13/06/2020: The Miss Who Went Too Far (song fiction)

We sometimes go too far for the approval and love of  someone else, when we  should really just learn to love ourselves and that should be enough.
—AURORA about her song, I Went Too Far

--------------------------------------

JEGREK JEGREK JEGREK!

"Tunggu!"

Teriakan gadis itu tak sedikitpun digubris. Satu-satunya kereta yang tersisa sudah pergi meninggalkan debu yang meliputi uneg-uneg sang gadis.

Jangan tanya sekarang Ia berada di mana, karena Ia sendiri pun tak tahu. Setengah jam yang lalu, alam bawah sadarnya baru saja terlelap. Semuanya tenang, sebelum desingan memenuhi inderanya dan sebuah kereta nyaris melindasnya jika Edina, sang gadis tidak menghindar.

Apa-apaan?

Belum tuntas kekagetannnya, sorotan lampu lain kembali muncul. "Berhen—," suaranya lenyap ditelan suara lain yang melengking.

"Edina Bodoh!"

Kaki Edina mendadak terjungkal. Tubuhnya terguling heboh bersama dengan rerumputan yang menumbuhi beton. Bayangan kereta pun berubah menjadi tiga remaja cungkring berwajah garang. Salah satunya mengacungkan tinju tepat di dadanya.

"Kamu jelek dan tak punya otak!"

Edina menggeram ketakutan dan kembali bangkit berlari. Memar yang bermunculan di tangannya tak Ia herankan.

Belum sepuluh langkah, rerumputan yang Ia injak meranggas. Tepat sesudahnya, mereka meletup-letup, berubah menjadi gundukan pasir yang menghambat langkahnya.

Kali ini kedua kereta itu kembali mengejarnya. Nafasnya berbalapan dengan matahari dan bulan yang entah bagaimana caranya terus terbit dan terbenam dalam hitungan detik.

"Ikuti jika tidak ingin terluka, Gendut!"

Alisnya mengerut. Kereta-kereta itu bahkan hendak merisaknya, mengapa Ia harus mengikutinya? Apakah kereta itu satu-satunya jalan keluar?

Apakah Ia harus secepat mereka jika ingin selamat?

Dengan itu, Edina kembali melompat menghindari sang kereta sebelum mengejar mereka. "Tunggu!" teriaknya sembari mencoba mengetuk dinding kereta. Yang diketuk berdesing, sekonyong-konyong berubah menjadi tiga remaja cungkring tadi.

Dirinya tersentak. Tawa licik mereka membekukan ototnya. Tepat setelah desingan kedua muncul, Edina sadar dan kembali berlari. Lagi-lagi, luka dan goresan merambahi tubuhnya, dan lagi, Ia tak mengindahkannya.

Langkahnya kembali disejajarkan dengan kereta. Jantungnya berpacu berusaha meyakinkan diri. Bersamaan dengan peluit kereta yang melengos, kakinya mengeper. Tangannya nyaris menggapai kenop pintu kereta jika ....

"Jadi kamu pikir kamu cukup pantas? Dengan keinginan Ibu yang tak pernah kamu tepati itu?"

Tubuh Edina mengejang seakan tangan sang Ibu benar-benar melemparnya kembali. Ia tergeletak ditutupi debu tanpa didengar sedikitpun. Dengan itu, usahanya untuk masuk paksa ke dalam kereta gagal total.

Luka di badannya kali ini mulai mengeluarkan darah. Edina akhirnya sadar, tetapi berusaha tak mengacuhkan mereka. Pikirannya terpecah antara mencari tahu tempat apa ini dengan kepanikan bahwa suara-suara tadi mengikutinya.

Suhu sekitar memanjat menandingi tingginya mentari. Peluh mulai memandikan tubuhnya. Matanya perih dihantam debu dan pasir.

"Kumohon—Bertahanlah!" gumam Edina kepada dirinya sendiri.

***

Edina terbangun dengan mata yang benar-benar merah.

Di tengah temaram lampu tidur bercorak bintang, tangannya menggapai-gapai mencari jam beker. "Dapat!" pekiknya sebelum jari jempolnya mengibas kesakitan tertimpa jam beker.

