Bab 25 - Klarifikasi
Cinta butuh untuk diberi kepastian sebuah ikatan. Bukan hubungan yang melanggar aturan Tuhan.
~Pangeran Hati~
***
Hifza mendekati Arsa yang tengah memasukan alat kesehatan ke almari steril. Ia mendorongan kursi roda yang tadi ia gunakan untuk mengantar pasien sampai depan puskesmas.
"Ehem," dehemnya.
Automatis Arsa menoleh, alisnya naik satu. "Iqbal gak ada." Ia langsung menyimpulkan kalau anak Pak Mantri tersebut mencari pujaan hati.
"Hah?"
Arsa mencuci tangan usai melakukan pekerjaannya. "Iqbal baru sampai beberapa menit yang lalu. Sekarang palingan di rumah Syanum. Kesimpulannya dia gak ada di sini. Mau lo cari di kolong brankar juga gak ada."
Bibir Hifza manyun. "Syanum yang tinggal di vila mewah itu ya?"
"Iya." Sekarang Arsa duduk di kursi putar. "Anda ada keperluan lagi? Kalau tidak silakan keluar. Pintu terbuka sangat lebar." Arsa kesal sekali, selama Iqbal tidak di puskesmas gadis itu rajin mendatangi ruangannya dengan berbagai modus.
"Ck," decak Hifza seraya memutar bola mata malas. "Dasar gak peka!"
"Hah, maksudnya?" Arsa tidak terima dikatai Hifza. Enak saja, memangnya dia siapa bisa bilang tidak peka.
"Selama ini cowok yang gue suka tuh elo. Bukan Iqbal. Kalau gue deketin Iqbal itu cari cara gimana biar gue tahu tipe cewek lo. Gue kira cowok muka playboy kayak lo ahli dalam menerka perasaan perempuan ternyata sama saja." Hifza pernah kuliah di Jakarta makanya dia fasih ber elo-gue.
Otak Arsa dapat menyaring cepat kalimat Hifza. Sementara gadis itu pergi begitu saja dengan muka masam. Ada ya yang suka sama gue? Kaki Arsa beranjak ke cermin kecil yang tergantung di dekat tempat cuci tangan. Wajahnya lumayan bersih, meski ada bintik hitam bekas jerawat. Mau bagaimana lagi, ia pernah mencoba berbagai masker alami. Dulu ketika kuliah semester tiga, Arsa pernah mengunakan masker bahan kunyit, tetapi paginya ia menjadi bahan lelucon teman sekelas karena wajahnya kuning seperti minion. Alhasil sekarang ia hanya mengunakan sabun pencuci muka yang aman dari dokter kecantikan.
Hidung Arsa lumayan mancung, bentuk mata agak sipit menuruni gen mamanya yang masih keturunan Tionghoa, tinggi badannya setara dengan Iqbal dengan otot yang lebih besar. Kalau Iqbal setiap pagi membaca, Arsa setiap pagi berolahraga. Memang Iqbal bukan tipe suka olahraga.
Beneran gue ditaksir cewek? Ada kebanggaan dan ketidakpercayaan pada diri Arsa. Iyalah, gue kan ganteng. Pujinya dalam hati.
Arsa mengingat beberapa tahu silam, pernah seorang gadis menembaknya ketika ia duduk di bangku SMA. Kalau tidak salah kelas 10, masih masuk usia pubertas.
Terik sinar matahari membuat Arsa memakai kaca mata hitam, sambil menunggu bus, ia memainkan gagdet memainkan game ular makan titik hitam. Ya, saat itu ia hanya memakai ponsel berwarna buram. Hitam, putih, abu-abu saja. Mamanya tahu Arsa mudah terpengaruh, oleh karena itu ia dilarang memakai gawai modern yang mudah mengakses internet.
"Hai, boleh saya duduk di sebelahmu?" tanya seorang gadis. Wajahnya seputih porselen sepergi wanita Korea, bibirnya merah tipis, senyumnya pun manis.
"Silakan." Arsa memandang si gadis memakai rok baha tempurung serta kaus kuning. Rambutnya lurus sebahu dengan dijepit strowberry.
"Nama saya Hanin. Kamu?" Ia mengulurkan tangan.
"Arsa. Nunggu bus ya?"
"Enggak."
"Nunggu dihalalin kamu hehe."
Lucu. Gadis itu bisa membuat Arsa tertarik dan tertawa. Mereka bercengkrama cukup lama, bahkan sampai bertukar nomor telepon. Sayangnya mereka berpisah dalam satu kejadian yang membuat Arsa sangat malu.
"Bus udah datang tuh. Ayo naik," ajak Arsa.
Si gadis menggengam tangan Arsa seraya tersenyum. Seolah gadis itu berbunga-bunga menemukan pujaan hati. Arsa juga merasa nyaman ada di sampingnya. Menjadi pahlawan yang siap melindungi gadisnya.
Empat orang berpakaian serba putih datang memaksa Hanin ikut. Sontak gadis itu meronta meminta tolong Arsa. Arsa yang tidak terima melihat perempuan disakiti, protes keras. Dengan gaya sok jagoan ia menantang salah satu dari mereka. "Kalau berani bawa dia, langkahi dulu mayat gue."
Ketika itu halte cukup ramai karena jam pulang sekolah. Ada empat murid yang berseragam sama dengan Arsa. Mungkin mereka satu almamater, tetapi tidak mengenal Arsa atau tidak berani menegur, sebab Arsa masuk kalangan siswa elit di sekolah. Syarat bergaul dengan mereka harus memiki aset milyaran rupiah bahkan dolar.
