#10 : Stare

Harry menepati janjinya pada Taylor. Harry memang pergi pada malam hari namun, saat paginya Taylor membuka mata, dia sudah mendapati Harry di sisinya, tengah tertidur pulas. Tak seperti hari-hari biasa, pagi ini, rasanya Taylor sangat malas untuk beranjak dari ranjang. Taylor hanya tetap berbaring, menghadap Harry. Memperhatikan tiap inci wajah kekasihnya itu, dengan mata yang mengisyaratkan kekaguman.

Di mata Taylor, Harry sangat sempurna. Harry adalah pacar ketiga Taylor. Dua pacar Taylor sebelumnya adalah pemuda yang berada di satu sekolah atau satu kampus dengannya. Pemuda yang secara sikap, sangat jauh berbeda dengan Harry.

Yang paling Taylor sukai dari Harry adalah warna iris mata pemuda itu. Hijau, emerald. Taylor jarang melihat seseorang dengan iris hijau dan iris mata Harry adalah iris mata terindah yang pernah Taylor lihat. Selain itu, Taylor selalu menyukai tiap inci wajah Harry. Hidung mancung, mata tajam, bibir merah muda berisi dan jangan lupakan rahang Harry yang sangat tegas. Taylor sangat menyukai Harry dan tak akan sanggup berhenti mengagumi pemuda tersebut.

Harry bukan pria baik, Taylor tahu itu. Harry adalah pria yang sangat tertutup. Setelah lebih dari satu tahun menjalin hubungan, Taylor bahkan tak pernah mendengar Harry menyinggung soal keluarga. Harry tak pernah membahas latar belakang hidupnya. Dia hanya berkata jika inilah dia, dengan segala kekurangan yang dia miliki.

“Tak sopan memandangi seseorang yang sedang tertidur, Babe.”

Taylor tercekat mendengar suara tersebut. Tak lama kemudian, kelopak mata Harry terbuka, menampilkan iris hijaunya, yang terlihat sangat cerah pagi ini. Harry menyeringai kepadanya sedangkan, Taylor tersenyum ragu-ragu.

“Kupikir, kau tertidur sangat pulas. Apa tatapanku itu mengganggumu?”

Harry memejamkan mata dan menarik pinggang Taylor agar mendekat. Tanpa ragu, pemuda itu menyandarkan kepalanya di dada Taylor sambil berkata, “Kau benar-benar mengganggu tidur lelapku, Taylor. Tapi, ya, sudahlah. Aku ingin kau tetap di sini, biarkan aku tertidur di pelukanmu.”

Taylor memutar bola matanya. “Tidak, sepertinya Louis membutuhkan bantuanku di dapur. Kami akan menyiapkan sarapan untuk semua, Harry.”

“Aku tak peduli. Aku ingin kau tetap di sini.”

“Haz, ayolah. Aku ingin membantu Louis. Lagipula, kau juga yang akan memakan masakan buatan kami nanti.” Taylor berusaha melepaskan diri dari Harry namun, Harry malah mempererat pelukannya dan Taylor tahu, tak ada gunanya menolak. Taylor harus meminta maaf pada Louis nanti.

Setelah menunggu Harry kembali pulas, akhirnya Taylor berhasil melepaskan diri dari Harry. Taylor segera mandi sebelum berjalan ke luar kamar. Saat hendak melangkah menuju ke dapur, Taylor berpapasan dengan Jessica yang tampak membawa sebuah botol minuman dari arah dapur. Jessica tersenyum lebar saat melihat Taylor. Sudah beberapa hari belakang, Taylor tak melihat Jessica dan Liam.

“Hey, Taylor. Kau bangun awal lagi?”

Taylor tersenyum. “Hey, Jes. Seperti biasa dan aku baru melihatmu lagi. Ke mana kau beberapa hari belakangan? Kau dan Liam.”

“Aku menginap di rumah keluarga Liam. Orangtua Liam merayakan ulangtahun pernikahan mereka yang ke tiga puluh tahun. Sekaligus, kembali melakukan pendekatan dengan calon mertua.” Jessica mengedipkan mata kepada Taylor dan Taylor terkekeh.

“Oh, pantas saja aku tak melihatmu. Aku bertanya pada Stella dan Stella bilang dia tak tahu.”

Jessica memutar bola matanya. “Gadis itu kadang-kadang bodoh. Padahal, aku berpamitan dengannya.” Taylor kembali terkekeh.

