26/04/2020: tulisan

Tantangan:
Membuat cerpen dari prompts yang tersedia di Instagram Forwistree

Ketika kamu menulis cerita, kamu menulis kata 'rambut'. Mendadak seluruh helai rambutmu hilang tak bersisa.

.
.
.

Tulisan

Aku hanyalah beban di keluargaku.

Baik, baik, aku akan menceritakan malapetaka ini dari awal. Awalnya, hanya ada Ayah dan Ibu. Mereka memutuskan untuk menikah demi menyatukan warisan keluarga yang mereka agung-agungkan itu. Ya, hanya untuk formalitas. Tidak lebih, apalagi karena cinta.

Mereka dikaruniai empat anak. Sejak masih di kandungan, mereka telah merangkai menjadi apa kelak anak itu tumbuh. Mereka mendidik keturunannya hanya untuk mengembangkan usaha. Tidak ada embel-embel kasih sayang ataupun manja canda seperti anak-anak lain.

Jadilah keempat anak itu, satu perempuan dan tiga laki-laki, hidup sesuai perintah orang tuanya. Jalan mereka dibekukan oleh ajaran 'harus-sukses-dan-menjaga-teguh-usaha-warisan'. Tidak boleh bermimpi ataupun melantur dari tujuan orang tuanya.

Parahnya, ternyata mendiang kakek tidak hanya meninggalkan harta yang tak terhingga. Sebuah rahasia terbuka ketika tiga orang berpakaian rapi dan parfum menyengat bertamu.

Keempat bersaudara itu diam-diam menguping dan mendengar salah seorang menyebut nama kakek.

Baru saja mereka mendesak agar mendapatkan pandangan yang lebih jelas, Ibu mengusir mereka. "Jangan ikut campur urusan orang lain!" tegurnya setengah suara.

Si sulung pun takut-takut menggiring adik-adiknya kembali ke kamar. Namun, baru lima menit di lorong, teriakan Ayah sudah menggelora.

"Siapa yang membayar kalian hah? Bohong semua ini kan?" Teriakan itu disusul ribut-ribut berusaha menenangkan.

Si sulung bertatapan dengan adik pertamanya. Pasti ada yang salah, dan ini menyangkut kakek.

Mereka tidak berani menanyakan langsung meski tamu-tamu itu telah pergi. Emosi Ayah masih berkobar. Ibu bahkan juga ikut berteriak-teriak setiap menitnya.

Dua hari berlalu, baru pertanyaan itu terungkap. Kakek juga menumpuk utang yang luar biasa di masa lalu.

Setelah semuanya terungkap, pengeluaran menjadi tak terkontrol. Keluarga itu melarat. Mereka membanting tulang, berusaha mempertahankan perusahaan yang kritis.

Orang tua mereka pun tak main-main lagi. Kak Chiara yang baru lulus, diposisikan menjadi wakil kepala perusahaan sembari kuliah. Sisa menunggu waktu sampai yang lain juga dipaksa mengangkat perusahaan. Menjadi batu penyangga atas kesalahan lampau Kakek.

Sialnya, ketika menafkahi empat anak sudah terasa berat, bayi laki-laki keempat justru hadir.

"Bodoh bodoh bodoh!" Ibu hanya bungkam mendengar umpatan Ayah. Tak perlu ditanya, sudah sekian banyak obat penggugur Ia minum. Tetapi aku, entah mengharapkan apa, tetap lahir.

Orang mengatakan bahwa aku adalah keajaiban. Sementara mereka berpendapat aku adalah masalah. Akan lebih banyak perut yang harus diberi makan. Belum lagi perabotan, pakaian, juga uang sekolah yang meroket.

Ketika saudara-saudariku menanggung marga 'Chandrashatya' yang megah, Ayah berbaik hati menghapuskan marga itu dariku. Terlalu terhormat untukku, katanya.

Aku pun bertumbuh menjadi anak yang tidak menonjol, jauh dibanding Kak Charita, Kak Joseph, Kak Vorden, dan Kak Bernard. Aku lebih suka melamun, menebak-nebak bentuk awan, dibanding diajari Matematika. Hal itu membuat diriku semakin dicerca dan diremehkan.

"Tidak bisa apa-apa anak ini. Nilai hanya rata-rata, diajari tidak bisa. Bikin pengeluaran kebutuhan sia-sia," omel Ibu suatu kali.

Perlahan kebencian merasukiku. Memang, aku tidak memahami ilmu perhitungan, ekonomi, apalagi akuntansi tetapi setidaknya aku sudah berusaha. Tidakkah aku dihargai sedikit?

