#14 : Andrea's Health
Tentang bantuan yang Stefan Olsen tawarkan kepada mereka, Taylor menyerahkan semua keputusan pada Louis. Louis belum mengiyakan bantuan dari Stefan. Pemuda itu bilang, butuh waktu lama untuknya meminta bantuan orang yang baru dikenalnya tersebut. Walaupun, Stefan Olsen sudah sangat terkenal, tetap saja. Louis tak mau berhutang banyak pada orang lain. Dia ingin mandiri.
Hari ini, Louis meminta Taylor datang sore hari saja, mengingat gadis itu bekerja keras selama dua minggu belakangan, tanpa libur. Mereka berdua bekerja dari pukul sepuluh pagi hingga sepuluh malam, tanpa henti. Oleh karena itu, mengingat Taylor adalah seorang gadis, Louis meminta gadis itu beristirahat lebih lama, itu juga atas permintaan Harry.
Jam di dinding menunjukkan pukul satu siang dan Taylor sudah merasa bosan berada di rumah. Seperti biasa, Harry berbaring pulas di ranjang dan mungkin, dia akan kembali bangun pukul dua atau tiga sore nanti.
Taylor bersiap dengan cepat setelah mandi. Tubuhnya pegal-pegal, memang akibat bekerja tanpa henti tapi, Taylor lebih memilih untuk pegal-pegal seperti ini daripada harus merasa baik-baik saja karena tak melakukan apapun. Gadis itu mengenakan kaus lengan panjang merah bergaris hitam dan celana jeans panjang lalu, tak lupa dia mengikat rambut pendeknya ke belakang. Taylor mengenakan sepatu kedsnya sebelum meraih tas kecil yang dia isi dengan ponsel, charger dan dompet. Setelah memastikan dia siap berangkat ke kafe, Taylor mengecup singkat kening Harry yang masih tertidur sebelum berjalan ke luar.
Gadis itu menghentikan langkah kaki di sebuah pemberhentian bus. Taylor menunggu bus yang akan membawanya ke kafe datang. Cukup lama, sampai akhirnya, sebuah mobil mewah berhenti di hadapan Taylor. Taylor mengernyit dan mulai panik, mengira jika itu adalah mobil salah satu suruhan ayahnya.
Namun, kepanikan Taylor lenyap saat melihat siapa yang berada di bangku kemudi mobil tersebut setelah menurunkan kaca mobilnya.
"Hai, Alison. Di mana Harry?"
Taylor terdiam sejenak. Alison? Ah, ya. Harry memperkenalkan Taylor sebagai Alison kepada pengusaha muda ini. Stefan Olsen.
"Hai, Mr. Olsen. Hm, Harry sedang...bekerja?" Terdengar seperti pertanyaan yang Taylor ucapkan.
Stefan mengangguk kecil sebelum kembali berkata, "Kau tinggal di sekitar sini?" Taylor mengangguk.
"Butuh tumpangan? Kau ingin ke kafemu dan Louis, kan?" tanyanya lagi. Taylor terdiam sejenak sebelum menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku akan menunggu bus."
"Serius? Aku juga ingin berbicara dengan Louis, mengingat dia tak kunjung menghubungiku. Aku serius ingin berbisnis dengan kalian." Stefan berkata cepat. Taylor tak tahu harus menjawab apa.
"Ayolah. Tenang saja, aku memberimu tumpangan gratis."
Sepertinya, Taylor tak dapat menolak karena pemuda itu sudah terlanjur membukakan pintu mobil untuknya. Mau tak mau, Taylor segera masuk ke dalam mobil. Stefan bahkan langsung membantu Taylor mengenakan sabuk pengaman saat Taylor sudah berada di dalam mobil sebelum melajukan mobil mewahnya itu ke tempat tujuan mereka.
"Jadi, sudah berapa lama kalian bersama?"
Suasana yang semula hening tiba-tiba pecah saat Stefan menanyakan pertanyaan itu, dengan tatapan fokus pada jalan. Taylor mengernyit bingung. Bersama? Apanya yang bersama?
"Jika maksudmu, bisnis yang kujalani bersama Louis, itu baru sekitar dua minggu, tidak lebih." Taylor menjawab cepat. Yang Stefan bicarakan itu bisnis, kan? Maksudnya, memang ada lagi yang akan mereka bicarakan selain bisnis?
