#18 : Truth
Taylor menghela nafas bosan sambil menekan tombol power pada televisi di hadapannya, membuat televisi itu mati. Lagi, dia hanya sendiri di rumah. Setelah bertengkar dengan Harry kemarin dan permintaan maaf Harry, Harry harus kembali pergi pada malamnya dan belum kembali sampai sekarang.
Bedanya, tak seperti sebelumnya yang pergi tanpa berpamitan dan mengucapkan apapun, kemarin, Harry sempat berpamitan kepada Taylor, mengecup singkat kening gadisnya dan berkata jika dia akan segera kembali. Walaupun, Taylor tak tahu 'segera' itu kapan.
Niall, Zayn dan Stella belum pulang. Jessica dan Liam kembali pergi entah ke mana sejak semalam sedangkan, Louis juga pergi tanpa berpamitan. Tinggalah Taylor sendiri di rumah ini, dengan kebosanan yang semakin hari semakin bertambah.
Taylor baru saja berniat untuk kembali ke kamar, mungkin tidur bisa membuatnya melupakan semua kebosanannya hari ini namun, bunyi ketukan pintu membuat Taylor mengurungkan niatnya. Dengan langkah berat, gadis itu melangkah untuk membukakan pintu.
Pintu terbuka dan yang muncul dari balik pintu adalah seseorang yang tak pernah Taylor bayangkan akan muncul.
Stefan Olsen.
Taylor menganga tak percaya akan kehadiran pemuda itu sedangkan, Stefan yang tadinya terlihat canggung, buru-buru menyunggingkan sebuah senyuman tipis.
"Hey, Alison."
Taylor tersadar dari ketidakpercayaannya dan segera membukakan pintu lebih lebar. "Oh, hey. Ehm, silahkan masuk, Mr. Olsen." sapaan Taylor lebih terdengar seperti pertanyaan. Dia masih bingung, harus memanggil Stefan dengan sebutan apa.
"Stefan. Panggil aku Stefan, Alison."
Stefan terkikik kecil sebelum melangkah memasuki rumah. Taylor menahan nafas dan berjalan menyusul.
"Silahkan duduk, Mr-baiklah, maksudku Stefan. Aku akan membuatkanmu minuman. Kau ingin kopi atau teh atau apa?" Taylor menawarkan, Stefan duduk dengan anggunnya di sofa tua berwarna marun yang ada di ruang tamu.
Stefan menggeleng. "Tidak, terima kasih, Alison. Aku tak akan lama. Hanya ingin mencari Louis. Apa dia ada di rumah? Ada yang ingin kubicarakan dengannya."
Taylor melipat tangan di depan dada dan menggelengkan kepala. "Aku tak tahu ke mana Louis pergi. Dia pergi sejak pagi. Tak bilang apapun padaku." Taylor menjelaskan.
Alis tebal Stefan terangkat. "Kau tinggal di sini juga, Alison? Bersama Louis? Kalian tinggal bersama?"
Taylor diam sejenak. Sial. Benar juga. Akan terdengar sangat aneh jika dia berkata dia tinggal di sini bersama Louis, Harry dan kelima orang lainnya. Yang Stefan tahu, Harry adalah seorang manajer. Yang Stefan tahu, Taylor dan Harry sudah menikah dan hidup bahagia. Sangat lucu jika Taylor berkata jujur jika dia tinggal menumpang di sini, bersama Harry.
"Ehm, tidak juga. Rumahku tak jauh dari sini. Aku hanya...ehm, kau tahu? Membantu Louis membersihkan rumahnya, mengingat dia sangat sibuk bekerja. Dia sahabat baikku." Taylor berbohong, beralasan.
Senyuman muncul di bibir Stefan. "Kau sahabat yang sangat baik, Alison dan kau pasti istri yang baik untuk Harry. Aku senang mendengarnya."
"Terima ka-,"
"Tapi, kau tidak bisa benar-benar membohongi seorang Stefan Olsen, Taylor Swift."
"-sih."
Taylor tercengang saat mendengar nama lengkapnya, mengalir ke luar dari mulut seorang Stefan Olsen. Stefan menatapnya tajam dan kali ini, senyuman manisnya tadi telah lenyap. Dia memasang wajah yang benar-benar serius.
"Ka-kau...?"