Dibanding memaklumi kestresan mereka, aku lebih sering mengumpat dalam hati. Kakek lah yang harus disalahkan, bukan aku.

Jika kakak-kakakku patuh dan siap mengambil peran di perusahaan, aku membelok. Jika memang aku direndahkan di jalan mereka, aku akan meninggi dengan jalanku sendiri. Menikmati hobi, menuang beragam kata dalam kertas, dan berangan-angan menjadi penulis sukses.

Aku menyeimbunyikan mimpiku dari siapapun. Bahkan Kak Charita, saudari tertua dan terdekatku. Aku tidak tahu sesetia apa mereka dengan Ayah dan Ibu. Aku curiga mereka malah mengadukanku demi pandangan terpuji.

Bodohnya, aku ini orangnya ceroboh. Waktu itu, aku terburu-buru masuk ke mobil Kak Charita, yang hari itu menjemputku. Ayah lebih sering menjemput Kak Vorden dan Kak Bernard di SMP terkenalnya.

"Hei, tumben terburu-buru sekali," sapa Kak Charita dengan cengirannya. Pakaian formal menjadi tanda bahwa Ia baru saja dari perusahaan.

Aku balas menyengir. "Soalnya aku tidak sabar bertemu kakak lagi!" Ia hanya tertawa dan menancap gas.

Mobil terhenti sebentar ketika Satpam Sekolah mengetuk jendela kakak. "Ada apa ya Pak?" tanyanya.

"Maaf Mbak. Ini, kertas adeknya gak sengaja jatuh tadi."

"Oh iya. Terima kasih banyak Pak." Aku yang menyadari bahwa itu sketsa tulisanku langsung panik. Dan Kak Charita, spontan langsung membaca isinya. Raut wajahnya berubah. Kertas dikembalikan, dan mobil kembali melaju dalam sunyi.

Kejadian itu terngiang-ngiang, hingga membuat ku meringkuk di kamar. Ketika mendapati Kak Charita masuk, ototku menegang.

"Sayang, Kakak bicara sebentar boleh ya?" Aku tetap diam.

"Ia perlahan mengelus punggungku. "Cerita kamu bagus sekali. Cita-citamu menjadi penulis ya?"

Aku langsung merintih. "Jangan bilang ke Ayah dan Ibu, Kak. Tolong."

Pandangan Kak Charita menyendu. "Tidak kok Nic. Toh, gak ada yang salah dengan bercita-cita. Kamu punya kemampuan dan kamu mengembangkannya. Kamu harus semangat. Itu luar biasa lho!"

Ekspresi wajahku mengendur, kini menatap kakak sulungku dalam. "Tetapi mereka akan sangat kecewa dan marah."

"Lebih baik daripada menyesal karena tidak menikmati pekerjaanmu." Ia terkikik pelan. "Jalanmu masih panjang Nic, tetapi jangan ulangi penyesalan yang Kakak buat."

Obrolan itu semakin mempererat tali kepercayaan mereka. Aku merasa Kak Charita bercerita kepada saudaraku yang lain, karena mereka jadi lebih sering membisikan semangat atau sekadar menepuk hangat.

Sayangnya respon Ayah dan Ibu tidak semudah itu saat menemukan tulisan-tulisanku. Tidak, Kak Charita masih memegang perkataannya. Tulisanku kedapatan saat Ibu melakukan razia kamar.

Razia itu dilakukan sebulan sekali di hari yang acak. Hari itu benar-benar mendadak. Tidak ada gerak-gerik yang menandakan razia. Kliping kertas yang belum sempat kusembunyikan segera menjadi sasaran empuk. Mereka jauh lebih tidak senang pada tulisan-tulisanku daripada vape Kak Joseph.

"BERANINYA KAMU MELAKUKAN HAL TIDAK BERGUNA INI! KAMI SUDAH BUAT KAMU NANTI JADI PENGUSAHA. SEKARANG MALAH MAU JADI PENULIS MISKIN KAMU?"

"Miskin? Yang miskin itu hati kalian!" balasku marah tanpa berniat membendung emosi.

Saudara-saudariku terdiam. Namun, Ayah dan Ibu justru semakin ganas, hendak memukul dan mengusirku. Yah, sayang sekali aku sudah berlari ke kamar dan mengunci diri.

Semarah-marahnya aku, akhirnya hanya air mata yang berbicara, membuncahkan segala yang tak bisa diungkap. Anak cengeng, otak batu, tidak becus, payah sekali.

