Bab 16 - Masalah bukan Masalah

Ketika dalam kesulitanmu orang orang meninggalkanmu, itu bisa jadi karena ALLAH sendirilah yang akan mengurusmu.

Imam Syafi'i

~Pangeran Hati~

***

Ketika Syanum membantu Anza memotong bawang merah, Iqbal turun dari lantai atas. Dia memilih mengobrol bersama Bibi sembari menunggu sarapan. Hari ini mereka berdua yang akan masak.

"Anza kamu mau masak apa?"

"Aku mau buat bakwan goreng."

"Kenapa buat bakwan?"

"Iqbal suka sama bakwan hehe..."

"Terus sayur yang disuka Iqbal apa?" tanya Syanum. Prihal Iqbal memang Syanum tidak tahu banyak. Di sini lah saat kepercayaan diri Syanum menurun.

Tiba-tiba Syanum menyeruput kol dan wortel yang sedang dicuci Anza. "Anza aku saja ya yang buat bakwan."

Daripada Syanum sedih, lalu Feli muncul, Anza pun mengalah. Syanum harus beristghfar dalam hati menyembunyikan rasa tidak suka yang menggerogoti hatinya. Kesel? Jelas, dia yang punya ide malah direbut orang lain yang notabennya merupan rival.

"Gak papa kan?"

"Oh tidak."

"Tidak!?" nada bicara Syanum naik satu oktaf tak percaya Anza tidak mengizinkan dirinya untuk hal sesepele ini.

"Aku yang bikin sayur ya."

"Ok."

Ponsel Iqbal terlempar ketika ada pertarungan di dapur. Cepat-cepat ia berlari, betapa terkejutnya ia saat Syanum hendak menikam Anza mengunakan pisau.

"Insyra hentikan."

"Dia Syanum Iqbal. Bukan Insyra.".

"Diam kamu!" bentak Syanum agar Anza tidak mengatakan sepatah katapun.

"Syanum. Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Aku mau kamu menikahi aku sekarang juga."

Iqbal menatap Anza yang tampak ketakutan.

"Tidak bisa Syanum."

"Aku akan menbunuh Anza." Syanum mengikat kuat tangan Anza. Pisau semakin dekat di leher gadis itu.

"Jangan lakukan itu Syanum."

Tangisan Anza menbuat hati Iqbal semakin tidak tega.

"Apa yang kamu mau Syanum?"

"Aku mau nikah sama kamu."

"Baik. Baik. Kamu akan menjadi istri keduaku setelah Anza."

"Tawaran menarik."

Iqbal membuka mata, segera ia bangun lalu meniup ke sebelah kirinya tiga kali. "Audzhubillahiminassyaidhanirrajim. Aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk."

Mimpi buruk. Iqbal mempraktikan hadits yang shahih dari rasulullah shallallahu'alaihi Wasallam:

الرؤيا الصالحة من الله، والحلم من الشيطان، فإذا رأى أحدكم ما يكره فلينفث عن يساره ثلاثا، وليتعوذ بالله من الشيطان ومن شر ما رأى ثلاثاً، ثم ينقلب على جنبه الآخر، فإنها لا تضره ولا يخبر بها أحداً

"Mimpi yang baik itu dari Allah. Sedangkan mimpi yang buruk itu dari setan. Jika salah seorang dari kalian bermimpi yang tidak ia sukai, maka hendaknya ia meniup ke sebelah kirinya tiga kali dan membaca ta'awwudz sebanyak tiga kali. Kemudian setelah itu hendaknya ia membalik tubuhnya ke sisi yang lain, dengan demikian tidak ada lagi yang membahayakan dan jangan ceritakan kepada seorang pun mimpi tersebut" (HR. Bukhari no. 6995, Muslim no. 2261).

Pukul 04.00 WIB, sembari menunggu adzan subuh, Iqbal membaca Al-Qur'an.

***

Desa Gua masih kental tradisinya. Dulu saat hasil bumi melimpah, warga akan pergi ke gua, pohon besar, serta kuburan memberikan hasil bumi. Mereka percaya bahwa yang memberikan limpahan rezeki adalah roh nenek moyang yang beradi di tempat-tempat kramat desa. Namun setelah Islam datang, warga sadar itu adalah prilaku musyrik.

Kyai Abdullah merupakan sesepuh desa yang mengajak warga menyembah Allah. Meskipun begitu mereka tetap mengadakan acara sedekah bumi. Yang dulunya dibawa ke kuburan, sekarang dibawa ke masjid sambil mendoakan umat muslim yang telah meninggal dunia dengan tahlilan bersama. Acara sedekah bumi diadakan sebulan sekali.

