Amira 9
Amira masih asik berenang bersama Emir di kolam anak. Sudah satu jam lamanya, gadis kecil itu tidak mau naik untuk makan. Ia terus saja meminta Emir untuk menggendongnya di dalam air, atau sesekali menuntunnya. Begitu senang, begitu gembira, dan seringai giginya terus saja mengembang, tatkala menikmati moment berenang bersama Emir.
Aminarsih memandang keduanya dari kursi santai terbuat dari rotan, dengan payung sebagai pelindung kepalanya. Ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi kebaikan Emir. Sesuatu yang sangat di luar logika menurutnya. Jika sebelumnya, ia ditemani dan ditolomg oleh dua ekor tikus, segerombolan kecoa, pasukan semut, serta buah apel ajaib. Maka, hari ini, Emir adalah sosok yang menggantikan mereka.
Lelaki itu menghibur dirinya dan juga anaknya, mengeluarkan banyak uang untuknya dan juga anaknya. Memberi kebahagiaan yang tak pernah sekalipun ia rasakan. Ami mengusap air matanya, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata bahagia. Ada seorang laki-laki yang menganggapnya sebagai adik, padahal sebelum memiliki Amira, dirinya benar-benar sebatang kara. Ia seorang istri tanpa suami, seorang anak tanpa kedua orang tua.
"Melamunkan apa?"
"Eh, Amira mana Mas?" Ami mencari keberadaan anaknya.
"Itu, lagi dorong kue." Emir menunjuk Amira bersama seorang pelayan perempuan tengah mendorong meja kecil yang memiliki roda dan di atasnya ada sebuah kue ulang tahun, berbentuk sepatu seoranh wanita yang sedang menggendong anaknya. Persis dirinya dengan Amira.
"Silahkan dinikmati kuenya, Tuan dan Nyonya," ujar pelayan itu dengan ramahnya.
"Ayo matan tue uang taun, Papa." ajak Amira dengam mengayun lengan Emir.
"Biar Ibu yang potong."
"Lho, kok saya Mas, saya gak ulang tahun kok."
"Benar? Coba sekarang tanggal berapa?"
"1 Desember 2019."
"Waktu kita dalam perjalanan ke bandara, saya tanya kamu bawa KTP apa enggak, kamu jawab nggak punya KTP. Trus, saya tanya tanggal lahir kamu katanya 1 Desember. Berarti hari ini, slamat ulang tahun, slamat ulang tahun, bahagia sejahtera, slamat ulang tahun.". Emir bernyanyi sambil bertepuk tangan bersama Amira. Lagi-lagi dirinya menangis, kali ini sesegukan. Tidak ada siapapun yang pernah memberikan kue ulang tahun padanya. Dia ingat, pernah memotong kue ulang tahun sebelum orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sudah lama sekali.
"Aminarsih, kenapa nangis?"
"Terima hiks ... Kasih, Tuan hiks ... Saya sangat senang." terbata Ami mengucapkan kata terima kasih, sambil mengusap air matanya.
"Ibu, jan nanis. Ayo topong tuenya!" (Ibu jangan nangis. Ayo potong kuenya)
"Po-to-ng, po-tong. Bukan, topong. Kebalik, Sayang. Ha ha ha ...." ketiganya tertawa gembira. Emir memberikan pisau kue kepada Ami, memintanya memotong kue itu dengan hati-hati.
"Eh, tunggu!" Emir berlari masuk ke dalam kamarnya, karena terlalu bersemangat, Emir tidak menyadari kaitan handuknya yang perlahan terlepas. Handuk itu melorot di depan mata Amira dan juga Aminarsih.
"Eh, maaf Mbak." Emir salah tingkah sendiri. Bisa-bisanya handuk melorot, mana velana renangnya sudah ia buka tadi. Jadi tak ada kain pelindung apa-apa di balik handuknya. Ami tentu saja membuang pandangan. Hatinya pun berdebar. Mati-matian ia menahan tawa karena kelakuan Emir.
"Mewowot handut Papa Emil. Ha ha ha ...." Amira menertawakan Emir. Lekas lelaki itu masuk ke dalam kamar, mengambil celana pendek dari dalam tasnya, lalu memakainya dari balik pintu kamar mandi. Kemudian ia kembali ke tujuan awal, yaitu mengambil kamera dari dalam tas. Setelahnya, Emir berlari kembali pada Amira dan Ami yang sudah menunggunya.