Stefan menghela nafas. "Aku tidak bodoh. Sejak awal aku bertemu denganmu, aku sudah menyadari jika kau adalah Taylor Swift, anak dari Scott Swift, pemilik salah satu perusahaan travel terbesar di dunia. Kau bisa memotong rambutmu, mewarnainya. Tapi, kau tak cukup pandai dalam menghias wajahmu, Miss. Swift. Aku mengenali wajahmu, dengan sangat baik."
Tubuh Taylor bergetar. Gadis itu melangkah mundur, satu langkah. Kepalanya menggeleng. "Kau...kau tidak akan...."
"Tidak akan memberitahu orangtuamu jika aku sudah menemukanmu di sini? Tinggal bersama orang-orang bodoh dan berandalan, di gubuk yang sangat tua ini?" Stefan mengangkat satu alisnya, tersenyum miring. Senyumannya kali ini membuat Taylor merinding. Sungguh, bagaimana senyuman malaikat tadi berubah menjadi senyuman setan seperti sekarang?
"Aku sengaja memakai alasan kerja sama kafe dengan Louis supaya bisa mendapat lebih banyak informasi tentangmu. Tapi, Louis sangat cerdas. Aku tak tahu apa yang membuatnya bungkam, mungkin Harry sudah memperingatkannya? Entahlah. Namun, aku tidak menyerah. Aku punya mata-mata lain, yang memberikan semua informasi tentangmu, Taylor."
Taylor tak bergeming. Tubuhnya masih bergetar hebat. Sial. Dia ketahuan dan Stefan sudah mempermainkannya selama ini. Kenapa Taylor tak menyadarinya sejak awal?
"Aku tak mengerti akan jalan pikiranmu. Kau lebih memilih pergi dari rumahmu, meninggalkan orangtua yang sudah membesarkanmu dan kehidupanmu yang sangat baik, hanya untuk tinggal bersama seseorang yang bekerja sebagai pekerja seks komersial di sebuah-,"
"Apa? Apa katamu tadi?" Taylor memotong ucapan Stefan dengan cepat. Pekerja seks komersial? Dia pasti bercanda.
Seringaian muncul di bibir Stefan. "Harry itu bukan manajer, Taylor. Aku tak sebodoh itu. Selain mencari tahu tentangmu, aku juga mencari tahu tentang pemuda itu. Dia bekerja di sebuah bar, menjadi seorang penyanyi tapi, pekerjaan tambahannya adalah menjadi pekerja seks komersial. Apa kau tak pernah bertanya padanya, kenapa dia selalu pulang pagi hari dan darimana dia bisa menghidupi dirinya dan kau selama ini?"
Seperti terkena hujaman jarum di hati, tubuh Taylor limbung. Gadis itu terduduk di lantai, dengan wajah kosong. Hampa. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Kau bohong, aku tak mau percaya denganmu. Kau bohong."
"Aku memberitamu sebuah kebenaran. Jika kau mau bukti, bagaimana jika nanti malam, kau ikut denganku, ke mana Harry bekerja? Aku tahu di mana dia bekerja. Tapi, yeah, kau harus siapkan mental baik-baik, mengingat kau sangat mencintainya dan kau bahkan rela meninggalkan kehidupan mewahmu untuknya."
"Kau bohong! Pergi dari sini sekarang! Pergi!"
Tiba-tiba saja, Taylor bangkit berdiri dan menatap Stefan dengan sangat tajam, tatapan hendak membunuh. Nafasnya menggebu-gebu namun, Stefan membalasnya dengan tatapan tenang.
Stefan bangkit berdiri dan menghela nafas. "Taylor, aku tidak akan memaksamu untuk menyetujui perjodohan di antara kita karena aku juga tak mau dijodohkan dengan seseorang yang belum kukenal dengan baik." Stefan menarik nafas dan melanjutkan, "Tapi, setidaknya, kau tahu, kita bisa mencoba dan aku adalah pria yang jauh lebih baik dari pria-mu itu."
"Pergi sekarang! Pergi!"
Taylor berteriak histeris, menunjuk ke arah pintu seraya berjalan mundur. Pikirannya kacau sekarang. Apa yang harus dia lakukan? Apa semua yang Stefan katakan benar? Tapi, tidak. Harry tidak mungkin seperti itu.
Stefan memejamkan mata sekilas. "Aku memberimu waktu untuk mengetahui kebenaran tentang segalanya, Taylor dan kau bisa datang kepadaku, kapanpun kau mau. Aku janji, aku tak akan memberitahu orangtuamu tentang ini."