"Tepat enam menit sebelum pukul lima," gumam Edina setelah melihat jam. Ia pelan-pelan bangkit menuju dapur dan menyalakan lampu. Setiap hari Edina terbiasa membuatkan sarapan untuk orang tuanya. Ibu biasanya bersiap untuk kerja pada pukul setengah enam.

Tangannya memecahkan beberapa butir telur dengan lincah. Sudut matanya sempat menangkap potongan mimpinya, namun Ia langsung menggeleng. Mimpi hanyalah bunga tidur. Mimpi tidaklah nyata.

Aroma garam, mentega, dan lada menjadi satu sementara roti meringkik terkena panas wajan. Dentingan piring, garpu, dan sendok Edina buat sekecil mungkin. Dari jendela yang terpahat di ufuk timur, sang mentari mengintip malu-malu. Apakah hari ini akan menjadi hari yang indah?

BRAK! Edina baru saja meletakkan nampan ketika suara debuman itu muncul. Tangannya membeku sebelum menyadari kalau suara itu berasal dari lantai dua. Tak lama, anak tangga ikut berdegup dilewati Ibu.

"Selamat pagi, Bu!" sapa Edina dengan senyum selebar mungkin.

"Pagi. Ada panggilan mendadak dari kantor. Harus berangkat sekarang." Ibu menatapnya tajam. "Kenapa matamu? Apa kamu begadang lagi?"

Edina menggeleng. "Sepertinya tidak sengaja terkucek saat tidur, Bu."

"Aneh-aneh saja. Sudahlah, sarapan duluan ya. Ingat sedikit saja. Tubuhmu yang melebar seperti ini tidak akan disenangi lelaki. Lalu ...," matanya menyoroti Edina yang meraih leptop. "Apa kamu mau mencari hal-hal bodoh lagi di sana?"

"Tentu tidak. Aku hanya ingin menyelesaikan makalah, Bu."

Wajah Ibu berseri. "Bagus. Lebih baik kamu fokus mempersiapkan diri untuk mengambil alih bisnis Kakek." Sepatu haknya sudah digamit sebelum Ibu lagi-lagi menoleh. "Perbaiki juga senyummu. Terlalu kekanakan."

Edina melemaskan bibirnya dan mengangguk. Setelah rambut hitam anggun ibunya menghilang, Ia duduk dan membuka leptop. Tebakan Ibu sebenarnya separuh benar. Ia memang berniat untuk melihat hal-hal yang menurut Ibu bodoh.

Sayang sekali, Ibu kembali memanggilnya dari pintu depan. Edina tergopoh-gopoh datang untuk mendapati wajah ibunya yang kusut menelan setiap kata di secarik amplop. Di belakangnya, Mr. Lycen, tukang pos universitas melambai bersemangat.

"Halo, Miss Green. Aku baru saja mengantarkan nilai tes akhirmu dan harus pergi sekarang. Sampai jumpa!"

Belum sempat Ia berterima kasih, pintu sudah ditutup setengah. "Serendah inikah kemampuanmu?"

Edina sudah menunduk, bersiap diomeli kalau saja telepon ibunya tidak berdering. Ibu mendengus, mendorong amplop ke dadanya, dan pergi dengan setengah membanting pintu.

"Huh, padahal nilai ini dua kali lebih memuaskan dibandingkan dua tahun lalu," gumam Edina meratapi hasil tesnya. Nilai-nilai yang lain sebenarnya cukup bombastis. Sayangnya, Ibu hanya terpaku pada nilai akuntansi, yang sialnya tak pernah berdamai dengannya. Bagaimana bisa aku memimpin usaha keluarga kalau akuntansi saja tidak becus?

Setiap gigitan roti diiringi dengan kekecewaan yang bergelayut. Tetapi, bisnis kan memang bukan passionku. Tangannya lagi-lagi mengetuk-ngetuk leptop, hingga membawanya pada layar yang Ia sukai.

Dunia bisnis dan perekonomian tak pernah sekalipun merebut hatinya. Edina tak seperti Ibu atau mendiang Kakek, si otak bisnis. Namun, kewajibannya sebagai sang penerus tunggal Merchanthood Corp. sudah jelas. Edina yang sebelumnya tak memiliki mimpi spesifik pun mengikuti keinginan ibunya, membiarkan Ibu memahatnya secara sukarela.

