati seks mereka yang paling pertama untuk minggu ini.
Atau mungkin akan menjadi yang paling terakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top