Bab 4 - Kesakitan di Masa Lalu
Bismillahirrahmanirrahim...
***
Kau tahu cinta dibaca melalui hal yang ditunjukkan? Maka dari itu jika kau ingin mencintainya dalam diam berhenti menunjukan itu. Berhenti diam pada kepura-puraan.
~Pangeran Hati~
***
Perbincangan Iqbal dan Syarif berganti, yang tadinya basa basi menjadi perbincangan serius. Tokoh utama dalam obrolan mereka adalah Syanum. Tepat, Iqbal memang penasaran dengan penyakit mental gadis itu.
"Syanum adalah nama aslinya. Papanya seorang penjabat dan ibunya pembisnis. Bisnis keluarga Syanum berkembang pesan di negara Asia bahkan mulai menapaki Eropa dan Australia." Syarif berhenti sejenak ingin mengganti topik. "Tidak perlu banyak membahas keluarganya. Fokus saja kepada penyakitnya ya."
Iqbal memperbaiki posisi duduk karena tidak nyaman. Di kebun teh mereka berbincang. Kata Syarif untuk menghindari pengawasan mata mata keluarga Syanum yang sensitif terhadap orang baru di dekat Syanum. Mengenai Iqbal, Syarif akan menjelaskan kepada Syanum dan keluarga Syanum kalau Iqbal akan menjadi asistennya merawat Syanum.
Di mobil Anza setia menunggu, memainkan game atau kalau bosan ia memilih belajar dari buku referensi kedokteran pemberian papanya.
Sebenarnya Anza penasaran pembahasan keduanya, namun tak berani bergabung. Sekali papanya melarang, ia tak akan melakukan itu.
"Syanum Fazila berusia 23 tahun, dia suka main air. Setiap pagi minum teh dan senam yoga. Kalau kamu melihat kepribadian ini muncul, berarti dia Syanum. Kepribadian kedua bernama Felisia Amirah umurnya sekitar 13 tahun. Dia pelupa, ceroboh. Prilakunya selayaknya anak usia 13 tahun bahkan bisa 7 tahun. Kepribadian ketiga Insyra Fairuz namanya, 24 tahun. Insyra muncul sebagai sumber keberanian Syanum. Jadi dibanding yang lain Insyra lah yang paling berani memberontak. Sering pergi ke tempat hiburan malam."
Iqbal mengganguk paham. "Lalu Felisia muncul saat apa?"
"Mereka tidak bisa diprediksi kemunculannya. Secara umum saat Syanum takut Insyra akan muncul. Ketika Syanum sendih, Feli akan muncul. Felisia merupakan mujud kebahagiaan Syanum."
"Apa penyebab gadis itu mengidap kelainan ini, Dok?"
"Masa lalu. Masa kecil yang membuatnya begini."
"Ada apa dengan masa kecilnya?"
Mulut Syarif mendekat ke daun telinga muridnya. "Saya tidak tahu. Hal itu disembunyikan oleh keluarga Syanum. Sangat rapat."
"Saat seperti ini bukankah dukungan keluarga sangat berperan besar?"
Kepala Syarif mengganguk, dia tidak mungkin berbohong dengan menggeleng.
"Lalu?"
"Sudahlah. Tugasmu hanya memerhatikan dia. Jika ada yang membahayakan kamu harus bertindak."
Iqbal segan jika harus bertanya lagi hal yang mengganjal di pikirannya. "Baik Prof."
Lelaki itu penasaran, seberapa pedih masa lalu Syanum hingga ia seperti saat ini.
Di dalam rumah Syanum mengamati dokter Syarif dan Iqbal tengah berbincang di kebun teh belakang villa. Sembaru menyeduh teh panas ia mengira-ngira pembahasan mereka.
Cahaya matahari membuat wajah putih halus Syanum bersinar. Kecantikannya begitu alami. Tanpa perawatan obat kecantikan. Berbeda dengan kakaknya yang rajin pergi ke dokter kecantikan, meskipun begitu belum bisa menandingi paras Syanum. Tidak perlu make-up bagi Syanum untuk tampil cantik.
"Nona tidak istirahat?" tanya Bibi sambil membawa lilin beraroma terapi agar majikannya bisa rileks. Heran apa yang Syanum lihat, Bibi ikut berdiri di jendela besar berkaca transparan. Kalau tidak terbias, bisa-bisa tidak tahu kalau itu kaca, sangking bersihnya seperti iklan semprot kaca di televisi.
"Dokter Syarif bersama Dokter Iqbal." Bibi memberi informasi.
"Bibi tahu siapa lelaki itu?"
"Dokter Iqbal. Dia dokter yang bertugas di puskesmas desa. Orangnya ganteng, ramah, baik. Dia kan tadi dari sini membantu istri Pak Ujang yang demam. Nona gak ingat?" Bibi tahu ingatan Syanum memang kacau, adanya tiga kepribadian membuat gadis itu tidak bisa seperti orang normal.
"Ingat kok Bi. Dokter Syarif sempat mengenalkan. Anak dokter Syarif cantik ya Bi."
Bibi tersenyum. "Iya, cantik sekali. Gak tahu kenapa Bibi adem kalau lihat cewek berjilbab pasmina. Dari pengamatan Bibi sepertinya Dokter Iqbal sudah dijodohkan dengan anak Dokter Syarif. Mereka terlihat akrab. Cocok banget jadi partner hidup. Kalau di senetron apa namanya kamistri, eh kamisteri."