Sampai pada hari saat cinta itu bertumbuh.

Sejak balita, Edina menyukai air. Ketika anak-anak lain menggeliat takut diterkam ombak, Ia justru mendekat, berusaha bertos ria dengan sang raja laut. Seiring dengan pertumbuhannya, Ibu mendaftarkannya dalam ekstrakulikuler berenang dengan tujuan untuk menyehatkan dan melentukkan tubuh putrinya. Sayangnya hal ini berbalik, membuat sebuah mimpi terpercik kuat dalam dirinya. Namanya Edina Green. Pada umur 12 tahun, Ia menambatkan impiannya untuk menjadi penyelam.

Edina tanpa sadar tersenyum. Layar berlari-lari menampilkan website yang didominasi motif bintang laut. Sesekali matanya berhenti untuk membaca pengalaman seorang diver sukses di negara sebelah. Tangannya mengeram ketika banner lowongan pekerjaan muncul.

Dicari penyelam atau perenang.
Usia 19-25 tahun. Berdomisili di Kota Burner.
Untuk urusan penyelidikan tim investigasi Found and Breakthrough.
Jika tertarik, harap kirimkan data diri dan kontak yang bisa dihubungi pada e-mail yang tertera.

"Menarik," bisiknya. Namun, untuk apa tim investigasi membutuhkan penyelam? Mereka tidak ingin menyelidiki mitos naga laut atau apapun itu kan? Edina tergelak kecil. Sungguh pikiran yang aneh. Dia pernah mendengar tentang Fo-Through alias Found and Breakthrough, tim investigasi yang beruntung pada kasus pertamanya, dan tak pernah lepas dari omongan miring masyarakat. Tak heran memang kalau iklan lamaran kerjanya agak cheesy dan mencurigakan. Bagaimanapun juga, tak ada salahnya mencoba kan?

Ia kembali tergelak, tetapi dengan getir. Ibu tidak akan membiarkannya. Semenjak Edina kecil keceplosan soal cita-cita barunya, Ibu menghentikan ekstrakulikulernya. Mereka hanya berlibur ke laut dan pantai dalam hitungan jari. Membaca blog penyelam saja sudah memantik kemarahan Ibu, apalagi jika Ia bekerja.

"Ayolah Edina, berhenti bermimpi. Kamu harus membanggakan Ibu," ujarnya.

Ibu sudah menandainya sebagai penerus bisnis, maka Ia akan mendapatkan nilai tertinggi dalam pelajaran-pelajaran yang diperlukan, meski Ia harus belajar 24 jam tanpa henti. Ia akan bertindak dengan penuh keanggunan dan kewibawaan untuk menjaga image perusahaan. Ia juga akan berolahraga hingga ototnya kebas untuk menjaga lekukan tubuh jika Ibu ingin putrinya menarik kaum adam yang berpotensi memperkuat perusahaan mereka. Ya, dia akan dan sudah melakukannya!

Tetapi, mengapa menutup jendela website penyelam saja sangat susah?

"Bodoh! Egois!" pekik Edina sembari memukul-mukul kepala. Mendadak teleponnya berbunyi. "Hal—."

"Hei Edin aku sudah di depan. Ayo cepat supaya kita sempat mengeprint makalah sebelum dikumpulkan!"

Sambungan terputus. Edina melongo sesaat sebelum mencari-cari flashdisknya dengan panik. Decakan puas terdengar saat Ia berhasil memasukkan flashdisk dan memindahkan filenya. Untung meski belum direvisi, Ia sudah menyelesaikan makalah kemarin sore.

Edina berlari kecil mengambil tas dan kunci rumah. Bahkan di saat klakson mobil Elin, sahabatnya, sudah berbunyi tiga kali, Ia masih sempat terantuk ujung cermin. Bayangannya segara menatap Edina balik.

"Kasian sekali. Dia putri satu-satunya, tetapi gendut dan tak menarik. Apa ada lelaki yang bersedia meneruskan keturunan dengannya?"

"Tubuhmu yang melebar seperti ini tidak akan disenangi lelaki."

PIP PIP!

