Bab 12 - Menjaga Hati

Umat Islam tidak hanya dinilai dari ibadah salat dan puasanya. Namun juga prilaku terhadap sesama yang akan mencerminkan seberapa baik keagamaannya.

~Pangeran Hati~

***

"Aku mau ke depan dulu, Bi."

"Yaudah, Bibi masuk dulu ya. Harus menyiapkan makan malam."

"Baik."

Baru beberapa langkah, Bibi menoleh ke arah Syanum yang tiba-tiba berdiri kaku, tangan Syanum menarik-narik jilbab seolah ingin melepasnya. Buru-buru ia berbalik, berlari ke belakang. "Ada apa Non Syanum?"

Tidak ada jawaban selain erangan. Syanum hanya mengerang dan menjerit.

"Tolong, tolong bantu saya," teriak Bibi. "Hey kalian, bantu saya bawa Non Syanum masuk rumah," teriak Bibi kepada dua penjaga yang seolah dikutuk menjadi batu. Sangking kakunya tidak peka dengan keadaan sekitar, tidak peduli dengan ekspresi Syanum yang kesakitan. Mereka hanya fokus menahan Syanum supaya tidak kabur, bukan menjaga kesehatan Syanum. Memang taat dengan atasan, tapi dimana peri kemanusiaan mereka?

Saat mata Syanum terpejat tampak mata tajam seorang lelaki, kemudian pandangannya gelap, beralih lagi dengan seorang wanita berpakaian penuh noda darah berjalan tertatih-tatih menuju sebuah ruangan. Bayangan itu menghilang, berganti kepada wajah Bibi dan dua penjaga yang mengangkat tubuh gadis itu. Sesaat kemudian tampak bayangan wanita tadi mundur sambil duduk, wajahnya sangat ketakutan, sekilas ada sebuah tangan berlumuran darah. Melihat kejadian demi kejadian membuat kepala Syanum semakin pusing hingga dia tidak tahu apa yang terjadi. Tubuh gadis itu sekarang dikuasai oleh Insyra.

Kekuatan tubuh Syanum seolah berkali lipat. Ia mampu melepaskan pegangan bibi dan penjaga. Bahkan ia memplintir dua pasang tangan milik penjaga hanya dengan dua tangan yang ia miliki.

Bibi berlari ke luar rumah hendak memanggil Iqbal. Sebelum meninggalkan rumah, ia menghubungi dokter Syarif lalu mengambil senter. Dari vila ke vila yang ditempati dokter muda itu paling dekat melewati tengah kebun buah naga. Wanita paruh baya itu harus memberanikan diri. Demi nona mudanya. Jalanan becek karena hujan tidak ia pedulikan. Yang terpenting ia sampai di tempat tinggal Iqbal.

"Mas dokter! Mas! Dokter."

Dog. Dog. Dog. Dog. Suara ketukan pintu begitu keras. Dari ketukannya sudah dapat dibaca bahwa orang tersebut dalam keadaan panik atau ada kejadian gawat darurat. "Dokter, ini Bibi. Bukain. Cepetan!!!"

Saat Bibi mengendor pintu rumah Iqbal dan Arsa selesai menunaikan salat witir. Iqbal hendak mengambil gitar, mendengar teriakan di depan ia lekas membukakan pintu. "Bibi. Ada apa?"

"Nona muda." Tangan Bibi menunjuk-nunjuk ke arah tempat Syanum tinggal.

"Nona muda kenapa?"

"Anu, it, itu." Deru napas Bibi tidak beraturan.

"Tenang dulu Bi. Atur napas." Arsa muncul.

"Huft... Nona Syanum tadi tiba-tiba memegangi kepala sambil teriak-teriak. Sekarang sepertinya Insyra yang menguasai."

Mata Iqbal melotot tak percaya. "Syanum muncul lagi?" Padahal saat ke kota Syanum baik-baik saja kata Profesor Syarif.

"Iya. Ayo ke sana." Tangan Bibi menarik lengan Iqbal. Iqbal dengan gerakan cepat melepaskannya.

"Sebentar Bibi. Saya ambil alat-alat saya dan ponsel. Soalnya tidak bisa memberikan tindakan tanpa persetujuan Proffesor Syarif." Iqbal ke dalam. Pamit meminta tolong Arsa agar tetap di rumah saja membantu menyelesaikan laporan intership.

