Bab 6 - Indahnya jika saling mencinta

Bismillahirrahmanirrahim

Dunia akan lebih bermakna dengan ada cinta, sebab manusia terlahir dari tangan cinta Allah dan buah cinta manusia.

~Pangeran Hati~

***

Sekarang Iqbal semakin merasa kalau umi Aminah sangat berperan besar bagi keberlangsungan hidupnya. Iqbal yang mengupas bawang saja tidak pernah, kini harus berurusan dengan bawang dkk setiap hari. Sering ia tertukar antara merica, ketumbar, dan kemiri. Alhasil masakan pun menjadi aneh.

Walaupun masakan terasa aneh, Iqbal akan memakannya. Hidup jauh dari keluarga membuat ia paham arti sebuah makanan. Sewaktu kecil ia pernah dikisahkan oleh guru akhlaq tentang Uwais.

Hari ini petugas puskesmas yang biasa antar-jemput Iqbal izin, jadi dokter muda itu harus berjalan kaki. Akan terasa jauh bagi Iqbal, bisa dibilan ia jarang jalan kaki. Tapi tak apa, selain untuk menyehatkan badan hitung-hitung belajar untuk mengelilingi kakbah 7 kali atau ketika kelak sa'i di gunung Shafa dan Marwah. Mengingat nama kedua bukit itu, Iqbal jadi punya pembahasan untuk anak-anak nanti malam. Semoga pembahasanya tidak sulit dipahami mereka, Iqbal tidak suka ada pengerusuh seperti Hifza.

Baru dibatin, Hifza nongol tiba-tiba dari atas pohon. Membawa benda kesayanganyya, kamera. "Hai dokter."
Iqbal memang ramah, tapi sekali gak suka sama orang jangan tanya bagaimana judesnya.

"Tadi aku ngambil foto dokter dari atas."

"Kenapa gak dari bawah aja? Masuk dalam tanah," kalimat dinginnya mulai keluar. Kalau kata ego Iqbal, ia tak suka Hifza karena tidak punya sopan santun. Langsung menyela tanpa meminta izin.

"Yah, mati dong, Dok. Hahaha... Belum siap aku, dosanya masih bajibun. Dokter mau? Aku ambilin cangkul."

Iqbal mempercepat langkahnya.

"Mau ke Puskesmas ya, Dok?"

"Ke pasar."

"Haha... Kirain ke Puskesmas. Gak ke masjid dulu gitu Dok? Salat dhuha. Salat Dhuha banyak manfaatnya Dok."

Sungguh Iqbal kesal. Apa urusan dia hingga harus menbuntutinya begini? "Sana aku ke masjid sekalian bawa krenda, biar disalatin."

Beruntung Hifza bukan tipe cewek yang suka makan hati. Perkataan Iqbal bukan seperti kutukan, malah persis guyonan baginya. "Lucu banget hahaha..."

"Dok kalau mau ke Puskesmas kita bisa memotong jalan lewat sini. Kalau lewat situ nanti jalannya muter." Hifza melepas sepatu, melompati aliran irigasi lantas berjalan di pemetang sawah.

"Kita?"

Hifza menyahut bersamaan dengan kalimat lanjutan Iqbal. "Kamu aja kali, aku enggak."

"Hahaha... Cye samaan."

"Harus lepas sepatu?" Iqbal tidak tahu kenapa juga ia menerima saran Hifza.

"Iya. Kalau kepeleset masuk sawah. Dokter pilih masuk sawah apa ke hatiku?"

"Gak nyambung."

Sembilan menit kemudian Iqbal sampai belakang Puskesmas. Kalau saja Hifza tidak sedikit sedikit berhenti untuk momotret, pasti ia sudah sampai 3 menit lebih awal.

"Udah Ya Dok. Aku pulang dulu. Selamat bekerja."

Gadis itu berbalik, menyusuri jalan yang sama. Jadi dia hanya mengantarku? Dasar cewek anah. Pikir Iqbal.