Edina tersadar. Sembari mengusap peluhnya, Ia berlari keluar, memasuki mobil Elin yang dipenuhi hiasan pikachu, dan disambut omelan sahabat karibnya.

Bayangan akan perutnya yang membuncit terus bergentayangan, bahkan saat mereka membayar biaya printing, atau setelah mereka mengumpulkan makalah. Mr. Scott terlihat tidak senang dengan kedatangan mereka yang serampangan tepat pada detik-detik akhir pengumpulan. Meski di depan kumis Mr. Scott yang menyeramkan, Edina tetap sering memegangi perutnya.

Perilaku ini sepertinya sukses membuat Elin kebingungan karena saat mereka bersantai di cafetaria universitas, Elin langsung memojokkannya dengan berbagai pertanyaan.

"Eh, nope, Lin. Aku tidak sedang datang bulan, mual, apalagi sembelit."

"Lalu kenapa kamu memegangi perut terus hei? Aneh tau!"

Edina terdiam sebelum ragu-ragu bertanya, "Aku, eh, terlihat lebih gemuk ya?"

"Gemuk? Oh Dear, kamu itu hanya sedikit bertumbuh saja!"

Edina mengerang gelisah. "Ah benar ternyata. Aku harus tidak makan lagi supaya Ibu tidak kecewa."

"Oh Tuhan, jangan bilang ini perihal membanggakan Ibu lagi? Edina, menurutku, ini mulai tidak sehat. Kamu sudah cukup berusaha!"

"TETAPI TIDAK ADA YANG CUKUP UNTUK IBU!"

Elin terdiam kaget, begitupun Edina. Ia tak berniat untuk berbicara keras apalagi membentak sahabatnya. Kini suasana bertambah canggung dengan mata-mata yang menonton penasaran.

BRUK! Semua perhatian seketika teralih ke arah lelaki jangkung yang terpeleset di pintu cafetaria. Mengapa rasanya hari ini banyak sekali yang terjatuh?

"Hei, siapa yang menumpahkan saus di sana? Tanggung jawab dong!" omelnya sebelum menyapu seisi kantin. "Aha Edina, beruntung sekali!"

Yang disebut terperanjat. Mendadak lelaki itu sudah berlutut di sampingnya. "Aku punya tawaran bagus untukmu. Mau dengar? Tadi ketua Fo-Through mengunjungi universitas dan menyuruhku untuk mengirim seorang penyelam handal sebagai perwakilan yang bisa membantu mereka. Kau tahu kan Fo-Through? Bagus!"

"Aku sempat bingung karena universitas kita tidak memiliki klub olahraga air, tetapi untung saja ada kau. Siapa sih yang tidak ingat kemampuan renang dan menyelammu yang di atas rata-rata. Kamu bahkan nyaris mewakili sekolah di kancah nasional kalau tidak mengundurkan diri. Wa—."

"Sebentar!" sela Edina agak kesal karena lawan bicaranya terus mengoceh. "Bagaimana kamu tahu? Bahkan kita belum saling mengenal."

Rambut pink kekuningan lelaki itu melambai gemas. "Astaga memang sih kita tidak satu jurusan, tetapi masa kamu tidak ingat aku? Aku Cleon, si duta universitas tahun lalu. Kita satu sekolah waktu SD!"

"Eh, oh, kamu berbeda sekali!" Edina menatap rambut Cleon. "Rambut barumu keren! Namun, apa universitas tidak menegurmu? Aku kira mereka akan berpikir rambut duta universitas yang dicat terkesan ... kurang terdidik."

"Kurang terdidik?" Kali ini Elin ikut tertawa. "Pikiran kaku dari mana itu Dina? Justru menurutku, kuatnya warna rambut ini semakin menguarkan kesiapanku untuk berkarya, dan untungnya universitas sependapat denganku. Kamu harus mencoba sesekali."

Ia mengangkat bahu. Sebenarnya Edina sempat ingin mewarnai rambutnya, tetapi tentu saja Ibu melarang habis-habisan dengan doktrin bahwa rambut yang disemir akan menghilangkan aura profesionalitasnya. Padahal jika boleh, warna hijau neon menarik juga.

