Part 2. Hidden Quest
“Ed, kerjakan tugas sekolahmu dulu!”
“Duh! Bentar, Ma! Lagi lawan bos akhir, nih!” balas Edward yang ikut berteriak agar bisa terdengar ibunya yang berada di ruangan lain. Ia masih sibuk memainkan game survival bertemakan zombi.
Ibu Edward sepertinya membalas lagi perkataan anaknya dengan omelan panjang lebar yang tidak dihiraukan Edward sama sekali.
Remaja laki-laki itu sudah belajar agar tidak memasukkan omelan orang tuanya ke dalam hati.
“Aku menang?! Aku menang lawan bos zombi ini?! WOAH!” Edward berteriak kegirangan dan membuat kegaduhan di kamarnya. “Gila! Gilaaaa! Seisi sekolah pasti heboh kalau tahu aku jadi pertama yang bisa menang lawan bos akhir!”
Edward menatap layar smartphone-nya dengan bangga dan me-screenshot tampilan smartphone untuk menjadi bukti. Sesaat kemudian muncul pemberitahuan baru.
“Apa ini? Penawaran untuk melakukan quest tersembunyi? Quest menyelamatkan dunia?” Edward pun menerima quest game tersebut. “Sepertinya seru.”
Tiba-tiba seutas cahaya putih menari-nari mengelilingi Edward. Lalu sebuah lingkaran putih terbentuk di kakinya dan mengeluarkan sinar yang sangat menyilaukan hingga membuat Edward menutup matanya karena terasa perih. Sinar tersebut melingkupi kamarnya, seolah-olah menelan segala yang ada di kamar tersebut.
***
Edward perlahan membuka mata. Kepalanya terasa pusing ketika ia mencoba untuk duduk. Ia terbangun di atas lantai yang terasa dingin di ruangan yang juga sangat dingin. Ia memeluk dirinya seolah bisa menghangatkan tubuhnya dengan cara itu.
“Di mana ini?”
Edward mengamati sekelilingnya. Ia berada di sebuah ruangan serba putih seperti ruangan yang biasa terlihat pada film-film bertemakan science-fiction, ruangan berdesain kaku dan tampak serba otomatis.
Tidak banyak furnitur di dalam ruangan itu. Hanya ada tempat tidur dari besi di dekatnya, sebuah meja dengan komputer di sudut, dan sebuah benda seperti robot sederhana yang terbuat dari batang-batang besi seukuran manusia yang tampak melakukan sesuatu pada komputer di hadapannya.
Edward bangkit dan terkejut ketika mendapati seorang gadis berambut perak tertidur di atas tempat tidur besi. Gadis itu tampak tenang meski tempat tidur yang ia tempati tertutup kaca transparan dari ujung ke ujung.
“Dingin ….” Edward segera menarik tangannya ketika menyentuh kaca yang menutupi si gadis, kaca tersebut terasa sangat dingin seperti es.
“Ini.”
“Akh!” Edward terkejut ketika robot yang tadi berada di depan komputer tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya, menyodorkan sebuah tablet elektronik berwarna perak dan berlayar hitam.
Dengan tangan gemetar, Edward mengambil tablet tersebut. Ia membaca rangkaian kata-kata pada tablet:
‘Jika kau ingin kembali ke duniamu sebelumnya, kau harus menyelamatkan seseorang bernama Daniel dari tangan Payung Corp.’
Di bawah kalimat tersebut terdapat data dan foto tentang seseorang yang sepertinya bernama Daniel, seorang pria tampan berbadan atletis dengan rambut merah.
Edward memandang dengan teliti orang yang menjadi misi pencariannya. Entah ini nyata atau tidak, Edward merasa harus menyelesaiman misi untuk menyelamatkan Daniel. Aura petualangan sudah menguar di sekelilingnya. Jantungnya berdebar demi menebak musuh yang akan dihadapinya.
Udara di ruangan pendingin itu membuat Edward menggigil. Semua itu terkalahkan oleh ketegangan saat ia mendengar orang bercakap-cakap dari lorong di luar ruang pendingin.
Dua orang berpakaian snelli ungu sedang berdiskusi melaporkan sesuatu.
"Daniel sudah dipindahkan ke ruang isolasi?" seseorang bersnelli ungu dan berkacamata bertanya pada koas cantik di belakangnya, tampak sibuk dengan data-data pasien.