***

Sekarang Iqbal berhadapan dengan Insyra yang siap terjun dari lantai dua. Tangan kanan Insyra mencekram pucuk pisau. Darah bercucuran dari telapak tangan hingga ke lantai. Keringat dingin keluar dari tubuh Iqbal. Ia takut kalau gadis tersebut kehabisan darah.

"Non. Jangan lakukan itu." Bibi menangis, tidak tega dengan apa yang menimpa Syanum. Syanum tidak tahu apa-apa, tapi kalau sampai Insyra menjatuhkan diri sama halnya Syanum yang terluka. "Insyra! Pergi kamu! Jangan sakiti Syanum! Dia gak ada salah apa-apa sama kamu! Tapi kenapa kamu ingin membunuhnya."

"Tenang, Bibi," nasehat Iqbal. Di saat seperti ini memarahi kepribadian lain bukanlah tindakan tepat.

"Insyra. Bisakah kita bicara baik-baik?"

Kaki Insyra naik ke pagar pengaman lantai. Sekarang kalau saja dia melepaskan pegangan, pasti tubuhnya jatuh.

"Bi, tolong beritahu Proffesor Syarif kalau Insyra ingin bunuh diri," bisik Iqbal agar tidak tertangap indera pendengaran Insyra.

Mendapat perintah dari Iqbal, Bibi langsung berlari menuju telepon rumah terletak.

"Aku tahu kamu bukan Syanum. Kamu Insyra. Kita dapat berbicara baik-baik. Aku bisa mengerti apa yang kamu rasakan. Mari berbagi denganku, Syra,"

"Apa kamu tidak ingat pertemuan pertama kita? Aku berterima kasih kepadamu karena telah membantuku menemukan pasien Prof Syarif. Aku yakin kamu orang baik. Insyra yang aku kenal adalah gadis pemberani dan kuat. Bukan seperti sekarang, melakukan hal bodoh dan sia-sia."

Mata Insyra menatap intens bola mata Iqbal. Ia melihat ketulusan lelaki itu. "Lo gak peduli sama gue. Lo hanya peduli sama Syanum."

"Tidak. Aku peduli denganmu. Kalau aku tidak peduli denganmu mana mungkin aku berdiri di sini. Kalau perlu kamu terjun saja. Ketidakinginanku kamu terjun menjadi tanda bahwa aku peduli. Aku tidak ingin kamu melampiaskan apa yang kamu rasa dengan terjun ke bawah."

"Kamu hanya akan membunuhku kan? Kamu ingin aku pergi. Kamu ingin Syanum lah yang menempati tubuh ini."

"Insyra. Aku tahu kekhawatiranmu akan itu. Izinkan aku mendengarkan ceritamu dan ... mengobati tanganmu. Jujur, aku khawatir."

Insyra menurunkan kaki ke lantai mendengar kalimat terakhir Iqbal yang terdengar jujur. Ada kelegaan sendiri di hati Iqbal. Benar, kejujuran tidak pernah membawa malapetaka. Yang ada satu kebohingan akan menimbukan kebohongan lain. Sebagai dokter Iqbal telah bersumbah membantu menyembuhkan pasien, kalau pun tidak bisa minimal tidak merugikan.

"Sekarang boleh aku naik lantai dua?" Tadi Insyra mengamcam akan loncat jika ada yang naik ke lantai dua, tapi sekarang gadis itu diam.

"Diam. Aku anggap kamu berkata iya."

Begitu berhasil menyelematkan gadis itu, ia meminta semua karywan tidak ikut adil. Saat ini Insyra hanya percaya kepadanya. Ia ajak Insyra ke kamar. Insyra duduk di kursi rias, sementara Iqbal menekuk kaki sibuk membersihkan luka tangan milik Insyra yang cukup dalam. "Aku mohon jangan lakukan ini lagi."

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Insyra. Rahang yang semula mengeras sudah tidak terlihat.

Wajah Iqbal terlihat tampan dimata gadis itu. Wajah putih bersih itu sibuk memutar perban ke tangannya penuh perasaan.

"Aku tahu sekarang kamu belum siap bercerita. Berstirahatlah."