"Hei, jangan melamun dong. Bagaimana? Tertarik kan? Aku akan mengirimi kontak mereka," kata Cleo. "Entahlah Cleo. Aku sebenarnya sudah tahu tentang penawaran itu. Namun, Ibu pasti tidak mengizinkan."

"Ibu? Halo, Edina, kamu sudah berumur dua puluh tahun. Sudah waktunya berdiri untuk dirimu sendiri!"

Bibir Edina sudah terbuka sebelum mengatup kembali. Ia menatap Cleo, lalu Elin, dan kembali lagi sebelum bangkit berdiri. "Maaf, aku eh harus pergi."

Ia secepat kilat meninggalkan keduanya yang diliputi pertanyaan. Seruan Elin perihal menumpang mobilnya pun tidak Ia hiraukan. Tanpa sadar, Edina berlari ke gerbang universitas. Taksi terdekat segera menepi melihat lambaian tangannya. Nafas Edina terputus-putus sementara dirinya menyebutkan alamat rumah. Mereka melaju pergi dengan gejolak batin yang tak memudar setitik pun.

Bukan main niat gadis itu. Ketika mobil baru saja sampai di tiga blok sebelum jalan perumahan, Ia sudah turun berlari ke rumah untuk berolahraga. Sesampai di rumah pun, Ia hanya berganti baju sebentar untuk kembali berolahraga di kamar. Tiga jam berlalu, tanpa minum, tanpa istirahat, Edina tetap bertahan, kali ini dalam posisi plank.

Mereka tidak memahamiku. Mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Benar kan?

Tangan kirinya terasa kebas. Kepalanya pening tak karuan.

Ya, benar. Tidak. Boleh. Berhenti.

Sendi-sendinya ngilu. Edina mengubur dalam-dalam rasa kejang pada kakinya.

Bertahanlah!

"Akh!" Tangannya segera memeluk perut. Sakit, perih, kaku, itu yang perutnya rasakan sekarang. Rasanya seperti ada sepuluh jarum yang dilemparkan ke arahnya.

Tak hanya sampai situ, beberapa detik kemudian Ibu masuk dengan nada yang luar biasa tinggi. Pemandangan putrinya yang bergelung tidak wajar di lantai tidak menenangkannya sedikit pun.

"Beraninya kamu masih melakukan hal-hal yang tidak becus setelah waktu yang Ibu buang. APA INI HAH?" Di cengkraman Ibu, layar leptop masih menampilkan iklan lowongan kerja yang sama. Edina berusaha duduk seperti biasa tanpa tahu harus menjawab apa. Ia benar-benar lupa mematikan leptop sebelum pergi.

"Kita adalah generasi penerus Merchanthood Corp.. Banyak anak yang bersedia mengemis demi menggapai usaha kita, dan kamu di sini bertindak semena-mena memimpikan hal bodoh seperti orang delusional!"

"Kalau begitu, lupakan aku!" Udara seakan membeku. "Aku sudah belajar, memenarikkan diri, menyia-nyiakan hidupku demi Ibu. Sekarang, buang. Ganti aku dengan anak lain yang mumpuni, keren, dan cantik. Itu kan yang Ibu inginkan?"

Emosi Ibu semakin meledak-ledak. "KENAPA KAMU TIDAK PERNAH BERSYUKUR?"

"KENAPA IBU TIDAK PERNAH MENCINTAI PUTRIMU SEPERTI DIRINYA YANG SEBENARNYA?"

Tangan Ibu seketika berayun. Mata keduanya melotot meratapi leptop yang menghantam dinding hingga terpecah menjadi dua bagian. Beling layar yang berserakan menjadi jeda adu mulut keduanya.

"Karena kamu tidak cukup."

Edina tertegun. Bahkan otot terkecilnya pun tak mampu merespon melihat Ibu yang pergi dengan suara pintu yang ditutup teramat pelan. Dalam sepersekian detik, tangisnya membuncah. Hatinya terasa berkobar dan menciut di saat yang bersamaan. Apakah semua yang Ia dengar itu benar?

Mentari tenggelam meninggalkan sang gadis berambut hitam melemparkan kepahitannya. Lampu kamar pun tak berniat menyala sendiri untuk menghidupi sisa-sisa semangatnya.

