✨[35] Tuan putri tanpa pangeran

”Pangeran hingga jannah”
.
.
.

Aku ingin tetap tinggal, namun keadaan tidak dapat lagi menyatukan, dari awal aku mengerti, bukan aku tuan putri satu–satunya.

~Aira khanza

Jerman, 3 tahun kemudian...

Flashback.

"Bunda.. Ayah. Aira mau pergi untuk sementara waktu, izinkan Aira pergi,Ai–ra gak kuat lagi," lirih Aira.

Seminggu setelah kejadian malam itu.

Aira pikir esoknya akan baik–baik saja,tidak ada lagi kesalah pahaman. Aira pikir setelahnya Farhan akan datang menjemputnya, meminta maaf,dan dia bisa menjelaskan bahwa foto itu tidak seperti yang suaminya pikirkan. Namun nyatanya Farhan sama sekali tidak datang, mengabaikannya. Bahkan di kampus pun Farhan tidak pernah lagi memintanya keruang dosen, di kelas pun sama, mereka seperti orang asing.

Sungguh demi apapun di abaikan suami sendiri itu sakit, sangat sakit.

Rasanya Aira ingin pulang kembali ke rumah,menemui suaminya. Memperbaiki kesalah pahaman, tetapi dia tidak berani, Aira takut kalau nantinya Farhan kembali marah, kembali membentaknya. Aira takut.

Dan selama seminggu Aira berandai–andai bahwa penatiannya akan berakhir, berandai Farhan kembali lagi bersamanya. Namun kalimat andai itu akan tetap menjadi harapan semu.

Selama seminggu Aira tidak pernah absen mengirim pesan untuk suaminya, dan selama seminggu pula Farhan mengabai pesannya, jangankan di balas di baca pun tidak.

Dan penantian Aira ada batas, dia juga manusia biasa, tidak bisa selamanya bersikap bahwa dia baik–baik saja. Makanya setelah itu Aira membuat sebuah keputusan, mungkin dengan dia pergi, Farhan mau berbaik hati memaafkannya meskipun pada dasarnya dia tidak salah apa–apa.

Semua butuh waktu, mungkin suaminya butuh waktu untuk sendiri. Dan Aira dengan keikhlasan hatinya rela pergi. Asal nanti di kemudian hari, mereka bisa bertemu lagi dan memperbaiki segalanya. Mungkin.

"Bunda gak mau kamu ninggalin Bunda, jangan pergi sayang." Anita menggeleng lemah, pertanda tidak setuju dengan keputusan tiba–tiba putrinya.

"Aira gak bisa Bun, Aira butuh waktu sendiri, dan jalan satu–satunya ialah dengan mengizinkan Aira pergi, Aira beneran ingin pergi Bunda."

Malik menghela nafas dalam,"Baiklah nak, Ayah sama Bunda bakalan izinin, tapi kamu perginya harus sama bang Raka,"lanjutnya.

Aira harap keputusannya benar.

Memberi waktu untuk diri sendiri adalah pilihan yang tepat.

Biarkan waktu yang menyembuh rasa sakit. Biarkan waktu yang berperan menyembuhkan.

"Undaaaa! Lafa mau tidull..!" Teriakan
Seorang bocah sukses membuat Aira terlonjat kaget dari lamunannya.

Aira menghembus nafasnya pelan. Entah kenapa ketika mengingat kembali kejadian tiga tahun yang lalu, selalu mampu membuat dadanya sesak.

Bahkan selama tiga tahun suaminya sama sekali tidak pernah berniat mencarinya. Apa suaminya belum memaafkannya? Atau mungkin suaminya sudah melupakannya?

Aira menggigit bibir bawahnya, rasa takut kembali mengahantuinya. Takut kalau Farhan benar–benar telah melupakannya.

"Undaa ih! Lafa mau tidul," seorang bocah berumur 2 tahun lebih tiba–tiba memeluk kaki Aira erat.

Aira terkejut saat merasa tangannya di tarik paksa oleh tangan kecil nan mungil. Dia menoleh ke  bawah. Aira terkekeh kecil saat menatap putranya yang mengerucut bibir. Sungguh demi apapun putranya sangat mengemaskan.

"Rafa mau bobo? Sini Bunda gendong."Aira menyodorkan tanggannya, dan dengan cerianya si kecil Rafa berhambur dalam gendongan Bundanya. Dengan gemasnya Aira mencium pipi gembul putranya berkali–kali.

"Ih Undaaaa! Geli," protes Rafa.

Aira terkekeh kecil,"habisnya Rafa ganteng sih, kan Bunda jadi gemasss,"Lanjut Aira sambil berjalan ke arah kamar putranya.

Si kecil Rafa terlihat kebingungan saat mendengar ucapan Bundanya, dia mengerjapkan bola matanya berulang kali." Emangnya anteng itu apasih Nda?" Tanyanya polos.

Sontak Aira tertawa kecil, "Ganteng itu kayak Ayah, sayang." Jawab Aira.

