#17 : Expose
Sejak terakhir kali mereka melakukan seks, setelah menonton film, Harry jarang sekali berada di rumah. Taylor tak mengerti, apa yang di lakukan Harry. Mereka tinggal satu atap, bahkan satu kamar tapi, Taylor perlu terjaga hingga dini hari hanya untuk bertemu dengan Harry. Itu juga hanya saling menyapa, karena Harry pasti akan langsung tertidur pulas.
Taylor tak terlibat dalam bisnis Louis dan Stefan, mengingat Harry sudah terlanjur mengancam Louis untuk tidak melibatkan Taylor dalam bisnis ini. Harry hanya mengizinkan Taylor bekerja sama dengan Louis, tidak dengan Stefan. Harry selalu bilang, dia tak suka pemuda tampan itu.
Jadi, yang Taylor lakukan sama seperti saat kali pertama dia berada di sini. Hanya berdiam diri, menunggu seseorang yang pulang terlebih dahulu dan mengajaknya berkomunikasi. Liam dan Jessica berlibur ke rumah orangtua Jessica selama beberapa minggu sedangkan, Zayn dan Stella juga sibuk dengan urusan mereka. Niall tengah berada di Irlandia, menemani orangtuanya. Di rumah, tinggal Harry, Taylor dan Louis.
Tidak, benar-benar bertiga. Louis pergi pagi-pagi sekali dan akan pulang malam nanti. Sedangkan Harry, akhir-akhir ini, Harry selalu pergi lebih awal dari biasa. Jika biasanya dia akan pergi pukul sembilan malam, akhir-akhir ini dia pergi pukul tujuh dan akan kembali pukul enam atau tujuh pagi. Taylor tak pernah mengganggu Harry saat pemuda itu beristirahat. Taylor tahu, Harry pasti sangat lelah dan benar-benar butuh istirahat.
Seperti kemarin, Harry langsung pergi saat dia bangun. Harry punya waktu tidur yang sangat aneh. Dia bisa tertidur sangat lama, lebih dari delapan jam lalu, beraktivitas seperti biasa. Dia selalu butuh waktu tidur lebih banyak daripada yang lain.
Lagi, Taylor sendirian di rumah tua yang sudah sedikit terurus tersebut. Mungkin, gadis itu akan mati kebosanan jika satu jam setelah kepergian Harry, pintu rumah tak terketuk, tanda Louis telah pulang. Louis pulang membawa sekotak pizza.
"Harry sudah pergi lagi?" tanya Louis, setelah menutup pintu di belakangnya. Taylor mengangguk. Keduanya berjalan menuju ke ruang tengah, untuk menikmati pizza mereka di sana.
"Louis, kau tahu di mana Harry bekerja? Aku ingin tahu," Taylor berujar tiba-tiba saat dia dan Louis telah berada di ruang tengah. Louis meletakkan kotak pizza di karpet sebelum duduk di hadapan pizza tersebut. Taylor ikut duduk di sisi yang lain.
"Tanyakan pada Harry sendiri, Taylor. Aku tak bisa memberitahumu." Louis menjawab cepat seraya membuka penutup pizza tersebut. Louis mengambil satu potong pizza dan memakannya dengan cepat. Namun, Taylor tidak. Taylor menatap pizza dengan malas. Nafsu makannya akhir-akhir ini berkurang drastis.
"Harry akan membunuhku jika kau tidak makan, Taylor. Makanlah." Perintah Louis, tegas.
Taylor menggeleng sebelum bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan ruang tengah begitu saja. Louis terus memanggil gadis itu tapi, Taylor mengabaikannya. Akhirnya, Louis pasrah dan membiarkan gadis itu masuk ke dalam kamar, mungkin menenangkan dirinya.
*****
Kian hari, semuanya kian memburuk. Taylor tak mengerti kenapa tapi, Harry benar-benar tak ada waktu untuknya. Bahkan, sudah tiga hari belakangan, Taylor benar-benar tak melihat batang hidung Harry. Harry tidak pulang. Tidak mengangkat panggilan atau pesan dari Taylor. Bahkan, Louis pun hanya dapat bungkam saat Taylor menanyakan tentang Harry.