"Sudah, Dok. Daniel cukup tenang sekarang," lapor koas cantik itu.
Dokter bersnelli ungu mengangguk. Dia adalah kepala bedah yang biasa memimpin operasi.
Setelah kedua orang itu menghilang, Edward memencet tombol lift di ruangan itu. Beberapa tombol bertuliskan ruangan tertera di tempok lift. Ed memilih tombol isolasi. Lantai lift bergetar hebat karena pilihannya. Sekejap ruangan terlihat terang kemudian pintu terbuka. Kali ini, Ed berada di lorong yang cukup sepi. Dengan ahli, ia menyelinap dari sudut ke sudut untuk mencari ruang isolasi.
Dokter kepala bedah bersnelli ungu memasuki ruangan isolasi dengan koas di sampingnya. Ed mendekat ke ambang pintu untuk mendengar percakapan mereka.
"Bagaimana kondisimu, Daniel?" tanya Dokter Kepala Bedah.
"Lumayan baik. Apa Alice baik-baik saja?" tanya Daniel dengan raut khawatir.
"Kau tidak usah khawatir. Kami akan memasukkan selmu ke tubuh kekasihmu untuk menolongnya. Tetapi, kau harus menandatangani kontrak dengan kami terlebih dahulu dan kau harus mematuhi semua protokol medis yang kami lakukan terhadapmu," terang kepala bedah dengan nada penuh kewibawaan.
Daniel mendesah pasrah. Demi Alice sehat kembali ia rela melakukan apa pun. Walaupun ia menjual tubuh dan hidupnya sendiri, ia rela. "Baiklah, Dok. Lakukan asal Alice bisa hidup kembali."
"Terima kasih atas keputusanmu, Daniel. Kami janji ini akan menjadi jalan terbaik bagi kalian berdua," Dokter Kepala Bedah memberi isyarat koas di sampingnya. Dengan sigap, koas cantik itu memberikan sejumlah dokumen untuk ditanda tangani Daniel. Setelah semua kolom sign sudah terisi, Kepala Bedah dan koasnya pamit undur diri.
Edward segera bersembunyi di sebuah ruangan kebersihan tidak jauh dari ruang isolasi. Semua informasi yang diterimanya segera ia olah untuk memahami situasi yang ia hadapi. Tiba-tiba muncul beberapa sosok Zombie di depan Edward.
Ruangan berukuran 7 kali 4 meter itu sekarang dipenuhi aura menegangkan. Di tangan Edward muncul pistol otomatis. Di mata Edward tertera nyawa dan senjata-senjata yang dimiliki Edward. Luar biasa! Semua senjata ini ia miliki di game yang ia mainkan di smartphone-nya di rumah. Edward menampar pipinya sampai perih. Ini nyata. Tubuhnya terasa sakit. Dan Zombie di depannya bergerak amat nyata, mengeluarkan suara-suara mengerikan dan aroma lendir yang berbau bangkai. Mereka seperti para pemain film yamg didandani make up Zombie, sedangkan ini lebih dari nyata. Ed menembaki kepala Zombie setelah berjarak kurang dari lima meter. Lima zombie pun berhasil dilumpuhkan dengan Automatic Gun di tangannya.
***
Level 2
Tampilan di mata Edward menghilang. Ia membuka pintu, tetapi tidak menemukan lorong ruang isolasi yang ia tinggalkan.
“Di-di mana ini?” Edward kebingungan, tempat itu tampak senyap, aroma kopi yang diseduh dan masih hangat terhidu. Edward memutarkan pandangannya, nuansa berbeda dari tempatnya tadi menggenapkan ekspresinya saat ini. Meja yang tertata, buku dan alat kantor yang tersusun rapi serta beberapa furnitur dan almari yang berada di sudut dinding.
Terdengar suara pintu terbuka.
“Reaksi selnya sangat luar biasa, sel dari sampel tubuhnya bisa membekukan bahkan melawan virus hingga lumpuh. Ini akan mnejadi hal yang sangat mengujutkan, kita akan sebar luaskan di lingkungan komersiil, kita perkuat lagi selnya hingga sebagian berpikir akan lebih banyak membutuhkan pertolongan kita.”Langkah kaki ringan dan suara seorang wanita paruh baya yang terdengar cukup membuat Edward tegang.