Dengan gemetar, tanganku meraih kertas kosong dan pena. Meski terguncang, semua jalan dan rangkaian cerita masih segar di ingatanku. Akhirnya, kulanjutkan tulisan itu.

Namun, baru saja 'rambut' terbubuhkan di kertas, aku melotot ngeri. Berhelai-helai rambut jatuh di sekitarku.

Mataku semakin menonjol ketika kupegang kepalaku dan mendapati tidak ada lagi helai rambut yang tersisa. Semua rambutku rontok dan juga menguap hilang!

Aku berdiri kebingungan, mencoba bercermin. Kepalaku benar-benar botak licin sekarang!

"Astaga," keluhku. "Sudah cukup aku ini jelek. Sekarang aku benar-benar akan ditendang dari rumah."

Setelah menenangkan diri, kertas dan pena itu kuamati kembali. Tepat setelah aku menuliskan kata rambut, semuanya terjadi. Mungkinkah jika ...

'ZAP!'

Benar saja, cermin lenyap setelah kata benda itu tertulis. Aku yang awalnya mendelik horor, sekarang berbinar.

Aku bisa menghilangkan segala sesuatu yang kutulis!

Teriakan orang tuaku mengusik kembali perhatian. Tak perlu dua kali sampai ide jahat menguasaiku.

Jika Ayah dan Ibu kutulis dan hilang, mungkin aku bisa hidup tenteram. Kakak-kakak juga tidak perlu dikekang lagi. Hidup yang kami diidam-idamkan pun tercapai.

Aku menyeringai bengis. Pena ini sudah terbuka dan siap digoreskan sebelum sebuah pikiran muncul.

Bukankah aku juga telah menambah beban mereka?

Tanganku gemetar. Aku menggelengkan kepala berusaha menguatkan hati, tetapi tak kunjung menulis.

Keluargamu mati-matian mempertahankan fondasi perusahaan dan rumah tangga. Namun, kamu malah memperparah keseimbangan fondasi. Untuk apa kamu di sini, Nico?

Aku terduduk. Kertas tergeletak lunglai di lantai. Pikiranku kini bergejolak bimbang.

"Mengapa kalian tidak membiarkan Nico melakukan apa yang dia suka? Sudah cukup Ia sakit, Yah!" suara Kak Charita bergema di depan kamar.

"Apa lagi ini hah? Memberontak juga?" Nada Ayah menggusar.

"Kami sudah rela dirantai, dipaksa kalian. Tidak cukup kah itu? Haruskah juga kalian menindas Nico?" kali ini Kak Joseph yang melawan, disusul seruan setuju Kak Vorden dan Kak Bernard.

Air mataku semakin deras. Aku tahu setiap kali desisan penuh ancaman Ibu menusuk pendengaranku, Kak Charita terus mengucek matanya agar tidak menangis. Setiap kata kasar yang diteriakkan Ayah karena kesalahan kecilku membuat tangan Kak Joseph terkepal, menahan keinginan untuk memukul ayahnya hingga sadar. Kak Vorden dan Kak Bernard apalagi, diam-diam menyembunyikanku agar tidak menjadi target saat mereka emosi.

Mereka sudah cukup terbebani dengan keinginan Ayah dan Ibu. Kehadiranmu mengacaukan pikiran mereka untuk melindungimu. Kamu juga menambah kekalutan saudara-saudarimu, Nico!

Aku memperkuat ujung pulpen. "Tenang, Kakak-Kakak. Kali ini kalian akan bahagia," bisikku. Ujung pena meluncur membelah kericuhan.

Sekarang, keributan berubah menjadi kepanikan. "Ayah, Ibu, kalian kenap—Astaga!"

Aku meringis tetap melanjutkan.

Mungkin jika aku ikut hilang, hidup kakak-kakak akan berubah....

Ketika semua selesai, pena pun terjatuh. Senyumku mengembang lemah membaca tulisan terakhirku.

Ayah, Ibu, dan anak terakhir yang disayangi saudara-saudarinya, Nicholaus.

Tubuhku berbaring. Dinginnya ubin lantai justru terasa melegakan. Seakan tidak terkunci, pintuku melenggang terbuka. Samar-samar kudengar seruan merana mereka.

Aku menutup mataku pelan ketika Kak Joseph berusaha menggendongku tetapi gagal. Tubuhku sudah menguap jadi ribuan debu berkilau.

Maaf Kak, aku tidak sempat berpelukan untuk terakhir kalinya.

Jangan menangis lagi ya kalian. Semoga dengan ini, kalian terbebas.

Hidup baru menanti kalian.

selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top