Stefan terkekeh. "Bukan, bukan bisnis. Tapi, kau dan Harry. Sungguh, aku tak percaya jika kalian sudah menikah. Maksudku, kalian masih terlihat muda. Sepertinya usia kita tak jauh berbeda."
Taylor mengernyit. "Oh, well, ehm..yeah, kami sudah menikah. Kami menikah muda, beberapa bulan yang lalu dan ehm...aku tak yakin kita seumuran tapi, usiaku 22 tahun dan Harry 24 tahun."
"Oh, benar, kan? Aku 25 tahun. Hanya berbeda satu tahun dari Harry dan tiga tahun darimu," Sebuah senyuman muncul di bibir pemuda tampan ini. Wow. Taylor kagum padanya. Usia 25 tahun tapi, sudah bisa menjadi seorang pengusaha terkenal? Sangat mengagumkan.
"Di mana Harry bekerja?" Tiba-tiba saja, pemuda itu kembali bertanya.
Taylor mengangkat satu alis sebelum berpikir keras. Di mana Harry bekerja? Mana Taylor tahu! Harry tak pernah membahas apapun tentang pekerjaannya kepada Taylor.
"Dia adalah seorang manager di...sebuah pabrik tekstil." Taylor menjawab cepat, mengasal.
Stefan kembali menoleh sekilas seraya mengangkat satu alisnya. "Benarkah?" tanya pemuda itu. Taylor mengangguk.
"Baiklah, aku mengerti. Tapi, dia benar-benar tak terlihat seperti manager saat pertama aku melihatnya. Dia satu-satunya manager yang memiliki rambut panjang dan pakaian robek-robek yang pernah kulihat." Stefan tertawa kecil, entah tertawa menyindir atau apa. Tapi, ada benarnya juga dengan apa yang dia katakan jadi, Taylor memilih untuk diam.
Tak lama kemudian, mobil Stefan berhenti tepat di halaman parkir kecil The Blues yang tampak sedikit ramai hari ini. Semoga saja, Louis tak kerepotan di dapur, dengan Stella dan Zayn yang membantu sebagai pelayan dan kasir.
"Kau mirip seseorang, Alison. Seseorang yang pernah-ah, bukan, aku bahkan belum pernah bertemu dengannya. Aku hanya pernah melihat fotonya saja." Taylor menoleh saat mendengar suara Stefan kembali. Stefan balas menatapnya. Mata mereka bertemu.
"Kau mirip dengan gadis yang dijodohkan denganku," Stefan kembali berujar dan saat itu pula, Taylor berhenti bernafas. Apa? Gadis yang dijodohkan? Apa jangan-jangan...
"Tapi, sebelum sempat perjodohan dimulai, gadis itu kabur. Entah ke mana. Orangtuanya membatalkan perjodohan kami." Stefan melanjutkan ucapannya dan jantung Taylor berdegup dengan sangat cepat. Jangan katakan jika...
"Dari foto yang kulihat, dia memiliki rambut pirang panjang, sedikit bergelombang. Wajahnya sangat polos, sepertinya jarang tersentuh make up. Dia sangat sederhana namun, berkelas. Pada awalnya, kupikir, kau adalah dia tapi, mana mungkin kau adalah dia." Stefan terkekeh kecil dan Taylor masih dengan jantungnya yang tak karuan, panik.
"Ah, satu lagi. Nama gadis itu Taylor Swift, bukan Alison Twist dan aku dapat pastikan, gadis itu belum menikah. Kuharap, dia segera ditemukan dalam kondisi baik-baik saja."
Taylor melemas. Apa? Jadi, Stefan adalah pemuda yang akan dijodohkan orangtuanya? Sungguh? Kenapa dunia terasa sangat sempit?
"Aku tak mau memaksa gadis itu untuk mengiyakan perjodohan kita walaupun, sejujurnya, aku tertarik dengannya." Stefan kembali berujar dan Taylor mengangkat satu alisnya.
"Err...kau bilang, kau belum pernah bertemu dengannya. Darimana kau dapat menyimpulkan jika kau tertarik dengannya?" tanya Taylor, memberanikan diri.