“Apakah kau yakin, sel seorang mutan tidak akan berbahaya?”
“Kau masih memikirkan itu, Duke?” Wanita itu bertanya kembali pada sang pria.
“Mutasi sel alami adalah imun alami yang baik bagi umat manusia, itu yang semua orang cari-cari, dan dia (Daniel) ... muncul di hadapan kita sekarang, tetapi suatu imun bisa jadi senjata untuk berbalik menyerang sel-sel tubuh, kau tahu? Autoimun?” Sang wanita mengungkap dengan sorot mata penuh maksud.
“Dan—kapan kau akan menyelesaikannya?”tanya sang pria membidik manik mata sang wanita.
“Kita akan segera menyelesaikan ini, kita sudah menemukan kuncinya, segalanya akan menjadi milik kita, bahkan negara akan tunduk pada kita.” Wanita paruh baya itu tengah menyilangkan tangannya di depan dada menarik sudut bibirnya, sepersekian detik kemudian wanita itu tertawa.
Edward yang bersembunyi di bawah kolong meja hanya terdiam, tak mengerti dengan pembicaraan antar kedua orang.
“Tapi ...” seorang pria yang tengah berbicara pada sang wanita menghentikan ucapannya sejenak, menatap dalam di sorot mata sang wanita. “Kau harus berhati-hati,” Sang lelaki mendekat dan berbisik, “Predator bersembunyi di air yang tampak tenang dan aman.” Kemudian ia melangkah menjaraki sang wanita, sekelebat raut wanita itu tampak terkejut dengan ucapan sang laki-laki.
“Kau belum melihat kemampuanku, kau akan lihat seutuhnya.” Sang lelaki berbalik kembali, menoleh ke arah sang wanita.
“Good luck,” kata sang pria sambil mengangguk samar. Kemudian meninggalkan sang wanita yang tengah berdiri sambil bersandar di bibir meja di belakangnya.
“Kau akan melihat, siapa predator itu,” ungkap sang wanita, tersenyum tipis.
Edward sekelebat terperangah, tentang robot yang ia temukan, tentang zombi yang ia musnahkan, dan kedua orang yang berdialog tadi. Apakah ini ada hubungannya dengan orang yang bernama Daniel itu? Aku harus segera menemukannya.
***
Sebuah suara wanita terdengar.
“Hi, Dear, How the sky so beauty, look at there!”
“Yeah, i look us ...”
“No, itu bentuk hati!”
“Yeah, itu kita, I ‘that clouds’ you so much, Dear.”
“Awww, Daniel.” Perempuan itu tersenyum sambil menengadahkan kepalanya ke arah wajah Daniel, mereka tengah duduk bersama di sabana yang luas. Daniel memeluk Alice.
“Aku punya sebuah firasat aneh,” ucap Alice tiba-tiba.
“Tidak, kau tidak boleh berkata seperti itu, kita akan menentukan tanggalnya, kita akan menjadi satu di hari ulang tahunmu,” balas Daniel menanggapi.
“Entahlah, Daniel, semoga semua berjalan dengan lancar.”
Beberapa minggu setelahnya Daniel dan Alice tengah berada di suatu ruang di tempat kerjanya.
“Daniel ... sepertinya, aku ... ” terdengar suara Alice yang lemah dari sambungan ponsel yang dilekatkan di telinga Daniel, Alice berucap sambil terbatuk beberapa kali.
“Alice, no, no, Alice jangan katakan, pernikahan kita hampir tiba.”
“Maafkan aku Daniel.” Beberapa kali Alice terbatuk, sesak napas, dan terbatuk lagi, ia merasakan mual yang hebat dan terbatuk, tangannya menangkup di mulutnya dan terlihat darah yang keluar dari mulutnya. “So sorry, My dearest.”
***
“Alice,” ucap Daniel lemah, sudut matanya keluar air yang merayap ke samping, dekat telinganya.
Daniel masih terbujur di ruang operasi, tubuhnya sengaja diberi anestesi secara berlebih.
Sementara itu, Edward sedang menuju ke tempat Daniel.
“Ini gila, aku harus menemukan lokasi orang itu dalam waktu kurang dari lima menit, di mana aku bisa menemukannya?” Edward berlari melewati lorong sepi dengan kanan kirinya bernuansa serba putih, lampu yang berjajar di langit-langit membuat matanya silau kala tersorot beberapa kali.