Edina tak tahu berapa lama dirinya menangis, atau bahkan tertidur. Yang pasti desingan yang tak asing melentingkan jarinya. Hanya dengan satu bayangan yang mendekat, Edina sudah ketakutan berlari ke ujung lain kamar.

Kedua kereta itu sudah bersiap menerkamnya ketika rengkuhan dari sesosok yang hangat terasa. Sekonyong-konyong dunia kembali tenang, jantungnya berdetak beraturan, dan Edina mendapati dirinya berada di pelukan Kakek.

"Kakek? Tidak mungkin," gumamnya sembari mencubit pipi. Sakit. Ini nyata. "Aku benar-benar merindukan Kakek." Senyuman Kakek berkilau ditimpa rembulan.

"Tersesatkah kamu wahai cucuku? Terlalu jauhkah kamu mencari?"

Suasana berganti haru. Edina menunduk hormat kepada sang mendiang. "Kakek, tolonglah aku supaya aku tidak diganggu hantu dan makhluk hitam tadi!"

"Hantu?" Kakek tertawa, mirip sekali seperti Cleon. "Dina, mereka bukanlah makhluk asing, mereka adalah kamu. Bagaimana mungkin kamu takut terhadap dirimu sendiri?"

Jawaban itu membuat Edina termanggu. "E, eh, kalau begitu, perbolehkanlah aku supaya bisa sehebat Kakek supaya aku bisa menjadi penerus usaha yang membanggakan Ibu!"

"Benarkah semua ini demi membanggakan, ataukah banyak-sedikit demi pengakuan?"

Lagi, Edina dibuat termanggu. Kakek tertawa sebelum menghilang. "Untuk apa kemampuan jika tak diasah? Untuk apa mengharap cinta bila tak bisa mencintai diri? Untuk apa berdiri jika tak ada tonggak?" Lantunan itu selesai tepat sebelum Kakek muncul bersila di atas kasur.

"Edina, sungguh mulia harapanmu untuk membanggakan Ibu. Namun, sudah cukup, Cucuku. Pengakuan dari orang lain bukanlah sumber napasmu. Biarlah kakekmu yang yah, sudah pergi ini mengatakan, kamu sudah hebat, luar biasa, bahkan jauh melebihi ekspetasi Kakek."

Hatinya terenyuh. Tangan Edina menggapai ke atas berusaha memegang tangan kakeknya.

"Lihatlah ke depan kamar, Nak."

Maka Edina bangkit tanpa sedikit pun rasa sakit yang tersisa. Ia membuka pintu hingga menemukan sebuah leptop hijau mengkilap dengan secarik kertas bertuliskan 'maaf'.

"Ibu mencintaimu. Dia hanya ingin yang terbaik bagi masa depan keluarga kita. Hanya saja, caranya tak terbantahkan lagi salah," bisik Kakek dari belakang.

Edina kembali masuk bersama leptop baru itu dan menatap mata lembut kakeknya. "Apakah anda menyarankanku agar mengikuti apa yang Ibu inginkan?"

"Tidak!" Tak pernah dalam hidupnya Ia mendengar Kakek setegas itu. "Justru itu, Kakek ingin agar kamu sadar. Tolong percayalah pada dirimu, Nak. Untuk apa hidup di pulau orang lain yang gersang jika kamu sudah memiliki pulau sendiri yang jauh lebih asri? Untuk apa berjuang mengangkat beban yang tak akan kamu cintai?"

"Tidakkah kamu sadar terlalu jauhnya dirimu mencari hingga kamu tidak mengenali diri sendiri. Kamu tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan. Semuanya ada di dalammu."

Kakek menyandarkan tangannya di bahu Edina. Senyumnya lambat laun menenteramkan gundah gulana dalam hati gadis itu. Apa kini Edina yakin untuk berbalik berjuang?

"Kau tahu, Kakek pun berpisah jalur dengan orang tua  Kakek demi mengemban mimpi. Mereka bilang anak dari dua petani kopi tidak akan berhasil membangun perusahaan. Sekarang kamu sendiri lihat kan apa yang terjadi?"

"Tetapi bagaimana Kakek bisa tenang jika usaha yang sudah Kakek rintis dengan pengorbanan terputus karena aku?" tanya Edina dalam keraguan terakhirnya.

