Bab 7 - Kekhawatiran (Part 2)
Hilangkan sedihmu dengan menghapus kekhawatiran di dada. Berpikirlah semua akan baik-baik saja karena keajaiban Allah, benar adanya.
~ Pangeran Hati ~
***
"Syra," Iqbal tergopoh-gopoh menyaksikan perubahan gadis di sampingnya. Sampai-sampai Insyra tersungging melihat wajah aneh lelaki itu.
"Kok lu di sini? pacarnya Syanum?"
Mendengar pertanyaan Insyra, Iqbal sedikit terkejut. Tangannya langsung dada-dada sebagai simbol ketidaksetujuan dengan tuduhan Insyra.
Insyra tersenyum kecut, lalu mematikan televisi dan membuang remote televisi secara kasar hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Dahi Iqbal mengerut. Ya Allah kenapa pasien yang satu ini bikin kepala cenutan keluhnya dalam diam.
"BRAAK." Suara berhasal dari Insyra yang menabrak guci besar. Guci yang berada di pojok ruangan menjadi kepingan, berserakan tidak beraturan di lantai.
"Sejak kapan lo di sini?" amuk Insyra seolah memiliki kelebihan bicara dengan benda mati.
Bibi berlari dari dapur sambil mengelus dada. "Ada apa toh? bikin Bibi kaget aja."
"Di mana Margaretha aku harus membunuhnya!" Iqbal melihat perubahan wajah Insyra. Dia sangat marah, "Di mana pembunuh itu?"
"Ti... Ti.. tidak tahu." Suara bibi bergetar, 2 satpam yang mengawasi dari CCTV bergerak cepat. Sebelum Insyra kabur mereka harus mengikat hingga tidak ada kesempatan lolos.
Allah memberi kecerdasan tanggap malam ini kepada Arsa, lelaki itu mengambil tas alkes—alat kesehatan— kepada Iqbal. Iqbal berterima kasih lalu mengambil tindakan dengan menyiapkan suntikan berisi cairan obat penenang. Setalah Insyra diikat, Iqbal menyuntikan tersebut hingga Insyra tak sadar diri. Begitu dibawa ke kamar Iqbal sedikit bernapas lega.
Dokter muda itu menempelkan ponsel ke telinga, diselingi kaki mengetuk-ngetuk pelan ke lantai.
"Assalamualaikum, Prof," salam Iqbal saat panggilan berhasil tersambung.
Di sebarang telepon, Anza diam-diam mendengarkan pembicaraan sang papa di telepon.
"Waalaikumsalam. Saya sudah tahu keadaan Syanum dari Bibi. Sebentar lagi saya akan melakukan perjalanan menuju Desa Gua. Tolong kamu jagain Syanum sampai saya datang ya, Bal."
Mau tidak mau, suka tidak suka. Apa pun perintah guru jika itu baik harus Iqbal iyakan, meskipun ia harus menunda mengerjakan laporan. Iqbal ingat dalam kitab ta'lim muta'alim karya Syeikh Ibrahim bin Isma'il al-Zarnuji bahwasanya tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaat ilmu bila tidak mau menghormati ilmu dan guru.
"Anza mau ke sini, Bal?" tanya Arsa antusias.
Iqbal tidak selera menjawab Arsa, selain tidak penting juga tidak sopan menelopon malah bicara dengan orang lain. "Baik, Prof. Saya tunggu. Waalaikumsalam."
Lelaki berusia lebih tua satu tahun dari Iqbal itu bertanya lagi. "Anza mau ke sini, Bal?"
Kepala Iqbal menggeleng lemah, tadi ia lihat mata Arsa sudah 5 watt mendadak naik berkali-kali lipat. "Iya. Sekarang tolong kamu cek kondisi kesehatan Syanum. Jadi, kalau Prof Syarif tanya kita bisa jawab."
Tangan Arsa hormat bendere. "Siap laksanakan, Komandan. Demi calon mertua." Kemudian dia menjinjing askes ke kamar.
Sedangkan di tempat yang berbeda Anza tertohok dengan pertanyaan sang papa. "Kamu belum ada niat menikah?"
Anza memalingkan wajah cukup lama ke samping. "Papa pertanyaannya jangan aneh-aneh dong," protesnya.
"Lah kok aneh. Hahaha... " tawa Syarif terlihat renyah. "Apa lagi nunggu yang mau lulus?"