Meskipun tidak menjawab, Insyra menuruti perintah Iqbal. Iqbal mengambil selimut lalu menyelimuti tubuh Insyra. Iqbal ingat kata-kata Syarif, bahwa kepribadian lain patut diberi simpati supaya tidak memberontak.

"Insyra satu yang harus kamu ingat. Aku mengkhawatirkanmu saat kamu melakukan hal-hal yang akan membahayakanmu. Jadi tolong jangan lakukan lagi. Aku tidak ingin melihat keduakalinya," mohon Iqbal berusaha bicara dari hati ke hati.

Kedua bola mata Insyra terpejam. Prilaku hangat Iqbal membuat perasaannya sedikit berbeda. Tidak sadar ia tersenyum saat memejamkan mata. Sepertinya ia akan mimpi indah malam ini.

Pukul 12 malam tepat Syarif datang bersama putri satu-satunya. Anza yang memergoki Iqbal menatap pasien papanya merasa tidak suka, namun mulutnya hanya bisa membisu. Bahkan matanya tidak sanggup lagi menatap, Anza memutuskan menunduk. Menatap lantai keramik.

"Prof."

Syarif memeriksa kondisi Syanum.

"Insyra muncul, ia tampak putus asa. Sampai-sampai hendak bunuh diri. Atas pertolongan Allah saya berhasil membujuknya."

"Ini yang saya takutkan. Insyra memang pemberani, tetapi sekali ia putus asa ia dapat membahayakan nyawa orang lain dan dirinya sendiri."

Anza melihat balutan luka di tangan Syanum. Melihat itu seolah ia menyaksikan langsung adegan Iqbal merawat luka pasien papanya. Ada luka baru di hati Anza. Sangat sakit, sampai ia tak bisa sekedar basa-basi kepada Iqbal seperti biasa. Perit tanpa darah.

"Anza ikut lagi. Takut di rumah sendori apa mau ketemu Arsa?"

Gadis bermata kearab-araban itu menggigit bibir bawah. Oh Allah kenapa sesakit ini? Seperti ada yang semakin mengores-gores di dalam hati sana.

"Anza," panggil Iqbal lagi. "Apa di lantai ada wajah tampan Arsa atau pilot yang mau mengkhitbahmu itu? Sampai-sampai pertanyanku seperti angin lalu," kekeh Iqbal kemudian.

Tidak lucu Iqbal. Sangat tidak lucu. Kata-kata itu berperan menjadi bawang merah yang membuat mata Anza berair. Rasanya Anza ingin berteriak tepat di lubang telinga Iqbal bahwa tidak ada pilot atau lelaki mana pun dihatinya selain Iqbal. Apalagi Arsa! Meskipun Arsa juga ciptaan Tuhan, Anza akan mengeliminasi sebelum masuk barisan calon imam. Hanya Iqbal yang membuatnya jatuh hati hingga seperti orang bodoh.

"Masih nunduk aja," goda lelaki berlesung pipi menawan.

Anza mengusap air mata yang menetes, lalu lari keluar kamar. Tahu Anza menangis, Iqbal berusaha mengejar. Merasa bersalah. Pikir lelaki tampan itu mood Anza memang sedang tidak baik, bukan karena dia Anza bersikap demikian.

Kepala Syarif geleng-geleng melihat mereka. Ia hanya berdoa semoga Iqbal lah lelaki yang akan menjabat tangannya untuk menghalalkan putri tersayang. Kalau pun Allah tidak perkehendak, Syarif selalu mendoakan yang terbaik bagi keduanya.

Cinta memang membuat emosi seseorang naik turun. Sebagai ayah, Syarif mengenal baik gadis itu. Anza merupakan wanita dewasa, keibu-ibuan, ia tidak menyangka kalau cinta bisa merubahnya menjadi kekanak-kanakan. Doa Syarif, semoga anaknya tidak meletakan cinta seumpama obsesi.

***

Assalamualaikum

Lima hari yang lalu update, sekarang update. Lima hari berasa berapa lama bagi kalian?

Seminggu?
Sebulan?
Apa setahun?

Sambil nunggu update, kalian bisa baca karya aku yang lain. Oh ya Diaku Imamku lagi open PO loh bulan Februari. Jangan lupa pesan ya karena gak ada di gramedia.

Tinggalkan cerita ini kalau melalaikan kalian.

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top