Bab 34 - Teringat Syanum

Seringkali orang merasa bisa memahami sesuatu, padahal sesungguhnya mereka hanya memahami pemahamannya sendiri.
- Cak Nun -

~Pangeran Hati~

***

Alif masih di rumah saat Iqbal tiba. Suami Aisya tersebut menemui sang adik di kamar. "Dek, kamu yakin mau nikah, kan?"

Dahi Iqbal berlipat hingga 3 lipatan, heran kenapa abangnya mengajukan pertanyaan tersebut. Seolah Iqbal terlihat tidak yakin akan pernikahan ini. "Yakin kok."

"Abang cuma gak mau masa lalu abang terulang lagi. Mencintai wanita bukan pilihan kita itu susah. Kalau kamu dengar, seorang wanita itu mudah luluh hatinya terhadap suami dikala diberikan prilaku lembut serta romantis, tapi tidak untuk lelaki. Rumah tangga tidak seindah di instagram."

"Anza wanita baik-baik. Idaman kan, Bang." Senyum Iqbal. Namun senyum itu tidak melegakan bagi Alif.

"Syanum apa kabar?" Alif meluncurkan pertanyaan itu juga setelah berhari-hari dibayangi perasaan bersalah. Dia sungguh tidak ingin ada yang terluka akan pernikahan ini, minimal tidak banyak manusia tersakiti. Alif tahu betul bagaimana Lisa dulu tersiksa dengan hatinya yang tak bisa move on dari Aisya.

Jantung Iqbal bersikap aneh saat abangya menyebut nama gadis itu. Jujur saja sejak Anum cerita pikirannya susah berpindah dari kisah menyedihkan Syanum. Bocah kecil yang harusnya terseyum bahagia bersama teman sebaya, harus menghadapi masalah seberat itu. Iqbal tidak yakin semua orang bisa melewatinya. Ia pikir permasalahan anak kecil paling sederhana, berbuat kesalahan lalu meminta maaf dan masalahpun selesai. Ternyata tidak. Masa kanak-kanak sangat berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya. Seperti Syanum yang harus menjalani hidup abnormal disebabkan luka masa kecil.

"Kenapa bengong? Abang gak salah duga kan kalau kamu suka sama dia?" ceplos Alif. Sungguh mengusik Iqbal.

Tidak ingin mengarah pembicaraan serius, Iqbal menanggapinya dengan kekehan. "Abang Abang. Sukanya menduga yang enggak-enggak."

Alif kurang puas. Adiknya tidak mengiyakan juga tidak menolak. Baru membuka mulut hendak mengorek perasaan Iqbal yang sesungguhnya, Aisya muncul di mulut pintu kamar Iqbal yang tidak ditutup. Depan kamar itu menjadi saksi Aisya menuduh Iqbal. Waktu itu Aisya menuduh Iqbal melaporkan ke pengurus bagian keamanan mengenai kenakalannya.

"Pak Alif, ditunggu wali santri di depan."

Masih saja! Kan Aisya bukan murid Alif lagi. "Memangnya Abi ke mana?"

"Nganter umi cek gula darah."

Usai fitting baju pernikahan, Aminah beralih mobil dari mobil putranya ke mobil suaminya. Lukman kalau mengajak pergi memang dadakan, mengingat ia lelaki super sibuk.

Sebelum pergi, Alif menepuk lengan Iqbal penuh arti. Iqbal menarik napas panjang sepeninggal kakaknya dari kamar.

Beres memasukan dua setel baju ke dalam tas, Iqbal membuka ponsel yang sejak tadi ia matikan.

Syanum
Assalamualaikum...
Dokter Iqbal besok saya harus pergi. Selamat atas pertunangannya. Semoga dilancarkan sampai hari H menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.

Membaca pesan Syanum ada getaran aneh yang terasa perih. Apaan sih lo Bal! Lo udah mau nikah. Gak usah aneh-aneh!

Iqbal
Waalaikumsalam
Pergi ke mana Num?
Aamiin. Jazakillah

Sayang, balasan Iqbal tidak terkirim. Dicobanya menelepon, kata operator nomor sudah diblokir.

Ingin segera memastikan, Iqbal menemui kedua kakaknya untuk pamit.

"Kak Aisya, Bang Alif, Iqbal berangkat dulu. Salamin Umi sama Abi. Nanti kalau udah sampai in shaa allah Iqbal kabar-kabar."

"Iya, hati-hati ya," pesan Aisya seraya mengusap lembut perutnya.

Kepala Iqbal mengganguk. Tidak lupa ia mencium tangan Alif. "Si Danu ke mana?"

"Ngampus katanya."

"Ohh..."

Pukul 3 sore Iqbal sampai di Gua. Sesuai janji, ia mengirim pesan untuk Alif, orang tua, dan Anza. Gadis itu khawatiran. Kalau tidak dikabari bisa hidup tidak tenang. Hanya saja kalau tahu Iqbal sedang tugas atau jaga, dia tidak akan merecoki. Anza tahu betul kapan saat khawatir yang tepat. Lagian Anza sama sibuknya, ia sering menganti shift malam teman-temannya supaya siang bisa mengatur persiapan pernikahan. Sudah pasti Anza kelelahan, dia mengurus semuanya sendiri. Iqbal tugas, Syarif pun sama. Setidaknya Syarif tidak ke Desa Gua lagi, jadi Anza mempunyai teman diskusi.