"Pagi Dokter," sapa dua perawat yang bertugas di depan.

"Pagi. Pak Hartono sudah datang?"

"Sudah Dok."

Pak Hartono adalah Mantri Kesehatan desa. Dahulu sebelum Iqbal masuk, para warga lebih sering berobat kepada beliau. Alasannya karena mantri punya fleksibel waktu, bahkan bisa dipanggil. Lagi pula jarang dokter yang mau ditugaskan di desa Gua.

Muncul rasa tidak suka Pak Hartono kepada Iqbal. Pengobatan dari Iqbal yang dipungut biaya lebih murah membuat panggilan Hartono mengobati pasien menurun drastis. Iqbal juga sadar hal itu. Namun sebagai dokter profesional dia tetap mengikuti prosedur pengobatan. Pernah Iqbal mengingatkan Pak Hartono agar lebih memperhatikan dosis obat. Tentu saja itu hanya menambah rasa bencinya kepada Iqbal. Katanya dokter muda sok pintar.

Iqbal sedikit tersinggung memang, manusiawi. Tetapi ia tak ambil hati. Sebagaimana yang diajarkan sang abi kalau ada orang yang iri, dengki, memusuhi, menebar benci kepada kita, kita harus membalasnya dengan kebaikan. Kalau tidak sadar, doakan saja. Allah yang akan memberinya hidayah. Orang-orang tersebut adalah objek ujian kesabaran, maksudnya Allah mengenalkan kita kepada orang demikian untuk menguji seberapa tingkat kesabaran hamba-Nya.

"Di mana beliau?"

"Ruangannya. Sepertinya beliau tidak ingin diganggu oleh dokter." Perawat sedikit tidak enak mengatakan hal ini.

"Kalau begitu titip olahan masakan sederhana ini untuk sarapan ya. Kalau sudah sarapan, makanannya bisa untuk makan siang."

"Baik Dok."

"Terima kasih."

"Sama-sama."

Sepeninggal Iqbal, mereka mengosip. "Tuh kan apa aku bilang, Dokter Iqbal teh selain kasep baik pisan."

"Iya. Pak Hartono lah yang buruk perangainya," timbal satunya.

"Ada ada apa ini menyebut nama saya!!!" Pak Hartono mendadak seperti genderuwo yang muncul tiba-tiba. Mengagetkan kedua perawat.

"I In i Pak. Ad ada ti tipan dari Dokter Iqbal."

Ia menyunggingkan senyum. "Kasihkan kucing aja."

"Kasihan makanannya Pak sama kasihan Dokter Iqbal."

"Sekarang saya tanya. Kenapa dokter sok baik itu harus dikasihani?"

Daripada pembicaraan semakin panjang lebar, mereka memilih diam dan menaikan bahu seolah tidak tahu. "Makan aja. Kalau gak mau buang aja."

"Baik Pak."

***

Malam itu, seperti biasa Iqbal membagikan ilmunya kepada anak-anak desa. Usai mengaji, ia menceritakan kisah Nabi Ismail AS dan ibunya Siti Hajar saat ditinggal oleh Nabi Ibrahim AS. Besar harapan Iqbal mereka paham dengan apa yang disampaikannya. Arsa juga ikut menyimak. Tidak menambahkan apapun cerita Iqbal takut salah.

"Dokter mau cerita apa lagi malam ini?" tanya Adnan, anak paling aktif diantara yang lain.

"Kisah ibu Nabi Ismail AS."

"Nabi Ismail yang disembelih itu ya Dok?"

"Pintar sekali."

"Atas perintah Allah, Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail. Sebagai manusia yang taat, Nabi Ismail mau disembelih, tapi tiba-tiba yang disembelih jadi domba. Kalau Adnan gak mau disembelih ayah Adnan hehehe..."