Edward melihat suatu ruangan yang tampak tak asing baginya.
“Oke, sepertinya mau tak mau aku harus menghadapi peternakan zombi lagi.” Edward menarik napas dalam kemudian menghela napas.
“Hi guys, here we go again, huh!” ujar Edward sambil menarik selongsong pistolnya. Terdapat alat pemadam api yang tergantung di sudut dinding di dekatnya.
Edward membuka tub pemadam itu dan menyemprotkannya ke zombi, ia mengarakan pistol ke langit-langit, melepaskan peluru beberapa kali, memecahkan sprinkler dan memutuskan beberapa kabel. Kabel-kabel itu melunglai ke bawah dan sprinkler memancarkan air, zombi yang mendekat langsung tersengat listrik dari kabel dan air yang memancar.
Beberapa lama kemudian, ia menemukan pintu besar setelah menjaraki para zombi dan melempar kedua senjatanya yang telah lapar.
“Duh, berikutnya apa lagi, nih?” Edward melihat pintu itu terkunci, terdapat alat, monitor dan tombol untuk kata kunci untuk membuka pintunya.
“Apa-apaan ini?” Edward mencoba menekan tombol dan kedua kalinya menunjukkan salah kode. Edward memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang bisa dijadikan petunjuk.
“Jika kau ingin kembali ke duniamu kamu harus menyelamatkan Daniel dari Payung Corp.”
Edward melirik sebuah buku bersampul beludru. “Payung-Corp 20**”
“Kita sudah menemukan kuncinya...”
Mungkinkah ...
Edward mencoba mengetik kata kunci dengan kata kunci pada ‘Hero’ yang ia mainkan di video game. Enam digit dan pintu itu terbuka.
Edward lekas masuk dan melihat tubuh Daniel yang masih terbujur.
“Hei, kau harus bangun!”
“Apa yang harus aku lakukan?”
Edward melirik, alat kejut jantung berda tak jauh dari tempat Daniel berbaring.
“Katakan, Aaa!”
“AAA!” Daniel tersperanjat, “siapa kamu?”
“Aku titisan kekasihmu!”
Daniel terperangah, matanya membelalak dengan seorang bocah berada tepat didepannya sambil mengepalkan tangannya di samping celana.
“Aku ingin memberitahumu sesuatu.”
Edward menceritakan semuanya dan betapa takjub Daniel mendengar keselurusahan cerita itu.
“Aku hanya alat untuk keuntungan mereka?”
“Ya!”
“Apakah mungkin, aku tidak bisa menyelamatkannya, Alice dan semua umat manusia?!”
“Kau sudah menebaknya,” Edward menekuk bibirnya.
Terdengar teriakan keras dari orang di hadapannya membuat Edward berjengit, Daniel sangat gusar, melepas paksa infus serta suntikan yang masih menancap di nadinya.
“Kita harus segera kabur dari sini dan membawa sampel darahmu untuk menyelamatkan kekasihmu!” ujar Edward, Daniel mengangguk, ia turun dan mendarat dengan kasar, beberapa kali ia sempoyongan dan tertatih.
“Efek bius ini masih belum hilang.” Daniel meringis.
Keduanya berlari tunggang langgang. Beberapa langkah yang mereka dapati sampai tak tampak lagi ruang yang megurung Daniel. Namun, sebuah sirena berdengung sampai-sampai membuat keduanya menutup telinga bersamaan.
Pintu besi lorong tertutup dan kedua terjebak, tetapi Edward menunjukkan jalan pintas, sebuah ventilasi udara yang berada di atas mereka, Daniel mengangkat tubuh Edward dan Edward berdiri berpijak pada pundak Daniel.
“Gawat, masih tak sampai!” ungkap Edward kepada Daniel.
“Coba lagi!” pinta Daniel pada Edward, akhirnya Edward melompat dan berhasil meraih bibir ventilasi udara, menjebol paksa penutupnya. Edward mengakat lagi tubuhnya, beberapa kali dan akhirnya sampai di atas atap lalu menarik Daniel dengan susah payah.
Selama sepersekian menit, akhirnya Daniel bisa menyusul Edward.
“Kau sangat hebat, Nak!” ungkap Daniel dengan menepuk pundak Edward lembut.