Stefan tersenyum tipis. "Instingku selalu tepat dan instingku mengatakan jika dia gadis yang tepat untukku. Tapi, entahlah. Kau tahu? Kau tidak bisa memaksakan perasaan seseorang. Jadi, aku juga tak bisa memaksakan perasaannya. Aku harap, cepat atau lambat, dia ditemukan dalam keadaan baik-baik saja. Jadi, aku masih memiliki secercah harapan."
"Tapi, dia kabur. Itu berarti, dia tidak ingin adanya perjodohan ini. Kenapa kau tak mencari gadis lain saja?" entah dari mana Taylor mendapat keberanian untuk menanyakan hal seperti ini.
Pemuda berambut pirang itu mengedikkan bahu. "Aku sulit jatuh cinta, Alison. Jadi, ya, begitulah. Lagipula, jika gadis itu menolak, seharusnya dia tidak kabur seperti ini. Dia bisa membicarakan baik-baik dengan kedua orangtuanya, orangtuaku dan tentu saja aku. Dia sukses membuat orangtuanya kalang kabut, apalagi Mrs. Swift, masih dirawat di rumah sakit karena ulah putrinya tersebut."
"Mo-maksudku, Mrs. Swift di rawat di rumah sakit? Kenapa?" Taylor baru kali ini mendengar berita tentang ibunya yang dirawat di rumah sakit. Sejak kapan? Semua gara-gara dia?
Stefan mengangguk. "Sudah lebih dari tiga bulan Mrs. Swift sakit-sakitan. Beberapa kali aku menjenguknya. Kondisinya melemah. Sepertinya, dia terlalu memikirkan kondisi putrinya, tanpa memikirkan kondisinya sendiri. Aku cukup kasihan dengannya."
Taylor tercengang. Astaga? Sampai sebegitu khawatirkah Andrea kepada Taylor sehingga dia sakit seperti itu? Entah kenapa, Taylor merasa bersalah sekarang. Jangan-jangan, orang yang dikirim oleh ayahnya itu datang kembali karena ingin menyampaikan tentang berita ini kepada Taylor? Tapi, Taylor belum siap kembali untuk dijodohkan dengan...Stefan Olsen.
Baiklah, Stefan memang tampan, kaya raya dan baik. Tapi, pemilik hati Taylor adalah Harry, bukan Stefan.
"Eh, kenapa kita mengobrol di sini? Kita sudah sampai. Ayo, ke luar."
Keduanya pun melangkah ke luar dari dalam mobil.
*****
Tidak seperti biasanya yang pulang selalu larut bersama Louis, kali ini, Taylor meminta izin untuk pulang lebih awal dari biasanya. Setelah mendengar perkataan Stefan tentang kondisi sang Ibu, Taylor menjadi cemas. Andrea sakit gara-gara memikirkan Taylor dan Taylor paling tak bisa melihat sang Ibu sakit. Taylor merasa bersalah atas semua ini dan gadis itu merasa perlu untuk bicara dengan Harry tentang semua ini.
Taylor sudah mengirimkan pesan kepada Harry sebelumnya jika Harry tak perlu ke kafe karena Taylor akan segera pulang. Awalnya, Harry menolak, mengingat dia tak ingin Taylor berangkat atau pulang sendiri dari kafe. Harry masih overprotective. Harry takut keadaan buruk akan terjadi pada gadisnya.
Sesampainya di rumah, Taylor langsung melangkah menuju ke kamarnya dan Harry. Taylor mendapati Harry yang tampak duduk di tepi ranjang saat gadis itu memasuki kamar. Harry menoleh dan tersenyum tipis kepadanya.
"Hey, Babe." Sapa Harry, dengan suara lemas.
Taylor mengernyit. Tak biasanya suara Harry selemas ini. Pria itu juga tampak sudah rapih, siap untuk bekerja. Harry akan berangkat tepat pukul sepuluh malam nanti dan dia selalu sudah bersiap sejak pukul delapan.
"Kau baik-baik saja?" Taylor bertanya cemas, menghampiri Harry dan duduk di sampingnya.
"Kau pergi tanpa berpamitan denganku. Kau membuatku panik." Harry mengabaikan pertanyaan Taylor dan hanya mengatakan protesnya.
Taylor menghela nafas. "Kau tertidur sangat pulas tadi dan kau tahu, aku bosan tak melakukan apapun. Jadi, aku memutuskan untuk pergi lebih awal ke kafe, dari perjanjianku sebelumnya dengan Louis. Maaf tidak berpamitan. Tapi, aku baik-baik saja."
