The Book of The Dead

Collaboration team 14: Ghostbuster

With astridezza354 kholilia54

Ini adalah musim di mana dedaunan menguning dan gugur. Di sekolah Edward tengah diadakan studi wisata ke Museum, para murid diminta pembina studi wisata yang bernama Pak Alfonso yang juga berprofesi sebagai guru fisika di sekolah Edward.

Pak Alfonso berdiri di hadapan para murid yang berbaris.

Langkah kakinya seakan mengikuti apa yang ia katakan. "... dan hari ini kita akan pergi ke museum sejarah Mesir kuno, kalian buat kelompok, maksimal terdiri dari lima orang dalam satu tim dan minimal terdiri dari dua orang." Pak Alfonso yang sedari tadi mengentakkan kakinya, mengayun dan melengkapkan kalimatnya itu berhenti sejenak. "Bagi kalian yang tidak membuat laporan dengan tim, ingat ya, harus bersama dengan tim, kalau tidak, kalian akan mendapat nilai nol di ulangan pertama fisika dan sejarah!"

Para murid tersentak, terkecuali dengan Edward, ia masih menampakkan ekspresi santainya.

"Kamu yang akan Bapak awasi lebih awal," tegur Pak Alfonso, pandangannya menatap Edward dengan tajam.

Edward tak dapat berkutik dan seketika ia menyeret seseorang pemuda dengan kacamata membingkai di depan kedua matanya.

"Eh," celetuk sang pemuda dengan gugup, ia menatap mata Edward yang penuh arti, mengisyaratkan sesuatu padanya.

"Saya sudah dapat tim, Pak!"

Pak Alfonso menyipitkan pandangannya, masih mengawasi seorang anak berandal dengan teman satu timnya. Kemudian, pandangannya melebar ke seluruh murid.

Pak Alfonso meminta para murid untuk masuk ke dalam bus sekolah dan bus sekolah itu lekas menggulirkan rodanya dan melesat ke tujuan mereka.

***

Bus telah sampai di depan sebuah kawasan, bangunan di kawasan itu benar-benar terlihat seperti bangunan sejarah Mesir kuno: bangunan-bangunannya tampak seperti miniatur untuk suasana Mesir yang sebenarnya: Piramida Agung Giza, Menara Isis, Karnak, dan tanah yang Edward dan kawan-kawannya pijak adalah tanah gurun pasir asli.

"Woah!" semuanya berseru takjub.

"Lihatlah keagungan dari sejarah yang tertimbun, hohoho!" Pak Alfonso berseru dengan riang membuat para murid merasa aneh dan asing.

"Kalian akan dibina oleh pemandu wisata dan dijelaskan tentang beberapa hal dari sejarah Mesir kuno yang terpendam, ingat! Catat semua detail yang dibutuhkan untuk laporan kalian, kalian paham!"

"Siap, paham, Pak!" balas para murid.

Beberapa saat kemudian, para murid dibagi lagi menjadi beberapa tim, sebagian mereka mendengarkan dengan khidmat dan teliti, sedangkan sebagian yang lain hanya mencatat seadanya.

Edward melewati sebuah gulungan-gulungan yang berisikan tulisan asing, gulungan itu berada di atas tatan kayu yang cukup tinggi, hampir setinggi tubuh Edward. Tulisan itu secara tiba-tiba mengeluarkan cahaya.

"The Quest?" Mata Edward mengkilap terkena sinarnya. Tangan Edward perlahan mengarah ke gulungan itu sampai Seth, anggota satu timnya itu menghentikan kasi Edward.

"Jangan menyentuh, benda itu, itu benda sejarah!" pinta Seth dengan suara yang sedikit gemetar karena takut.

Edward menangkis tangan Seth. "Apa-apaan, sih, jangan khawatir kawan, itu tak akan membahayakan ki—" belum saja Edward menggenapkan kalimatnya, sebuah tangan dengan gulungan kain yang sudah lusuh, kotor dan berbau apek dan anyir keluar dari gulungan kertas dan menarik Edward dan Seth ke dalam gulungan itu.

"AAA!!!"

Gulungan itu mengeluarkan cahaya dan menghisap keduanya masuk ke dalam dunia dan dimensi yang berbeda.

