Bab 19 - Jatuh Sakit
Amarah bisa menjadi bara api yang seketika membakat kayu bakar, padahal kayu bakar tersebut sudah lama dikumpulkan.
~Pangeran Hati~
***
Pagi sekali Arsa berlarian menuju rumah Syanum. Dia ditelepon Bibi, katanya Syanum membakar mobil di depan rumah. Benar, sampai di halaman puluhan pegawai dibantu warga sibuk memadamkan api. Begitu Bibi melihar Arsa, ia mengarahkan dokter tersebut untuk masuk ke kamar.
"Bibi takut Mbak Syanum kenapa-napa, jadi sekarang tangan dan kakinya kita tali. Setelah membakar mobil Mbak Syanum teriak-teriak sambil bernyanyi. Dia juga mengucapkan kata-kata aneh seperti Syanum mati, Syanum gila, Kuburan Syanum ada di pojok desa," lapor Bibi. Wajahnya terlihat sangat panik, keringat saja membasahi rambutnya yang beruban.
Arsa juga mendengar teriakan tidak jelas Syanum. Beberapa kali Syanum menerikan nama Margaretta. Kalau Arsa perhatikan, perubahan Syanum tidak seperti biasa. Bukan karakter Feli ataupun Insyra juga. "Bibi sudah menelepon Profesor Syarif?"
"Sudah. Beliau sedang menuju ke sini."
Lelaki berusia 26 tahun itu membuka kunci kamar. Sepercik ketakutan muncul saat Syanum semakin mengamuk serta menjerit, matanya melototo kepada Arsa. Dari lubuk yang paling dalam ia takut, tapi ketakutan itu harus ia kalahkan karena dia satu-satunya dokter di sana.
"Bianglala biangbeli. Balonku ada 3 rupa-rupi berwarna," Syanum bernyanyi, kemudian berteriak. "Syamum mati. Dibakar. Ahahaha... Kubakar semua kerajaanmu!"
Jika diperhatian tangan Arsa sedikit bergetar, ingin rasanya bersembunyi dipunggung Iqbal tetapi lelaki itu masih di kota. Bismillah semoga keselamatan selalu menyertai, doanya dalam hati sebelum mencoba berintraksi dengan Syanum.
"Syanum, tenang."
Syanum diam, memandang Arsa cukup lama. "Woy kamu cowok kayak pantat panji! Gigimu kuning tidak pernah sikat gigi! Wajahmu kayak pantat sapi," sumpah serapah Syanum kepada Arsa.
Kalau Syanum tidak sakit, sudah Arsa seret ke meja hijau telah melakukan body shaming kepada dirinya. Heran, kenapa Syanum seperti netizan buluk yang tidak pikir panjang mengomentari orang lain tanpa sadar bahwa kelak jari-jarinya bisa berbicara sendiri. Ketika ditanya, 'untuk apa kamu gunakan jari-jarimu di dunia?' mulut pendusta akan diam, jari akan berbicara sendiri. 'Selama di dunia aku digunakan untuk mengetik kecelekan di akun media sosial. Dia jarang mengunakanku dalam kebaikan.'
"Daritadi Mbak Syanum gak bisa diajak komunikasi," jelas Bibi.
Arsa meminta tolong penjaga Syanum agar memudahkannya menyutikan gadis tersebut obat penenang. Sepersekian menit kemudian gadis berpakaian compang camping itu tidak sadarkan diri. Sebagian hati Arsa tetsentil, betapa malang hidup Syanum. Memiliki keluarga berada tidak menjamin kebahagiannya malah seperti sumber kesengsaraan.
"Sejak Non Syanum melihat kabar di internet dia menanyakan kepada bibi apakah berita itu benar? Lalu siapa ibu kandungnya." Bibi jalan bersampingan seraya menjelaskan kepada Arsa.
"Untuk saat ini ponselnya disembunyikan dulu saja, Bi."
"Sudah, Dok."
"Dokter tunggu di sini ya. Bibi takut Non Syanum teriak-teriak lagi."
Jam tangan di pergelangan tangan Arsa menunjukan pukul delapan lebih lima belas pertanda ia harus tugas di puskesmas. "Saya harus ke Puskesmas, Bi. Tenang saja, obat penengan yang saya berikan bekerja cukup lama. Lagian Dokter Syarif segera sampai."
"Dokter Iqbal belum kembali?" Bibi marasa Iqbal adalah dokter sekaligus lelaki tepat untuk merawat Syanum. Setelah keberadaan Iqbal, kondisi Syanum membaik. Kepribadian Syanum yang lain pun welcome dengan kehadiran Iqbal. Berbeda dengan Syarif, Insyra tidak suka Syarif. Pernah ia akan mencekik dokter spesialis kejiwaan itu. Bisa disimpulkan bahwa Syanum membutuhkan Iqbal.
"Belum, Bi."
***
Usai mengambil obat bantuan pemerintah Dinak Kesehatan, Iqbal mengendarai mobil menuju rumah tercinta. Rumah yang kemarin-kemarin ia dambakan kehangatannya, sekarang terasa berbeda. Rencananya setelah salat Jum'at ia kembali ke Desa Gua.
Tiba di lampu merah, Iqbal membuka pesan dari Arsa.
Arsa
Mas Haji, kapan ke desa lagi? Pundak gue mau patah ngadepin pasien membludak. Apalagi tadi pagi Syanum kambuh.