Taylor menunduk dan air mata sudah mengalir deras dari pelupuk matanya. Stefan menatap gadis itu iba namun, di sisi lain, dia tahu, Taylor pasti akan menolak jika dia menawarkan bahunya. Stefan menghela nafas.
"Aku pergi dan...kau tahu ke mana kau harus menghubungiku, Taylor."
Dengan kalimat itu, Stefan melangkah ke luar dari rumah itu. Bukan hanya Taylor yang kacau. Anehkah jika Stefan juga merasa bersalah telah membuat gadis yang tak begitu dikenalnya itu menjadi kacau?
*****
"Kau tidak bisa terus bekerja seperti ini, Harry. Kau akan sangat menyakitinya jika dia tahu semua ini." Louis berkata dengan rokok yang masih terselip di antara bibirnya.
Harry yang duduk di hadapan Louis, dengan sepuntung rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan tengah tangan kanannya hanya menghela nafas sebelum menghisap rokok tersebut dan mengeluarkan asap dari mulutnya. Mereka berdua tengah duduk di sebuah kafe sederhana, tempat mereka biasa berkumpul.
"Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan lagi, Louis. Kau tahu sendiri, dia berasal dari keluarga berada. Dia terbiasa hidup mewah. Aku tak tega membiarkannya hidup sepertiku. Aku butuh uang untuk memanjakannya dan kau tahu sendiri, pekerjaan sebagai penyanyi bar tidak memberiku cukup banyak uang."
"Aku tak melihat Taylor yang menuntut banyak padamu. Dia sangat mencintaimu dan dia sangat polos. Dia bahkan terlihat seperti anak kecil paling bahagia tiap berada di dekatmu. Sebenarnya, dia tak benar-benar membutuhkan kemewahan yang kau maksud." Louis menghisap rokok sebelum meletakkan rokok itu di tepi asbak.
Harry terbatuk kecil dan ikut meletakakn rokoknya di tepi asbak. "Kau belum mengenalnya seperti aku mengenalnya, Louis. Dia tetap saja Taylor Swift, anak pemilik perusahaan travel terbesar di Amerika bahkan, di dunia. Dia terbiasa hidup mewah. Aku bahkan ragu akankah dia bisa bertahan lebih lama lagi di sini."
Louis memicingkan mata. "Apa maksudmu?"
Harry menatap Louis tajam. "Aku mulai bosan dengannya."
Mata Louis melebar mendengar perkataan Harry. Harry kembali meraih rokoknya dan menyelipkan rokok itu di sela-sela bibir, menghisap dan mengeluarkan asapnya, kali ini melalui hidung.
"Kau bodoh atau apa? Kau sudah membawanya kabur dari rumah dan keluarganya selama beberapa bulan, kau sudah bersamanya selama lebih dari setahun, bahkan, dia rela melakukan apapun untukmu dan sekarang, dengan santainya kau berkata jika kau sudah mulai bosan dengannya? Astaga." Louis menggeleng-gelengkan kepala.
Harry menghela nafas. "Kau tidak mengerti, Louis. Dia terlalu polos dan dia melibatkanku dalam banyak masalah. Apa kau tahu? Beberapa hari yang lalu, ada seorang pria yang nyaris memukuliku setelah menanyakan tentang Taylor. Aku yakin, pria itu adalah orang suruhan Ayahnya. Jika tidak sedang berada dalam keramaian, mungkin aku tak akan selamat. Untung saja, aku berada di keramaian dan bisa melarikan diri."
Louis menatap Harry dengan tatapan aneh. "Aku tak mengerti jalan pikiranmu. Dari semua gadis yang kau perkenalkan padaku, sejujurnya, Taylor-lah yang terbaik. Dia mengimbangimu dengan baik dan sekarang, kau berkata seperti ini. Apa orangtuamu tak pernah mengajarimu cara bersyukur atas sesuatu yang kau miliki?"
Harry terkekeh geli dan menggelengkan kepala. "Tidak, orangtuaku tidak pernah mengajariku cara bersyukur. Mereka bahkan tak tahu, apa arti syukur itu sendiri."
"Kau..bodoh. Jika sampai kau meninggalkannya, kau benar-benar bodoh, Harry. Kau akan mendapat penyesalan terburuk dalam hidupmu."
Senyuman tipis muncul di bibir Harry. "Lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya, Tomlinson. Sudahlah. Aku tak mau membicarakan semua ini."
Kemudian, keduanya sama-sama diam dengan pikiran masing-masing, di temani asap rokok di sekeliling mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top