***

Edward terbangun di sebuah ruangan temaram. Matanya mencoba membiasakan diri dengan kondisi pencahayaan ruangan yang hanya diterangi beberapa obor.

"Di mana ini?"

Ruangan tempat Edward berada terbuat dari potongan batu dengan gambaran-gambaran yang asing terukir di dindingnya. Langit-langitnya tidak begitu tinggi dan terdapat dua buah lubang seukuran pintu di depan dan belakang Edward.

"Aku harus ke mana?" Edward ragu memilih salah satu lubang karena keduanya sama-sama memancarkan kegelapan yang mengancam.

Di tengah pemikiran galaunya, tiba-tiba terdengar teriakan dari pintu di depan Edward. Ia merasa mengenal suara itu.

"Sial! Aku baru ingat aku pindah ke sini dengan orang lain."

Edward lalu berlari ke arah asal suara dan memberanikan diri menerobos kegelapan lorong yang menyesakkan. Ia hanya memacu kakinya berdasarkan insting, berharap telinganya tidak menipunya.

"Seth! Di mana ...."

Kata-kata Edward terputus saat melihat teman sekelasnya yang bernama Seth ditahan di atas meja dari batu dan dikelilingi kerangka-kerangka bergerak di salah satu ruangan temaram. Salah satu dari kerangka tersebut memegang belati berukir yang sudah diarahkan ke arah Seth. Seth saat itu tampak seperti persembahan di atas altar batu.

"Aaaaak! Setan!"

Baru saja Edward hendak membalikkan badan, Seth berteriak, "Ed! Tolong aku!"

Langkah Edward terhenti. Ia kembali lupa tentang Seth untuk kedua kalinya. Para kerangka pun juga berhenti dan menoleh ke arah Edward.

Mata Edward menangkap sebuah tongkat kayu yang digulung dengan kain tebal tergeletak di dekat pintu masuk. Ia mengambil tongkat kayu tersebut dan diarahkan ke kerangka-kerangka dengan gerakan seperti sedang bermain baseball.

"Minggir kalian! Jangan sentuh temanku!" teriak Edward sambil mengayun-ayunkan tongkat kayu berlapis gulungan kain tersebut.

"Akk! Jangan sembarangan menyentuh gulungan itu, Ed!" Seth ikut panik karena sesuatu.

"Diam kau! Aku lagi menyelamatkanmu, tahu!"

Setiap kerangka yang dipukul Edward dengan tongkat kayu mendadak menghilang, berubah menjadi asap hitam. Edward terus memburu kerangka sampai semua kerangka menjadi hilang.

Tangan dan kaki Seth yang tadinya ditahan kerangka lalu terlepas dan ia bisa bergerak bebas. Seth lantas merebut tongkat berlapis gulungan kain dari tangan Edward.

"Apaan sih?!" Edward menjadi kesal karena dipelototi Seth dengan pandangan yang seolah mengatakan 'apa kau tolol?'.

"Kau tahu apa ini?" Suara Seth tidak terkontrol. Ia tampak panik.

Edward hanya mengangkat bahu dan melengkungkan mulutnya.

"Ini The Book of The Dead tahu! Ini peninggalan sejarah yang berharga! Jangan sembarangan disentuh, apalagi dijadikan tongkat baseball!"

Edward terkejut melihat Seth si kutu buku yang pemalu mendadak berubah menjadi penuh emosi dan memarahinya. Padahal biasanya Seth tidak berani menatap orang lain, apalagi menatap seorang berandal seperti Edward.

"The Book ... apa?"

"Ini isinya mantra untuk orang mati."

"Ap-apa?!" Edward mendadak pucat pasi. Ia merinding dan menepuk seluruh tubuhnya seperti ada serangga yang sedang merayap di sana.

"Sedang apa kau?" Seth menatap Edward dengan bingung.

"Kau bilang itu buku mantra orang mati. Aakk! Tadi aku menyentuhnya! Apa aku baik-baik saja? Katakan, Seth!"

"Eh ... buku ini nggak seberbahaya pikiranmu." Nada suara Seth berubah tenang.

"Aku nggak akan berubah jadi mumi kan? Aku nggak akan dikutuk jadi mumi seperti Firaun kan?!"