Anza dan Arsa tidak ikut ke masjid karena dia tidak melakukan kegiatan tahlilan. Iqbal menghargai perbedaan itu, ia juga tidak mau menghakimi prinsip mereka. Iqbal melakukan apa yang diajarkan oleh umi-abi bahwa adanya tahlilan serta makanan untuk para tamu setelah salah satu anggota keluarga meninggal dunia. Iqbal semakin yakin ketika belajar salah satu kitab karya Imam Nawawi. Tidak mungkin Iqbal bilang tahlilan itu haram, sementara ia hanyalah butiran debu dibanding beliau yang kitabnya dikaji ribuan bahkan jutaan umat manusia.

"Dokter Iqbal," panggil Syanum.

"Loh Syanum. Bagaimana ceritanya bisa keluar dari villa?"

"Ada dong. Aku gitu." Wajah Syanum terlihat berseri-seri. Seolah Feli yang menempati tubuh Syanum, tapi bukan. Kali ini benar Syanum. Syukurlah perkembangan Syanum semakin baik. Sekarang Syanum mulai bisa mengekspresikan perasaannya.

"Seneng banget."

"Hehe... Bisa keluar rumah soalnya."

"Kirain karena ketemu aku."

Dengarkan, jantung Syanum mulai berdetak tidak normal sepertinya jantung itu ingin memberitahukan kepada seluruh penghuni dunia.

Iqbal berjalan meninggalkan Syanum. Gadis itu pun lega, lebih baik memang Iqbal enyah sebelum jantungnya keluar dari tubuh karena loncat-loncat. Baru Syanum melangkahkan kaki hendak berkumpul dengan jamaah akhwat, Iqbal menghalanginya. Lelaki itu berjalan mundur tiga langkah. Tubuh Syanum sampai terkejut seperti terkena sengatan listrik.

"Nanti pulang dari sini ada yang mau saya omongin."

Syanum mengganguk lalu cepat-cepat meninggalkan Iqbal. Ia pernah membaca novel, saat tokoh perempuan jatuh cinta kemudian bertemu lelaki yang dicintai maka reaksinya sama dengan yang Syanum rasakan. Mungkinkah aku jatuh cinta? Pikir Syanum ngaco. Cinta pertamaku dia? Ah, mikir apa sih Num!

"Nona." Panggilan Bibi membantunya kembali ke dunia nyata. Di atas bumi di bawah langit, tanah air tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah doa bersama, penduduk desa makan bersama di serambi masjid. Mereka baris saling berhadap-hadapan. Makan keluban, sambal kelapa, tempe goreng tahu goreng, dan ikan asin dengan alas daun pisang yang ditata memanjang. Di tengah ada tampah berisi nasi kuning dibentuk kerucut masyarakat menyebutnya tumpeng.

Dalam bahasa Jawa Tumpeng merupakan kepanjangan dari, 'yen metu kudu sing mempeng. bila keluar harus dengan sungguh-sungguh.' Di sisinya ada makanan terbuat dari beras ketan yang disebut buceng. Buceng sendiri akronin dari 'yen mlebu kudu sing kenceng. Dengan lauk-pauk berjumlah 7 macam. Tujuh dalam bahasa Jawa disebut pitu, berhubungan dengan kata pitulung yang berarti pertolongan.

Apabila dihubungkan ketiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra' ayat 80: "Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan".

Dahulu tempeng memang digunakan untuk menyembah ruh nenek moyang, namun seiring perkembangan Islam tumpeng dikaitkan dengan filosifi Islam Jawa.

"Ini namamya ingkung, Mbak," kata seorang ibu kepada Syanum seraya menunjuk ayam yang dimasak utuh—tanpa dipotong.

"Kalau kata simbah saya melambangkan bayi yang belum dilahirkan otomatis belum mempunyai kesalahan apa-apa, masih suci. Gak banyak dosa kaya kita ini. Maknanya supaya para tamu dan orang yang punya hajat bersih kembali. Doa yang dikaitkan dengan simbol."

Kepala Syanum mengangguk-ngangguk. "Kalau tumpeng doanya apa, Bu?" Ia semakin penasaran.

"Tumpeng simbol untuk selalu berserah diri kepada Tuhan serta menaruh harapan agar selau hidup sejahtera. Menurut ibu kaya gitu. Kalau kamu lihat bentuk tumoeng itu kerucut sedangkan dibawahnya banyak lauk pauk yang jika diartika juga simbol doa. Doa-doa itu menuju ke atas, yaitu kepada Allah SWT."