"Bagaimana seorang Kakek bisa beristirahat dengan tenang jika cucunya diliputi duri dalam daging?"

Ia menatap kakeknya dalam. Kini Edina seakan kembali ke gurun yang sama. Namun, kali ini dirinya menonton gundukan pasir itu dari atas. Tangan dan kakinya bersandar kuat di sebuah juntaian tangga.

"Cobalah, Cucuku."

Maka dengan keteguhan hati yang bertumbuh, dirinya mengakses e-mail, membiarkan surel dari Cleon terbuka, mengekspos iklan lowongan pekerjaan yang sama.

Yakinkah kamu, Edina? Jika melamar pekerjaan, otomatis kamu harus putus kuliah juga bukan?

Keraguan itu mengguncangkan tangga. Di saat yang sama, laut menelan gurun itu. Sang gelombang terus naik, naik, dan naik menelan apapun yang dilewatinya.

"Cepat naik, Edina!" panggil Ibu panik. Edina menengadah dan mendapati suara Ibu di antara awan di ujung tangga. Ia mengangguk dan bergegas memanjat. Jantungnya bergemuruh tak karuan. Rambutnya berkibar memancarkan ketakutan yang luar biasa.

Mulut sang laut semakin dekat sementara seruan Ibu semakin kencang. Ringisan tak tertahankan lagi. Secepat apapun Ia memanjat, rasanya justru ujung tangga semakin jauh.

"Semesta mengingatkanmu bahwa kamu bergerak ke arah yang salah." Kali ini suaranya sendiri yang menggelora. "Kakek akan mengatakan sesuatu semacam itu kan?"

Edina tak bisa melihatnya. Namun, dia tahu bahwa Kakek sedang tersenyum. Dia berpaling ke belakang, menelusuri sang lautan. Faktanya, sang lautan tak pernah mengejarnya. Tangganya lah yang memanjang.

"Bagaimana jika checkpoint hidupku justru berada di balikmu, wahai laut?" bisiknya. Sang laut tidak membalas, tetapi permukaannya bercahaya menampilkan algae, tanaman laut, dan hewan laut yang bermain dengan gembira.

Untuk terakhir kalinya, Edina menatap ke arah awan. "Maafkan aku, Bu. Hanya saja, tempatku bukan di sana." Selanjutnya, Ia sudah menerjunkan diri ke dalam laut dan membiarkan air mengisi relung terdalam paru-paru tanpa takut merasa sesak.

"Kumohon, berjuanglah, Edina Green!"

Semuanya terasa damai. Hingga akhirnya Edina terbangun disambut nyanyian burung yang bersarang di jendelanya entah sejak kapan. Kakek sudah lenyap, namun atmosfer lembut nan bersemangatnya masih terasa. Ia tak pernah bangun sesegar ini sebelumnya.

Wajah Edina semakin sumringah mendapati notifikasi e-mail terkirim di leptopnya. Dirinya benar-benar mengirimkan data diri, latar belakang singkat, dan foto untuk melamar pekerjaan hanya dalam satu malam. Luar biasa.

Tangannya sudah menggapai ponsel sebelum nada deringnya mengalun.

"Halo ... Ya, saya Edina Green. Ada, eh, yang bisa dibantu?"

Suasana sempat hening sampai mendadak Edina mengayunkan tangan bersemangat.

"Ya, saya bisa menghadirinya. Tidak ada kesibukan apapun kok pada pukul satu. Baik, terima kasih!"

Edina segera menyambungkan telepon ke nomor lain. "Pagi, apa ini Salon Edelweiss? ... Bagus, bisakah saya reservasi atas nama Edina Green untuk jam sepuluh?" Pelayan di ujung telepon menanyakan detail reservasi dengan bersemangat.

"Saya ingin menyemir rambut dan sedikit berdandan sebelum bertemu Kakek dan menghadiri wawancara kerja. ...Okay, terima kasih!"

Namaku Edina Green, ini adalah kisah awalku memasuki Fo-Through, tim investigasi yang nantinya melejit di Kota Burner, dan aku mengajak kalian untuk memperjuangkan mimpi kalian.

selesai.
words count: 3281

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top