Harry mengangguk. "Kumaafkan kali ini. Tapi, sungguh, Taylor, jangan pergi seorang diri selama kita masih berada di sini. Kau tidak aman. Tidak akan aman. Kau akan selalu membutuhkan seseorang untuk menjagamu."
"Lebih baik, kau jawab pertanyaanku yang sebelumnya, Harry. Apa kau sakit? Suaramu terdengar sangat lemas tadi?" Taylor menggerakkan tangannya, menyentuh kening Harry. Gadis itu mengernyit lagi. "Tidak panas. Tidak juga dingin."
Harry terkekeh. "Aku tidak sakit, Taylor. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit...bosan? Entahlah. Aku hanya...ehm, sepertinya sebuah ciuman akan membuatku lebih bersemangat dari sebelumnya." Seringaian muncul di bibir Harry dan Taylor membulatkan matanya. Tadi Harry terdengar dan terlihat sangat lemas dan tiba-tiba, dia berubah terlihat seperti binatang buas yang hendak mencengkram mangsanya.
"Ada yang ingin kubicarakan, sebelumnya. Ini penting." Sebelum dia dan Harry benar-benar terbawa suasana, Taylor mengingat apa yang ingin dibicarakannya dengan Harry. Tentang sang Ibu.
"Tentang apa?" tanya Harry.
"Mom. Ibuku. Dia sakit sekarang. Gara-gara terus memikirkanku." Taylor menjelaskan sesingkat mungkin.
Harry mengangkat satu alisnya. "Lalu?"
Taylor memicingkan matanya. "Lalu? Apa maksudmu dengan lalu?"
"Apa yang kau ingin lakukan tentang Ibumu itu? Jika kau ingin menjenguknya, aku tak menjamin kau bisa kembali bersamaku. Tapi, jika kau sudah bosan denganku, kau bisa menjenguknya, sekaligus kembali pada keluargamu."
Taylor tak mengerti kenapa Harry bisa mengucapkan kalimat seperti itu. Taylor menggeleng cepat. "Aku tidak ingin kembali, Harry. Apa semua yang kulakukan belum membuatmu yakin, jika aku benar-benar mencintaimu, aku ingin bersamamu, sampai kapan pun."
Raut wajah Harry berubah datar, tak ada lagi seringaian menggoda atau senyuman manis di wajah tampan itu. "Lalu, apa yang kau inginkan sekarang? Ibumu sakit dan kau merasa bersalah karena kaulah penyebab dia sakit. Dia ada di Amerika sekarang."
"Aku tahu! Aku tahu!" Taylor meninggikan nada bicaranya. Entah kenapa, ucapan Harry membuatnya naik pitam.
Harry memejamkan matanya. "Aku akan mengantarmu. Kau tidak akan kembali ke Amerika. Yang harus kita lakukan adalah, berusaha menghubungi Ibumu, mengatakan padanya jika kau baik-baik saja, dari lokasi yang jauh dari sini dan dengan nomor asing yang bukan milik kita."
"Maksudmu, sejenis telepon umum? Memangnya masih ada telepon umum di sini?"
Harry tersenyum tipis dan menggeleng. "Di sini sangat jarang. Tapi, aku tahu tempat yang ada telepon umumnya. Empat jam perjalanan dari sini."
Taylor membulatkan matanya. "Empat jam? Kau bercanda?"
"Aku serius. Besok, kita ke sana. Tapi, cocokkan juga perbedaan waktu antara London dan New York, Taylor. Kau tidak ingin menghubungi Ibumu di saat seharusnya dia beristirahat, kan?"
Senyuman merekah di bibir Taylor sebelum gadis itu melingkarkan lengannya di leher Harry, memeluk pemuda itu erat.
"Terima kasih, Harry. Terima kasih. Aku sangat mencintaimu."
Harry menghela nafas dan balas memeluk gadisnya itu. "Aku juga mencintaimu, Tay."
------
A/N:
Thanks buat siapapun yg udah baca. Oh iya, yg jadi Stefan Olsen itu pacar kesekian aku yg namanya Tom Felton wkwk, bisa check di casting atau di part kemaren juga udah aku pasang foto Tom <3
Okay thanks buat yg udah baca + vote + comment ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top