Arsa menyambut Iqbal suka cita. Hal yang ia lakukan yaitu membuka bagasi mobil. Iqbal kira akan membantu membawa barang bawaan ternyata mencari oleh-oleh. Kalau bukan begitu, bukan Arsa namanya.

"Saya gak sempet beli oleh-oleh."

"Yang penting makanan bergizi, Bal. Setelah kamu pergi 2 hari aku makan inmomie." (sengaja disamarkan)

Iqbal tidak akan melupakan fakta kalau Arsa tidak bisa masak.

"Apalagi pagi ini aku gak priksa kesehatan Syanum. Kalau priksa kan bisa dikasih sarapan Bibi."

Membahas Syanum, membuka peluang Iqbal membicarakannya. "Si Syanun ke mana emang?"

"Kata Bibi tadi malam orangnya Satoto menjemput. Pastinya ke mana gue juga gak tahu, begitu juga Bibi. Emang kamu gak dikasih tahu calon mertua?"

Kepala Iqbal menggeng. "Prof Syarif gak bilang apa-apa tuh."

"Kemarin waktu Bibi ngasih tahu kamu tunangan sama Anza, Syanum langsung lari ke kamar. Kalau aku baca dari gerak tubuhnya, sepertinya gadis itu nangis. Udah sejak lama sih aku duga dia naksir kamu."

Sebuah jarum menusuk tepat di hati Iqbal. Dia menyakiti wanita lagi. "Mau gimana lagi. Cepat atau lambat dia akan tahu juga, kan?"

Arsa tahu ketidakenakan hati Iqbal sekarang. "Yang penting sekarang kamu masakin aku."

"Assalamualaikum," salam seseorang membuat kedua dokter yang hendak masuk rumah menghentikan langkah.

Suaranya tidak asing.

Ketika keduanya berbalik bersamaan, Arsa lah yang paling merespon tidak santai.

"Ada makanan sedikit buat kalian."

Tangan Iqbal mencupit Arsa, matanya memberi kode agar Arsa menerima pemberian Hifza.

Alih-alih menerima, Arsa malah menyenggol Iqbal supaya dia saja yang menerima pemberian Hifza. Tak tahu sudah berapa kali Iqbal menarik napas dalam menyaksikan kelakuan Arsa. Sifat Arsa yang cenderung percaya diri, bisa sekampungan ini kalau berhadapan dengan wanita—yang katanya naksir dia.

"Makasih, Za," ucap Iqbal. "Kebetulan Arsa kelaparan, pas banget."

Lagi-lagi Arsa menampakan salah tingkahnya, pipinya sampai membiaskan warna merah. Hingga tubuhnya pun tak bisa bergeming.

"Selamat makan ya, Sa." Hifza mengurai senyum indahnya, kemudian pamit pulang.

Gugup yang menepati ruang hati Arsa sedikit terobati ketika tubuh gadis itu membelakanginya. "I...iy..ya..."

"Gak profesional kamu Sa kalau ngedepin cewek!" ledak Iqbal.

"Yee... Emang gak pengalaman. Setidaknya gak suka sama kakak ipar sendiri."

"Mending suka sama kakak ipar ketimbang orang gak waras."

Kalau ledek-ledekan antara kedua lelaki tersebut sebuah perlombaan, maka Iqbal lah pemenangnya. Mengingat Arsa pasrah akan kalimat terakhir calon suami Anza.

Kejadian barusan mengingatkan lelaki bernama belakang Danugraha terhadap Syanum. Gadis itu pernah sekali mengantarkan makanan, jelas bersama satu bodygoard. Sekarang di mana kamu Syanum? Apa kamu baik-baik saja? Kenapa pergi tanpa penjelasan seperti ini.

Perpisahan yang tidak mengenakan hati.

Malam hari semasih belum terlelap, Iqbal mendapat telepon dari calon mertua. Syarif mengatakan tidak kembali ke desa, karena Satoto sudah memutuskan hubungan. Satoto juga tidak mengatakan apapun kepada Syarif, yang papa Anza tahu mereka meminta catatan medis.

Sadar pikirannya ngelantur, Iqbal mengucap istagfar berkali-kali. Memikirkan wanita lain bukan perangai baik, lebih-lebih lagi ia akan menikahi perempuan bernama Alanza. Tidak dibenarkan menzalimi orang lain.

Jelas Allah melarang perbuatan zalim. "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim" (QS. Asy Syuura [42] ; 40)

Biarlah Syanum menempuh kehidupannya, juga Iqbal yang harus menjalani masa depan. Mereka ada untuk tiada, bertemu untuk berpisah.

***

Gak kerasa udah mau ending aja😅 Tunggu aja kejutan dariku.

Jangan lupa vote dan komen.

Cerita ini bukan bacaan utama. Karena bacaan terbaik serta berpahala adalah Al-Quran.

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top