Hari ini adalah hari kedua Taylor berusaha mempertahankan matanya untuk tidak tertutup. Ya, sudah hampir dua hari gadis itu menahan diri untuk tidak tertidur. Taylor ingin bertemu Harry, ingin berbicara dengan pemuda-nya itu. Berbicara apapun. Asalkan, tidak perlu seperti ini.
Taylor melangkahkan kaki ke luar kamar setelah mendengar suara deru kendaraan. Baru menuruni tangga, Taylor sudah menelan kekecewaan saat melihat Jessica dan Liam-lah yang memasuki rumah, dengan banyak kantung plastik di tangan keduanya.
"Hei, Taylor! Apa kabar?!"
Dengan ramah, Jessica berjalan cepat ke arah Taylor dan memeluk teman gadisnya itu dengan singkat, sementara Liam meletakkan kantung plastik di atas sofa begitu saja.
"Hei, Jessie. Seperti yang kau lihat," Taylor berkata parau. Jessica mengernyit sebelum mundur beberapa langkah. Gadis itu memperhatikan Taylor dari bawah ke atas.
"Kau baik-baik saja? Kau terlihat lebih kurus dan..pucat. Kau sakit?" Jessica membulatkan mata sebelum bergerak cepat meletakkan punggung tangannya pada kening Taylor. Jessica menggelengkan kepala. "Tidak panas. Kau tidak demam. Tapi, kau juga tak terlihat baik-baik saja."
Jelas saja. Taylor benar-benar terlihat seperti mayat hidup saat ini. Gadis itu tampak lebih kurus dengan mata cekung yang sangat kentara. Jangan lupakan lingkaran hitam di sekeliling matanya juga.
Taylor tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan liburanmu dan Liam di Wolverhampton?" Taylor balik bertanya, hendak mengalihkan pembicaraan namun, Jessica jauh lebih mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Kau, beristirahatlah di kamar. Aku akan menghubungi dokter. Kau terlihat tak sehat dan..hei, di mana si keriting itu?" Jessica mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah mereka benar-benar sepi.
Taylor mengedikkan bahu. "Aku tak tahu Harry di mana dan tak perlu memanggil dokter, Jessie. Aku baik-baik saja. Hanya kurang tidur." Jessica memicingkan matanya tak percaya namun, Taylor berusaha membuat gadis itu percaya.
"Aku akan kembali ke kamar dan beristirahat. Kau dan Liam juga pasti lelah, kan? Beristirahatlah. Louis ada di kafe. Stella, Zayn dan Niall belum kembali jadi...yeah. Beristirahatlah."
"Aku yang harus berkata seperti itu kepadamu, Tay. Beristirahatlah. Jangan sungkan untuk mengetuk pintu kamarku dan Liam jika terjadi sesuatu." Taylor mengangguk sebelum berbalik dan menaiki tangga menuju ke kamar.
Tadinya, Taylor pikir Harry yang pulang mengingat Harry meminjam mobil Louis saat dia pergi tiga hari lalu. Tapi, Harry belum benar-benar pulang.
*****
Keesokan harinya, baru Harry pulang. Tepat pada pukul 7 pagi dan langsung berbaring di ranjang saat Taylor langsung menginterogasinya. Harry yang berbaring di ranjang dengan mata yang terbuka menatap Taylor malas-malasan.
"Harry, jika kau ingin pergi, selama beberapa hari, setidaknya aktif-kan ponselmu! Kau membuatku kalang kabut!"
"Tay, dengar. Aku lelah dan aku sedang tak berminat untuk berdebat denganmu. Mengerti? Aku butuh istirahat." Harry menarik selimut hingga menutupi wajahnya namun, Taylor kembali menarik selimut itu dengan kasar.
"Obrolan kita belum selesai, Harry! Kau kenapa?! Sejak sampai di London, sikapmu berubah! Kau jarang bersikap manis padaku! Jangankan bersikap manis, bertemu saja sudah sangat jarang! Padahal, kita tinggal di atap bahkan, kamar yang sama!"
Harry memejamkan mata singkat sebelum membukanya. Mata hijau itu menatap Taylor tajam. "Sudah? Bisa kau diam dan biarkan aku beristirahat? Aku lelah." Suaranya terdengar sangat tenang.
Taylor menggertakkan gigi-giginya. "Kau tidak bisa seperti ini terus, Harry! Aku butuh penjelasan! Ke mana kau pergi? Apa yang kau lakukan? Semuanya! Aku ingin penjelasan mengenai semuanya! Kenapa kau tidak pernah jujur padaku di saat kau selalu memintaku untuk jujur padamu?!"