Si kecil Rafa memeluk leher Bundanya."Ayah lafa anteng?" Tanya Rafa lagi.

"Iyaa. Ayah Rafa ganteng. Mata Rafa, hidung Rafa, dan alis mata Rafa itu sama kayak Ayah, sama–sama ganteng." Jawab Aira sambil membayangkan wajah suaminya.

"Holeee! Bealti lafa sama kayak Ayah ya, Nda? " Aira mengangguk kepalanya.

"Tapi Undaaa, lafa gak ngelti anteng itu apa!" Protes Rafa saat dirinya belum juga bisa mengerti.

Meski Rafa baru berumur 2 tahun lebih, tapi kemampuan bicaranya cukup baik,hanya saja Rafa sedikit cadel.

"Nanti kalau Ayah udah jemput Rafa. Rafa tanya sendiri sama Ayah ya. Sekarang waktunya Rafa bobo."Aira membaringkan si kecil Rafa di atas kasur.

"Iya, Nda. Tapi kapan Ayah jemput Lafa?"

Aira terlihat berpikir–pikir sebentar."Maunya Rafa kapan?" Lanjutnya.

"Maunya sekalang!"

Aira terkekeh kecil saat melihat tingkah putranya. "Kalau sekarang belum bisa,sayang. Ayah kan lagi melawan super hero,kalau Ayah jemput sekarang. Nanti Ayah gak bisa menang lawan super heronya. Rafa mau Ayah kalah?" Tanya Aira pura–pura menakuti putranya.

Dan dengan polosnya Rafa menggeleng," Gak boleh, Ayah halus menang!"

"Goodboy!"

"Undaa baca dongeng untuk lafa ya," pinta Rafa sambil menatap Bundanya.

"Iya, sayang."Ujar Aira. Lantas dia menaiki ranjang, berbaring di samping putranya. Tangannya mengelus lembut puncak kepala putranya.

"Suatu hari, di negeri dongeng. Hiduplah pangeran dan tuan putri... " Aira mulai bercerita.

20 menit kemudian...

Si kecil Rafa menatap Bundanya penasaran. Karna Bundanya mengantungkan cerita cukup lama.

"Tuan putri pergi karena perintah pangeran." Ucap Aira berusaha tetap seperti biasa, Aira mati–matian menahan matanya agar  tidak berkaca–kaca. Aira tidak mau putranya melihatnya bersedih.

"Ih Undaa, pangelannya jahat!" Kesal Rafa, meski masih kecil. Rafa paham makna kosa kata 'pergi'.

"Pangeran gak jahat kok, pangeran hanya lagi marah. Marah karna tuan putri tidak menuruti perintahnya. Dan sekarang waktunya Rafa bobo karna dongennya udah selesai."

Rafa hendak protes tapi Bundanya sudah menggeleng tegas.

"Bobo sayang, jangan lupa baca doa yang Bunda ajarin kemarin ya." Aira mencium pipi gembul Rafa.

"Iya. Lafa Sayang Bunda dan Ayah. " Rafa memeluk Bundanya erat.

Malam ini seperti biasa, sama dengan malam–malam sebelumnya.

Ayahnya belum datang.

Ayahnya belum menjemputnya pulang.

⭐⭐⭐

Pagi menyapa, meninggalkan malam pajang yang menyesakkan. Harapan baru di mulai. Harapan bagi mereka yang peracaya akan adanya keajaiban.

Takdir indah yang telah Allah persiapkan.

"Guten molgen Undaaaa! Lafa sayang Unda." Si kecil Rafa langsung saja duduk di pangkuan Bundanya yang sedang tadarus al–quran.

Aira tersenyum, membiarkan putranya duduk di pangkuannya.

"Rafa ponakan Uncle paling ganteng, keluar dulu sayaang...!" Teriakan panggilan itu sontak membuat si kecil Rafa mengerucut bibirnya. Pasalnya Rafa malas keluar, dia ingin berlama–lama dengan Bundanya.

"Ih dasal Uncle! Anggu Lafa aja!" Gerutu Rafa kesal.

Rafa menatap Bundanya yang masih asik dengan kegiatan sendiri. "Undaa, Lafa kelual dulu ya." Pamit Rafa dan tentunya Bundanya mengangguk menyetujui. Tak lupa juga Rafa mencium Bundanya sekilas.

Meski kesal, Rafa tetap berlari kecil. Menemui Uclenya.

Dan satu lagi di umur Rafa yang masih 2 tahun lebih. Rafa sudah bisa berjalan dan berlari–lari.

"Rafa sini!" Panggil Raka.

Kini Rafa sudah duduk di pangkuan Unclenya.

"Keponakan Uncle kok bisa seganteng ini sih?" Raka mencubit pipi gembul Rafa sesuka hati. Seperti biasa Rafa akan marah jika pipinya di pegang–pegang apalagi di cubit.

"Ih sakit Uncle!" Protes Rafa seperti biasa.