"Maksud papa?" Anza pura-pura saja tidak mengerti arah pembicaraan sang papa.
"Perlu papa sebut merek?"
"Papa ini! Gimana bisa tahu coba."
"Papa penebak handal. Kemampuan sejak SMA. Saat memacari almarhumah mamamu, tapi kamu jangan ikut-ikutan pacaran kayak papa. Papa saja menyesal."
Sepanjang perjalanan Anza mendapat pencerahan dari papa tercinta. Saat saat seperti ini Anza merasa menjadi wanita paling beruntung memiliki papa sebijaksana Syarif. Kata orang lelaki tidak bisa berperan menjadi wanita, Anza akan menyangkal itu. Lelaki seperti Syarif merupakan sosok ayah dan ibu. Sejak mamanya meninggal diusia 12 tahun, papa lah yang merawat ditengah kesibukan menjadi dokter. Anza menjadi pendiam usai kepergian sang ibu, namun Syarif berhasil membuatnya bangkit.
"Kamu harus menjadi wanita seperti Asiyah binti Muzamin. Dengan iman yang terpancar di hati ia berani melawan Firaun. Dia meninggalkan keduniaan, kekayaan yang dimiliki suaminya untuk mendapatkan Surga Allah. Kamu harus menjadi wanita kuat karena kejujuran dan kekuatan iman."
Pesan itu menutup pembicaraan mereka, karena Anza terlelep tidur.
***
Suasana rumah bak istana yang berada di perumahan mewah, ramai dipenuhi lelaki memakai jas. Di tengah tampak pemilik rumah sibuk menjamu tamunya. Wanita itu memiliki rambut ikal setelinga. Kedua telinganya berhias anting dari berlian bernilai ratusan juta rupiah. Lihat saja pakaian yang ia kenakan, merk branded impor dari London dibandoli harga 1 M. Ia dapat tas itu dari lelang se Asia Tenggara bulan lalu. Dari berbagai deskripsi terlihat jelas bahwa wanita itu kental dengan kehidupan yang hedonis.
Acara makan-makan di rumah diadakan untuk memohin doa restu kalau suaminya akan mencalonkan diri menjadi presiden Republik Indonesia.
"Jeng Etta, jamuannya enak sekali," puji wanita bersanggul kecil di belakang.
"Terima kasih loh, Jeng."
Margaretta, orang-orang akrab memanggilnya Eta. CEO perusahaan Angkasa Raya yang bergerak bidang pariwisata, tekstil, dan market place offline maupun online. Bahkan salah satu aplikasi andalannya berhasil mengundang grup celebrity populer dari Korea Selatan.
Dari belakang anak perempuannya berlari, membisikan sesuatu kepada sang mama.
"Ada apa, Anet?"
"Mama lihat deh."
Putri kedua calon presiden Satoto disembunyikan di desa terpencil.
Mimik muka Margaretta berubah. "Bagaimana rahasia ini bisa terekspos media? Bagaimana kalau mereka tahu menyakit aneh adikmu. Hancur karier papamu."
"Berita ini sudah menyebar bahkan menjadi tranding topic Maa... Gawat sekali. Tagar #janganpilihSatoto pun menjadi tagar teratas twitter."
Margaretta berjalan cepat menemui sang suami, ia ajak lelaki itu ke belakang.
"Ada apa?".
"Lihat ini. Anakmu membuat semuanya kacau!!!!"
Foto Syanum yang tengah menyiram bunga tambil dihalaman berita itu. "Kak bisa?"
"Hancur namamu! Gagal jadi presiden!!! Urus saja anakmu."
"Anak kita, Ta."
"Tetserah."
Satoto menelepon orang kepercayaannya. "Jemput Syanum. Kita akan mengadakan jumpa pers besok pagi."
"Rasanya aku ingin membunuh Syanum," ucap Anetta, kakak Syanum.
"Kontrol dirimu. Jangan lakukan hal bodoh. Syanum sedang menjadi sorotan publik, kalau ada apa apa dengan Syanum kita yang akan menjadi tersangkanya."
***
Kalian suka gak sama cerita ini?
Kalau suka jangan lupa dukung dengan memberikan vote serta komentar ya
Al-Qur'an sebaik-baik bacaan. Semoga cerita ini tidak melalaikan dari kewajiban.
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top