"Ayo, foto dulu!"
Emir menggendong Amira, berdiri begitu dekat dengan Ami. Dengan tangan kanan, ia mengangkat kamera, mengarahkan pada dirinya, Amira, dan juga Ami.
"Satu, dua, ciiis."
Ceklek
Satu pose.
Ceklek
Dua pose
Ceklek
Tiga pose
Emir menoleh pada Ami.
"Kamu ga bisa ketawa?" tanya Emir pada Ami, karena hasil fotonya, Ami datar, tanpa senyum atau pun seringai.
"Nggak."
"Pantes."
"Sekali lagi. Senyum yang lebar, ya," pinta Emir kembali mengangkat kameranya.
"Satu, dua, ciiis!"
Ceklek
Aminarsih tersenyum, membuat Emir pun ikut tersenyum. Aminarsih cantik, bisiknya dalam hati.
"Ayo, topong tuenya!" desak Amira yang sudah tak tahan. Aminarsih mengangguk, lalu dengan perlahan memmotong kue cantik itu sedikit. Menaruhnya di piring kecil, lalu memberikannya pada Amira.
"Macih, Ibu."
Aminarsih memotong kue itu kembali, lalu memberikannya pada Emir. Ketiganya pun makan kue di tepi kolam renang, ditemani pemandangan hutan tropis nan eksostis. Karena kue itu berukuran cukup besar, maka tak mungkin dihabiskan oleh mereka. Ami memutuskan memberi setengah potongan kue pada pelayan.
"Kita keliling resort yuk!" ajak Emir.
"Mmm ... Mas ga cape?"
"Nggak, semenjak ketemu kalian berdua. Wanita unik nan ajaib. He he he ...." Emir tertawa, sedangkan Ami tersenyum tipis.
"Ajak Amira ganti baju, tapi dibilas dulu biar tidak masuk angin. Setelah itu baru kita jalan-jalan.
"Iya, Mas." Ami mengangguk, lalu menggiring Amira untuk masuk ke dalam kamar mandi.
Kini mereka sudah berada di jalanan persawahan. Asri dan begitu hijau. Emir membonceng Amira duduk di depan, mengayuh sepeda yang fasilitasi pihak resort untuk berkeliling di area resort. Aminarsih pun ikut mengayuh sepeda dengan pelan. Pemandangan yang bagus, suasana yang asri, sejuk, jauh dari polusi udara. Aminarsih betul-betul menikmati jalan-jalan gratis dari Emir.
Sampai malam menjelang, akhirnya Amira tertidur di ranjang besar dengan nyamannya. Lelah main, berenang, naik sepeda, berenang lagi, mbuat Amira sangat kelelahan. Sedangkan Ami, nampak khawatir karena Emir muntah-muntah di dalam kamar mandi.
"Mas, kenapa?" tanya Ami dengan raut khawatir. Wajah Emir memucat, lelaki itu berjalan ke arah kasur, lalu merebahkan diri di sana.
"Bisa ngerok ga? Tolong kerokin, Mi. Saya masuk anging nih, kayaknya. Uueekk ...."
"Ah, iya. Bisa, Tuan."
"Kok, Tuan lagi?"
"Eh, maaf Mas." Ami turun dari ranjang, lalu berjalan mengambil seuatu dari dalam tasnya. Minyak telon Amira dan juga uang koin untuk mengerok.
Jantung Ami berdegub kencang saat punggung polos kekar Emir di depan matanya. Dengan menahan canggung, Ami mulai mengerok lelaki itu.
"Aduh, enak banget dikerok. Pinter kamu, Mi."
Lima belas menit berlalu, Emir pun ikut terlelap bersama Amira. Sedangkan Ami, memilih mencuci tangan, lalu berjalan ke arah kursi kayu yang dialasi busa cukup tebal. Ami memilih tidur di sana. Tidak mungkin ia tidur seranjang dengan lelaki yang bukan suaminya.
Sebuah pemandangan sangat mengagumkan. Emir memeluk Amira dalam tidurnya. Hingga gadis kecil itu meringkuk, menyembunyikan kepalanya di dada Emir.
****
Sweet banget Papa Emir❤
Sudah tersedia versi ebook di google play store ya, Kakak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top