“Ya, sudahlah, Tay. Aku  harus kembali ke kamar. Liam yang meminta minuman ini. Sampai bertemu nanti,” Jessica berpamitan sebelum melangkah menuju tangga, menaikinya dengan langkah besar. Taylor menatap Jessica sampai gadis itu menghilang masuk ke dalam kamarnya dan Liam.

Taylor kembali melangkah menuju ke dapur. Namun, pikirannya mulai bersuara. Menanyakan, kenapa Harry tak pernah memperkenalkan Taylor kepada orangtuanya, seperti Liam memperkenalkan Jessica kepada orangtuanya? Apa Harry tak mau memperkenalkan Taylor ke orangtuanya karena Harry masih belum yakin akan hubungannya dengan Taylor? Maksudnya, well, Taylor dapat melihat jelas keseriusan antara Liam dan Jessica ataupun Zayn dan Stella. Sedangkan, dia dan Harry? Entahlah.

Sesampainya di dapur, tak ada Louis di sana. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Biasanya, Taylor dan Louis memasak mulai pukul setengah delapan pagi. Mungkin Louis masih berada di kamarnya? Kelelahan? Atau mungkin, Louis sudah memasak terlebih dahulu?

Taylor memeriksa lemari es dan tak mendapati bahan makanan di sana. Dapur juga masih terlihat bersih, menandakan jika tidak ada yang menggunakan dapur sejak kemarin Taylor membersihkannya.

“Taylor,”

Suara bariton itu terdengar. Taylor menoleh dan mendapati Louis yang berada di depan pintu dapur, mengenakan jaket sport-nya sambil menenteng dua kantung penuh belanjaan. Taylor tersenyum lebar kepada Louis sebelum menghampiri pemuda tersebut.

“Louis! Kupikir, kau akan marah karena aku sedikit terlambat untuk acara memasak kita.”

Louis terkekeh seraya berjalan ke meja dapur, meletakkan kantung belanjaannya di atas meja. Kali ini, Louis berbelanja lebih banyak dan sebagian besar adalah bahan masakan. “Kupikir, kau yang akan marah karena aku berbelanja terlalu lama. Maaf, banyak bahan masakan yang harus kubeli, untuk seminggu ke depan. Makanya, aku sedikit terlambat.”

Pemuda tampan itu menarik kursi dan duduk, mengeluarkan satu per satu isi dari kantung belanjaannya. Taylor ikut menarik kursi dan membantu Louis mengeluarkan isi belanjaannya.

“Aku juga punya kabar baik untuk kau dan aku, Taylor.” Ujar Louis tiba-tiba.

Taylor mengangkat satu alisnya. “Oh, ya? Kabar baik seperti apa?”

“Bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk bekerja sama mendirikan sebuah rumah makan sederhana? Bisa dikatakan restoran tapi, aku tak yakin akan layak disebut restoran atau tidak. Untuk sementara, sebut saja itu rumah makan.” Louis menahan nafas sebelum kembali berkata, “Aku sudah menanyakan tentang sebuah kios yang terletak di tepi jalan. Biaya sewanya tidak terlalu berat dan lokasinya cukup strategis, walaupun tempatnya tak begitu luas. Tapi, kita bisa mencoba membuka usaha di sana.”

Mata Taylor berbinar. “Woah, benarkah? Jadi, kau serius dengan bisnis kita?”

Louis terkekeh. “Aku tak pernah bercanda. Dari dulu aku selalu ingin membuka rumah makan. Aku hanya mencari partner. Semua teman-temanku tak ada yang cocok berbisnis denganku. Kau satu-satunya yang cocok.”

“Tapi, kita tak bisa berbisnis sesuatu yang sudah umum, Louis. Kita harus membuat sesuatu yang baru, yang tidak orang lain pernah buat.”

“Untuk itulah aku membeli banyak bahan masakan. Kita akan mencoba membuat makanan yang tak pernah orang lain buat. Inovasi atau kreasi baru, ala Louis dan Taylor.” Louis menyeringai dan Taylor balas menyeringai kepada pemuda tersebut. Keduanya mulai bekerja, mencoba membuat sesuatu yang mungkin tak pernah dibuat orang lain sebelumnya.

Harry menggeliat dan benar-benar mencoba membuka matanya saat menyadari, Taylor tak lagi ada di sampingnya. Harry menghela nafas sebelum bangkit dari ranjang. Harry meraih asal kaus yang ada di dalam lemari dan segera beranjak ke luar dari kamar, menuruni tangga.

Harry tahu jelas di mana Taylor berada sekarang. Dapur. Langkah Harry menuntunnya ke arah dapur. Beberapa langkah menuju dapur, Harry sudah mendengar gelak tawa yang tak lain dan tak bukan adalah milik Taylor dan Louis. Harry menghela nafas.