"Kau kebanyakan nonton film, Ed." Seth tertawa terpingkal-pingkal.

"Heh! Kau ...."

Baru saja Edward hendak membalas ejekan Seth, tiba-tiba seluruh ruangan bergetar. Bagian atas meja dari batu di tengah ruangan yang tadi dipakai untuk menahan Seth bergeser ke samping, menampilkan sebuah mumi yang terbaring dibalik penutup batu.

"Ja-jadi dari tadi aku ditidurkan di atas sarkofagus?" Seth menjadi pucat pasi seperti akan pingsan.

Seperti mimpi buruk yang menjadi nyata, mumi di dalam peti dari batu mendadak terduduk. Perlahan-lahan kepalanya memutar ke arah samping, arah Seth dan Edward. Mumi itu bangkit dan menuruni meja peti matinya.

"La-lari!" Edward menarik Seth yang masih terpana melihat ada mumi yang hidup.

Mereka lantas berlari di sepanjang lorong temaram yang hanya diterangi obor di setiap beberapa langkah.

"A-aku lupa bilang. Jangan sembarangan menyebut di sini! Semua yang kau sebut jadi kenyataan!" Seth berteriak di tengah napasnya yang terengah-engah.

"Apa? Aku tadi bilang apa memangnya?"

"Tadi kau bilang mumi dan firaun!"

'BRAK!'—Mendadak sebuah sarkofagus terjatuh entah dari mana ke depan mereka. Sarkofagus, peti mati dari batu dan dihias atau diukir yang biasa dipakai di mesir kuno itu, tampak mewah dengan cat berwarna emas dan warna-warna lainnya. Penutup sarkofagus tersebut mendadak tergeser ke samping, menampilkan tangan busuk berbalut kain yang mencoba keluar.

"Aak! Kemari!" Kali itu giliran Seth yang menarik tangan Edward untuk kabur.

"Kenapa tiba-tiba ada begituan, sih?!" keluh Edward. Ia tidak yakin harus berlari sampai mana lagi. "Nanti apa lagi yang muncul? Ribuan belalang? Air darah?"

"Ed! Jaga ucapanmu!" Seth berhenti dari berlari di pertigaan jalan dan memarahi ucapan Edward yang sembrono.

Edward tersentak. Ia lantas memukul mulutnya sendiri. "Apa yang kukatakan tadi? Aku bercanda! Hai Dewa Mesir Kuno atau siapa pun itu! Aku tadi hanya bercanda, oke? Anggap aku tidak mengucapkan apa pun, oke?"

Bertolak belakang dengan perkataan Edward, terdengar gemuruh air dari kejauhan di belakang mereka yang seperti membawa bencana. Bau amis dari banjir mulai menguar dengan sangat pekat. Lalu bunyi berisik dari kepakan sayap serangga mulai mendekat dari arah kanan.

"Kiri!"

Kemudian mereka tidak lagi saling menarik dan kompak mengambil jalan di sebelah kiri, kembali berlari. Mereka pun memasuki sebuah ruangan, ruangan yang sama dengan ruangan pertama Edward tersadar.

"Tempat ini ... aku pertama bangun di sini," ucap Edward.

"Eh?"

"Rrrhhh ...." Suara geraman rendah dari belakang mengagetkan Edward juga Seth. Mereka menoleh ke belakang dan mendapati dua mumi terbalut kain linen yang sudah sobek di sana-sini bergerak perlahan mendekat, berusaha mencapai mereka.

Akan tetapi, tiba-tiba badan kedua mumi terbelah, membuat kerangka berbalut kain linen itu jatuh berserakan di lantai. Muncul mumi lain dengan sebuah pedang sabit panjang.

Mumi baru tersebut tampak berbeda, kain linen yang membalutnya lebih rapi dan badannya lebih tegak. Aura kegelapan menyelimuti tubuh si mumi dan bergerak-gerak seperti tentakel. Ia mengulurkan tangannya ke depan lalu berkata dengan suara lirih yang mengerikan, "ru ... nu ... peret em ... heru ...."

"Di-dia bilang apa?" Edward gemetar ketakutan. Baru kali itu ia merasa sangat takut. Kegelapan yang dibawa mumi di hadapannya.