Si pria dewasa menyikapi santai. Ia menunjukan sebuah kartu. Ada foto Hanin di sana. "Namanya Aprilia. Pasien Rumah Sakit Jiwa Lekas Waras. Dia kabur sejak dua hari yang lalu dan kami menemukannya di sini bersamamu. Apa kamu yang mengajaknya kabur?"
Arsa melongo. Jadi, Hanin adalah orang gila. Tiang mana? Tiang mana? Arsa ingin menjedotkan dahi ke sana. Lihat saja penonton di sekelilingnya sudah tertawa. Menyebalkan!
"Atau jangan-jangan kamu pasien rumah sakit kami?" si bapak menuduh Arsa tidak waras.
"Bukan. Enak saja. Saya orang normal. Tuh, tanya adik kelas saya. Aku sekolah bareng mereka." Meskipun Arsa tidak mengenal keriganya, tetapi mereka bersedia membantu Arsa. Membuat Arsa sadar bahwa pertemanan tidak perlu membeda-bedakan. Siapapun orangnya suatu saat bisa saja kita membutuhkan bantuannya.
Sejak kejadian itu tidak ada wanita yang terus terang mengatakan cinta dengan Arsa. Baru lah Hifza orang kedua. Syukur Hifza waras. Miris memang sejarah percintaan Arsa.
Iqbal datang sambil memegangi tepian bibir. Mata Arsa langsung fokus pada luka teman seperjuangannya. "Kamu ditampar Syanum sampai berdarah? Dia udah tahu kalau lo mau nikah sama Anza?"
"Turunin volume suaramu!" perintah Iqbal tidak ingin karyawan puskesmas tahu berita tentang pernikahannya. Takut mereka heboh dan kepo siapa wanita beruntung itu.
"Terus itu kenapa bisa luka?"
"Tadi aku berantem sama pacar Anetta, kakaknya si Syanum."
"Kok bisa?"
Iqbal malas menjawab pertanyaan Arsa. "Ceritanya panjang."
"Sepanjang apa sih?"
"Sepanjang jarakmu dengan jodoh."
"Ohhh..."
Dasar Arsa, bukannya bantuin, malah ber oh-oh ria. Berhubung puskesmas masih sepi, Arsa menceritakan kejadian kalau selama ini Hifza mendekati Iqbal bukan karena cinta, tapi pengorbanan demi mendapatkan hatinya. Mendengar itu Iqbal tersenyum, semakin banyak wanita ingin mendapatkan hatinya semakin ia pusing. Kalau Hifza suka Arsa, alhamdulillah sekali.
Iqbal menasehati Arsa untuk tidak pacaran. Karena kalau sudah terjebak dalam tiga suku kata tersebut, susah menghilangkan penyakit. Semacam ketagihan. Kalau Arsa juga ada rasa, Iqbal menyarankan mereka menikah saja. Arsa yang notabennya dari keluarga berpendidikan langsung menolak dengan alasan hidup terlalu singkat jika menikah usia muda. Banyak hal yang bisa dilakukan seperti mengejar gelar spesialis, berwirausaha, membahagiakan kedua orang tua, dan lain sebagainya.
Lantas argumen Arsa terbantahkan oleh prinsip Iqbal. "Kalau saya. Bukan begitu pemikirannya. Dengan menikah kita memenuhi sepatuh agama. Sambil mengejar pendidikan, membahagiakan orang tua, dan mengejar impian kita bisa menikah. Menikah bukan halangan mencari ilmu. Justru dengan menikah berkah hidup akan bertambah, catat ya, kalau keduanya menjalankan bagaimana berkeluarga yang baik dalam Islam. Emangnya gak pengen ngerjain tugas ditemenin istri, dibuatin kopi sama dipijitin?"
"Enak sih, tapi gue belum punya penghasilan tetap."
"Kamu dokter. Udah jelas masa depannya. Apalagi kamu punya Allah yang Maha Kaya."
Arsa merenungi kalimat Iqbal.
"Sekarang yang penting kamu cek kondisi Syanum."
Tidak lama Arsa sudah keluar dari ruangan. Dikala ia keluar, Hifza hendak masuk ruangan. Jantung Arsa tiba-tiba seperti dipompa. Namun ia berusaha tetapi berjalan tegap menuju pintu keluar. Sangking sibuknya berpikir entah apa, ia malah membuka pintu toiler wanita. Ada dua perawat tengah bercermin. Sontak mereka menjerit.
"Maaf, maaf," pinta Arsa lalu berlari.
Dan...
Bug...
Dia menabrak tiang depan resepsionis. Ingin ia mengumpat, tapi batal karena Hifza menatapnya heran. "Hehe... Sejak kapan kamu ada di sini?" tanyanya pada benda mati.
"Dari setahu yang lalu juga udah ada kok," jawab Hifza binggung dengan prilaku Arsa yang tidak biasa. Tuh orang kenapa coba?
Mendengar keributan, Iqbal keluar. Arsa berjalan cepat menuju pintu keluar. Melihat reaksi gerogi Arsa membuat ia menahan tawa karena rasa perih di tepi bibir. Kemudian ia berbalik saat notifikasi berbunyi tiga kali.
Syanum
Dokter maaf atas kejadian hari ini
Anza
Mas nanti malam Anza izin rapat mengenai dengan ketua BEM Fakultas ya. Ada pembahasan organisasi sekalian pembahasan materi untuk ujian besok.
08425458884598452478
Dokter sudah baik-baik saja? Terima kasih sudah menyelamatkan saya. Saya hutang budi. Suatu saat saya akan membalas kebaikan dokter.
Anetta
Iqbal memilih mematikan ponsel, tanpa satu pun pesan ia balas.
***
Gimana bab ini? Ringan aja ya. Siapkan mental ke punjak masalah.
Tutorial edit cover wattpad
[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]
Jangan lupa membaca Al-Qur'an.
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top