Langkah Harry terhenti tepat di depan pintu. Taylor dan Louis tampak sangat berantakan, dengan tepung di sekujur pakaian dan kulit mereka. Saat Harry tiba, tak ada yang menyadari keberadaannya. Harry tak tahu apa yang mereka berdua lakukan. Mereka berdua aneh. Awalnya, terlihat hawa permusuhan di antara keduanya, sekarang mereka terlihat sangat dekat.

Mata hijau Harry hanya memicing, menatap Taylor dan Louis yang melempar tepung ke satu sama lain. Kemudian, Louis berjalan mundur, mencoba menghindari Taylor dan Taylor melangkah ke arahnya, dengan tangan yang menggenggam tepung. Taylor hendak melemparkan tepung itu namun, secara mengejutkan, akibat lantai yang dipenuhi tepung, Taylor nyaris saja jatuh terpeleset jika Louis secara refleks tidak menahan pinggang dan tangan gadis itu. Mata mereka bertemu. Biru dan biru.

“Ehem,”

Taylor dan Louis menoleh mendengar dehaman tersebut. Harry menatap mereka tajam. Taylor segera melepaskan diri dari Louis dan berjalan menghampiri Harry, manggil nama Harry dengan nada ceria sementara, Louis sibuk menepuk tepung yang ada di pakaiannya.

“Kau bangun pagi? Wow!”

Harry menghela nafas lagi sebelum tersenyum dan menarik pinggang Taylor supaya gadis itu mendekat. “Aku mencarimu, Taylor. Bukankah sudah kukatakan berulang kali untuk tidak pergi ke manapun dari kamar, kecuali jika kau sudah meminta izin dariku?”

“Aku hanya memasak, Harry. Ah, ya! Louis dan aku akan membuka bisnis bersama! Rumah makan! Bagaimana menurutmu?” Taylor bertanya antusias. Gadis itu terlihat sangat ceria dan Harry benar-benar tak mau merusak mood baik Taylor hari ini. Harry sempat melirik sekilas Louis yang juga tengah menatap ke arah mereka.

“Ide bagus.”

Hanya itu komentar singkat yang mengalir ke luar dari mulut Harry sebelum pemuda itu mencium gadisnya, tanpa memperdulikan siapapun yang melihat mereka saat ini.

*****

“Taylor… Taylor….”

Scott memejamkan mata mendengar igauan istrinya tersebut. Scott menemani Andrea yang masih berada di rumah sakit. Keadaan Andrea tak kunjung membaik. Andrea memang sudah meminta Scott untuk membiarkan Taylor pergi, bersama pilihannya tapi, tetap saja. Dia sendiri belum rela ditinggal anak gadisnya itu.

Andrea dan Taylor sangat dekat. Andrea yang selalu berada di dekat Taylor, menjadi tempat bagi Taylor mencurahkan segala keluh kesahnya. Tapi, itu dulu, sebelum Taylor mulai mengenal Harry dan menceritakan semua tentang pria itu kepada Andrea.

Naluri Ibu Andrea tergerak saat mendengar cerita Taylor tentang Harry. Untuk pertama kali, sejak Taylor berani menceritakan masalah percintaannya kepada Andrea, Andrea menentang keras hubungan Taylor dan Harry. Menurut Andrea, Harry itu pria yang sangat buruk, tak cocok untuk Taylor. Andrea selalu ingin yang terbaik untuk Taylor dan Harry bukanlah yang terbaik.

Semenjak itu, hubungan Taylor dan Andrea memburuk. Taylor tak pernah bercerita apapun kepada Andrea, apapun. Jarak antara mereka kian menjauh. Andrea merasa kehilangan putrinya dan Taylor tak kunjung memberikan tanda-tanda jika dia menyesal dan sebagainya.

“Taylor… Jangan pergi….,”

Scott tak tahan lagi mendengar semuanya. Andrea tipikal wanita yang sangat pemikir. Segala sesuatu, pasti akan terus bertahan di kepalanya sampai semua selesai dan itulah yang membuat Andrea seringkali jatuh sakit. Scott benci melihat istrinya seperti ini.

Tangan Scott merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dari dalamnya. Jari Scott bergerak di atas layar ponsel sebelum mendekatkan ponsel itu ke telinga. Dengan gigi yang sedikit bergemertak, Scott berkata tegas.

“Cari Taylor. Dengan cara apapun, bawa dia pulang.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top