"The Book of The Dead ...," gumam Seth. Ia makin menggenggam erat gulungan papirus di tangannya.

"Kau bisa bahasa mesir kuno?" Edward masih menyempatkan diri untuk menatap takjub temannya.

"Fokuslah Ed! Sepertinya mummy di depan tidak mau bersahabat!" Perkataan Seth kembali tegas. Perubahan Seth yang bertolak karena di bawah tekanan ini, cukup membantu Edward menghadapi situasi pelik dalam Quest.

Sabit panjang-death scythe- yang dibawa mummy itu tiba-tiba mengayun dengan cepat. Dua mummy berbadan tulang busuk berserakan di belakang Edward dan Seth setelah tertebas sabit panjang itu. Keduanya merasa bersyukur sekaligus takut melihat mummy yang baru saja menyelamatkan mereka.

"Lari!" komando Edward saat merasa mummy tersebut akan menghabisi mereka.

Keduanya lari tunggang langgang, meskipun itu hampir mustahil. Mummy pembantai itu melesat cepat sambil membunuh mummy lain yang ditemuinya.

Edwar menarik Seth berbelok ke arah kanan, tetapi naas, yang mereka temui hanyalah jalan buntu. Ada sebuah lubang kecil di dinding tempat sesuatu seharusnya berada di sana.

"Gawat! Ini jalan buntu!" gerutu Edward kesal.

"Tidak. Ini sebuah pintu," gumam Seth. Ia mengambil sebuah benda berwarna hijau zamrud berkilau berbentuk kumbang yang tergeletak di bawah. "Scarab!"

Seth memasukkan benda itu ke lubang yang berada di dinding. Seketika suara gemuruh terdengar dan pintu dari batu tebal itu melesak ke atas. Bukan sulap bukan sihir, pintu menyatu dengan langit-langit.

Setelah keduanya masuk, pintu batu itu segera menutup ke bawah. Menghalangi mummy yang mengejar mereka.

Ruangan yang mereka masuki cukup besar. Disinari dari lahar panas di tengah-tengah ruangan. Banyak sekali mummy kucing dengan berbagai gaya di tata rapi di ruangan itu. Beberapa dihiasi baju dari besi dan ornamen-ornamen dari bebatuan mulia.

"Sepertinya ini tempat suci. Tempat pemujaan kepada Dewa Matahari, Re, dengan mengawetkan tubuh kucing yang digambarkan anak dari Re, Dewi Sakhmet," jelas Seth antusias. Edward memutar bola matanya jengah.

"Baiklah, kau unggul dalam hal ini," kata Edward. Belum genap jantung mereka istirahat dari kejaran mummy jahat, ribuan kumbang dari berbagai arah mendekati mereka. Mereka merayap seperti ombak yang mendekati mangsa. Keduanya perlahan menghindar hingga sampai ke bibir Neraka.

"Sial! Inilah akhirnya. Kita tercebur ke api," desah Edward pasrah. Satu kumbang merayapi kaki Edward membuat pemuda itu berjengit dan berteriak panik. "Aaaaa," Pijakan kakinya goyah. Edward pun terperosok masuk ke dalam lubang Neraka.

"Ed!" teriak Seth panik. Ia mengecek temannya di bawah. Sudah pasti tubuh temannya hangus dilalap lava panas.

"Seth, aku menemukan tempat aman di sini. Ada ceruk yang cukup dalam, dan sarkofagus dari kapur putih," Suara Edward di bawah membuat Seth lega luar biasa.

"Aku akan coba turun," kata Seth. Dalam keadaan terdesak, entah kenapa ia bisa menyusul Edward ke ceruk yang menjorok ke dinding Neraka. Hawanya cukup panas sehingga serangga di atas tidak berani menyusul mereka.

"Haaah," Edward tiba-tiba meremang. Ia menggigil hebat seolah ada yang merayapi darahnya. Pemuda itu bahkan terbatuk bebapa kali hingga memuntahkan darah.

"Ed! Apa kau tergigit Scarab?" tanya Seth khawatir.

"Lebih dari itu. Sepertinya scarab itu piknik dalam tubuhku," kata Edward lemah.

Seth berjengit ngeri. Edward kembali muntah darah.