"Kali ini ceritanya ketika Nabi Ismail masih bayi. Nabi Ibarahim memiliki 2 istri, Siti Hajar dan Siti Sarah. Suatu hari Siti Sarah ingin mereka dipisah rumah. Alhasil Siti Hajar dan Nabi Ismail pergi. Sampai di padang pasir dekat baitullah, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya. Siti Hajar bertanya kenapa sang suami begitu tega meninggalkan mereka, namun setalah tahu kalau itu perintah Allah, Siti Hajar pun menerima dengan lapang hati. Ia yakin Allah akan memelihara hidupnya,"

"Bayi Nabi Ismail menangis kehausan. ASI ibunya tidak keluar. Lalu Siti Hajar berlari dari bukit Shafa ke Marwah, hingga 7 kali bolak balik terdengar percikan air dari kaki bekas kaki Nabi Ismail yang sekarang disebut air Zam-zam."

"Manakjupkan Ya Dok."

"Iya. Apa yang dapat kita ambil dari cerita ini?"

"Kalau kita loncat-loncat kita bisa mendapatkan air dari bekas injakan kaki kita," jawaban polos salah satu dari mereka membuat semuanya tertawa.

"Bukan itu, tapi ibu sangat kerja keras demi anaknya," sahut Adnan.

"Iya. Bisa. Apa lagi?" tanya Iqbal.

"Tidak tahu Dok."

"Kita harus senantiasa pasrah kepada Allah, artinya menyerahkan segala sesuatu kepada Allah. Seperti kalau sudah belajar dan berdoa, hasil ujian kita serahkan kepada Allah."

Mereka menggangguk paham. Kajian ditutup saat kumandang azan isya terdengar. Nanti setelah salat rencana Iqbal akan menyusul laporan kegiatan di Desa Gua. Semoga Arsa tidak merecoki lagi. Kemarin tensi darah Iqbal hampir naik disebabkan laporan Arsa sebelas duabelas dengan miliknya. Jelas lelaki itu menyotek, dia malah berkilah otak Iqbal akan semakin terasah jika membuat laporan lagi. Syukur Allah memberi Iqbal pasokan kesabaran lebih. Setidaknya Iqbal menjadi subjek yang diuji, bukan objek untuk dijadikan ujian.

Sampai di rumah, Iqbal harus ikhlas kalau rencananya batal. Syarif baru saja mengirim pesan agar ia menuju rumah Syanum karena Syarif memiliki kepentingan mendadak.

***

Rasa sedih menyelimuti hati Syanum. Tidak ada sesuatu yang dapat menghiburnya. Ibarat ia seperti rapunzel yang dipenjara dalam menara, ada sihir kuat membuat ia tidak bisa keluar. Orang-orang yang masuk pun hanyalah orang tertentu.

Di dalam kamar ia duduk seraya memeluk kedua kaki. Ia menangis.

Wahai Allah
Kenapa aku terlahir ?
Penyendiri ulung berteman sepi.
Disisihkan dan diasingkan.

Deru angin senandung sepi
Gelap malam terus menanti
Nanyian binatang malam seolah menertawakanku yang sendiri.
Akan penantian tak pasti

Adakah aku menjadi mereka
Mereka yang merdeka
Namun sering durhaka

Tiba-tiba kepala Syamun pusing. Tangannya memegang erat kepala, hingga badannya tersungkur. "Aaaaaa!!! Sakitttt" teriaknya. Saking sakitnya ia tak tahu ada orang yang mengetuk pintu kamar keras-keras.

Jantung Bibi terpompan, takut Syanum dalam bahaya. Bibi mengutus salah satu penjaga memanggil Iqbal dan menelepon dokter Syarif.

Sepuluh menit kemudian, Iqbal dan Arsa sampai. Ini pertama kali Arsa bertemu langsung dengan Syanum. Sebelumnya ia hanya mendengar dari cerita Iqbal.