"Iya–iya deh, maaf."

"Uncle, Lafa mau lobot balu dong." Minta Rafa dengan polosnya.

"Apasih yang gak buat ponakan Uncle. Tapi Rafa harus jawab, kenapa Rafa bisa seganteng ini?" Tanya Raka.

Si kecil Rafa terlihat sedang berpikir–pikir," kalna Ayah Lafa anteng, makanya Lafa adi anteng." Jawab Rafa begitu polos.

"Mana ada, Ayah Rafa jelek! Gak ganteng. Masih gantengan Uncle." Protes Raka.

"Gakkkk! Uncle yang elek! Ayah Lafa anteng."

"Bela aja terusss!" Raka mendegus.

"Emang kenyataannya ganteng kok!" Seru Aira yang tiba–tiba sudah duduk di sofa.

"Dasar bucin!"

"Biarin!!" Aira melotot pada Abangnya.

"Sarapan sudah siap!" Seru seseorang dari arah meja makan. Dan dengan kompak Aira dan Raka langsung saja menuju meja makan. Tak lupa juga Rafa yang berada dalam gendongan Unclenya.

"Ih kak Yuna masak banyak. Makan besar kita. Asikkkk!" Girang Aira saat menyadari begitu banyak makanan di atas meja makan.

"Duh, istri mas paling idaman deh." Nyengir Raka.

Sementara perempuan bernama Yuna tersenyum lembut.

"Makan yang banyak ya."Ucap Yuna tersenyum.

"Undaaa, Lafa mau makan bubul." Ujar si kecil Rafa.

"Iya, sayangnya Bunda, sebentar ya." Aira Langsung saja melangkahkan kakinya menuju dapur. Memenuhi permintaan putra kesayanganya.

"Mas, biar aku aja yang gendong Rafa. Kamu makan aja dulu." Yuna menyodorkan tangganya, dan dengan senang hati Rafa merentangkan tangannya.

"Danke, sayang." Ujar Raka tulus.

Raka memang sudah menikah setahun yang lalu. Dan Yuna lah yang menjadi pelabuhan cinta pertama Raka. Perempuan anggun dan lemah lembut, berbanding balik dengan Raka yang pencicilan. Kadang jodoh memang selucu itu.

⭐⭐⭐

"Sayang, kamu kapan pulang. Mama kangen banget sama kamu." Ucap Anisa di seberang sana.

Sekarang Aira memang sedang melakukan Vidio call  dengan Mama mertuanya.

"Maaf Ma, Aira belum bisa pulang."Ujar Aira lirih.

"Mama ngerti sayang, tapi Mama harap, kamu segera pulang."

Aira hanya mampu mengangguk kelu, jujur saat ini dia belum siap pulang.

Sementara si kecil Rafa yang sedang duduk di pangkuan Bundanya hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Sibuk memainkan robot  yang  baru saja di belikan Unclenya.

"Cucu Oma hari ini kok cuek banget sih. Rafa gak kangen sama Oma lagi ya?" Tanya Anisa pura–pura merajuk.

"Lafa angen kok." Jawab Rafa polos. Sekarang robotnya sudah di abaikan, perhatiannya hanya tertuju pada ponsel Bundanya yang menampilkan Omanya.

"Duh cucu Oma kok lucu banget sih? Kalo gini, Oma ingin terbang ke sana sekarang juga."

"Aira setuju Ma. Mama ke sini aja,"timpal Aira.

"Emang kamu mau ketahuan Sama Hanan? Siap ketemu Hanan sekarang?"Tanya Anisa serius.

Sontak Aira langsung menggeleng.

Anisa terkekeh kecil melihat kelakuan menantunya.

Dan obrolan itu terus berlanjut. Membiarkan mereka melepas rindunya masing–masing.

Tiga tahun.

Selama itulah Aira mencoba menyembuhkan lukanya.

Dan selama itu pula Aira tidak pernah lagi berkomunikasi dengan suaminya.

Aira benar–benar mencoba menghindar. Bukannya apa–apa. Aira hanya sedang memberi waktu suaminya untuk sendiri.

Tuan putri tanpa pangeran.

Meski sakit, Aira ikhlas.

Dan lihatlah selama tiga tahun lamanya. Aira baik–baik saja.

Mesti rasa rindu itu tetap ada.

Rasa rindu yang mampu membuat hatinya sesak setiap malam.

Setidaknya masih ada Rafa yang  selalu mewarnai harinya.

Membuat hari–harinya menyenangkan.

Buah hatinya...

Rafa al–ghifari putra anggara.

⭐⭐⭐

JANGAN LUPA TINGGALIN JEJAKNYA YA:)

Bagaimana perasaanmu setelah mengetahui keadaan Aira dan bertemu dengan si kecil Rafa?


Note:
Guten morgen: selamat pagi.
Danke : Terimakasih.
Ich liebe dich : Aku cinta kamu.

Aceh, 15–Juli–2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top