Pemuda kacamata itu membentangkan papirusnya, mencari sebuah kalimat yang sekiranya bisa menyelamatkan Edward.

"Kitab ini berisi bab 17. Salinan tata cara menuju Duat bagi orang-orang mati. Dewa yang bertugas mengantarkan mereka adalah Inpu atau Dewa Anubis," terang Seth dalam kepanikannya.

"Bagus. Letakkan papirus ini di atas sarkofagus!" perintah Edward sambil terus mengerang. "Seth, jika aku mati disni, tolong beritahu ibuku, kalau aku menyayanginya," rintih Edward.

Tentu saja Seth tidak menggubris perkataan Edward yang mengerikan itu. Ia lantas meletakkan papirusnya di atas sarkofagus yang dihiasi tiga scarab hitam mengkilap. Sesaat kemudian, sebuah suara muncul dari belakang mereka, dari lubang Neraka yang menganga.

"Kaliankah yang mengembalikan papirusku?" seorang lelaki berkepala Jackal berbicara kepada Edward dan Seth. Bahasanya adalah bahasa yang biasa digunakan kedua remaja itu.

"Y-ya," jawab Seth ketakutan. Ia memeluk Edward yang masih kesakitan. "Apakah anda Dewa Anubis? Penjaga kuburan ini?" tanya Seth lagi.

Dewa Anubis mengangguk mantab. "Terima kasih kalian sudah membantuku mengembalikan papirusku. Kini aku bisa melanjutkan tugasku mengantarkan para jiwa ke alam Duat. Katakan, apa imbalan kalian setelah membantuku?"

"Tolong teman saya yang sekarat, Dewa! Dan pulangkan kami ke dunia kami, Dewa Anubis!" pinta Seth penuh harap.

Dewa Anubis melambaikan tongkatnya. Sebuah burung Phoenix terbentuk dari lava panas. Besarnya seperti burung onta di bumi. "Naiklah! Aku akan menyelesaikan kekacauan di sini, dan mengirim mummy pembantai di depan ke alam yang seharusnya."

Dengan takjub Seth menunggangi burung phoenix itu. Cakar phoenix menggenggam tubuh Edward yang terkulai lemas.

"Terima kasih, Dewa Anubis," kata Seth sebelum burung itu melesak ke langit-langit menuju setitik cahaya di atas sana.

Semakin dekat, cahaya itu semakin menyilaukan pandangan. Mereka terlempar keluar setelah melewati cahaya yang silau itu. Bergulingan di atas pasir sampai Edward mencium sebuah kaki panjang bercelana jeans. Sialnya itu adalah kaki Pak Alfonso.

"Dari mana saja kalian? Apa kalian bermain-main dengan situs sejarah?" bentak Pak Alfonso kepada kedua remaja yang sekarang bermandikan pasir di kakinya. Keduanya dijewer Pak Alfonso hingga telinga mereka merah.

"Aaaa, tidak Pak. Kami baru saja meneliti di dalam," jawab Seth penuh ketakutan.

"Benarkah? Bagus kalau begitu. Jatah kalian membuat makalah harus tidak kurang dari 2500 kata!" kata Pak Alfonso final. "Kita lanjutkan ke situs terakhir anak-anak!"

"Sial! Bisa buat novel dua bab ini. Gara-gara kau, Seth!" gerutu Edward yang sudah pulih seperti sedia kala. Rasa sakit dalam tubuhnya seperti tidak pernah ada.

"Sepertinya 2500 kata kurang untuk menceritakan kita dikejar mummy dan bertemu Dewa Anubis," kata Seth bangga. Edward menoyor kepala Seth hingga kacamata Seth melorot dari tongkrongannya.

"Bodoh! Balik ke dunia ini otakmu jadi dodol lagi! Mana ada yang percaya? Yang ada kita dinilai buat novel fantasi bukan karya ilmiah!" omel Edward kepada remaja berambut bob itu. Seth hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan penuh pasir.

Edward berjengit saat melihat satu scarab bergelantung di tas seorang siswa. Ternyata itu hanyalah sovenir wisata yang dijadikan gantungan kunci. Perasaan mendelenyar merayapi tubuh Edward. Seolah memori digerayapi scarab menjadi kenyataan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top