"Bi apakah ada kunci serep?" tanya Iqbal kepada wanita tua selaku asisten rumah tangga. Dari yang Iqbal tahu, bibi ini adalah perawat Syanum sejak kecil.

"Ada. Biasanya kalau Mbak Syanum kesakitan, kepribadian lainnya akan muncul."

Baru si bibi menutup mulut, pintu terbuka. Syanum tersenyum sumpringah. "Hai dokter ganteng," panggilnya kecentilan. Ok, ini bukan Syanum, melainkan Feli.

"H Hai."

"Sebeleh dokter siapa?"

Meskipun kebinggungan, Arsa tetap menjawab. Tidak lupa ia mengusap tangan ke rambut. "Hai. Aku Dokter Arsa."

"Oh dokter juga, tapi kok jelek? Gak pantes jadi dokter. Pasti dokter palsu!"

Iqbal menatap Arsa yang seolah tidak terima dengan kalimat polos Feli. "Anak kecil biasanya bicara jujur," bisik Iqbal sambil terkekeh.

"Bibi ada es krim gak di kulkas?" ia berlari menuju dapur.

"Kalau Syanum lagi sedih pasti Feli muncul," jelas Bibi kemudian mengikuti Feli yang sudah sampai lantai satu.

Jujur, Iqbal binggung harus berbuat apa. Dia juga tidak bisa memaksa Syanum muncul.

Kenali setiap kepribadiannya. Ingatnya pada nasehat sang profesor. Dia belum mempelajari kesehatan jiwa lebih jauh, pantas saja kalau masih kebinggungan.

"Ayo Dok duduk di sofa. Bibi jangan ikut ya." Feli berbalik menunjuk Arsa. "Dan kamu ... Pacaran saja sama Bibi hahaha."

Iqbal menurut, pun Arsa menurut penuh paksaan. Iqbal sendiri belum bisa menguasai keadaan. Keinginannya menelepon Syarif sangat besar guna bertanya apa yang harus dilakukakan supaya ia dapat mengenal Felisia.

"Satu buat Feli. Satu buat dokter. Yeyeyeye... Feli suka es krim," kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia mengambil remot, memilih chanel Putri Sofia.

"Emmm... Dokter, Dokter." Feli hendak menyentuh bibir Iqbal namun gagal karena lelaki itu refleks menghindar. "Dokter makan es krim sampe belepotan," tawanya keras memenuhi ruangan.

Lelaki itu buru-buru membersihkan.

"Kalau di rumah ini dokter jangan brisik, nanti monster Margareta ngamuk."

"Monster Margareta?" Perasaan di televisi tidak ada adegan monster, pasti ada sesuatu dengan nama orang tersebut.

"Iya. Dia sangat menyeramkan. Matanya tajam, tangannya mudah sekali melukai Feli. Kaki dan tangan Feli pernah diikat sama dia."

"Siapa dia?"

"Dia..."

Feli tidak meneruskan.

"Gak mau Feli takut." Terlihat jelas raut wajah Feli berubah menjadi sangat ketakutan. Feli memegang kepala sambil berteriak kesakitan, Iqbal mengambil tindakan, tetapi 10 detik kemudian Feli menghilang.

"Syanum," panggil Iqbal, sebenarnya dia tidak yakin.

Gadis di depannya kini menghadap ke depan. Rahangnya mengeras, tidak banyak gerak, tubuhnya juga tegap. Kalau Syanum tidak setegap ini saat duduk. Baru ia sadar ketika ia melirik sekilas dengan tatapan dingin.

"Insyra."

***

Alhamdulillah bisa update.
Kalau binggung bisa dibaca berkali-kali. Kalau ada typo tolong diingatkan supaya diperbaiki.

Tolong vote, komen, dan ajak temanmu membaca cerita ini juga.

Al-Qur'an adalah sebaik-baik bacaan. Semoga kita tidak lalai akan kewajiban.

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top