Amira 5

Ami bergegas membuka pintu untuk tamunya dengan sejuta tanya di kepala.

"Tuan, ada apa?" 

"Maaf, Mbak Ami. Benar mas ini saudaranya Mbak Ami?" tanya Pak Jum yang ikut bersama Emir saat ini.

"Iya, Pak. Saya sepupunya, ya kan Mi?" sela Emir.

"I-iya, Pak. Sepupu jauh saya, namanya Emir," ujar Ami terbata.

"Gak boleh ngobrol lama ya, sudah malam. Pagar depan lima belas menit lagi saya kunci. Jadi hanya lima belas menit saja bicaranya," ujar Pak Jum kemudian berlalu dari depan kontrakan Ami.

"Aduh, Tuan. Ada apa malam-malam begini?" tanya Ami merasa tak enak.

"Saya tidak dipersilakan duduk?"

"Eh, iya. M-maaf, Tuan, karena kaget saya jadi lupa. Mari masuk, Tuan." Ami mempersilakan Emir masuk ke dalam kontrakannya. Lelaki yang memakai hoodie hitam itu melangkahkan kaki masuk ke dalam, kemudian langsung menyaksikan Amira yang tengah terlelap dengan peluh bercucuran.

"Maaf, begini tempatnya, Tuan," ujar Ami sungkan.

"Hanya ini ruangannya?" tanya Emir sambil menyisir kamar kontrakan yang lebih mirip kamar kos sederhana ini.

"Iya, Tuan."

"Kamar mandinya di mana?"

"Di luar, Tuan. Kamar mandi bersama," jawab Ami sambil menunjuk arah kanan kontrakannya.

"Tuan mau saya buatkan teh?"

"Boleh."

Ami mengangguk, lalu berjalan ke meja kecil dari kayu. Mengambil gelas, teh, dan juga gula. Dengan sangat cekatan, Ami membuatkan teh untuk Emir. Lelaki itu tak berkedip memperhatikan Ami. Lebih tepatnya ia iba dengan keadaan Ami yang sangat sederhana. Emir mendekat pada Amira, entah apa yang membuat matanya kini berkaca-kaca. "Hei, anak Papa Emir. Pulas sekali tidurnya," bisik Emir sambil menyingkirkan rambut kriting Amira yang menutupi keningnya. 

Dengan hati berdesir haru, Ami berjalan menghampiri Emir, lalu menaruh teh manis di dekatnya.

"Hanya ada ini, gak papa'kan, Tuan?"

Emir menoleh, lalu tersenyum.

"Gak papa, Mbak Ami. Terimakasih," ucap Emir tulus, lalu kembali menatap mata terpejam Amira. 

"Biar saya," potong Emir sambil mengambil kipas sate yang ada di tangan Ami. Lelaki itu kini mengipas Amira yang mulai basah oleh keringat.

"Itu, peyeknya buat dijual?" tanya Emir saat melihat bertoples-toples peyek kacang dan udang rebon yang telah selesai digoreng.

"Iya, Tuan. Saya menitipkannya di warung-warung dekat rumah."

"Hanya ini saja pekerjaan yang bisa saya lakukan, agar saya bisa tetap di dekat Amira. Lagi pula, saya tidak punya kelebihan lain," terang Ami masih tak berani melihat ke arah Emir.

"Biar sedikit asal berkah ya, Mbak."

"Iya, Tuan. Betul."

"Kenapa tiba-tiba pergi dari rumah sakit? Padahal saya sudah minta sepupu saya untuk membantu Mbak Ami," tanya Emir sambil menoleh kepada Ami, sedangkan Ami yang tidak pernah ditatap seperti ini oleh lelaki, menjadi sedikit aneh.

"Tidak apa-apa, Tuan." Ami tak berniat menceritakan masa lalunya yang amat kejam.

"Mmm ... Sudah berapa lama tinggal di sini?"

"Dua tahun lebih dua bulan."

"Kenapa kita baru bertemu ya? Padahal saya juga memang tinggal di sini sedari kecil."

"Mmm ... Maaf, Tuan. Bukannya saya mengusir, tapi itu Pak Jum sudah di depan," tunjuk Ami pada sosok lelaki paruh baya yang kini berdiri di depan rumah Ami.

"Oh, iya. Saya minum dulu tehnya ya." Emir meneguk habis teh manis sedang buatan Ami.

"Berapa nomor ponsel kamu?"

"0818XXXXXXX." 