"Kemistri," ralat Syanum.
"Ya betul Nona." Jeda sejenak. "Nona istirahat ya, tadi kata dokter Syarif Bibi harus menghidupkan lilin itu. Aroma terapi baru yang mengandung obat tidur supaya Non Syanum enggak susah tidur."
Syanum tersenyum tipis. "Mimpi buruk itu selalu menghantui saya Bi. Mana bisa saya mimpi indah. Tenang selama tidur seperti tidak mungkin saya rasakan."
"Dicoba dulu, Non. Berdoa sebelum tidur supaya setan pada berlarian ke neraka."
***
Rasa lelah menghampiri Iqbal. Sampai di penginapan, Arsa sudah duduk santai memakai kaus oblong berwarna putih dan celana kolor di atas lutut. Tangannya memainkan gitar sambil sesekali melirik kunci lagu. Ia memang baru belajar gitar, katanya termotivasi dari Iqbal yang berhasil menjadi gitaris idola seantero kampus.
"Dari mana, Bro?"
"Priksa orang sekit. Gimana tadi puskesmas?"
"Syukur gak banyak pasien. Lo gak nongol suster Hifza nyariin lu terus." Arsa memang begitu kalau sama Iqbal lo-gua. Pertama bicara dengan orang desa juga seperti itu, setelah diberi pengertian oleh Iqbal gaya bahasa Arsa mulai berubah. Suatu tempat pasti memiliki kebudayaan masing-massing dan ketika kita ada dilingkungan tersebut, kita harus beradaptasi dengan baik supaya jalinan tetap berlangsung baik. Lo-gue bagi masyarakat Betawi sangat biasa, tidak untuk masyarakat desa Gua yang terletak di Jawa Tengah.
"Kalau gak ada lu gue pusing di puskesmas. Padahal gue udah seneng intership sama lo. Tinggal ongkang-ongkang selesai haha..."
"Dokter sejenis lo gini gimana bisa lulus stase bedah? Heran gue tuh." Iqbal menceploskan keheranannya sejak duduk di samping Arsa saat sumpah dokter.
"Lu kaya gak tahu tipe koas aja sih." Arsa meraih bungkus rokok, memetikan api, jadilah asap rokok yang merugikan Iqbal sebagai perokok pasif. "Koas fisiologis yang harus lulus seperti lu. Kemana-mana bawanya textbook supaya selalu siap membuka jurnal-jurnal kedokteran terbaru. Yang kedua, koas yang penting lulus. Lulus stase satu ke stase lainnya tanpa memerhatikan apakah ilmu mengendap diotak atau tidak."
"Lu masuk yang kedua ini?" potong Iqbal menebak.
Arsa nyengir. "Enggak dong. Gue gak masuk keduanya, gue masuk ke golongan ketiga."
Iqbal meneruskan perkataan Arsa. "Koas pato(logis). Gue inget kok lo selalu jadi benalu di kelompok kita waktu di stase anak. Bahkan selama gue sekelompok sama lo, gue gak pernah lihat lo jaga di bangsal. Kasihan si Syahnaz harus gantiin lo jaga." Diakhir kalimatnya Iqbal menjitak kepala Arsa.
Arsa memang begitu, tapi sukanya Iqbal dengan Arsa, ia tidak pernah marah dikatai apapun, walaupun sering bikin kesal karena tidak mempan dinasehati. Beruntung kalau dengan Iqbal, Arsa lumayan nurut. Perlu digaris bawahi, lumayan.
"Meski begitu gue bersyukur pernah sekelompok dengan jurnal berjalan kaya lo, Bal."
"Gue yang kapok!"
Arsa terkekeh. Ia menaruh gitar, mematikan rokok, lalu menyusul Iqbal ke kamar mandi.
"Gue duluan. Kebelet pup."
Iqbal mendesah pelan. Kesabarannya diuji hidup setahun dengan Arsa. Semoga kuat. "Tadi dokter Syarif ke sini sama anaknya."
"Sama si Anza?" tanya Arsa berteriak dari kamar mandi.
Hampir semua anak kedokteran juga tahu siapa Anza. Kakak tingkat sekaligus anak dosen yang diidolakan satu fakultas. Namanya melegenda dari angkatan satu ke angkatan lain. Kadang Anza juga muncul mengantikan papanya. Si Arsa ini masuk golongan fans Anza.
"Jangan teriak-terian di kamar mandi. Bicara aja gak boleh apalagi teriak-teriak kaya gitu."
"Denger nama Anza bikin gue ingat KUA. Tai gue jadi harum tau Bal kalau BAB bayangin Anza."
"Yang ada bukan Anza tapi dedemit yang nemenin lu."
"éé...Kita tuh cocok banget éé....Bal. Arsa Anza," celoteh Arsa diiringi suara ngeden dan plung yang seolah menjadi titik dalam kalimat Arsa. Iqbal tahu plug berasal dari sesuatu yang keluar dari anus masuk ke kloset berpadu dengan air.
Iqbal tidak menyahut lagi. Jijik pun ilfeel mendadak. Ia memilih menuliskan doa masuk dan keluar kamar mandi supaya Arsa terbiasa membacanya, akan ia tempelkan di tembok samping pintu masuk kamar mandi. Kalau masih tidak dibaca juga, akan ia tempelkan didahi Arsa.
***
Ada yang nunggu gak sih? Jangan ilfeel sama Arsa ya hehe...
Yang nunggu, vote komen ya hehe
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top