Sejak kapan Arsa memanggilnya Pak Haji? Namun daripada memikirkan hal itu, Iqbal lebih tertarik mengetahui berita pada kalimat terakhir teman seperjuangannya.
Iqbal
Siapa yang muncul? Feli apa Insura?
Arsa masih mengetik, tetapi lampu jalan beralih kuning, tiga detik kemudian berganti hijau. Perlu diketahu bahwa Iqbal tidak suka menyetir sambil bermain ponsel. Namun kali ini ia benar-benar ingin mengobrol via aplikasi chat bersama Arsa.
Arsa
Gak tahu. Ini beda sama kerakter ketiganya. Seperti bukan Syanum, Insyra, maupun Feli. Sampai membakar mobil juga, Bal.
Iqbal
Mendekati karakter Insyra. Sudah beritahu Prof Syarif?
Iqbal membalas chat Arsa sambil sesekali melihat jalanan yang syukurnya tidak terlalu ramai.
Arsa
Sudah. Cepet ke desa. Gue gak bisa hidup tanpa lo!
Iqbal
Bodo amat!
Lelaki berhidung mancung itu meletakan ponsel di tempat duduk sebelah, mempercepat laju mobil.
Sampai di rumah Iqbal bergegas salat Jum'at. Beruntung ia mendapat shaf pertama, tidak kalah oleh para santri.
Seperti biasa, selesai salat Jumat akan ada pengumuman dari pengurus maupun pengasuh mengenai peraturan, tata tertib, hukuman, info tanggal penting, dan lainnya. Lukman berdiri di atas mimpir dengan wajah berseri-seri. Semua santri membalas salam penuh semangat. Mereka juga menyambut gembira berita yang disampaikan, kecuali Iqbal.
"Tiga bulan akad nikah dan walimatul ursy Gus Iqbal akan berlangsung. Atas nama besar keluarga pesantren kami memohon doa restu supaya keluarga anak saya menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah, memiliki anak shaleh shalehah."
Ratusan santri mengucap aamiin. Lelaki di sebalah Iqbal menebuk mengucapkan selamat. "Selamat ya Gus. Semoga semuanya berjalan lancar."
Bukannya menjawab, Iqbal tersenyum. Senyuman hambar yang berarti dia sedang tidak baik-baik saja. Seantero pesantren sudah tahu berita pernikahannya, santri putri pasti heboh bahkan ada yang jantungan mendengar suara Abah Kyai mengumuman hal penting mengenai keluarga pesantren. Info yang membuat mereka bahagia sekaligus jatuh.
Tidak sedikit santri putri kecewa, doa-doa yang ia senandungkan setelah mendoakan orang tua tidak terkabul. Sungguh Iqbal menjadi imam idaman, kakak idaman, ayah idaman, serba idaman. Tidak hanya modal tampan, tetapi juga modal otak cerdas serta akhlak terpuji.
Perjalanan dari masjid menuju rumah terasa panjang, Iqbal harus menjawab ucapan selamat santri putra. Santriwati tidak mau kalah, mereka heboh di kamar. Iqbal ingin protes kepada sang abi, kenapa mengumumkan berita tanpa persetujuannya. Sejak semalam saja mereka belum mengobrol, Abi tidak mengatakan apapun, lalu sekarang mengumumkan bulan pernikahannya. Semuanya terasa tidak adil. Dididik oleh orang tua otoriter membuat Iqbal kelu.
"Cye, Abang. Mau nikah ni ye," ledek Danu yang duduk di sofa. Lehernya masih berkalung sajadah.
Iqbal malas mengubris adiknya.
"Tunggu, Bang." Namanya juga Iyan Danugraha, susah diam. Kalau kata orang Jawa Iyan itu anteng kitiran dalam bahasa Indonesia berarti kincir angin yang diam. Filosofis Jawa berarti tidak pernah diam, sebab sediam-diamnya kincir angin selalu bergerak memutar. "Danu mau pinjam konci mobil."
"Buat apa?"
"Beli susu dankau." Sengaja Danu menyamarkan merek. Dia tidak diendores pihak perusahaan yang memproduksinya.
"Dankau buat apa?" Malas Iqbal menjawab, adiknya semakin tidak jelas. Masak minum susu dankau.
"Dankau hadir mengubah segalanya menjadi lebih indah, kau bawa cintaku setinggi angkasa dan buat kumerasa sempurna." Danu menyanyikan salah satu lagu populer penyanyi Indonesia.
Bola mata Iqbal memutar malas, kakinya meninggalkan si adik. "Semprul!"
"Bang, pinjam," pinta Danu lagi.
"Pakai motormu saja. Belum punya SIM A."
Aminah muncul dari pintu kamar masih mengenakan mukena. Melihat Iqbal yang lemas ia menempelkan tangan ke dahi sang anak. "Panas. Kamu demam. Sana minum obat terus istirahat."
"Iqbal harus kembali ke desa."
Abi muncul dari belakang Danu. "Istirahat saja!" nadanya terkesan meninggi.
Tidak ingin maksiat, Iqbal masuk ke kamar. Darahnya hendak mendidih merasakan sang abi yang mengambil keputusan besar tanpa persetujuannya sekarang bukan bicara baik-baik malah meninggi. Lukman, Aminah, dan Danu sempat heran. Tidak biasa Iqbal bersikap demikian.
"Jangan terlalu keras dengan Iqbal, Abi," nasehat Aminah.
***
Gimana nih?
Jangan lupa baca Al-Qur'an
Follow instagram author
@mellyana.i
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top