***
Edward dan Daniel kembali menyusuri ventilasi udara dan sampai pada sebuah ruangan yang remang.
“Tempat apa ini?”
“Ini tempat awalku dipanggil ke sini, yeah, aku berhasil menyelamatkanmu, kau bisa bertemu kekasihmu dan aku bisa kembali ke dunia asalku.”
“Aku bisa bertemu dengan Alice? Katakan, Nak, di mana Alice? aku harus segera menyembuhkannya”
Daniel melihat raut wajah Edward dan ia tergugah dengan suara robot yang ia kenali.
“Halo, Daniel”
Daniel menoleh ke robot seukuran bocah Edward itu yang berdiri tenang di samping tempat tidur besi. “I-ini kan robot buatanku dan Alice saat kami masih sekolah dulu.” Daniel menahan tangis kerinduan yang mengingatkan dirinya pada masa lalu yang indah bersama kekasihnya.
Pandangan Daniel berpindah ke tempat tidur besi berpenutup kaca transparan. Ia mengernyit dan mendekat perlahan ke tempat tidur. Daniel terdiam lama dan menatap nanar ke arah Alice yang terbaring kaku. Terjadi keheningan yang menyesakkan dan Edward pun bingung harus berbuat apa.
Apa yang terjadi? Mengapa pria besar itu diam saja? batin Edward.
Daniel tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya hingga terduduk. Air matanya mengalir dengan deras.
“Alice … tidak mungkin! Mereka bilang … kau masih hidup. Jangan tinggalkan aku sendiri! Alice …
ALICEEE!!” Daniel meneriakkan nama Alice dengan teriakan putus asa bercampur amarah.
Daniel mulai meracau dan membenturkan kepalanya ke tempat tidur besi Alice sampai darah mulai merembes.
“He-hentikan! Kau menyakiti dirimu sendiri!” Edward menarik paksa Daniel sekuat tenaga meski ia bukan tandingan pria besar itu.
“Ini bukan apa-apa! Percuma aku hidup kalau Alice sudah mati! Mereka menipuku dengan mengawetkan badannya di suhu dingin! Huhu ….”
Daniel menangis kencang yang tidak sesuai dengan badan besarnya.
Edward menoleh ke arah Alice dan merasa takut. Jadi itu mayat?!
“Daniel! Jangan menyakiti dirimu!”
Terdengar suara dari arah robot yang seperti suara seorang wanita yang membuat Daniel berhenti membenturkan kepalanya. Suara dari robot telah berubah.
“Suara itu … Alice?!”
“Ini hanyalah rekaman. Kalau kau mendengarkan rekaman ini berarti aku sudah mati. Aku tahu kau akan menyakiti dirimu sendiri begitu tahu kenyataan tentangku. Pria bodoh!”
Meski dimaki, Daniel justru tersenyum sedih. Betapa rindunya dia dengan suara Alice.
Robot itu mengulurkan sebuah chip di tangan besinya dan kembali mengeluarkan suara Alice dari speakernya. “Aku tahu aku tidak akan selamat, karena itu aku setuju untuk dirawat di rumah sakit ini agar bisa membajak jaringan Payung Corp. Di chip ini berisi kejahatan mereka, berikanlah pada pemerintah agar mereka menangkap orang-orang jahat itu.”
“Alice ….”
“Ini adalah permintaan terakhirku Daniel. Terima kasih sudah mencintaiku sampai akhir. Aku juga … mencintaimu.” Bersamaan dengan kalimat terakhir, si robot mematikan diri.
Daniel mendekap chip erat-erat di dadanya. “Aku mencintaimu … aku juga …,” ucap Daniel lirih.
Pandangan Edward tampak buram karena matanya ikut berkaca-kaca melihat pemandangan kedua insan yang cinta mereka tidak lagi dapat bersatu. Edward berusaha menyeka matanya agar air matanya tidak tumpah.
Sesaat kemudian muncul pemberitahuan berwarna hijau melayang di hadapannya.
‘Quest selesai. Selamat! Anda telah menyelesaikan hidden quest.’
Lalu keluar lagi seutas cahaya putih menari-nari dan sebuah lingkaran di kaki Edward yang mengeluarkan sinar terang menyilaukan mata.
With Team 14:
chieszstory
astridezza354
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top