Kali ini, Harry bangkit dari posisi berbaringnya, hingga berdiri tepat di hadapan Taylor. Matanya masih menatap Taylor tajam. "Aku sudah mengatakan berulang kali padamu, percaya padaku. Aku melakukan semua ini untuk kau dan aku. Untuk kita. Jika kau pikir, bekerja sendiri untuk menanggung hidup dua orang sekaligus mudah, kau salah, Swift."
Mata Taylor berkilat. "Aku tak butuh penjelasan itu! Jadi, kau merasa terbebani oleh kehadiranku? Jika iya, katakan saja! Aku bisa mencari pekerjaan dan memenuhi hidupku sendiri!"
Harry tersenyum mengejek. "Kau yakin? Apa kau lupa, siapa kau? Kau hanyalah gadis manja, yang hidup selalu berkecukupan. Kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan, tanpa perlu bekerja keras. Tanpa perlu mengeluarkan tenaga. Cukup bilang kepada orangtuamu, dan keinginanmu terkabulkan."
Taylor tercekat mendengar perkataan Harry tersebut. Tangannya mengepal, tubuhnya bergetar hebat menahan amarah.
"Baiklah! Aku menyerah. Terserah. Yang harus kau tahu, aku memang manja tapi, aku sudah berjanji untuk mengubah sikap manjaku itu saat bersama denganmu. Aku memilihmu di banding semuanya, harta serta keluargaku. Apa semuanya tak cukup untukmu?"
"Aku tak pernah memaksamu untuk pergi denganku. Kau yang ingin, atas kemauanmu sendiri." Harry membalas sengit.
Taylor kehabisan kata-kata. Taylor tak menyangka, Harry akan membalikkan tiap perkataan yang diucapkannya. Biasanya Harry tak seperti ini. Harry selalu mengalah untuknya dan memilih untuk diam. Tapi, sekarang...Harry melawannya.
Gadis bermata biru itu memejamkan mata dan berbalik, melangkah ke luar dari kamar. Saat dia membuka mata, bulir air mata jatuh di pipi mulusnya.
Taylor terus berjalan menjauh, sampai ke luar dari rumah, mengabaikan Jessica yang menahan lengannya dan bertanya tentang apa yang terjadi. Taylor terus menangis, sesenggukkan di trotoar, tak tahu ke mana langkah kaki membawanya.
"Tay,"
Suara serak itu membuat Taylor menghentikan langkah. Bersamaan dengan itu, sebuah tangan kekar menyentuh pundak Taylor, memutar tubuh gadis itu agar berhadapan langsung dengannya. Harry.
Taylor menunduk dan terus menangis. Pertengkaran dengan Harry kali ini adalah yang terhebat. Biasanya, tak pernah seperti ini dan ucapan Harry benar-benar menyakiti perasaan Taylor.
"Aku minta maaf. Maafkan aku. Aku tak bermaksud bicara kasar padamu."
Harry merengkuh pundak Taylor dan menatap gadisnya dengan cemas. Taylor tak berkata apapun, masih menunduk menangis. Harry menarik Taylor mendekat ke arahnya. Tangan Harry bergerak, menarik dagu Taylor agar mata mereka dapat kembali bertemu.
Hati Harry teriris. Taylor menangis dan itu adalah kelemahannya. Harry memejamkan mata, menahan nafas. "Kumohon, maafkan aku. Aku menyesal telah berkata kasar padamu. Aku tidak bermaksud. Maafkan aku, Taylor." Suara Harry terdengar sangat lirih.
Taylor menggeleng dan hendak berbalik pergi namun, Harry menahan lengannya. "Taylor, maafkan aku. Aku kehilangan kendali. Aku tak bermaksud kasar. Maafkan aku. Jangan pergi, kumohon. Hanya kau satu-satunya yang kumiliki."
Harry menarik Taylor mendekat, masuk ke dalam pelukannya. Harry memejamkan mata, menghirup aroma buah yang menguar dari rambut gadisnya. "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Maafkan aku."
Taylor tak berkata apapun, selain balas memeluk Harry, menyandarkan kepalanya di bahu bidang pemuda-nya itu. Pelukan Harry selalu berhasil meredakan amarah seorang Taylor Swift.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top