"Begitu ya."

Warga sudah mulai meninggalkan tempat hendak bekerja bakti membersihkan masjid. Kaum lelaki mengeluarkan karpet karena tersisa bekas makanan di sana. Syanum mendapati Iqbal tengah terbatuk-batuk. Kasihan. Tiba-tiba mata keduanya tertaut pada satu garis lurus. Syanum langsung mengalihkan pandagan.

"Sya ayo pulang."

"Num aja. Kalau Sya kesannya kaya ngusir ayam."

"Lebih nyaman panggil Sya."

"Ok."

"Bibi pulang bareng kita ya," ajak Iqbal.

Bibi tersenyum. "Bibi pulang sendiri saja."

"Bibi tega membiarkan aku dan Syanum berduaan? Ketika dua orang laki-laki bukam mahram berduaan, maka yang ketiga adalah setan."

Sebelum salah paham Iqbal menganggapi cepat. "Bukan maksud saya menempatkan Bibi sebagai setan. Bukan loh."

"Iya. Iya. Bibi paham."

Mereka lantas berjalan kaki menuju villa tempat tinggal Syanum melalui pematang sawah. Bethubung jalanan sempit, ketiganya jalan berbaris. Syanum, di depannya ada Iqbal, dan belakangnya ada Bibi.

"Sya, boleh aku tahu masalahmu yang buat kamu bisa seperti saat ini?" tanya Iqbal berhati-hati.

Syanum melihat sekitar, takut ada mata-mata. "Tidak ingat."

"Tak apa. Biarlah ingatan itu kembali sendiri. Jangan dipaksa, karena jika dipaksakan akan melahirkan hal-hal dibawah tekanan. Tidak dari hati."

"Hm."

Iqbal berbalik, hingga Syanum berhenti. "Besok pagi aku harus ke kota mengambil beberapa obat sambil mengantar Anza."

Kalimat Iqbal seperti kalimat perpisahan bagi Syanum, kabar buruk yang mendatangkan kesedihan hati. "Lalu?"

"Aku takut kita gak bisa ketemu lagi."

Kekhawatiran apa itu?

"Untuk itu aku ingin kamu menjadi wanita kuat. Tidak perlu lagi kamu memecahkan diri dalam menghadapi masalah. Stress ke Allah. Sedih ke Allah. Khawatir ke Allah. Bahagia juga ke Allah. Ada 3 cara Allah menghapuskan dosa hamba-Nya. Dengan bertaubat, beramal saleh, dan dengan memberikan dia musibah,"

"Sebesar apapun masalahmu, ingatlah kamu punya Allah Yang Maha Besar. Dulu kamu melakukan itu karena kamu belum mengenal Allah, tapi sekarang kamu harus menyandarkan masalahmu kepada Allah. Kamu, Felisya, maupun Insyra adalah satu orang yang sama. Kalian harus bersatu, maka jadilah Syanum yang kuat. Tentunya atas kehendak Allah."

"Dokter akan pergi?" Kalimat Iqbal seperti kalimat perpisahan orang yang memiliki feeling akan meninggal dunia.

"Ya. Semoga saja kita bisa bertemu lagi." Iqbal tersenyum kemudian berbalik meneruskan perjalanan.

"Kita harus banyak-banyak amal saleh supaya terhidar dari ujian maupun musibah. Semoga ujian yang datang hanya ujian iman, bukan karena dosa-dosa kita."

"Dokter, Bibi suka kesel sama tetangga yang datang kepada Bibi saat mereka butuh saja."

Iqbal tertawa kecil.

"Eh malah ketawa."

"Bibi sadar gak sih itu emang sifat manusia. Boro boro sama kita, kadang sama Allah aja kaya gitu. Kalau ada hajat aja, salat rutih, jamaah gak pernah absen, rajiiin banget. Giliran hajatnya dikabulin, lupa sama Allah. Apa Allah marah? Iya, tapi Allah juga selalu mengampuni. Kalau ada kaya gitu kita pantas marah, tapi harus memaafkan juga."

Selama dalam perjalanan Iqbal terus mengobrol dengan Bibi. Sedangkan Syanum diam. Diamnya sibuk memikirkan Iqbal yang seolah akan meninggalkannya dalam tempo lama. Apa ini sekat dunia nyata dan dunia kubur? Tidak. Iqbal tidak boleh mati dulu!

***

Alhamdulillah update.

Jangan lupa terus dukung dengan vote dan komentar

See you

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top