"Oke, nanti saya berkunjung lagi. Salam buat si cantik ini. Saya gemas sekali lihat anak-anak, Mbak," ujar Emir sambil menyeringai.

"Saya boleh cium Amira?"

"Oh, boleh, Tuan." Ami mengangguk pasti. Tidak mungkin ia melarang lelaki yang pernah menjadi malaikat penolongnya, untuk tidak mencium Amira.

Cup

Emir mencium lembut kening Amira.

"Papa," gumam Amira dalam tidurnya.

"Papa di sini Amira. Besok kita bertemu lagi ya," bisik Emir dengan suara bergetar. Ami yang menyaksikan hal itu ikut meneteskan air mata.

"Semoga Tuan segera diberikan keturunan yang sholih-sholiha ya, Tuan," ujar Ami yang kini sudah ikut berdiri bersama Emir.

"Aamiin. Saya pamit ya." 

"Bawa ini, Tuan." Ami berjalan ke arah toples peyek yang hampir penuh, lalu memberikannya pada Emir.

"Buat Tuan, enak dimakan dengan nasi goreng, atau pun buat camilan," ujar Ami sambil tersenyum.

"Terimakasih, Mbak Ami."

Ami menutup pintu, lalu menguncinya, setelah punggung Emir dan Pak Jum menghilang dari balik tembok. Gelas bekas minum Emir ia pinggirkan, lalu ia melanjutkan kegiatan memasukkan peyek ke dalam wadah plastik, hingga pukul dua belas malam.

Setelah rapi, ia pun bersih-bersih lalu memadamkan lampu dan ikut rebahan di kasur tipis yang berukuran 100cm bersama Amira. Saat akan memejamkan mata, tangannya meraba sesuatu di balik tubuh Amira.

"Apa ini?" matanya melotot kaget, melihat berlembar-lembar uang merah. "Ini pasti uang Tuan Emir. Banyak sekali." Ami menghitung ada sepuluh lembar uang merah yang ada di tangannya.

Beep
Beep

0812XXXXXXXX

[Saya Emir, Mbak. Uang yang saya taruh di dekat Amira, tolong belikan semua keperluan Mbak dan Amira, ya.] 

Dengan gemetar Ami mengetik balasan.

[Terimakasih banyak, Tuan. Namun, ini kebanyakan]

[Gak papa. Ambil semuanya buat Amira dan Mbak Ami]

[Semoga Allah membalas semua kebaikan Tuan Emir. Terimakasih banyak, Tuan.]

[Terimakasih juga, peyeknya enak]

Ami tersenyum, lalu mematikan ponselnya karena akan dicharger. 

Cup

"Kehadiranmu memang membawa berkah bagi kehidupan Ibu. Terimakasih, Sayang," bisiknya pada Amira sebelum benar-benar terlelap.

Emir membelokkan mobilnya, masuk ke area parkir hotel. Ya, malam ini yang harusnya malam panjang baginya dan juga Farah, harus berakhir seperti ini. Biarlah malam ini ia tidur di hotel saja. Langkahnya lebar memasuki lobi hotel sambil memeluk toples peyek dari Ami.

Farah di rumah menjadi tak tenang. Ponsel suaminya tidak bisa dihubungi, ia cemas Emir kenapa-napa. Dengan hati gelisah, ia memasukkan pakaian dan pernak-pernik yang akan ia bawa selama dua bulan tinggal di Malaysia, ke dalam koper super besar. Setelah selesai, ia masih mencoba menghubungi suaminya, namun tetap tak tersambung. Hingga akhirnya Farah tertidur.

****
Emir kembali ke rumah pada pukul sepuluh pagi. Ia berharap, istrinya membatalkan keberangkatan, meskipun mustahil. Rumah sepi, mobil BMW baru milik istrinya masih terparkir di sana. Emir masuk ke dalam rumah, sudah ada bibik yang membantu beres-beres rumah yang membukakan pintu untuknya.

"Istri saya berangkat jam berapa, Bik?"

"Jam enam, Tuan."

"Oke, tolong simpan ini ya." Emir memberikan toples peyek pada bibik.

Ia melangkah masuk ke dalam kamarnya yang masih berantakan. Bibik belum membersihkannya karena memang kamar ini terkunci. Langkah kakinya lemas berjalan ke arah tempat tidur, merebahkan tubuhnya di sana.

"Apa ini?" tangan Emir meraba sesuatu yang terselip di balik selimutnya.

"Astaghfirulloh, obat apa ini?" 

****
~Bersambung~


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top